BAB IV KONSEP DASAR AGAMA EMILE DURKHEIM

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V ANALISIS. Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan. beragama tidak dapat dilepaskan dari bendanya.

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS

Ota Rabu Malam. Musik Ritual. Disusun oleh Hanefi

FUNGSI SOSIOLOGIS AGAMA (STUDI PROFAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM)

Pendekatan Antropologi dalam Studi Agama

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA

AGAMA: FENOMENA UNIVERSAL

SAKRAL [SACRED] DAN PROFAN [STUDI PEMIKIRAN EMILE DURKHEIM TENTANG SOSIOLOGI AGAMA] 1. Oleh : Hujair Sanaky

BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut.

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

BAB I AGAMA DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM

BAB IV SAKRAL DAN PROFAN DALAM PEMAHAMAN MASYARAKAT NUFIT HAROA (TUUN EN FIT) TENTANG TABOB

MANUSIA DAN AGAMA KOMPETENSI DASAR

Ahli Sejarah menjelaskan agama dalam hubungan kejadian-kejadian yang dihasilkan kepercayaan dari dulu sampai sekarang.

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Seperti yang telah dipaparkan dalam Bab I, maka dalam Bab IV ini akan dipaparkan

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat).

BAB V KESIMPULAN. Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini

BAB II LANDASAN TEORI. dalam berbagai lukisan-lukisan, seperti tempat siri (oko mama) dan tempat kapur (tiba). 1

2. Fungsi tari. a. Fungsi tari primitif

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian Uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH

Oleh: Moch. Masykur Fuadz A. NIM:

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

BAB II PANDANGAN TENTANG YANG SKARAL DAN YANG PROFAN

BAB IV ANALISA DATA. dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP dan LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB I PENDAHULUAN. berproses. Kepercayaan itu bisa berupa pandangan-pandangan atau

SOSIOLOGI AGAMA INTERELASI AGAMA DENGAN BUDAYA. Disusun oleh : Arif Setiawan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Permasalahan. I.1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu

B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

MAKNA PERAYAAN LIMBE DALAM MASYARAKAT DENGKA DULU DAN SEKARANG

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

SAKRALITAS ALAM PERSPEKTIF MIRCEA ELIADE DAN RELEVANSINYA BAGI UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP SKRIPSI OLEH FRANSISKUS MAXIMILIANUS TAE

Modul 3 OBYEK DAN METODE PENELITIAN PSIKOLOGI AGAMA

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

Modul 7 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA USIA DEWASA

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB I PENDAHULUAN. Do Tenu Hatu. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Nes Do Male atau

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

RELIGI. Oleh : Firdaus

BAB II KERANGKA TEORI. dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN PROFAN. A. Analisis Tentang Esmaket Pada Masyarakat Desa Mepa

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB IV ANALISA. sinodal) dan siding majelis jemaat (lingkup jemaat). 2. Hubungan yang dinamis antara majelis sinode dan majelis jemaat.

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya. Tidak hanya menyebarkan di daerah-daerah yang menjadi

DEFINISI, OBJEK DAN KELAHIRAN SOSIOLOGI. Pertemuan 2

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat.kepercayaan ini menimbulkan perilaku tertentu seperti berdo a,

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT

BAB II KAJIAN TEORI. Kebudayaan berasal dari kata sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak

KEBUDAYAAN DAN AGAMA Clifford Gerrtz

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. yang diturunkan oleh Tuhan dengan terdapat suatu keistimewaan yang. memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.

TEORI DAN METODOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masyarakat Karo memiliki berbagai upacara, tradisi, maupun beragam

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN I OLEH: AJAT SUDRAJAT

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Paham Dosa Kekristenan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu olahraga. Dapat dibuktikan jika kita membaca komik dan juga

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan, atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian-keahlian atau

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN X (SEPULUH) SOSIOLOGI SOSIOLOGI: ILMU MASYARAKAT

BAB IV MEMAHAMI EKSISTENSI GEREJA SETAN. mengambil dari teori Ernest Troeltsch mengatakan:

Saifullah, S. Ag., M. Ag NIP

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

Diterjemahkan oleh K.J. Veeger, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm Zainal, Abidin, Filsafat Manusia, (Jakarta: Rosda Karya, 2003), hlm.

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL-EMILE DURKHEIM. objek penelitian.sebagai alat, teori tersebut dipilih yang paling memadai, paling

BAB I PENDAHULUAN UKDW

Bab I PENDAHULUAN. dihuni oleh roh-roh leluhur dan terdapat benda-benda peninggalan dari leluhur, serta nilai-nilai

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989: 33).

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA

BAB IV CAWAN DAN SLOKI DALAM PERJAMUAN KUDUS. istilah orang Jawa wong jowo iku nggoning semu artinya orang Jawa itu peka

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS. yang berlangsung secara turun-temurun yang diwarisi oleh pelaku dari leluhur

Alat Musik Dalam Adat dan Gereja. (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T E S I S

BAB I PENDAHULUAN. kenal dengan istilah agama primitif, agama asli, agama sederhana. 1 Agama suku adalah

Transkripsi:

BAB IV KONSEP DASAR AGAMA EMILE DURKHEIM A. Agama dalam Pendekatan Sosiologi Agama merupakan hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Secara garis besar studi agama dalam kajian antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoretis : intellectualist, strukturalist, fungsionalis dan symbolist. 1 Kerangka intelektualist mencoba melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangannya ( religious development) dalam suatu masyarakat. Misalnya E.B. Tylor yang berupaya mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural, yang menunjukkan generalisasi realitas agama dari animisme hingga agama monoteisme. Selain itu, menurut Mircea Eliade bahwa agama menunjukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan animisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Pendapat ini berbeda dengan hipotesis Max Muller yang berpandangan bahwa agama bermula dari monoteisme kemudian berkembang menjadi agamaagama yang banyak. 1 Jamhari Ma ruf, Kajian Islam di Asia Tenggara, dikutip dari http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp, diakses pada 14 Januari 2017 di 3:19 AM 70

71 Ketiga teori lainnya (strukturalisme, fungsionalisme dan simbolisme) sesungguhnya lahir dari pemikiran Emile Durkheim. Buku The Elementary Forms of Religious Life yang ia tulis telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Selain itu Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan social. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah struktur dari ikatan social yang dikuatkan dengan consensus moral. Pandangan ini menginspirasi para antropolog untuk menggunakan pendekatan structural dalam memahami agama dan masyarakat. Salah satunya adalah Levi Strauss, salah seorang murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, terutama untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Menurutnya agama, baik dalam bentuk mitos atau magis, adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dan masyarakat. Jadi, pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi Strauss baik secara hubungan sosial juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial. Sementara pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat, mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan ekuilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain. Hal ini telah mendorong para antropolog melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang. Oleh karena itu, psikologi agama berfungsi sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat sementara fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar

72 dari perkembangan teori fungsionalisme. Bronislaw K. Malinowski, sebagai tokoh fungsionalisme dalam antropologi, mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense rasionalitas dan penggunaan teknologi. 2 Teori simbolisme juga mengambil akar pemikiran dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori ini. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktivitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Agama juga membutuhkan dialog dalam pendekatan sosiologi, karena tidak semua pemeluk agama tertentu menolerir agama lain selain yang dipeluknya. Hubungan antar umat beragama dalam era baru ditandai oleh apa yang disebut dialog. Dialog berarti percakapan tentang hal-hal yang esensial dan eksistensial. Membangun dialog antar agama menjadi usaha bersama para teolog, para pemimpin agama, maupun siapa saja yang merasa penting melakukan dialog antar agama bagi kehidupan bersama. Dialog bukan hanya untuk meningkatkan rasa toleransi, melainkan juga pengalaman transformatif bagi pihak-pihak yang terlibat. Tujuan dialog 2 Nasrullah Nazsir, Teori-Teori Sosiologi (Bandung: Widya Padjadjaran, 2008), 38.

73 bukan hanya terbatas pada kehadiran individu, tetapi ikut secara aktif menghidupkan dan mengembangkannya. 3 Dialog yang terjadi antar agama menjadi hal penting dalam hubungan dan kerja sama antar agama. Dialog bisa dilakukan dalam berbagai bentuk dengan berbagai sikap. Dikenal empat macam dialog yaitu dialog hidup, dialog aksi, dialog teologis dan dialog pengalaman keagamaan. Melalui dialog hidup, individu dapat membuka hidup terhadap kegembiraan, kesusahan, keprihatinan dan kegelisahan hidup sesame. Dialog aksi, individu dapat bekerja sama mengatasi pembatasanpembatasan yang menghalangi untuk hidup secara bebas dan manusiawi. Dalam dialog teologis, lapisan elit dari suatu agama membicarakan warisan-warisan keagamaan dengan nilainya agar dapat memahami dan menghargai. Dalam dialog pengalaman keagamaan memberi kesempatan pada para partisipan untuk membagikan pengalaman-pengalaman keagamaan yang berakar pada tradisi-tradisi agama masing-masing. Dialog yang spontan berkembang didalam praktek kehidupan sehari-hari melalui lingkungan keluarga, maupun lingkungan sekitar. Dimana orang-orang dari berbagai kepercayaan dan ideology bersama menjalani kehidupan sehari-hari sehingga dialog dapat dihubungkan dengan kehidupan dan menjadi gaya hidup dalam pergaulan. 4 3 Elga Joan Sarapung, Pengantar : Menegaskan tentang Pluralisme Agama, dalam Herry Mety & Khairul Anwar (editor) Prospek Pruralisme Agama di Indonesia (Yogyakarta : Interfidei, 2009), 24. 4 Th Sumartana, Pengantar Menuju Dialog Antar Iman, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 16-17.

74 Dialog tidak hanya meningkatkan rasa toleransi tetapi juga pengalaman transformatif dari pihak-pihak yang terlibat. Karena itu, penting menuntut sikap terbuka satu agama dengan agama yang lain. Dialog sebagai fungsi kritis beragama bukan sebagai wahana untuk menentukan agama mana yang paling benar. Jika kata agama dipahami secara konkret dan bukan secara metafis, maka dialog antar agama berarti dialog antar umat beragama. Dalam dialog, dapat dijadikan cerminan antar pihak-pihak yang terlibat sebagai cara untuk membuka diri untuk komunitas lain. Proses tersebut sebagai respon yang baik untuk memahami tradisi komunitas lain dalam berdialog. 5 Hal ini berarti manusia mendapat tempat yang sentral dalam dialog. Dan sebaiknya manusia tidak dipahami secara metafisis, tetapi sebagai manusia yang konkret. Manusia konkret menunjuk orang-orang yang beriman dalam agama, budaya tertentu. Dalam konkret inilah dialog mendapat tempat sebagai fungsi kritis. B. Agama : Sakral dan Profan Konsep Durkheim tentang agama, juga tidak terlepas dari argumentasinya tentang agama sebagai bagian dari fakta social. Artinya, Durkheim mempunyai pandangan bahwa fakta social jauh lebih fundamental dibandingkan dengan fakta individu. Pemikiran-pemikiran Durkheim dalam bidang agama banyak dimuat dan dipublikasikan terutama dalam buku The Elementary Forms of Religious Life 5 Leonard Swidler, Death or Dialogue? :From The Age of Monologue to The Age of Dialogue (London : SCM Press, 1990), 62-63.

75 (dipublikasikan pada tahun 1912). Buku ini merupakan karya fenomenal yang memuat inti teori-teori pemikiran Durkheim tentang agama. 6 Durkheim mengemukakan beberapa pertanyaan klasik tentang keyakinan dan pemeluk agama: Apakah sebenarnya agama itu? Kenapa agama begitu penting dalam kehidupan manusia? Bagaimana pengaruh agama dalam kehidupan individu dan social? Untuk mengeksplorasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, Durkheim memilih agama paling primitif dan paling sederhana sebagai subjek penelitiannya. Sejak awal Durkheim telah mengklaim bahwa masyarakat primitif sebenarnya tidak pernah berfikir tentang dua dunia yang berbeda, yaitu natural dan supranatural sebagaimana yang dipikirkan oleh masyarakat beragama yang memiliki kebuadayaan lebih maju (masyarakat modern) dari mereka. Sebab menurut Durkheim pada kenyataannya masyarakat modern masih dipengaruhi oleh asumsi-asumsi sains, sedangkan masyarakat primitif tidak dipengaruhi oleh asumsi-asumsi sains. 7 Menurut Durkheim, kata primitif mengandung pengertian bahwa system agama tersebut terdapat dalam organisasi masyarakat-masyarakat yang paling sederhana, serta sistem agama yang lebih tua darinya. Durkheim, mengatakan agama primitif tampak lebih dapat membantu dalam menjelaskan hakikat religius manusia, dibandingkan dengan bentuk 6 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, New York: Pree Press, 1995. terj. Inyak Ridhwan Muzir, Sejarah Agama, (Yogyakarta : Ircisod Press, 2003,), 27. 7 Satrio Wahono, Berperang Demi Tuhan : Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi (Mizan & Serambi Ilmu Semesta, Bandung, 2000), 123

76 agama lain yang dating setelahnya, sebab agama primitive mampu memperlihatkan aspek kemanusiaan yang paling fundamental dan permanen. Selain itu Durkheim menegaskan bahwa agama-agama primitif memenuhi kebutuhan yang sama, memainkan peranan yang sama dan bertolak dari sebab yang sama dengan agama-agama lainnya dan agama primitif mampu menjelaskan hakikat kehidupan religius dengan baik. Durkheim mendefinisikan agama dari sudut pandang yang sakral (sacred). Ini berarti agama adalah kesatuan system keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja, dimana semua orang tunduk kepadanya atau sebagai tempat masyarakat memberikan kesetiaannya. Dari definisi Durkheim ini, terlihat yang menjadi kata kunci adalah komunitas dan gereja. Pengamatan selanjutnya, Durkheim menemukan karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-elemen supranatural melainkan terletak pada konsep tentang yang sakral (sacred), dimana keduanya yaitu supranatural dan sacral, memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut Durkheim, seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana maupun yang kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan antara yang sakral dan yang profan, yang selama ini dikenal dengan natural dan supranatural. Durkheim menambahkan bahwa hal-hal yang bersifat

77 sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut tidak tersentuh dan selalu dihormati. Hal-hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja. Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral, karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Maka, Durkheim mengatakan bahwa dikotomi tentang yang sakral dan yang profan hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep pembagian moral, bahwa yang sakral sebagai kebaikan dan yang profane sebagai keburukan. Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam yang sakral ataupun yang profan. Hanya saja yang sakral tidak dapat berubah menjadi profan dan begitu pula sebaliknya yang profan tidak dapat menjadi yang sakral. Dari definisi ini, konsentrasi utama agama terletak pada hal yang sakral. Durkheim menjelaskan kata komunitas dan gereja, mempunyai arti yang signifikan. Menurutnya fungsi social dan komunal agama merupakan inti dalam pemikiran dan teori agama sendiri. Agama pada dasarnya merupakan sesuatu yang kolektif, bahkan Durkheim membedakan agama dari magis dengan menyatakan, magis merupakan upaya individual, sedangkan agama tidak dapat dipisahkan dari ide komunitas peribadatan atau moral. Magis dan agama dapat saja hidup

78 berdampingan, sebab yang pertama berusaha dengan hal-hal yang bersifat personal, sedangkan yang kedua menyangkuat dengan hal-hal yang bersifat social. Maka, menurutnya seseorang yang berkemampuan magis dapat saja memiliki beberapa klien, tetapi tidak akan pernah memiliki jama ah dan mungkin tidak pernah ada yang dinamakan gereja magis. Dalam mendefinisikan agama, Durkheim mengkritik beberapa teori agama yang tersohor, seperti teori animism yang dikemukakan E.B. Tylor dan teori naturisme yang dikemukakan oleh Max Muller yang berpendapat bahwa masyarakat menjadi yakin akan dewa-dewi, karena mereka mencoba menjelaskan beberapa fenomena alam yang dahsyat, seperti matahari, langit dan badai. Tylor menyatakan, ide kepercayaan dan berawal dari ide-ide tentang roh. Durkheim, melihat pada prinsipnya teoriteori tersebut sama, karena berusaha menderivasikan ide tentang yang sacral dari sensasi yang muncul dari fenomena natural, baik fenomena fisik maupun biologis. Bagi kelompok animis, asal-usul agama diderivasikan dari pengalaman mimpi. Sedangkan kelompok naturis, menganggap asal-usul agama diderivasikan dari fenomena kosmis. Durkheim, mengkritik empirisme yang demikian, baginya teori agama seperti ini tampak benar-benar merupakan ciptaan yang didasarkan dari ketiadaan dan memberikan status ilusif kepada gagasan keagamaan. Maka Durkheim, merumuskan apa yang sebenarnya dari inti empiris agama, yakni bukan peribadatan nenek moyang dan bukan pula pendewaan fenomena natural yang memainkan peranan penting dalam

79 system keagamaan dalam budaya kesukuan. Durkheim mengatakan penyembahan terhadap orang yang telah mati merupakan bentuk penyembahan yang hanya berkembang dalam masyarakat Cina, Mesir, Yunani serta kota-kota latin. Pendewaan terhadap alam dalam budaya preliterate atau masyarakat sebelum memiliki budaya baca-tulis, tidak difokuskan pada kekuatan kosmis, tetapi kepada tumbuhan dan binatang sederhana, seperti kelinci atau kanguru. 8 Dengan pandangan ini, akhirnya Durkheim menegaskan bahwa di luar animism dan naturisme ada pemujaan yang lebih primitive dan fundamental yang merupakan asal dari animism dan naturisme tersebut atau menurutnya keduanya adalah sebagian aspek darinya, yaitu totemisme. C. Agama : Totemisme Teori-teori yang dikemukakan Durkheim tentang agama dilandaskan pada hasil penelitian antropologi terhadap kehidupan masyarakat primitif Aborigin di benua Australia. Durkheim tertarik untuk melakukan penelitian terhadap system religius penduduk asli Australia, karena Durkheim merasa bahwa apa yang telah dihasilkan para peneliti terdahulu belum mampu memunculkan apa sebenarnya yang paling penting dari masyarakat Aborigin tersebut. anggapan Durkheim bahwa tidak satupun dari mereka yang berhasil mengungkapkan apa sebenarnya makna totenisme bagi masyarakat suku tersebut. menurutnya, peneliti 8 Brian Morris, Antropologi Agama : Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, (Yogyakarta : AK. Group, 2003), 140-141.

80 terdahulu hanya dapat menggambarkan masyarakat tribal terbagi dalam beberapa klan, di mana setiap klan memiliki binatang dan tumbuhan serta benda lain sebagai totem masing-masing. Setiap totem, entah berupa kijang, kangguru ataupun pohon the, dianggap sakral oleh suku yang memilikinya. Durkheim mengatakan bahwa mereka belum berhasil mengetahui hal yang lebih penting lagi, yakni kenapa totem-totem itu dapat menggambarkan konsep yang sacral dan yang profane dalam masyarakat. Durkheim mengamati bahwa dalam masyarakat primitif, setiap binatang yang bukan totem boleh diburu dan dimakan karena binatang tersebut termasuk yang profan. Sebaliknya, binatang yang dijadikan sebagai totem adalah bagian sacral bagi seluruh anggota klan dan tentu saja terlarang bagi seluruh anggota klan untuk membunuh dan memakannya, kecuali untuk dijadikan sebagai korban atau sebagai sesajian dalam upacara-upacara keagamaan. Durkheim berhasil menemukan lambing atau symbol-simbol binatang totem tersebut sangat berarti bagi klan yang memujanya, karena binatang tersebut bukan hanya dianggap sebagai bagian dari yang sacral, akan tetapi juga merupakan perwujudan dan contoh yang sempurna dari yang sacral. Sikap tersebut dapat dilihat ketika klan tersebut mengadakan upacara-upacara keagamaan yang selalu menggunakan symbol-simbol dari totem mereka, terbuat dari ukiran kayu atau batu dan diletakkan di tengah-tengah mereka dalam upacara tersebut. Bagi klan, totem tersebut adalah hal yang paling sacral

81 dan dapat mengkomunikasikan kesakralannya itu kepada makhluk yang ada di sekelilingnya. Durkheim menyimpulkan kepercayaan terhadap totemisme adalah hal yang paling penting dalam masyarakat yang sangat sederhana ini, karena seluruh aspek kehidupan mereka yang lain pun sangat dipengaruhi totem-totem ini. 9 Durkheim menyatakan bila diamati sepintas lalu, totenisme ini tidak lebih dari bentuk keyakinan agama atau sekedar tipe lain dari agama yang selama ini diketahui sebagai bentuk pemujaan terhadap binatang atau tumbuhan tertentu. Tetapi jika dicermati secara teliti, maka yang akan muncul adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Artinya, para penganut kepercayaan totem tersebut sebenarnya tidaklah sedang memuja seekor binatang ataupun tumbuhan yang ukirannya ada di tengah-tengah mereka, akan tetapi mereka memuja suatu kekuatan yang anonim dan impersonal yang dapat ditemukan dalam binatang-binatang tersebut, namun tidak dapat disamakan dengannya binatang tersebut. tidak seorang pun dapat memiliki dan menguasainya, namun semua orang harus berpartisipasi dalam menyembahnya. Menurut Durkheim, dalam kepercayaan totem ini juga terdapat Tuhan yang mereka sembah, namun Tuhan itu berbentuk impersonal artinya Tuhan yang tanpa nama atau sejarah, imanen ke dalam dunia dan mengejawantah ke berbagai benda yang ada di alam ini. 10 Pandangan ini, kemudian dapat diketahui mengapa 9 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 102. 10 Emile Durkheim, The Elementary Forms..., 191.

82 Durkheim menyalahkan pada peneliti-peneliti terdahulu, yang mengartikan agama sebagai kepercayaan terhadap kekuatan supranatural. Durkheim menjelaskan bahwa Tuhan yang diyakini masyarakat yakni prinsip totem bisa jadi merupakan sesuatu yang lain dari klan itu sendiri, yang dipersonifikasikan dan dipresentasikan secara imajinatif menjadi binatang atau tumbuhan yang terlihat yang dijadikan totem. 11 Dari pandangan ini, totem adalah symbol klan dan Tuhan sekaligus, karena klan dan Tuhan pada dasarnya sama. Oleh karena itu, penyembahan terhadap Tuhan atau dewa-dewa sebenarnya adalah bagaimana masyarakat primitive mengekspresikan dan memperkuat kepercayaan mereka kepada klan. Maka ketika mereka melakukan ritual-ritual keagamaan selalu bersifat komunal, anggota masyarakat Aborigin akan menganggap samasama memuja Tuhan baik yang berupa binatang ataupun tumbuhan yang terdapat di luar alam nyata ini yang akan memberi kemakmuran kepada mereka. Durkheim menyatakan sebuah masyarakat pasti membutuhkan komitmen individu yang terdapat di dalam dan melalui kesadaran. Menurutnya prinsip-prinsip totem selalu menyusup dan mengatur dan memiliki kekuasaan dalam kesadaran diri individu. Masyarakat harus menghormatinya dan merasa punya tanggung jawab moral untuk melaksanakan upacara-upacara penyembahan. Maka dengan melakukan ritual-ritual keagamaan yang selalu bersifat komunal, masyarakat semakin 11 Ibid,. 208

83 merasa mempunyai ikatan satu sama lain dan memiliki kesetiaan serta loyalitas tinggi. Akhirnya, Durkheim beralih dari pemaparan kepercayaan agama masyarakat Australia, kepada proses penyelenggaraan ritual-ritual agama tersebut. Di sini yang perlu selalu diingat adalah pengamatan Durkheim yang paling awal, yakni bahwa persamaan-persamaan keagamaan pertama kali muncul bukan dari momen-momen pribadi, akan tetapi dari upcaraupacara klan yang bersifat komunal. Konsekuensinya, asumsi semacam ini membawa pada kesimpulan bahwa keyakinan yang ditemukan dalam totenisme itu bukanlah hal yang penting, tetapi ritual-ritual keagamaanlah yang jauh lebih penting. Ritual dalam totenisme diwujudkan melalui pemujaan, di mana pemujaan terbagi menjadi dua bentuk yakni negatif dan positif. Di samping itu, juga terdapat bentuk ketiga yang disebut dengan piacular yang berarti penebusan dosa atau kesalahan. Posisi bentuk ketiga berada di wilayah bentuk pemujaan yang pertama. Dengan demikian, tugas utama ritual-ritual yang tergabung ke dalam pemujaan negative adalah menjaga yang sacral agar selalu terpisah dari yang profane. Maka, pemujaan bentuk pertama ini biasanya berisi tentang larangan-larangan atau taboo. Sedangkan pemujaan bentuk kedua merupakan ritual paling utama bagi masyarakat Australia adalah intichiuma, yakni ritual yang menggambarkan prosesi penyerahan hidup manusia kepada Tuhan, kemudian Tuhan memberikannya kembali kepada mereka.