A picture can tell a thousand words, but a few words can change it s story. Sebastyne Young Foto-foto (yang dalam bahasa Inggris justru lebih suka saya sebut picture entah kenapa) yang ada di buku ini digunakan sebagai sumber inspirasi cerita. Sebagian foto koleksi pribadi, sebagian lagi bukan. Terima kasih buat siapa pun yang unggah foto-foto itu. Enjoy the stories, and the pictures of course! A.T.
Capek? Kenapa? Kalau capek, gue yang nyetir. Nggak ingat kejadian waktu SMA? Aku mendengus. Tentu aku tidak akan pernah melupakannya. Meski sudah bertahuntahun yang lalu, aku masih mengingatnya dengan sangat jelas seakan baru terjadi kemarin.
Enam tahun yang lalu Halo, Arga, aku berkata dengan takuttakut. Aku menarik napas sejenak lalu menjelaskan situasi barusan dengan cepat. Selain karena masih agak kaget, aku juga tidak ingin mendengarnya mengomel di telepon. Lebih cepat ia datang lalu mengomeliku panjang lebar lebih baik. Aku mendengarnya berkata dengan suara yang kalem, tapi tegas. Aku tahu ia menahan marah. Mungkin aku harus siap telinga sebelum ia datang. Tidak sampai lima menit ia muncul dengan sepeda motornya. Setelah meminta maaf dan berbasa-basi sebentar dengan pemilik rumah yang untungnya sangat dikenal baik olehnya, ia membawaku pulang ke rumahnya dengan mobilku. Motornya ia titipkan ke pemilik rumah yang pagarnya kutabrak. Walaupun aku pernah berpapasan dengan si pemilik rumah ketika akan ke rumah Arga, aku tetap merasa tidak enak. Mengobrol saja belum pernah, ini malah menyapa pertama kali dengan mencium pagar rumahnya dengan bemper mobil. Sampai di rumahnya, ia masih belum berbicara apa pun. Tampangnya datar, tidak menunjukkan kekesalan, atau berusaha sekuat te-
naga menahannya. Ia hanya menyuruhku minum lalu meninggalkanku sendiri karena ia harus kembali lagi mengambil motor. Aku tahu ia bisa saja meminta anak Bude Dar mengambil motornya, tapi kurasa ia melakukan itu sengaja untuk mengulur waktu memarahiku. Beberapa menit kemudian terdengar suara motor. Aku duduk di sofa dengan tegang seperti sedang menunggu dokter yang akan memberitahu tentang penyakit berbahaya yang mungkin saja kuderita. Aku memerhatikannya masuk ke ruang keluarga, meletakkan kunci motor di cawan yang terletak di atas rak seperti biasa, lalu menuju dapur. Setelah beberapa menit yang terasa seperti beberapa jam, ia duduk di sampingku. Mana kunci mobilnya? ia mengulurkan tangan kirinya ke arahku. Aku memberikannya tanpa bertanya apa pun. Ia berkata lagi, Mulai hari ini lo nggak boleh nyetir lagi. Singkat, tegas, dan menyebalkan.
'U ntuk yang terakhir kali. Kata-kata itu terus kuulang dalam hati. Karena aku tahu, sekali bertemu dengannya, apa yang kurencanakan akan berubah. Apa yang kujadwalkan akan kurombak lagi. Apa yang ingin kukatakan akan tertelan. Begitu terus sampai hari ini. Sampai nanti, ketika aku akan bertemu dengannya. Untuk yang terakhir kali. Pukul empat sore. Waktu yang kami sepakati untuk bertemu. Aku berjanji akan menemuinya di kafe pinggir jalan yang menjadi tempat favoritku bersamanya. Dulu. Tapi kunjunganku ke kafe itu nanti akan menjadi
kunjungan yang terakhir. Sama seperti aku menemuinya untuk yang terakhir kali. Cuaca sempat mendung, tapi untungnya kembali cerah. Aku bersyukur. Karena aku tidak mau pertemuan terakhir kami diliputi mendung. Mendung bagiku berarti air mata. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 3.35. Dua puluh lima menit lagi aku akan bertemu dengannya. Haruskah aku datang lebih cepat. Ataukah aku sengaja datang telat. Aku biarkan kakiku yang menentukan. Sedari tadi aku hanya berjalan-jalan di sekitar jalan ini. Sebenarnya aku hanya berada beberapa blok dari kafe yang nanti akan aku datangi. Cukup lima menit aku bisa langsung tiba di sana. Tapi ternyata kakiku sangat berat melangkah ke blok tempat kafe itu berada. Sekarang kakiku berhenti di depan toko yang menjual barang-barang antik. Aku hanya berdiri di depan jendelanya. Kuperhatikan satusatu barang yang terpampang di etalase. Jam antik, lampu antik, bola-bola kristal yang memantulkan cahaya kuning, aksesoris seperti gelang dan bros, dan sebuah boks kecil yang tertutup.
Kotak pandora. Aku langsung memikirkan itu. Aku memiliki kotak pandora. Dan itu adalah satu-satunya barang pemberian dia. Itu hanya kotak antik biasa. Tapi karena dia melarangku membukanya hingga waktu yang dia tentukan, dia menyebutnya sebagai kotak pandora. Sebesar apa pun rasa penasaranku, aku tidak boleh membukanya sampai dia mengizinkan. Dia memberikannya kepadaku bertahun-tahun lalu, saat kami masih kecil, saat kami masih bertetangga, saat kami masih berdua, saat tidak ada siapa pun yang bisa memisahkan kami. Sampai detik ini tidak, sampai kemarin ketika dia meneleponku.