BAB IV ANALISIS. Diagram 6 : skema hubungan fasilitas

dokumen-dokumen yang mirip
I.1 LATAR BELAKANG I.1.1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 3 SRIWIJAYA ARCHAEOLOGY MUSEUM

BAB VI HASIL RANCANGAN. wadah untuk menyimpan serta mendokumentasikan alat-alat permainan, musik,

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB 3 METODA PERANCANGAN. Lingkup metoda penyusunan rencana Pembangunan Pusat Sains dan Teknologi di

BABV ADAPTIVE RE-USE. Upaya yang akan dilakukan untuk perencanaan perubahan fungsi bangunan Omah Dhuwur Gallery adalah sebagai berikut:

BAB III METODE PERANCANGAN

BAB III ELABORASI TEMA

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. a. Aksesibilitas d. View g. Vegetasi

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

KONSEP DESAIN Konsep Organisasi Ruang Organisasi Ruang BAB III

BAB 6 HASIL PERANCANGAN. konsep Hibridisasi arsitektur candi zaman Isana sampai Rajasa, adalah candi jawa

BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN

BAB III: DATA DAN ANALISA

BAB III METODE PERANCANGAN. dalam mengembangkan ide sebuah rancangan. Langkah-langkah ini meliputi

BAB VI PENERAPAN KONSEP PADA RANCANGAN. memproduksi, memamerkan dan mengadakan kegiatan atau pelayanan yang

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. merupakan salah satu pendekatan dalam perancangan arsitektur yang

BAB III METODE PERANCANGAN

BAB III METODE PERANCANGAN. perancangan merupakan paparan deskriptif mengenai langkah-langkah di dalam

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Kegiatan Kegiatan Utama

BAB 3 METODE PERANCANGAN. berisi sebuah paparan deskriptif mengenai langkah-langkah dalam proses

Penjelasan Skema : Konsep Citra yang diangkat merupakan representasi dari filosofi kehidupan suku Asmat yang berpusat pada 3 hal yaitu : Asmat sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Auditorium Universitas Diponegoro 2016

RESORT DENGAN FASAILITAS MEDITASI ARSITEKTUR TROPIS BAB V KONSEP PERANCANGAN. 5.1 Konsep dasar perancanagan. 5.2 Konsep perancangan

BAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN

GALERI SENI UKIR BATU PUTIH. BAB I.

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.. LEMBAR PENGESAHAN.. CATATAN DOSEN PEMBIMBING.. HALAMAN PERNYATAAN PRAKATA..

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. adalah High-Tech Of Wood. Konsep High-Tech Of Wood ini memiliki pengertian

BAB III METODE PERANCANGAN. pengumpulan data, analisis, dan proses sintesis atau konsep perancangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III METODE PERANCANGAN. sebuah proses perancangan, metode ini dibutuhkan untuk memudahkan perancang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VI HASIL PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. baru, maka keberadaan seni dan budaya dari masa ke masa juga mengalami

Sehingga sirkulasi kendaraan menuju site tidak terjadi crossing dengan

BAB III METODE PERANCANGAN. Metode perancangan ini banyak penelitian yang dilakukan, baik

MUSEUM SENI RUPA DI YOGYAKARTA

MUSEUM TEKSTIL JAWA BARAT TEMA URBAN OASE

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PROYEK

BAB V KONSEP PERANCANGAN. Konsep dasar perancangan beranjak dari hasil analisis bab sebelumnya yang

Bab IV. Konsep Perancangan

3.6. Analisa Program Kegiatan Sifat Kegiatan Konsep Rancangan Konsep Perancangan Tapak Konsep Tata Ruang 75

BAB 3 METODE PERANCANGAN. data dari sumber literatur hingga survey langsung obyek-obyek komparasi untuk

BAB IV ANALISA TAPAK

BAB III METODE PERANCANGAN

BAB IV: KONSEP Konsep Dasar WARNA HEALING ENVIRONMENT. lingkungan yang. mampu menyembuhkan. Gambar 4. 1 Konsep Dasar

BAB III METODE PERANCANGAN. Metode perancangan ini merupakan langkah perancang dalam merancang

BAB III METODE PERANCANGAN. ingin dibuat sebelum kita membuatnya, berkali-kali sehingga memungkinkan kita

BAB III METODE PERANCANGAN. kualitatif, karena penelitian ini bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. Pemikiran yang melandasi perancangan dari proyek Mixed-use Building

BAB 3 METODE PENELITIAN

4.1 IDE AWAL / CONSEPTUAL IDEAS

BAB VI KONSEP PERANCANGAN

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL...

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB III METODE PERANCANGAN. permasalahan terkait dengan objek rancangan. Setelah itu akan dirangkum dalam

BAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN. Dalam kajian perancangan ini berisi tentang penjelasan dari proses atau

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB III METODE PERANCANGAN. Ide perancangan ini muncul dikarenakan tidak adanya suatu tempat untuk

BAB VI KONSEP PERENCANAAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

2015 PASAR FESTIVAL ASTANA ANYAR

BAB VI HASIL RANCANGAN

GELANGGANG REMAJA MUSIK DI BANDUNG

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

Dukuh Atas Interchange Station BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah

BAGIAN 6 EVALUASI PERANCANGAN

BAB VI HASIL RANCANGAN. terdapat pada Bab IV dan Bab V yaitu, manusia sebagai pelaku, Stadion Raya

Gambar 5.1. Zoning Ruang (sumber:konsep perancangan.2012)

BAB III TINJAUAN KHUSUS

PENDAHULUAN. Berbicara tentang tempat tinggal, kota Jakarta menyediakan lahan yang

5. HASIL RANCANGAN. Gambar 47 Perspektif Mata Burung

BAB V KONSEP PERANCANGAN PASAR. event FESTIVAL. dll. seni pertunjukan

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 HASIL RANCANGAN. Perubahan Konsep Tapak pada Hasil Rancangan. bab sebelumnya didasarkan pada sebuah tema arsitektur organik yang menerapkan

BAB III METODELOGI PERANCANGAN. Dalam Perancangan Hotel Resort Wisata Organik ini terdapat kerangka

BAB V KONSEP DAN PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan lingkungannya yang baru.

BAB III METODE PERANCANGAN. merancang, yang disertai dengan teori-teori dan data-data yang diperoleh dari studi

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour

BAB III METODE PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada saat ini keterbatasan lahan menjadi salah satu permasalahan di Jakarta

BAB IV: KONSEP PERANCANGAN

BAB III METODE PERANCANGAN. atas permasalahan dan potensi yang bersumber dari dari data data dan isu-isu

BAB V KONSEP DAN PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR

Penerapan Budaya Sunda dalam Perancangan Pasar Rakyat Kasus: Pasar Sederhana, Bandung

BAB V KESIMPULAN ARSITEKTUR BINUS UNIVERSITY

BAB 4 PENDEKATAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

BAB III: DATA DAN ANALISA

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan belajar peserta didik, karena kelas merupakan central of

5.1.1 Perubahan pada denah Perubahan pada struktur dan penutup atap D Interior dan exterior ruangan

BAB III METODE PERANCANGAN

REDESAIN RUMAH SAKIT ISLAM MADINAH TULUNGAGUNG TA-115

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Bangunan IV.1.1 Organisasi Ruang Berdasarkan hasil studi banding, wawancara, dan studi persyaratan ruang dan karakteristik kegiatan di dalamnya, hubungan fasilitas dapat dilihat dalam skema sebagai berikut : Diagram 6 : skema hubungan fasilitas Adapun skema hubungan ruang dalam masing-masing fungsi adalah sebagai berikut : 1. Fasilitas Pamer Secara umum fasilitas pamer memungkinkan terbagi menjadi dua, yaitu ruang pamer dalam dan ruang pamer luar. Ruang pamer dalam merupakan ruang pamer yang menampilkan artefak-artefak atau koleksikoleksi yang rentan terhadap sinar matahari langsung, sentuhan atau goncangan, dan membutuhkan pemeliharaan khusus. Sedangkan ruang 50

pamer luar adalah ruang pamer yang menampilkan koleksi tanaman tekstil. Kedua jenis ruang pamer ini dapat dibuat berhubungan secara langsung maupun tidak. Ruang pamer dalam membutuhkan hubungan secara langsung dengan fasilitas kuratorial dan membutuhkan pengawasan dari fasilitas keamanan. Sedangkan ruang pamer luar memiliki potensi membentuk suasana kontemplatif dan natural yang mungkin dibutuhkan fasilitas lain seperti pendidikan. Berikut skema hubungan ruang dalam fasilitas pamer : Diagram 7 : skema hubungan ruang dalam fasilitas pamer 2. Fungsi Kuratorial Ruang-ruang dalam fungsi kuratorial memiliki kesinambungan yang telah disesuaikan dengan urutan kegiatannya. Untuk meningkatkan keamanan koleksi dari goncangan, sentuhan, dan sinar matahari langsung dibutuhkan hubingan yang dekat dengan ruang pamer. Sedangkan untuk keamanan koleksi dari pencurian dibutuhkan pula kedekatan dengan fasilitas keamanan. Berikut skema hubungan ruang dalam fasilitas kuratorial : 51

Diagram 8 : skema hubungan ruang dalam fasilitas kuratorial 3. Fasilitas Pendidikan Secara umum ruang-ruang dalam fasilitas pendidikan memiliki dua jenis karakter yang dibedakan oleh potensi sasaran penggunanya. Yaitu ruang-ruang yang berpotensi memiliki sasaran pengguna yang spesifik dari komunitas tekstil sehingga dapat mewadahi kegiatan yang berhubungan secara khusus dengan pengembangan pendidikan atau kegiatan tekstil seperti ruang serba guna, ruang pelatihan, dan amphiteater, dan ruang-ruang yang berpotensi memiliki sasaran pengguna yang lebih luas sehingga dapat mewadahi pengembangan pendidikan secara umum, dan dapat menjadi fasilitas-fasilitas yang menunjang kepentingan konteks-konteks di sekitar lahan tanpa terkait secara khusus dengan konteks kasus, seperti perpustakaan dan pusat internet. Kegiatan dalam masing-masing karakter tersebut juga berpotensi memiliki waktu pelaksanaan kegiatan dan kebutuhan seuasana ruang yang berbeda. Berikut skema hubungan ruang dalam fasilitas pendidikan : 52

Diagram 9 : skema hubungan ruang dalam fasilitas pendidikan 4. Fasilitas Operasional Fasilitas operasional merupakan fasilitas yang diperuntukkan mewadahi kegiatan pengelolaan seluruh aktifitas maupun fasilitas museum. Oleh karenanya, penciptaan ruang dalam fasilitas ini merupakan respon dari kebutuhan keseluruhan museum yang mengacu pada visi perancangan. Sedangkan penataan ruang di dalamnya terutama didasarkan untuk menunjang efektifitas kinerja penggunanya dan mengakomodasi perubahan sistem organisasi pengelola museum. Karenanya, pada fasilitas ini berpotensi untuk diciptakan ruang-ruang dengan sistem open layoutt dengan usulan susunan ruang yang tetap mempertimbangkan keterkaitan bidang divisi-divisinya. Berikut skema hubungan ruang dalam fasilitas operasional : 53

Diagram 10 : skema hubungan ruang dalam fasilitas operasional 5. Fasilitas Penunjang Fasilitas penunjang secara umum merupakan fasilitas yang dapat menunjang keberlangsungan museum. Dalam kasus ini, fasilitas penunjang diciptakan sebagai fasilitas yang dapat menjadi buffer atau fasilitas yang mewadahi kegiatan yang menjadi peralihan dari kegiatankegiatan dalam konteks di sekitarnya ke kegiatan utama dalam museum. dan. Dengan kata lain, fasilitas ini akan menyokong aktifitas-aktifitas publik yang tidak terkait secara khusus dengan konteks kasus dimana penciptaan ruangnya merupakan respon dari kebutuhan konteks-konteks di sekitarnya. Berikut skema hubungan ruang dalam fasilitas penunjang : 54

Diagram 11 : skema hubungan ruang dalam fasilitas penunjang 6. Fasilitas Servis dan Keamanan Fasilitas servis dan keamanan merupakan fasilitas yang menunjang kenyamanan dan keamanan pengunjung maupun koleksi. Fasilitas ini memungkinkan berada dalam setiap fasilitas lain untuk menunjang keberlangsungan kegiatan di dalamnya. Berikut skema hubungan ruang dalam fasilitas servis dan keamanan : Diagram 12 : skema hubungan ruang dalam fasilitas servis dan keamanan 55

IV.1.2 Pemintakatan Fungsi Berdasarkan studi literatur, secara umum zona dalam museum dapat dibedakan menjadi empat, yaitu zona publik koleksi, zona publik non koleksi, zona non publik koleksi, dan zona non publik non koleksi. Berdasarkan karakter kegiatan dan potensi-potensi di dalamnya, pembagian ruang-ruang dalam museum ini sesuai dengan zona tersebut adalah sebagai berikut : 1. Zona publik koleksi Merupakan zona yang menyimpan koleksi untuk dinikmati publik, yaitu fasilitas pamer, meliputi galeri komeesil, galeri temporer, galeri permanen, dan taman tekstil. 2. Zona publik non koleksi Merupakan zona yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan publik tanpa terkait secara khusus dengan konteks kasus, yaitu fasilitas penerima, fasilitas penunjang, dan fasilitas pendidikan. 3. Zona non publik koleksi Merupakan zona yang menyimpan koleksi namun bukan untuk konsumsi publik, yaitu fasilitas kuratorial. 4. Zona non publik non koleksi Merupakan zona yang tidak mewadahi aktifitas umum dan tidak pula menyimpan koleksi. Kegiatan di dalamnya dapat merupakan kegiatan-kegiatan yang menunjang keberlangsungan museum tanpa terkait langsung dengan kegiatan-kegiatan museum itu sendiri. Dalam kasus ini, fasilitas yang termasuk dalam zona non publik non koleksi adalah fasilitas operasional. Berdasarkan pemintakatan fungsi tersebut, berikut skema hubungan fasilitas dalam masing-masing zona : 56

Diagram 13 : skema zoning dan hubungan fasilitas 57

IV.1.4 Persyaratan Ruang Persyaratan ruang pada kasus ini dititik beratkan pada ruang pamer sebagai fungsi utama dari museum. Beberapa persyaratan teksnis ruang pamer adalah sebagai berikut : 1) Pencahayaan dan penghawaan Untuk tipologi fungsi museum, pencahayaan dan penghawaan merupakan aspek teknis utama yang perlu diperhatikan untuk membantu memperlambat proses pelapukan dari koleksi. Untuk museum dengan koleksi utama museum kelembaban yang disarankan adalah 50% (RH) dengan suhu 24 0 C 26 0 C. Intensitas cahaya yang disarankan sebesar 50 lux dengan meminimalisir radiasi ultra violet. Beberapa ketentuan dan contoh penggunaan cahaya alami pada museum adalah sebagai berikut : Gbr.23 : Ruang peragaan dan pencahayaan yang baik berdasarkan percobaan di Boston Sumber : Data Arsitek Gbr.24 : Ruang yang memiliki pencahayaan ideal dengan pencahayaan dari dua sisi, dikembangkan oleh S. Hurst Seager. Sumber : Data Arsitek 65

2) Ergonomi dan Tata Letak Untuk memudahkan pengunjung dalam melihat, menikmati, dan mengapresiasi koleksi, maka perletakan peraga atau koleksi menjadi sangat penting. Berikut standar- standar peletakan koleksi di ruang pamer museum : Gbr.25, 26, 27 : Standar peletakan koleksi Sumber : Data Arsitek 66

Gbr.28, 29 : Standar peletakan koleksi Sumber : Data Arsitek Untuk pameran dengan pencahayaan dari samping, tinggi tempat gantungan yang baik antara 30 o dan 60 o, dengan tinggi ruang 6,7 meter dan tinggi ambang 2130 untuk lukisan atau 3400 3650 untuk meletakkan patung. Sedangkan ketentuan luasan yang dibutuhkan untuk beberapa macam koleksi antara lain, lukisan 3-5 m 2 luas dinding, patung 6-10 m 2 luas dinding, dan 1 m 2 ruang lemari cabinet untuk koleksi berupa kepingan per 400 keping. 3) Jalur Sirkulasi di Dalam Ruang Pamer Jalur sirkulasi di dalam ruang pamer terutama harus mendukung penyampaian informasi, membantu pengunjung memahami dan berapresiasi terhadap esensi pameran. Penentuan jalur sirkulasi nantinya akan bergantung pada runutan cerita yang ingin disampaikan dalam pameran dan pencapaian yang ingin disampaikan ntuk dirasakan pengunjung. Berikut beberapa contoh jalur sirkulasi yang digunakan untuk membantu pembentukan sequence dan alur informasi yang ingin disampaikan : 67

Gbr.30, 31 Sumber : Standar peletakan koleksi : Data Arsitek 4) Tata Cara Pemajangan atau Perletakan Koleksi Benda koleksi untuk studi diletakkan dengan kantong-kantongnya dan disimpan di dalam lemari (dilengkapi laci-laci) berukuran dalam 0,8 meter dan tinggi 1,6 meter. Koleksi tekstil seperti tapestri, selimut, dan karpet dapat dipajang dengan digantung. Koleksi tekstil yang berukuran lebih besar seperti batik kemungkinan tidak akan cukup kuat untuk dipajang dengan digantung. Karenanya, batik dapat dipajangkan pada alas pajang kayu berbentuk persegi panjang (strainer), kemudian dijahit dengan tekanan dan posisi jahitan tertentu. Bingkai pajang tersebut dapat ditambah dengan lapisan pendukung solid dibelakang tekstil yang telah disematkan pada alas pajang. Alas pajang dapat pula didukung dengan bingkai dan pelapis kaca. Untuk koleksi tekstil yang berukuran kecil, dan diinginkan disimpan dengan disematkan dan dibingkai digunakan matboard karena dapat menyerap air yang muncul dari kelembaban udara dengan mudah. Koleksi perlu disimpan dalam pelapis kaca apabila lokasi penyimpanan akan terkena cahaya alami, debu, dan asap. Jenis kaca yang disarankan adalah Plexiglass dengan standar ukuran 4 x 8 kaki (sekitar 1,2 x 2,4 m). Apabila aspek 3 dimensi dari tekstil sangat penting, maka disarankan untuk memajang tekstil dengan digantung. 68

IV. 2 Analisis Tapak IV.2.1 Analisis Kondisi Tapak Tapak terletak di Jalan Jakarta, kelurahan Kebon Waru, kecamatan Batu Nunggal, wilayah Karees, Bandung. Tapak merupakan lahan kosong dengan batas-batas fisik sebagai berikut : batas utara : permukiman penduduk batas selatan : Jalan Jakarta batas barat : Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Tekstil, Balai Besar Tekstil, dan Balai Besar Keramik (kawasan Departemen Perindustrian RI) batas timur : Jalan Jatinegara dan permukiman penduduk Beberapa gambaran mengenai kondisi tapak dapat dilihat dalam gambar - gambar berikut : Gbr 32-45 : gambaran kondisi sekitar lahan Sumber : dokumentasi pribadi (2007) 68

Sehubungan dengan batas-batas fisik dan kondisi di sekitar lahan tersebut, keterkaitan lahan dengan lingkungan dan konteks di sekitarnya dapat dilihat pada pemintakatan kawasan kasus dan sekitarnya sebagai berikut : Gbr 46 : pemintakatan kawasan untuk melihat konteks di sekitar lahan 69

Berdasarkan pemintakatan kawasan tersebut dapat diilhat bahwa lahan terletak di antara berbagai macam konteks. Fungsi museum sebagai ruang publik mengharuskan setiap elemen masyarakat merasa terundang, nyaman untuk datang dan mengalami kegiatan di dalamnya. Karenanya, lahan yang terletak di antara berbagai konteks tersebut berpotensi menjadi titik pertemuan dan komunikasi dari berbagai konteks tersebut. Potensi ini kemudian menjadi masalah utama perancangan kasus ini, yaitu bagaimana museum ini dapat berbaur dengan lingkungannya sekaligus membaurkan antar-konteks di sekitarnya. IV.2.2 Analisis Zona dalam Tapak Sehubungan dengan keberagaman konteks di sekitar lahan, dan fungsi museum sebagai ruang publik, dibutuhkan zona yang dapat menampung kegiatan yang bersifat netral, yaitu kegiatan yang dibutuhkan dan mungkin dilakukan oleh siapapun dari semua konteks di sekitar lahan. Secara umum seluruh area lahan dengan ketinggian yang sama dengan fungsi-fungsi yang sama di sekitar lahan (ketinggian 0.00) berpotensi menjadi zona yang menampung kegiatan tersebut. Gbr 47 : skema potongan tapak memperlhatkan potensi pemintakatan vertikal Dari kondisi ruang terbuka dan pencapaian dari konteks-konteks di sekitar lahan didapatkan zona yang menjadi titik pertemuan berbagai konteks tadi sebagai zona yang berpotensi untuk menampung kegiatankegiatan netral tersebut. Zona tersebut merupakan zona tempat berkumpulnya sebagian besar akses yang mencapai lahan atau merupakan titik penetrasi yang berpotensi menghaluskan perpindahan atau pergantian konteks dari berbagai fungsi di sekitar lahan menuju 70

fungsi museum. Berikut gambar yang menunjukkan potensi zona secara tersebut : Gbr 48 : potensi pemintakatan lahan berdasarkan ruang terbuka dan sirkulasi dalam figure ground IV.4.3 Analisis Pencapaian Sebagai fasilitas publik museum biasanya mengakomodasi pencapaian dari pusat kegiatan kota. Dalam kasus ini, lahan diapit oleh Jalan Ahmad Yani yang merupakan jalan arteri sekunder dengan arus lalulintas dari pusat kota, dan Jalan Jakarta yang merupakan jalan kolektor primer dengan arus lalulintas berlawanan arah dengan arus 71

lalulintas Jalan Ahmad Yani. Arus lalulintas Jalan Ahmad Yani merupakan arus searah dengan debit kendaraan yang cukup tinggi. Sedangkan arus utama lalulintas Jalan Jakarta merupakan arus searah namun memiliki jalur khusus angkutan kota (angkot) yang berlawanan arah dengan arus utamanya dengan debit kendaraan yang cukup tinggi pula. Melihat pada kondisi lahan berdasarkan figure ground dan potensi fungsi museum sebagai ruang publik, disimpulkan pula bahwa pada kawasan ini berpotensi untuk membuat jalan tembus dari Jalan Ahmad Yani ke Jalan Jakarta. Berdasarkan hirarki jalan, arah datang arus lalulintasnya, dan kemudahan pencapaian ke dalam kawasan dilihat dari arus lalulintasnya, Jalan Ahmad Yani memiliki potensi yang lebih besar sebagai pencapaian utama ke kawasan museum. Berikut gambar yang memperlihatkan analisis tersebut : Gambar 49 : aksesibilitas 72