DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN NEGARA MAJU DAN BERKEMBANG DISERTASI HARYADI

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1)

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN NEGARA MAJU DAN BERKEMBANG DISERTASI HARYADI

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA WIDARTO RACHBINI

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

SILABUS. : Perdagangan Pertanian Nomor Kode/SKS : ESL 314 / 3(3-0)2

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

Keywords: WTO, international trade, GTAP model

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

INTEGRASI PASAR BERAS DAN GULA DI THAILAND, FILIPINA DAN INDONESIA DESI ARYANI

ANALISIS DAMPAK TRADE FACILITATION TERHADAP PERDAGANGAN BILATERAL INTRA-ASEAN OLEH INDAH JAYANGSARI H

Haryadi1. Abstract. Keywords: WTO, international trade, GTAP model

S U T A R T O NIM : Program Studi Teknik dan Manajemen industri

BAB I PENDAHULUAN. Liberalisasi perdagangan mulai berkembang dari pemikiran Adam Smith

DAMPAK INVESTASI SUMBERDAYA MANUSIA DAN TRANSFER PENDAPATAN TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA DISERTASI

ANALISIS KENAIKAN EKSPOR DI SEKTOR PERIKANAN TERHADAP PENDAPATAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI INDONESIA

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

ANALISIS PERSEDIAAN DAN PIUTANG USAHA DALAM MANAJEMEN MODAL KERJA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PROFITABILITAS (STUDI KASUS PT. XYZ INDONESIA) Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN ENDANG SARI SIMANULLANG

ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA. Iwan Hermawan

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA. Oleh : Venny Syahmer

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO

BAB V ALIRAN PERDAGANGAN, KONDISI TARIF DAN PERFORMA EKSPOR INDONESIA DI PASAR ASEAN PLUS THREE

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS NOTIFIKASI DAN KERANGKA MODALITAS PERJANJIAN PERTANIAN WTO

EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI

KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN MANUFAKTUR PUBLIK : MEMBANDINGKAN KINERJA RASIO KEUANGAN DENGAN ECONOMIC VALUE ADDED (EVA) Oleh : Ahmad Susanto

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK

RANCANG BANGUN SISTEM INTELIJEN BISNIS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN TEKNOLOGI INFORMASI PERBANKAN RICO RIZAL BUDIDARMO

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber :

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

PROYEKSI PENAWARAN TEBU INDONESIA TAHUN 2025 : ANALISIS RESPON PENAWARAN OLEH I MADE SANJAYA H

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA. Oleh: NUNUNG KUSNADI

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK SAWIT INTERNASIONAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA (SUATU MODEL COMPUTABLE GENERAL EQUILIBRIUM) Oleh :

BAB IV PENUTUP. IV.1 Kesimpulan

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

FORMULASI STRATEGI PEMASARAN SAYURAN ORGANIK PT. PERMATA HATI ORGANIC FARM CISARUA. Oleh: Laura Juita Pinem P

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ANALISIS KEPUASAN PELAYANAN PENDAFTARAN TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

ANALISIS KINERJA RANTAI PASOKAN DAGING AYAM SEGAR PADA RUMAH POTONG AYAM (RPA)

MODEL LOYALITAS MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAKARTA LEONNARD

STRATEGI PEMASARAN MEBEL BERSERTIFIKASI EKOLABEL PADA STRATIFIKASI KONSUMEN HIJAU DI JAKARTA RIRIN WULANDARI

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

PERANCANGAN ARSITEKTUR STRATEGIK DI PERUSAHAAN FURNITUR PANEL WOOD PT. CAHAYA SAKTI FURINTRACO, BOGOR

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A

I. PENDAHULUAN. bagaimana keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, sementara itu

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian suatu negara di berbagai belahan dunia, termasuk negara

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENINGKATAN EKSPOR CPO DAN KAKAO DI BAWAH PENGARUH LIBERALISASI PERDAGANGAN (SUATU PENDEKATAN MODEL GRAVITASI) OLEH MARIA SITORUS H

DAMPAK PENGHAPUSAN TARIF IMPOR KEDELAI DI INDONESIA

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS PENGARUH SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH TERHADAP KINERJA EKONOMI PENGUSAHA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN KONAWE SELATAN

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H

PENERAPAN ANALISIS COST-VOLUME-PROFIT (CVP) DENGAN PENDEKATAN ACTIVITY-BASED COSTING (ABC) SEBAGAI PERENCANAAN LABA PADA PAPYRUS TROPICAL HOTEL

BAB V PENUTUP. pertanian selain dua kubu besar (Amerika Serikat dan Uni Eropa). Cairns Group

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

RINGKASAN DWITA MEGA SARI. Analisis Daya Saing dan Strategi Ekspor Kelapa Sawit (CPO) Indonesia di Pasar Internasional (dibimbing oleh HENNY REINHARDT

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR MEBEL DAN KERAJINAN ROTAN INDONESIA KE JEPANG OLEH IKA VIRNARISTANTI H

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

Transkripsi:

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN NEGARA MAJU DAN BERKEMBANG DISERTASI HARYADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenarbenarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN NEGARA MAJU DAN BERKEMBANG merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar dalam program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, November 2008 HARYADI NRP. A 161040031

ABSTRACT HARYADI. The Impact of Agricultural Trade Liberalization on Developed and Developing Countries Economy (RINA OKTAVIANI as Chairman, MANGARA TAMBUNAN and NOER AZAM ACHSANI as Members of the Advisory Committee) The process of economic liberalization that create a free trade area in the world is becoming to be reality after three pillars of agricultural negotiation involved domestic supports, export subsidies, and market access has been agreed to be eliminated by 2013. Nevertheless, this liberalization policy is believed to be able to create some opportunities and challenges. This policy is expected to change the trade map of all commodities in the world either manufacture or agricultural products. Indonesia is one country that will be expected to be infected by this policy, because agriculture sector is still becoming one of the key sector in Indonesian economy. This research intends: (1) to map the international trade flow specialy in the agricultral sector, (2) to analyze the impact of trade protection elimination, and (3) to explore the impact of tariffs on special product prevailed by Indonesia. The GTAP model was used as the main tool of analysis. The results of the research show that: (1) international trade flow is still dominated by developed countries, so that the opinion of scholars stating that the developed countries export manufacture and developing countries export agricultural products can not be proved, (2) the elimination of trade protection in one side result in an increase in welfare and household income, but in the same time it also results an increase in trade competition, decrease in most of the output experiencing support elimination, sharply decrease in export for countries that previously prevailed export subsidies, and increase in import of most countries that prevailed import tariffs, and (3) the simulation of special tariff prevailed by Indonesia on a certain products fails to improve the GDP, household income, and welfare. Nevertheless, this policy succeeds in reducing import, increasing domestic production, and increasing demand for labors. The developing countries should improve their competitive advantage and should force the developed countries to quicken the elimination process of trade protection, so the world trade can be implemented fairly. For Indonesia, prevailing of special product is still possible to be implemented because it can reduce import, increase domestic production, increase demand for labor. Finance Ministrial Regulation No 590 2004 need to be revised because this policy do not success in improve Indonesian trade performance. Nevertheless, the effort to minimizing the negative impact should be implemented simultaneously. This policy can be implemented through forcing the competitive advantage of all products so the product is no longer depending on government protection. Keywords: World Trade Organization, International Trade, General Trade Analysis Project

ABSTRAK HARYADI. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pertanian Terhadap Perekonomian Negara Maju dan Berkembang (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua, MANGARA TAMBUNAN and NOER AZAM ACHSANI masingmasing sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Proses libaralisasi untuk mewujudkan suatu perdagangan dunia yang bebas semakin kentara setelah pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organzation (WTO) keenam di Hong Kong. Tiga pilar negosiasi sektor pertanian yang mencakup: dukungan domestik, subsidi ekspor, dan akses pasar sudah harus dihapuskan pada 2013. Namun demikian, kebijakan liberalisasi seperti ini diyakini berpotensi untuk memunculkan peluang sekaligus tantangan bagi setiap negara anggota WTO. Salah satu yang diperkirakan akan mengalami perubahan adalah peta kekuatan perdagangan dunia, baik itu perdagangan komoditi industri maupun komoditi pertanian. Indonesia adalah salah satu negara yang akan terimbas dari dampak ini, mengingat sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor kunci dalam perekonomian Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis peta aliran perdagangan dunia khususnya pada sektor pertanian, (2) menganalisis dampak kebijakan penghapusan semua hambatan perdagangan, dan (3) mengeksplorasi dampak pemberlakuan tarif khusus oleh Indonesia. Model GTAP digunakan sebagai alat analisis utama dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) negara maju masih mendominasi perdagangan dunia baik untuk sektor industri maupun sektor pertanian sehingga pandangan yang menyatakan bahwa negara maju mengekspor produk industri dan negara berkembang mengekspor produk pertanian ternyata tidak terbukti, (2) kebijakan penghapusan hambatan perdagangan secara total akan menurunkan produksi domestik, menurunkan ekspor, serta meningkatkan impor pada negaranegara yang saat ini masih menerapkan hambatan tersebut, sedangkan negara berkembang secara umum mengalami peningkatan impor, penurunan produksi, dan kenaikan impor, dan (3) simulasi kebijakan pemberlakuan tarif khusus oleh Indonesia pada produk produk tertentu ternyata gagal dalam meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), pendapatan rumahtangga dan tingkat kesejahteraan masyarakat, namun kebijakan ini sukses dalam menurunkan impor, meningkatkan produksi domestik, serta meningkatkan permintaan tenaga kerja. Negara berkembang perlu meningkatkan daya saing serta terus mendesak negara maju agar segera menghapus semua hambatan perdagangan, sembari tetap mempertahankan perlakuan khusus bagi produkproduk tertentu sesuai dengan ketentuan WTO. Bagi Indonesia, perlakuan khusus masih memungkinkan dimaksimalkan sesuai dengan batas tertinggi yang ditetapkan WTO. Keputusan Menteri Keuangan No 590 Tahun 2004 ternyata belum memberikan dampak positif yang maksimal, oleh karena itu keputusan tersebut sudah seharusnya di revisi. Kata kunci: World Trade Organization, Perdagangan Internasional, General Trade Analysis Project

RINGKASAN Dampak liberalisasi perdagangan merupakan salah satu topik yang masih sering diperdebatkan sampai saat ini. Dua kutub yang saling berbeda pandangan memiliki argumen yang kuat mengenai dampak positif dan negatif dari liberalisasi ini. Kelompok yang proliberalisasi mengklaim bahwa liberalisasi memberikan manfaat berupa peningkatan ekspor dan kesejahteraan masyarakat, sementara kelompok yang antiliberalisasi justru menuding liberalisasi berpotensi untuk menghacurkan perekonomian suatu negara. Terlepas dari perdebatan tersebut, liberalisasi berpotensi untuk menciptakan peluang sekaligus tantangan bagi setiap negara. Liberalisasi diperkirakan juga akan merobah peta perdagangan dunia. Pertanyaan yang muncul adalah apakah semua negara di dunia siap menghadapi liberalisasi? Untuk menjawab perdebatan tersebut, diperlukan suatu penelitian yang mampu menemukan suatu jawaban tentang dampak yang ditimbulkannya. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) untuk menganalisis peta aliran perdagangan negara maju dan berkembang termasuk Indonesia, (2) menganalisis dampak dari penerapan kesepakatan WTO tentang sektor pertanian yaitu penghapusan dukungan domestik, penghapusan subsidi ekspor dan pembukaan akses pasar yang seluasluasnya melalui penghapusan tarif impor di semua negara, dan (3) mengeksplorasi dampak penerapan tarif khusus (special product) terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia Indonesia. Untuk menjawab tujuan penelitian, dalam disertasi ini digunakan model Computable General Equilibrium (CGE) multinegara dengan alat analisis utama adalah General Trade Analysis Project (GTAP). Alasan penggunaan model ini adalah: (1) karena model ini mampu melihat dampak dan keterkaitan perdagangan antar negara secara sekaligus baik secara makro maupun secara sektoral, dan (2) model ini mampu menyediakan data yang lebih lengkap mengenai transaksi perdagangan antar negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, sampai saat ini peta kekuatan ini kekuatan ekonomi dunia termasuk di sektor pertanian masih dikuasai oleh negara maju yang terlihat dari: (1) dominasi Uni Eropa (sebagai suatu wilayah) dalam perdagangan sektor pertanian yang terlihat dari posisinya sebagai negara asal impor oleh hampir semua negara, (2) Amerika Serikat masih tetap menjadi pasar yang empuk bagi sebagian besar negaranegara di dunia karena sebagian besar negara di dunia hanya menjadikan Amerika sebagai tempat pelemparan hasil produksi tapi tidak untuk tempat memasok kebutuhan domestik, dan (3) negara berkembang masih memiliki ketergantungan yang relatif sangat kuat terhadap negara maju, termasuk bagi impor komoditi pertanian. Temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa pandangan yang selama ini menyatakan bahwa negara berkembang adalah pengekspor produk pertanian sementara negara maju eksportir manufaktur ternyata tidak sepenuhnya benar. Kedua, penghapusan hambatan perdagangan pertanian berdampak pada: (1) penurunan produksi, ekspor, dan impor pada sebagian besar sektorsektor yang selama ini diberikan subsidi baik berupa dukungan domestik, maupun subsidi ekspor di negara maju, (2) peningkatan impor pada negara berkembang secara umum, meski ada juga komoditi yang mengalami peningkatan meski subsidinya dihapus,

namun kebijakan ini merugikan sektor pertanian secara agregat, (3) meski terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di semua negara namun bila hambatan perdagangan dihapus total maka negara maju adalah kelompok yang paling diuntungkan, dan (4) dalam konteks Indonesia, meskipun tingkat kesejahteraannya meningkat namun peningkatannya adalah yang terkecil diantara semua negara yang ditunjukkan oleh menurunnya sebagian besar ekspor, meningkatnya impor, dan menurunnya produksi dalam negeri. Temuan ini mengindikasikan bahwa Indonesia sesungguhnya belum sanggup untuk melakukan perdagangan pada tingkat tarif nol. Sektor dan komoditi strategis masih perlu dilindungi agar bisa berkembang. Indonesia memerlukan waktu untuk meningkatkan daya saing. Ketiga, penerapan tarif SP berhasil meciptakan dampak positif bagi perekonomian Indonesia yang ditunjukkan oleh (1) meningkatnya produksi dalam negeri, (2) menurunnya impor, dan (3) meningkatkan ekspor. Meski dampak terhadap kesejahteraan masyarakat menunjukkan penurunan, namun PDB riil dan ekonomi sektoral menunjukkan perbaikan. Hasil ini sampai pada kesimpulan bahwa untuk saat ini Indonesia masih perlu menerapkan tarif khusus sesuai dengan ambang batas yang disetujui oleh WTO. Sebagai bagian dari dunia global, Indonesia tidak mungkin menghindari liberalisasi perdagangan. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh suatu negara adalah memperkuat daya saing komoditi dari negara masingmasing. Indonesia masih punya waktu 5 tahun untuk membenahi daya saing sektor pertaniannya sebelum penerapan kesepakatan WTO dilaksanakan pada tahun 2013. Semakin kuat daya saing semakin mampu suatu negara untuk menghadapi tantangan liberalisasi perdagangan tersebut. Peningkatan daya saing akan menyebabkan peta perdagangan dunia tidak lagi dikuasai oleh negaranegara maju, apalagi dukungan domestik dan subsidi ekspor yang diberikan oleh negaranegara maju dihapuskan sama sekali. Dalam konteks Indonesia, diperlukan upaya dan terobosan dengan cara memprioritaskan pengembangan produksi komoditikomoditi unggulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa komoditi Indonesia memiliki keunggulan bersaing dibanding komoditi dari negara lain, antara lain adalah minyak nabati yang di dalam sektor tersebut juga termasuk minyak sawit. Komoditi lain yang juga mengalami peningkatan output adalah kedele, gandum dan ternak. Dengan lahan yang luas amat memungkinkan untuk mengembangkan komoditi ini. Namun demikian, diperlukan pula sumberdaya manusia yang handal baik dilevel petani maupun di level pengambil kebijakan sehingga program tersebut bisa berhasil dengan baik. Disamping itu, Indonesia juga harus melakukan revisi ulang tentang penetapan tarif khusus. WTO sesungguhnya telah memberikan ambang batas tertinggi bagi penetapan tarif untuk produk tertentu, namun tidak satupun komoditi tersebut yang dikenakan tarif sampai pada ambang batas tertinggi sesuai dengan yang diperkenankan oleh WTO. Oleh karena itu Keputusan Menteri Keuangan No 590 Tahun 2004 sudah seharusnya direvisi.

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undangundang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengambilan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmuah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN NEGARA MAJU DAN BERKEMBANG HARYADI DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul Disertasi : DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN NEGARA MAJU DAN BERKEMBANG N a m a : HARYADI NRP. : A161040031 Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. Ketua Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S. Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal ujian : 9 September 2008 Tanggal Lulus :

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Sc. (Staff Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB) Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. (Direktur Program Manajemen Bisnis IPB) 2. Dr. Julius, M.A. (Bappenas)

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sungai Tutung, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, pada tanggal 01 April 1965. Penulis adalah anak pertama dari 5 bersaudara Keluarga dari Bapak Muhammad Kamal (Alm) dan Ibu Suariah (Almh). Ketika penulis berumur 7 tahun, Ibunda yang melahirkan penulis meninggal dunia, dan sejak itu penulis dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh Ibunda Riwasna. Kasih sayang beliau menghantarkan penulis menjadi sarjana dan berkerja sebagai dosen di Universitas Jambi. Jenjang pendidikan penulis diawali pada Sekolah Dasar (SD No.1) Kota Muara Bungo Jambi, sempat berpindahpindah SD mengikuti orang tua, namun akhirnya menamatkan SD pada tahun 1978 di Sungai Tutung Kerinci. Tahun itu juga penulis melanjutkan ke SMP Negeri 5 Sungai Penuh dan tamat pada tahun 1981. Pendidikan Sekolah Menengah Atas ditempuh penulis di di SMA Negeri 1 Sungai Penuh hingga tamat tahun 1984. Sarjana ekonomi diraih oleh penulis dari Fakultas Ekonomi Universiatas Jambi pada tahun 1989 dan pada tahun itu juga diterima sebagai dosen di Universitas Jambi sampai sekarang. Gelar Master diperoleh dari School of Management University of Waikato New Zealand pada Februari 1998 dengan spesialisasi perdagangan internasional dan penanaman modal asing. Pada September 2004 penulis diterima di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor dengan program studi Ilmu Ekonomi Pertanian dengan kosentrasi Tataniaga Pertanian dan Perdagangan Internasional. Penulis menikah dengan Delima,SPd pada tahun 1990 dan dikaruniai dua orang putra, Delta Forza Haryadi dan Zailand Hudaya Haryadi.

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya sehingga disertasi yang berjudul Dampak Liberalisasi Perdagangan Sektor Pertanian WTO terhadap Perekonomian Negara Maju dan Berkembang ini berhasil diselesaikan. Topik mengenai perdagangan bebas termasuk di sektor pertanian masih tetap menjadi isu menarik untuk dibahas. Salah satu penyebab hangatnya pembahasan isu ini antara lain karena masih terdapatnya perbedaan temuan diantara para peneliti. Sebagian menemukan bahwa perdagangan internasional mampu memberikan dampak positif kepada setiap negara, sementara sebagian lagi menemukan bahwa perdagangan bebas justru telah menimbulkan dampak negatif pada sebagian negara. Perbedaan temuan ini menjadi salah satu alasan penulis untuk ikut meneliti lebih jauh akan dampak perdagangan bebas terhadap negaranegara anggota WTO termasuk terhadap Indonesia. Berdasarkan temuan penulis, ternyata tidak semua negara diuntungkan oleh perdagangan bebas. Saat ini Indonesia adalah termasuk ke dalam kelompok negara yang dirugikan. Banyak pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penulisan disertasi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontribusi tersebut datang sejak dari pembuatan proposal sampai kepada penyempurnaan dari disertasi ini. Meski masih terdapat keterbatasan, semua yang disebutkan dalam disertasi ini tetap menjadi tanggung jawab penulis. Izinkan penulis menyampaikan terimakasih serta penghargaan yang setinggitingginya kepada: 1. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS, selaku ketua komisi pembimbing. Ditengahtengah kesibukan, beliau masih bisa dengan sabar memberikan arahan kepada penulis dalam penyelesaian disertasi ini. Beliau juga banyak memberikan referensi serta melibatkan penulis pada beberapa penelitian yang beliau lakukan. Dorongan semangat dari beliau telah memberikan konstribusi besar bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc, dan Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS yang telah banyak meluangkan waktu bagi penulis untuk berdiskusi, meminta arahan, dan memohon bimbingan. Dengan segala keahlian yang dimiliki oleh masingmasing, segala arahan dan masukan serta bimbingan yang diberikan amat berharga bagi penulis termasuk dalam menyelesaikan proposal ini. 3. Ketua Program Studi EPN (Prof. Dr. Bonar M. Sinaga, MA) yang telah banyak memberikan arahan kepada penulis termasuk teknis penulisan. Para Dosen pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SPsIPB yang telah banyak memberikan ilmuilmu pengetahuan yang bernas dan berharga sehingga amat memperkaya wawasan dan pemikiran penulis. 4. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. selaku penguji luas komisi pada ujian tertutup, Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. dan Dr. Julius, M.A. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah memberikan masukan dan saran berharga. 5. Rektor Universitas Jambi dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jambi serta Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) pada Universitas Jambi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan penulis ke program doktor. Dorongan semangat dari Dekan FE UNJA serta ketua jurusan IESP banyak membantu dalam mempercepat proses penyelesaian kuliah penulis. 6. Rektor, Dekan dan seluruh staff Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program S3 di IPB. 7. Staf administrasi di Program Studi EPN (Rubi, Santi, Yani, dan A'am ) serta Pak Husen yang telah banyak membantu kelancaran proses perkuliahan penulis di IPB. 8. Gubernur Jambi dan Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jambi beserta staff serta Bupati Sarolangun yang telah berkenan memberikan bantuan pendidikan kepada penulis. Terimakasih banyak atas bantuannya, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda. 9. Rekanrekan dan para kerabat penulis. Teman seangkatan dan teman satu rumah. Terimakasih atas kekompakannya. Terimakasih juga ditujukan kepada rekan

rekan angkatan 2005, 2006, dan 2007 serta rekan senior angkatan 2003 yang telah banyak membantu penulis dan tak mungkin disebutkan satu persatu. Sekali lagi terimakasih atas bantuannya. Temanteman di IPB terutama Eka Puspitawati dan Sahara yang telah memberikan andil besar kepada penulis dalam memahami tools GTAP dan CGE, trimakasih banyak atas kebaikannya. 10. Ibunda Riwasna, dengan kasih sayang beliau yang tak pernah habis, doa yang tak pernah putus amat berperan dalam mengantarkanku hingga bisa menyelesaikan kuliahku ini. Adikadikku Andri Zaspa, Syaiful Aswan, Pasrianti, dan Aina Fitria yang selalu berdoa untukku. Mertuaku serta adikadikku Firdaus, Dahlia, dan Herlina. Seluruh keluarga besarku yang tak dapat disebutkan satu persatu, trimakasih atas doanya. 11. Ayahandaku Muhammad Kamal (almarhum) dan Ibundaku Suariah (Almarhumah). Semoga kesuksesan ini dapat memberikan kegembiraan bagi papa dan ibu. Ananda yakin, Ayahanda dan Ibunda di alam sana pasti ikut bergembira dengan keberhasilan ini. Terimakasih atas doa yang tak pernah putus dari Ayahanda dan Ibunda. 12. Terakhir tetapi teramat penting dan tak pernah terlupakan untuk selamanya adalah ucapan terimakasih yang tulus kepada istriku tercinta Delima dan kedua anakku Delta Forza Haryadi dan Zeilan Hudaya Haryadi. Kasih sayang, cinta, doa dan pengorbanan yang telah kalian berikan menjadi dorongan bagi papa untuk menyelesaikan studi. Penulis menyadari bahwa Disertasi ini masih memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif akan diterima dengan senang hati. Semoga hasil studi ini bermanfaat, Amien! Bogor, 10102008 Haryadi

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...... xviii DAFTAR GAMBAR..... DAFTAR LAMPIRAN..... xxi xxiv I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 5 1.3. Tujuan Penelitian... 8 1.4. Kegunaan Penelitian... 8 1.5. Signifikansi Penelitian... 9 1.6. Ruang Lingkup... 9 II. III. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Arti Penting Liberalisasi Perdagangan... 11 2.2. Perkembangan Perundingan Perdagangan Dunia... 16 2.1.1. Perjanjian Umum Tentang Tarif dan Perdagangan... 17 2.1.2. World Trade Organization... 18 2.3. Studi Terdahulu Dampak Liberalisasi Perdagangan... 36 2.3.1. Dampak Liberalisasi terhadap Kinerja Ekonomi.... 36 2.3.2. Dampak World Trade Organization terhadap Perekonomian... 55 2.4. Perkembangan Liberalisasi Perdagangan di Indonesia... 62 KERANGKA TEORI 3.1. Teori dan Distorsi dalam Perdagangan Internasional... 70 3.1.1. Pemberlakukan Tarif Impor... 74 3.1.2. Pemberlakuan Subsidi Ekspor... 79 3.1.3. Pemberlakuan Dukungan Domestik... 84 3.1.4. Pengukuran Kesejahteraan Produsen dan Konsumen... 89

3.2. Teori Keseimbangan Umum... 92 3.2.1. Keunggulan Model Computable General Equilibrium... 96 3.2.2. Keterbatasan Model Computable General Equilibrium. 98 3.2.3. Model General Trade Analysis Project... 99 3.3. Kerangka Pemikiran... 100 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data... 103 4.2. Metode Analisis... 103 4.2.1. Alat Analisis untuk Menjawab Tujuan Penelitian... 103 4.2.2. Proses Penentuan Agregasi dan Disagregasi... 106 4.2.3. Metode Pengolahan Data... 110 4.3. Spesifikasi Model General Trade Analysis Project... 111 4.3.1. Ekonomi Tertutup Tanpa Pajak... 112 4.3.2. Ekonomi Terbuka Tanpa Pajak... 116 4.3.3. Ekonomi Tertutup dengan Pajak... 118 4.3.4. Ekonomi Terbuka dengan Pajak... 120 4.4. Diagram Alur Penelitian... 157 4.5. Simulasi Kebijakan... 160 V. PETA ALIRAN PERDAGANGAN DAN POSISI INDONESIA DIANTARA NEGARANEGARA DI DUNIA 5.1. Pendahuluan... 163 5.2. Peta Aliran Perdagangan... 163 5.3. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Pertanian... 173 5.3.1. Beras... 173 5.3.2. Gandum... 178 5.3.3. Jagung... 180 5.3.4. Hortikultura... 184 5.3.5. Kedele... 186 5.3.6. Gula... 190 xv

5.3.7. Kapas... 193 5.3.8. Ternak... 195 5.3.9. Kehutanan... 197 5.3.10. Perikanan... 199 5.3.11. Minyak Nabati... 201 5.3.12 Makanan... 205 5.3.13 Susu... 207 5.4. Posisi Indonesia Diantara NegaraNegara di Dunia... 209 5.5. Peta Hambatan Perdagangan NegaraNegara di Dunia... 210 5.5.1. Dukungan Domestik... 211 5.5.2 Subsidi Ekspor... 218 5.5.3 Tarif Impor... 222 VI. DAMPAK EKONOMI PENGHAPUSAN HAMBATAN PERDAGANGAN PERTANIAN NEGARA MAJU DAN BERKEMBANG 6.1. Pendahuluan... 226 6.2. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Keragaan Ekonomi Sektoral... 226 6.2.1. Dampak terhadap Keragaan Output... 228 6.2.2. Dampak terhadap Keragaan Ekspor... 235 6.2.3. Dampak terhadap Keragaan Impor... 239 6.3. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Keragaan Makroekonomi.... 244 6.3.1. Dampak terhadap Produk Domestik Bruto Nominal... 245 6.3.2. Dampak terhadap Produk Domestik Bruto Deflator... 247 6.3.3. Dampak terhadap Produk Domestik Bruto Riil... 248 6.3.4. Dampak terhadap Terms Of Trade... 249 6.3.5. Dampak terhadap Tingkat Kesejahteraan... 251 6.3.6. Dampak terhadap Pendapatan Rumahtangga... 253 6.4. Dampak Hambatan Tarif Sektor Pertanian terhadap Makroekonomi... 254 xvi

VII. VIII. DAMPAK PENERAPAN TARIF PRODUKPRODUK TERHADAP KERAGAAN EKONOMI 7.1. Pendahuluan... 258 7.2. Dampak Penerapan Tarif Khusus terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral... 258 7.2.1. Dampak terhadap Keragaan Output... 259 7.2.2. Dampak terhadap Keragaan Impor... 261 7.2.3. Dampak terhadap Keragaan Ekspor... 263 7.2.4. Dampak Penerapan Tarif Khusus terhadap Tenaga Kerja Buruh... 265 7.2.5 Dampak Penerapan Tarif Khusus terhadap Penggunaan Tenaga Kerja Terdidik... 266 7.2.6 Dampak Penerapan Tarif Khusus terhadap Penggunaan Sumberdaya Modal... 268 7.2.7 Dampak Penerapan Tarif Khusus terhadap Neraca Perdagangan Per Sektor... 269 7.3. Dampak Tarif Khusus terhadap Kinerja Makroekonomi... 271 7.3.1. Dampak Tarif Khusus terhadap Neraca Perdagangan Antar Negara... 271 7.3.2. Dampak Tarif Khusus terhadap Kesejahteraan... 272 7.3.3. Dampak Tarif Khusus terhadap Produk Domestik Bruto Riil... 273 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Ringkasan Penelitian... 275 8.2. Kesimpulan... 280 8.3. Implikasi Kebijakan... 281 8.4. Keterbatasan Penelitian... 285 8.5. Saran Penelitian Lanjutan... 286 DAFTAR PUSTAKA... 286 LAMPIRAN...... 293 xvii

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Rasio Ekpor terhadap Produk Domestik Bruto Negara di Dunia... 2 2. Putaran Perdagangan dalam Perjanjian Umum Tentang Tarif dan Perdagangan... 17 3. Konferensi Tingkat Menteri yang Telah Dilaksanakan Oleh World Trade Organization... 21 4. Hasil Pertemuan Konferensi Tingkat Menteri VI di Hongkong Khususnya Negosiasi Bidang Pertanian, 18 Desember 2006... 28 5. Threshold dan Ambang Batas Potongan Agregate Measure Support... 34 6. Pertumbuhan Ekpor Setelah Liberalisasi Perdagangan Luar Negeri di Indonesia dan Beberapa Negara Asia Lainnya... 37 7. Agregasi Negara Berdasarkan Database General Trade Analysis Project Versi 6.2... 108 8. Agregasi Negara Berdasarkan Database General Trade Analysis Project Versi 6.2... 110 9. Distribusi Penjualan Barang i yang Diproduksi di Wilayah r ke Pasar Wilayah s... 124 10. Sumber Pengeluaran Rumahtangga dan Pemerintah untuk Barang i di Wilayah s... 126 11. Sumber Pengeluaran Sektor j dari Barang i atau Faktor Primer i... 128 12. Sumber Pendapatan Faktor Jasa Rumahtangga untuk Faktor i... 129 13. Disposisi dan Sumber Pendapatan Regional... 130 14. Sektor Transportasi Global... 131 15. Permintaan untuk BarangBarang Investasi Regional... 132 16. Peta Aliran Perdagangan Antar Negara... 164

17. Negara Tujuan Ekspor Utama Dunia... 165 18. Negara Asal Impor Utama Dunia... 166 19. Kontribusi Perdagangan Antar Wilayah... 168 20. Peta Aliran Perdagangan Menurut Komoditi... 170 21. Neraca Perdagangan Dunia... 171 22. Peta Aliran Perdagangan Beras Dunia... 175 23. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Beras Indonesia Tahun 20022006... 177 24. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Gandum Dunia... 179 25. Perkembangan Harga Gandum di Pasar Dunia Tahun 20002006 181 26. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Jagung Dunia... 182 27. Perkembangan Luas Lahan, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Jagung di Indonesia Tahun 19902007... 183 28. Peta Aliran Perdagangan Hortikultura... 185 29. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Kedele... 187 30. Perkembangan Luas Lahan, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Jagung di Indonesia Tahun 19902007... 190 31. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Gula... 192 32. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Kapas... 194 33. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Ternak... 196 34. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Kehutanan... 198 35. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Perikanan... 200 36. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Minyak Nabati... 202 37. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Seluruh Indonesia Menurut Provinsi dan Status Pengusahaan... 204 xix

38. Perkembangan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia... 205 39. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Makanan... 206 40. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Susu... 208 41. Peta Status dan Possisi Neraca Perdagangan Indonesia Diantara Negara Negara/Wilayah... 209 42. Bentuk Dukungan yang Diberikan Terhadap Komoditas Susu... 211 43. Negaranegara yang Memberikan Dukungan Domestik... 213 44. Dukungan Domestik yang Diberikan NegaraNegara Di Dunia... 215 45. Ukuran Dukungan Domestik Indonesia dalam Kotak Hijau Tahun 19952000... 216 46. Ukuran Dukungan Domestik Indonesia dalam Kotak Hijau Tahun 20012004... 217 47. Subsidi Ekspor Uni Eropa Berdasarkan Komoditi dan Negara Tujuan... 220 48. Subsidi Ekspor Amerika Serikat Berdasarkan Komoditi dan Negara Tujuan... 221 49. Subsidi Ekspor G33 Berdasarkan Komoditi dan Negara Tujuan... 222 50. Ratarata Tarif Impor Antara Negara Menurut Komoditi... 223 51. Ratarata Tarif Sektor Primer Menurut Komoditi dan Negara... 225 52. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Kinerja Sektoral... 227 53. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan Pertanian terhadap Makroekonomi... 255 54. Dampak Penerapan Special Products terhadap Kesejahteraan... 272 55. Dampak Penerapan Special Products terhadap PDB Riil... 273 xx

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kedudukan World Trade Organization Diantara Organisasi Perdagangan Dunia... 19 2. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara... 72 3. Dampak Tarif pada Model Kesimbangan Umum untuk Kasus Negara Kecil... 76 4. Dampak Tarif pada Model Kesimbangan Umum untuk Kasus Negara Besar... 78 5. Dampak Subsidi Ekspor pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Kecil... 81 6. Dampak Subsidi Ekspor pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Besar... 83 7. Dampak Dukungan Model Domestik pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Kecil... 86 8. Dampak Dukungan Model Domestik pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Besar... 88 9. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen pada Kondisi Keseimbangan Pasar... 90 10. Perubahan Surplus Produsen... 91 11. Perubahan Surplus Konsumen... 92 12. Kerangka Pemikiran... 102 13. Pemanfaatan Model General Trade Analysis Project dengan Software RunGTAP... 111 14. Model Kasus Satu Wilayah, Perekonomian Tertutup, Tanpa Pajak. 113 15. Model Multi Wilayah, Perekonomian Terbuka, Tanpa Intervensi... 118 16. Model Satu Wilayah, Perekonomian Tertutup, dengan Pajak... 119

17. Neraca Penerimaan dan Pengeluaran pada Sistem Ekonomi Terbuka... 121 18. Subsidi / Pajak Ekspor di Region r untuk Tujuan ke s... 138 19. Subsidi / Pajak Impor di Region s untuk Impor dari r... 139 20. Struktur Produksi Model General Trade Analysis Project... 145 21. Diagram Alur Penelitian... 158 22. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Output Terkait di Uni Eropa... 228 23. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Output Terkait di Amerika Serikat.... 229 24. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan pada Komoditi Gandum dan Padi terhadap Output Terkait di Jepang... 230 25. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan pada Ekspor Uni Eropa... 236 26. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Ekspor Amerika Serikat...... 237 27. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan pada Komoditi terhadap Impor Uni Eropa.... 240 28. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan pada Komoditi terhadap Impor Amerika Serikat... 241 29. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Impor Indonesia......... 242 30. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Produk Domestik Bruto Nominal di Beberapa Negara... 245 31. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Produk Domestik Bruto Deflator di Beberapa Negara Terpilih..... 247 32. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Produk Domestik Bruto Riil di Beberapa Negara terpilih.... 248 33. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Terms of Trade di Beberapa Negara terpilih... 250 xxii

34. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Kesejahteraan Dunia Secara Umum... 251 35. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Terms Of Trade di Beberapa Negara Terpilih...... 253 36. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Pendapatan Rumahtangga........ 254 37. Dampak Pemberlakuan Tarif Khusus terhadap Output Komoditi Indonesia...... 259 38. Dampak Pemberlakuan Tarif Khusus terhadap Impor Komoditi Indonesia...... 262 39. Dampak Pemberlakuan Tarif Khusus terhadap Ekspor Komoditi Indonesia...... 264 40. Dampak Tarif Khusus terhadap Tenaga Kerja Buruh... 267 41. Dampak Tarif Khusus terhadap Tenaga Kerja Terdidik.... 268 42. Dampak Tarif Khusus terhadap Sumberdaya Modal...... 269 43. Dampak Tarif Khusus terhadap Neraca Perdagangan Sektoral... 270 44. Dampak Tarif Khusus terhadap Neraca Perdagangan Antar Negara.. 271 xxiii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan perekonomian dunia telah mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1) mulai bergesernya gravitasi perekonomian dari kawasan Atlantik yang lebih didominasi oleh Amerika Serikat dan Eropa, ke kawasan Pasifik yang yang dimotori oleh Jepang dan diikuti oleh kekuatankekuatan baru (Asia Timur dan Asia Tenggara), (2) semakin lancarnya pergerakan produk dan jasa antar negara sebagai dampak dari liberalisasi perdagangan, dan (3) berdirinya organisasi perdagangan dunia (OPD) atau World Trade Organisation (WTO). OPD adalah suatu lembaga yang bertujuan untuk menciptakan liberalisasi perdagangan terutama di sektor pertanian. Negaranegara yang tergabung dalam OPD dituntut untuk menghapus semua hambatan perdagangan atau setidaktidaknya dilakukan secara bertahap. Saat ini hampir semua negara mulai mengurangi tarif terhadap produk dan jasa yang masuk dari negara lain. Bersamaan dengan dilaksanakannya liberalisasi perdagangan, tingkat keterbukaan setiap negara di dunia pun semakin meningkat. Salah satu indikasinya terlihat dari proporsi ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) setiap negara (Tabel 1). Berdasarkan tabel tersebut, 103 dari 160 negara di dunia memiliki proporsi ekspor diatas 35 persen dari PDB masingmasing, 35 negara memiliki proporsi ekspor antara 25 persen s/d 34 persen dari PDB, dan 20 negara memiliki proporsi 10 persen s/d 24 persen dari PDB mereka dan hanya dua negara yang memiliki proporsi di bawah 10 persen (World Bank, 2008).

2 Tabel 1. Rasio Ekspor terhadap Produk Domestik Bruto Negaranegara di Dunia No Rasio Ekspor terhadap PDB Jumlah Negara 1 >35 persen 103 2 25 s/d 34 35 3 10 s/d 24 persen 20 4 <10 persen 2 Sumber: World Bank (2008) Sudah banyak peneliti yang mengkaji dan menganalisis dampak liberalisasi perdagangan internasional terhadap perekonomian antara lain: Michaely (1977), Heller dan Porter (1978), Balassa (1982), Tyler (1981), Kavoussi (1984), Devaragan et al. (1990), Feder (1992), Matusz et al. (1999), Anggarwal dan Agmon dalam Wijaya (2000), Wijaya (2000), Oktaviani (2000), Paulino (2000), Lopez (2003), Jensen and Tarp (2003), Hakim (2004), Walsh et al. (2005), Matthews (2005), dan Brooks dan Sugiyarto (2005). Dari survey literatur diatas dapat diketahui bahwa temuan tentang dampak liberalisasi perdagangan ternyata masih beragam. Pemberlakuan perdagangan bebas secara umum telah memunculkan dua pandangan yang berbeda. Sebagian peneliti menemukan bahwa perdagangan bebas dapat menguntungkan negaranegara yang melakukannya. Namun demikian terdapat pula peneliti yang menemukan dampak negatif dari liberalisasi perdagangan. Dari sejumlah peneliti yang telah disebutkan diatas, mereka yang menemukan dampak positif dari liberalisasi adalah Michaely (1977), Heller dan Porter (1978), Balassa (1982), Tyler (1981), Kavoussi (1984), Feder (1992), Wijaya (2000), Oktaviani (2000), dan Paulino (2000). Namun demikian, tidak

3 sedikit pula peneliti yang menemukan bahwa perdagangan bebas telah menimbulkan efek negatif pada perekonomian suatu negara. Temuan tersebut antara lain dikemukakan oleh Devaragan et al. (1990), Matusz et al. (1999), Anggarwal dan Agmon dalam Wijaya (2000), Paulino (2000), Lopez (2003), Jensen and Tarp (2003), Walsh at al. (2005), dan Brooks dan Sugiyarto (2005). Devaragan et al. (1990) menunjukkan bahwa perubahan term of trade (TOT) pada negaranegara Afrika telah menimbulkan efek pendapatan yang menyebabkan permintaan produk untuk kebutuhan domestik meningkat dengan kecendrungan impornya lebih tinggi. Menurut Devaragan, yang terjadi bukanlah perbaikan ekonomi negaranegara tersebut akan tetapi justru memperburuk neraca pembayaran (balance of trade) negara tersebut. Hasil penelitian ini kemudian diperkuat oleh Aggarwal dan Agmon dalam Wijaya (2000), yang menunjukkan bahwa justru negara investor asing di negara berkembang yang menikmati sukses, sedangkan manfaat bagi negara berkembang masih menjadi pertanyaan. Temuan Agmon dan Aggarwal konsisten dengan Tambunan (2008). Bila merujuk kepada peta perusahaan multinasional di dunia, sebagian besar perusahaan yang melakukan aktivitas di negara berkembang adalah perusahaan multinasional atau multinational corporations (MNCs). Sebagian besar rantai produksi dan pemasaran termasuk pangan dunia mulai dari industri input pertanian, usaha tani, pengolahan dan pedagang, dan pengecer pangan merupakan perusahan multinasional yang berasal dari negara maju. Kondisi ini sungguh ironis karena sebagian besar komoditi pangan adalah merupakan komoditi strategis di negaranegara berkembang. Negara berkembang hanyalah tempat

4 memperoleh bahan baku murah, tempat berproduksi dengan memanfaatkan tenaga kerja murah, serta menjadi konsumen terbesar dari produk MNCs. Menurut Muchtar (2004), terdapat berbagai konflik diantara negaranegara anggota. Masingmasing negara atau kelompok berupaya mempertahankan kepentingannya. Faktor ini pulalah yang diduga kuat menjadi penyebab pertemuan WTO seringkali gagal. Salah satu contoh konkrit kegagalan WTO terjadi pada pertemuan para perwakilan negara pada konferensi tahunan di Jenewa yang berlangsung dari tanggal 21 sampai dengan 27 Juli 2008. Di dalam tubuh WTO terdapat lebih dari 150 negara anggota dengan tingkat perekonomian yang beragam. Secara umum terdapat dua kelompok besar yang memiliki kepentingan yang seringkali berbeda. Dua kelompok tersebut adalah negara berkembang dan negara maju. Negara maju terutama dimotori oleh Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang, sementara negara berkembang mengelompok kedalam beberapa group diantaranya adalah G33. Dalam hampir setiap perundingan, perdebatan antara dua kelompok tersebut selalu muncul. Negaranegara maju mendesak negaranegara berkembang untuk menghapus atau setidaktidaknya mengurangi tarif impor produkproduk pertanian, sebaliknya negara berkembang menginginkan agar diberikan hak untuk memberlakukan tarif khusus pada komoditas strategis di negara masingmasing. Diantara Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang telah dilakukan oleh WTO, perundingan yang dinilai oleh banyak pihak cukup berhasil adalah KTM VI WTO di Hong Kong 2005. KTM tersebut menyepakati penghapusan 3 (tiga) pilar negosiasi di sektor pertanian yakni: dukungan domestik (domestic support), subsidi ekspor (export subsidy), dan akses pasar (market access) pada tahun 2013.

5 Jika penghapusan hambatan perdagangan tersebut betulbetul dilakukan secara konsisten, maka kebijakan tersebut diperkirakan akan berdampak kepada perekonomian negaranegara anggota. Oleh karena itu perlu ditemukan jawaban tentang negara manakah yang akan diuntungkan oleh liberalisasi perdagangan pertanian ini. Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan suatu kajian ilmiah yang diharapkan bisa menjadi dasar pengambilan kebijakan, sehingga setiap negara dapat memperoleh manfaat dari liberalisasi perdagangan pertanian tersebut. Jawaban ini amat dibutuhkan, mengingat sebagian besar anggota WTO adalah negara berkembang yang rakyatnya hidup dari sektor pertanian dengan tingkat daya saing yang rendah. Kondisi ini akan menyebabkan negara berkembang rentan dengan serbuan impor. Dampak selanjutnya adalah sulitnya perkembangan produksi dalam negeri terutama untuk komoditi strategis, menurunnya permintaan akan tenaga kerja, yang akhirnya akan menyebabkan ketimpangan kesejahteraan antara negara maju dan berkembang semakin lebar. Atas alasan tersebut, penelitian tentang dampak liberalisasi perdagangan di sektor pertanian terhadap perekonomian negara maju dan berkembang termasuk Indonesia amat diperlukan. Alasan tersebut menjadi dasar munculnya penelitian ini. 1.2. Perumusan Masalah Kebijakan WTO yang masih memperkenankan negara maju memberikan dukungan domestik dan subsidi ekspor bagi produsen dan eksportir pertanian di negaranegara itu, serta menerapkan tarif terhadap produk impor pertanian yang berasal dari negara berkembang berpotensi untuk menciptakan ketimpangan

6 dalam peta aliran perdagangan pertanian dunia. Sebaliknya, liberalisasi perdagangan akan memunculkan dilema berupa peluang dan tantangan. Di satu sisi sebagian negara anggota mendapatkan peluang untuk meningkatkan ekspor, namun di sisi lain sebagian negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif akan berperan sebagai pemasok produk impor sehingga akan cenderung dirugikan. Untuk mengetahui negara mana saja yang mendominasi perdagangan pertanian dunia perlu diketahui peta aliran perdagangan dunia saat ini. Data awal menunjukkan bahwa saat ini liberalisasi perdagangan pertanian yang berlangsung diantara negara maju dan berkembang belum berjalan sesuai harapan. Distorsi perdagangan yang menjurus kepada ketidakadilan masih dilakukan negara maju dan masih diperkenankan pula oleh WTO. Negara maju terutama Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang memberikan bantuan domestik dan subsidi ekspor yang besar kepada produsen dan eksportir pertanian mereka. Disamping itu, negara maju ternyata menerapkan tarif impor yang besar terhadap komoditi yang berasal dari negara berkembang. Jepang bahkan merupakan negara yang paling memproteksi pertanian mereka dari impor. Negara ini bahkan menerapkan ratarata tarif impor 80 persen (Database GTAP 6.2) dan merupakan tarif yang tertinggi di dunia. Kebijakan negara maju yang masih tetap bertahan dengan dukungan domestik, subsidi ekspor dan pengenaan tarif mengindikasikan adanya keraguan terhadap prospek komoditi pertanian mereka setelah penghapusan hambatan perdagangan. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: jika kedua belah pihak meliberalisasi perdagangan pertanian, apakah semua negara bisa memperoleh dampak ekonomi yang positif? Jawaban ini penting agar dapat diketahui dampak liberalisasi yang sesungguhnya. Untuk

7 menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan analisis dampak penghapusan hambatan perdagangan terhadap perekonomian negara maju dan berkembang. Berbalikan dengan negara maju, negara berkembang yang umumnya berpendapatan rendah tidak mampu memberikan dukungan domestik dan subsidi ekspor kepada produsen dan eksportir di negara mereka. Negara berkembang mengajukan proposal agar diberikan perlakuan tarif khusus pada produkproduk tertentu atau Special Product (SP), namun usulan tersebut kurang direspon oleh negara maju. Kelompok negara ini malah mendesak negara berkembang agar menghapus semua tarif impor, padahal negara maju sendiri masih menerapkannya. Perlakuan tidak adil seperti ini berpotensi menyebabkan semakin lebarnya ketimpangan kesejahteraan antara negara maju dan berkembang. Usulan negara berkembang agar diperkenankan memberlakukan tarif khusus pada produk tertentu menyiratkan adanya harapan agar mereka lebih mampu memperkuat ketahanan pangan, mengurangi kemiskinan, serta membangun perdesaan. Harapan ini perlu ditemukan jawabannya agar dapat diketahui dampak ekonomi yang sebenarnya. Jika kebijakan SP dilakukan, apakah mampu berdampak positif terhadap perekonomian negara berkembang. Dalam konteks ini perlu dilakukan eksplorasi terhadap dampak penerapan tarif khusus pada perekonomian negara berkembang dengan mengambil kasus Indonesia. 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak liberalisasi perdagangan di sektor pertanian terhadap perekonomian negara maju dan berkembang termasuk Indonesia.

8 Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis aliran perdagangan negara maju dan negara berkembang termasuk Indonesia. 2. Menganalisis dampak penerapan kesepakatan WTO tentang sektor pertanian yaitu dukungan domestik, subsidi ekspor dan akses pasar terhadap perekonomian negara maju dan negara berkembang termasuk Indonesia. 3. Menganalisis dampak pemberian perlakuan tarif khusus pada produk tertentu melalui penerapan SP terhadap kinerja perekonomian Indonesia. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak baik akademisi maupun pengambil kebijakan. Manfaat tersebut adalah: 1. Sebagai salah satu sumber literatur ilmiah terutama yang berkaitan dengan liberalisasi perdagangan sehingga dapat menjadi rujukan bagi para peneliti berikutnya. 2. Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan terutama menyangkut kebijakan perdagangan sektor pertanian. 3. Sebagai bahan rujukan bagi pengambil kebijakan dalam melakukan negosiasi dengan berbagai pihak termasuk dengan WTO. 1.5. Signifikansi Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan dan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka penelitian ini amat mendesak untuk dilakukan. Pertimbangannya adalah bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang akan

9 terkena dampak liberalisasi perdagangan. Dampak itu sendiri bisa positif maupun negatif. Jika tidak dilakukan pengkajian ilmiah, dikhawatirkan akan terjadi salah antisipasi sehinga berpotensi untuk terjadinya pengambilan keputusan yang salah. 1.6. Ruang Lingkup Penelitian 1. Penelitan ini dibatasi pada analisis mengenai dampak yang berpotensi ditimbulkan oleh perwujudan penghapusan tiga pilar negosiasi sektor pertanian WTO yaitu: bantuan domestik, subsidi ekspor, dan akses pasar. 2. Kinerja Perekonomian yang dianalisis meliputi kinerja makroekonomi dan sektoral. 3. Kinerja makroekonomi mencakup PDB riil, tingkat kesejahteran, TOT, dan neraca perdagangan, sedangkan kinerja sektoral meliputi output, ekspor dan impor, TOT, penciptaan lapangan kerja dan sumber daya modal. 4. Negara maju yang dianalisis difokuskan pada 5 (lima) negara di 4 (empat) wilayah, dan 3 (tiga) diantaranya adalah wilayah yang paling banyak memberikan dukungan domestik dan subsidi ekspor yaitu wilayah Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Australia dan Selandia Baru 2 (dua) negara di (satu) wilayah yang merupakan salah satu produsen utama produk pertanian di dunia.. 5. Negara berkembang yang dianalisis adalah negaranegara yang menjadi partner dagang utama Indonesia khususnya di sektor pertanian yaitu Cina, Malaysia, Philipina, Thailand, Vietnam, dan Indonesia sendiri. 6. Produkproduk yang dianalisis difokuskan kepada produk pertanian yang termuat di dalam database GTAP 6.2. Pengelompokan dan pemisahannya

10 didasarkan pada produk pertanian yang mendapatkan tarif impor, subsidi ekspor dan bantuan domestik dari negaranegara maju dan negara berkembang, serta komoditi strategis Indonesia dan tersedia datanya dalam GTAP 6.2.

TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) atau watershed adalah sebidang lahan yang menampung air hujan dan mengalirkannya menuju parit, sungai dan akhirnya bermuara ke danau atau laut (Agus dan Widianto 2004). Pengertian tersebut menggambarkan bahwa DAS merupakan satu sistem sehingga ada keterkaitan antara bagian hulu dan hilir. Daerah aliran sungai (DAS) terdiri atas sub sistem biofisik dan sosial ekonomi yang juga saling berkaitan. Oleh sebab itu DAS sebagai satu unit perencanaan perlu dikelola secara terpadu. Kartodihardjo et al. (2004) juga mengemukakan bahwa berdasarkan kajian institusi DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan atau kelompok masyarakat. Daerah aliran sungai (DAS) mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Karakteristik DAS terdiri atas ukuran (luas), elevasi dan kemiringan (slope), aspek dan orientasi, bentuk DAS dan jaringan drainase (Black 1995). Karakteristik DAS sangat penting diketahui dalam menentukan tindakan pengelolaan secara tepat. Karakteristik setiap DAS akan menunjukkan perbedaan satu sama lain sehingga tindakan pengelolaan DAS bersifat spesifik lokasi. Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Easter et al. 1986; Dephut 2001). Pengelolaan DAS ini terdiri atas beberapa tahapan proses (fase) yaitu : fase identifikasi dan analisis masalah, fase perencanaan, fase implementasi dan fase evaluasi, dimana keempat fase tersebut dapat terus berlangsung membentuk suatu siklus (Gambar 2). Perencanaan pengelolaan DAS tidak selesai hanya dengan dihasilkannya dokumen rencana, tetapi sebagai proses yang berulang dan berkaitan dengan aktivitasaktivitas pengelolaan DAS. 10

11 Pelaksanaan rencana memerlukan monitoring terhadap tujuan dan sasaran yang ditetapkan, sehingga memungkinkan adanya umpan balik dan revisi terhadap rencana yang telah disusun (Davenport 2002 dan Dephut 2001). FASE PERENCANAAN FASE IDENTIFIKASI MASALAH FASE IMPLEMENTASI FASE EVALUASI Gambar 2 Fasefase atau tahapan perencanaan pengelolaan DAS (Davenport 2002). Pengelolaan DAS yang mampu memadukan aspek biofisik, sosial ekonomi dan budaya sinergi dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan pemberdayaan ekonomi rakyat/masyarakat dan pelestarian lingkungan secara simultan dan seimbang. Ciri pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam suatu DAS adalah (1) mampu memberikan produktivitas yang tinggi dan pendapatan yang layak bagi seluruh masyarakat, (2) mampu menjamin kelestarian DAS, yaitu dapat menjamin fungsi DAS yang baik, dapat menyimpan air dan memberikan hasil air yang cukup untuk seluruh keperluan yang merata sepanjang tahun dengan kualitas yang baik (erosi/sedimen rendah, pencemaran kecil) dan kuantitas yang mencukupi, (3) mampu memeratakan pendapatan (equity) dan (4) mampu menjamin kelenturan (resiliency) DAS (Sinukaban et al. 2001). Konsep Pertanian Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan harus diterapkan pada berbagai bidang, termasuk pertanian. Pertanian berkelanjutan pada dasarnya berarti pertanian yang mampu berproduksi dengan tetap mempertahankan basis sumberdaya. Defenisi pertanian berkelanjutan telah banyak dikemukakan oleh berbagai pakar, diantaranya : 1. United State Society of Agronomy (1989), mendefenisikan pertanian berkelanjutan sebagai pertanian jangka panjang yang meningkatkan kualitas lingkungan dan sumberdaya yang diperlukan untuk kegiatan pertanian. Pertanian ini menyediakan makanan pokok manusia dan kebutuhan serat dan secara ekonomi dapat meningkatkan kualitas hidup petani dan masyarakat secara keseluruhan.

12 2. Menurut TAC/CGIAR (1988), diacu dalam Reijntjes et al. (1999), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. 3. Defenisi pertanian berkelanjutan secara lebih luas mencakup beberapa hal seperti (1) mantap secara ekologis, (2) bisa berlanjut secara ekonomis, (3) adil, (4) manusiawi dan (5) luwes (Gips 1986, diacu dalam Sabiham 2005) Unsurunsur pendekatan SPB terdiri atas praktekpraktek ekologi (kebutuhan lingkungan dan didasarkan pada prinsip prinsip ekologi), tanggung jawab sosial (pemberdayaan masyarakat, kesamaan sosial, dan kesehatan kesejahteraan penduduk), dan semangat ekonomi (ketahanan pangan, kelayakan ekonomi dan bernuansa teknologi). Pengertian dan pendekatan tersebut menunjukkan bahwa SPB harus dapat memenuhi indikator dari berbagai aspek (Thrupp 1996). Indikatorindikator SPB adalah pendapatan masyarakat (petani) yang cukup tinggi, tidak menimbulkan kerusakan dan dapat dikembangkan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh petani (Sinukaban 1994). Oleh karena itu keberlanjutan sistem usahatani bergantung pada 3 (tiga) karakteristik utama, yaitu kemampuan untuk mengendalikan kehilangan tanah hingga kurang dari Etol atau tolarable of soil loss (TSL), efektivitas dalam meningkatkan pendapatan petani dan secara sosial agroteknologi yang digunakan harus dapat diterima dan diterapkan (acceptable dan replicable) dengan sumberdaya yang ada, termasuk pengetahuan, ketrampilan dan persepsi petani (Sinukaban 2007c). Pendapatan yang diperoleh petani harus dapat memenuhi kebutuhan hidup petani secara layak. Pendapatan yang tinggi dapat diperoleh jika produksi yang diperoleh dari usahatani juga tinggi dan sangat bergantung pada sistem usahatani, termasuk pengelolaan lahan. Produksi tanaman akan optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman. Selain itu komoditi yang dipilih juga harus mempunyai nilai ekonomi tinggi dan sesuai dengan keinginan ataupun kebiasaan petani. Pertanian berkelanjutan harus pula diindikasikan dengan tidak terjadinya kerusakan lingkungan. Indikator kerusakan ini dapat dilihat dengan tingkat erosi yang terjadi di lahan pertanian. Erosi di lahan pertanian tidak mungkin dapat dihindari karena kondisi lahan yang selalu terganggu, tetapi kerusakan tersebut

13 dapat diminimalkan. Kerusakan lahan sedikit atau tidak terjadi jika erosi yang terjadi lebih kecil dari Etol. Produksi pertanian yang tinggi dapat dipertahankan secara terus menerus bila erosi lebih kecil dari Etol. Erosi yang lebih besar dari Etol akan menyebabkan produktivitas lahan menurun, sehingga produksi yang tinggi itu hanya dapat dipertahankan beberapa tahun saja (pertanian tidak lestari) (Sinukaban 2003). Oleh sebab itu perlu dilakukan pengendalian terhadap erosi pada lahan pertanian, misalnya penerapan SPK dengan agroteknologi yang dapat diterima dan dikembangkan oleh petani. Salah satu faktor penghambat implementasi teknologi usahatani adalah terbatasnya adopsi petani terhadap paket teknologi yang diperkenalkan karena petani merasa tidak ikut merencanakan dan tidak mengerti sehingga tidak merasa memiliki kegiatan yang mereka lakukan (Subagyono et al. 2004). Pembangunan pertanian berkelanjutan memerlukan teknologi tepat guna, kebijakan dan pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah (Adnyana 2006). Usahatani Karet dan Kelapa sawit Usahatani Karet Indonesia pernah menjadi negara penghasil karet alam terbesar di dunia. Komoditi ini pernah diandalkan sebagai penopang perekonomian negara. Karet telah menjadi komoditi ekspor utama Indonesia dan telah menjadi mata pencaharian bagi berjutajuta keluarga. Usahatani karet terdiri atas perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Karet rakyat meliputi 83% dari total luas kebun karet di Indonesia dengan volume produksi 68% dari total produksi karet di Indonesia. Perkebunan karet rakyat di Indonesia menyebar di Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Riau dan Sumatera Utara, sedangkan perkebunan besar negara dan swasta sebagian besar terdapat di Sumatera Utara (Balitbang Pertanian 2005a). Provinsi Jambi merupakan penghasil karet terbesar ketiga setelah Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Perkebunan karet rakyat di Jambi pertama kali dibudidayakan pada tahun 1904. Karet rakyat tersebut ada yang dipelihara dengan baik dan ada yang tidak. Perkebunan yang tidak dirawat tampak seperti tanaman liar yang tumbuh diantara vegetasi lainnya dengan produktivitas tanaman yang rendah. Perkebunan karet rakyat di Jambi menyebar

14 ke seluruh wilayah (Lampiran 1) karena karet merupakan salah satu komoditi ekspor Provinsi Jambi (Joshi et al. 2006) Karet rakyat menyumbangkan produksi getah di Jambi hingga 97% terhadap total produksi. Tahun 1992 dan 1998, laju perkembangan kebun karet di Jambi mencapai 5 520 ha/tahun, tetapi produktivitas karet rakyat masih tetap rendah, yaitu 500 650 kg KKK/ha/tahun; produktivitas ini hanya sepertiga hingga setengah kali produktivitas perkebunan karet klon yang mencapai 1 000 1 800 kg KKK/ha/tahun (Joshi et al. 2006). Volume ekspor karet di Jambi tahun 2004 mencapai 127 432 916 kg dan menghasilkan devisa sebesar 142 987 228 dollar AS (Harian Kompas 4 Agustus 2005). Jumlah atau besarnya devisa yang dihasilkan tersebut tidak berbanding lurus dengan perhatian pemerintah terhadap petani karet di Jambi. Hal ini dapat dilihat dari semakin menurunnya produksi karet di daerah ini. Berdasarkan data Disbun Provinsi Jambi (2004), tahun 2003 luas total kebun karet di Jambi adalah 563 502 ha dan 122 060 ha diantaranya merupakan tanaman karet tua dengan produksi hanya sekitar 250 kg lateks/ha/tahun. Fenomena penurunan produksi terjadi hampir di seluruh wilayah yang mengembangkan usahatani karet di Provinsi Jambi, termasuk kecamatan Pelepat yang tercakup dalam DAS Batang Pelepat (Tabel 1). Tabel 1 Perkembangan luas tanam dan produksi karet di Kecamatan Pelepat, Tahun 2000 2004 Tahun Luas Lahan (ha) Produksi (ton) 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber : Disbun Provinsi Jambi (2004). 10 233 9 690 9 604 5 261 6 463 4 162 4 560 4 560 1 011 2 920 Penurunan produksi juga terkait dengan pengelolaan lahan dan tanaman yang kurang optimal. Usahatani karet rakyat hanya diusahakan secara tradisional, tanpa ada pemeliharaan yang baik seperti pemupukan ataupun penyiangan. Perkebunan karet lebih menyerupai hutan karet ( sesap karet ), yang dari aspek konservasi lebih menguntungkan karena kemungkinan terjadinya kerusakan lahan akibat erosi lebih kecil dan dapat menghasilkan kekayaan biodiversiti seperti hutan, tetapi tidak didukung oleh produksi yang optimal. Erosi yang relatif besar terjadi pada awal pembukaan lahan hingga tajuk

tanaman dapat menutupi permukaan tanah dengan baik karena tidak ada penerapan teknik KTA yang memadai. Produksi lateks yang optimal dari karet dapat dicapai bila ada pengelolaan ideal dan memenuhi persyaratan lingkungan yang diinginkan oleh karet. Karet dapat tumbuh baik pada ketinggian 1 600 m diatas permukaan laut (dpl), curah hujan yang cukup tinggi (2000 2 500 mm/tahun) dan merata sepanjang tahun serta sinar matahari dengan intensitas cukup 5 7 jam/hari. Karet dapat berproduksi maksimal pada tanahtanah subur, tetapi tanaman karet mempunyai tingkat toleran yang tinggi terhadap tanah yang kurang subur bila dilakukan pemupukan. Tanaman ini masih dapat tumbuh pada batas ph 4 8, namun paling cocok pada ph 5 6 (Tim Penulis Penebar Swadaya 2004). Kualitas lahan yang dibutuhkan untuk karet ini secara lengkap telah disusun oleh Djaenudin et al. (2003) seperti terlampir pada Lampiran 2. Karet membutuhkan perawatan, baik sebelum maupun setelah menghasilkan. Perawatan tanaman sebelum menghasilkan meliputi penyulaman, penyiangan, pemupukan, seleksi dan penjarangan, penanaman tanaman penutup tanah serta pengendalian hama dan penyakit. Tanaman yang sudah menghasilkan (diatas 5 tahun) perlu dilakukan penyiangan dan pemupukan. Pemupukan karet harus dilakukan dengan cara, waktu dan takaran yang tepat. Balitbang Pertanian (2005b) menganjurkan penggunaan pupuk urea, TSP dan KCl pada tanaman karet di Kabupaten Bungo (DAS Batang Pelepat) dengan takaran masingmasing 100, 50 dan 50 kg/ha/tahun. BPP Sembawa (2003) juga mengeluarkan rekomendasi pemupukan untuk karet dengan takaran pupuk pupuk urea, SP36 dan KCl yang bervariasi sesuai dengan umur tanaman (Tabel 2). Tabel 2 Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan tanaman karet sesuai dengan umur tanaman Umur Tanaman (tahun) 0 1 2 3 4 5 6 15 16 25 Urea (g/pohon/tahun) 250 250 250 300 300 350 300 Sumber : BPP Sembawa (2003). SP36 (g/pohon/tahun) 125 150 250 250 250 250 260 190 KCl (g/pohon/tahun) 100 200 200 250 250 300 250 Frekuensi Pemupukan 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 15

16 Karet yang sudah tidak produktif perlu diremajakan. Peremajaan kebun karet umumnya dilakukan dengan sistem tebas bakar, tetapi petani tidak menerapkan sistem ini karena mempunyai keterbatasan modal dan lahan serta mengurangi resiko kegagalan penanaman baru. Petani di Jambi umumnya mengadopsi teknik peremajaan dengan melakukan sisipan. Bibit karet ditanam diantara celahcelah pohon karet untuk mengganti pohon yang sudah tidak produktif. Cara ini mampu memperpanjang usia produktif kebun karet secara nyata (Wibawa dan Hendratno 2006). Karet dapat ditanam secara monokultur dan tumpangsari. Karet yang ditanam secara tumpangsari di Jambi sering dikenal dengan istilah sesap karet atau dikenal pula dengan wanatani karet atau agroforestri karet. Salah satu contoh pengusahaan karet dengan sistem wanatani adalah di Desa Bebeko (Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi). Kebun karet sudah berumur 40 tahun tetapi masih menghasilkan lateks sekitar 40 kg per minggu (dari 300 pohon karet). Pemanenan (penyadapan) karet dilakukan tidak serentak, karena umur tanaman berbedabeda. Di dalam kebun karet ini juga ditemukan species kayu seperti Alseodaphne spp (kayu medang), Shorea spp. (kayu meranti), Styrax benzoin (kemenyan), garcinia parvifolia (asam kandis), bambu, parkia speciosa (petai), Pithecellobium ellipticum (kabau) dan Baccaurea spp. (rambe). Beberapa tahun yang lalu pemilik telah dapat menjual kayu meranti dan kayu medang dari kebun ini (Joshi et al. 2006). Karet juga dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pertanian lain seperti kopi, kakao dan pisang ataupun tanaman kehutanan. Teknik budidaya karet berkelanjutan perlu juga disertai dengan teknik KTA seperti tanaman legum penutup tanah (LCC) berupa campuran 4 kg Pueraria Javanica, 6 kg Colopogonium mucunoides dan 4 kg Centrosema pubescens. Penanaman karet pada lahan dengan kemiringan lereng lebih dari 15% dianjurkan untuk membuat teras. Lebar teras berkisar antara 1.25 1.50 m dan jarak antar teras dapat disesuaikan dengan jarak tanam (7 m untuk jarak tanam 3 m x 7 m atau 8 m untuk jarak tanam 2.5 m x 8 m) (BPP Sembawa 2003). Penggunaan LCC adalah teknik KTA paling umum diterapkan pada lahan perkebunan. Teras masih tergolong jarang digunakan, karena biaya yang diperlukan relatif mahal dan memerlukan pemeliharaan yang intensif. Teras yang umum digunakan dalam mengembangkan tanaman perkebunan adalah teras gulud dan teras kebun (Ditjen PLA Deptan 2007).

17 Usahatani Kelapa Sawit Kelapa sawit berasal dari Guinea Afrika dan mulai diusahakan di Indonesia tahun 1911. Kelapa sawit berkembang terus hingga mencapai 25 000 ha pada tahun 1925 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Aceh, Sumatera timur, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bangka, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi dan Irian Barat (Sutaryanto 1999). Perkebunan kelapa sawit di Indonesia akhirakhir ini mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Indonesia telah menjadi negara produsen dan eksportir CPO terbesar kedua setelah Malaysia. Berdasarkan data Ditjenbun hingga tahun 2004 total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 5.6 juta ha yang terdiri atas perkebunan rakyat (1 960 395 ha), perkebunan besar negara (672 331 ha) dan perkebunan besar swasta (2 969 044 ha) (Khoiri 2006). Berdasarkan catatan terakhir tahun 2003, volume ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 6.5 juta ton dengan volume produksi 9.9 juta ton (Ditjenbun 2004). Peluang Indonesia untuk meningkatkan produksi lebih besar dibandingkan dengan Malaysia karena berkaitan dengan ketersediaan lahan, kesesuaian iklim, ketersediaan sumberdaya manusia sebagai sumber tenaga kerja dan biaya pembangunan dan perawatan per hektar yang lebih murah, tetapi persoalan klasik dan struktural masih harus dihadapi oleh perkebunan kelapa sawit Indonesia dan hingga saat ini belum teratasi secara tuntas. Persoalan tersebut diantaranya adalah ketersediaan input produksi (bibit yang berkualitas, pestisida dan pupuk), produktivitas yang rendah dan harga yang fluktuatif. Kualitas bibit yang rendah merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi perkebunan kelapa sawit Indonesia sehingga berpengaruh terhadap produktivitas. Menurut Thahar dan Khoiri (2006), di Jambi saat ini diperkirakan terdapat 60 000 ha kelapa sawit yang berasal dari bibit palsu. Produksi kelapa sawit Jambi saat ini sekitar 1.4 ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit/ha/tahun, tetapi produksi kelapa sawit dari bibit palsu hanya 700 kg TBS/ha/tahun. Akibatnya dengan standar harga TBS sebesar Rp653/kg berarti petani mengalami kerugian sebesar Rp164.5 milyar/tahun. Selain itu pengembangan kelapa sawit juga menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan ketersediaan lahan dan tudingan sebagian besar aktivis lingkungan yang menganggap bahwa pembukaan lahan untuk kelapa sawit

secara besarbesaran telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Hal ini terkait dengan terjadinya konversi lahan, terutama hutan. Penebangan hutan akan berpengaruh terhadap siklus hidrologi karena terjadi perubahan infiltrasi tanah, evapotranspirasi dari tanaman dan secara potensial juga akan mengurangi jumlah air yang masuk ke sungai. Selain itu setiap aktivitas yang dilakukan pada saat dan setelah konversi hutan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap lingkungan dan pola aliran sungai (Connolly dan Pearson 2005). Pembukaan hutan untuk kelapa sawit juga sering menyebabkan kebakaran hutan yang menimbulkan pencemaran udara, erosi dan rusaknya biodiversiti. Vegetasi hutan berfungsi baik untuk meresapkan air sehingga dapat mengurangi aliran permukaan. Menurut Iswara (1999), diacu dalam Aswandi (2004), konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit akan meningkatkan aliran permukaan hingga 300 mm sebelum tanaman tersebut dewasa. Sebagian besar aktivis lingkungan meminta disain ulang perkebunan kelapa sawit. Disain ini penting agar lahan yang belum terjamah budidaya kelapa sawit tidak dengan mudah dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, baik kawasan hutan konservasi, hutan lindung maupun lahan pertanian rakyat yang sudah ada (Khoiri 2006). Disain ulang tersebut harus lebih menjamin keberlanjutan usahatani kelapa sawit, tanpa mementingkan aspek dan pihak tertentu. Perluasan perkebunan kelapa sawit terus terjadi, termasuk di Jambi yang menyebar hampir di seluruh kabupaten. Kabupaten Bungo, khususnya di DAS Batang Pelepat telah dijadikan salah satu kawasan prioritas pengembangan komoditi ini. Hal ini dapat dilihat dari luas lahan kelapa sawit yang terus meningkat selama 5 tahun terakhir, baik yang diusahakan oleh masyarakat maupun perkebunan swasta (Tabel 3), tetapi tidak diikuti dengan produksi yang baik. Fenomena produksi yang kurang baik ini disebabkan oleh banyaknya jumlah tanaman yang rusak sehingga tidak berproduksi secara maksimal, terutama pada perkebunan kelapa sawit rakyat. Tabel 3 Perkembangan luas tanam dan produksi kelapa sawit di Kecamatan Pelepat, Tahun 2000 2004 Tahun Luas Lahan (ha) Produksi (ton) 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber : Disbun Provinsi Jambi (2004). 6 896 8 823 15 384 13 081 14 255 2 143 32 691 59 072 22 650 30 014 18

Produksi yang rendah juga terkait dengan teknik budidaya yang belum memadai. Kelapa sawit tumbuh baik di daerah tropis pada curah hujan >1500 mm/tahun, tidak memiliki defisit air dan merata sepanjang tahun, suhu 25 o C 32 o C (Sutarta et al. 1999). Persyaratan tumbuh lain untuk kelapa sawit adalah elevasi (0 500 m dpl) dan penyinaran matahari 100% diperlukan minimal 5 jam/hari (optmum 7 jam/hari). Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan syarat drainase baik, solumn dalam (minimal 80 cm), agak masam (ph 4 6), topografi datar, landai sampai bergelombang, termasuk tanah gambut (Sutaryanto 1999). Persyaratan kualitas atau karakteristik lahan yang dibutuhkan oleh kelapa sawit terdiri atas sifatsifat fisik dan kimia tanah (Lampiran 3). Faktor tanah merupakan salah satu faktor utama yang harus dikelola secara tepat untuk memperoleh produksi kelapa sawit yang optimal dan berkelanjutan. Pertumbuhan kelapa sawit memerlukan cadangan unsur hara dan air yang tinggi (Winarna et al. 2000). Oleh karena itu dalam pengembangan kelapa sawit perlu disertai dengan teknik pemupukan dan KTA yang tepat. Pupuk yang direkomendasikan untuk pengembangan kelapa sawit di Kabupaten Bungo adalah NPK dan MgSO 4 dengan takaran masingmasing 0.22 dan 0.10 kg/pohon/tahun (umur 0 2 tahun), sedangkan tanaman yang berumur lebih dari 2 tahun harus diberikan NPK dan MgSO 4 dengan takaran masingmasing 0.45 dan 0.40 kg/pohon/tahun (Balitbang Pertanian 2005b). Pengembangan kelapa sawit juga dapat menggunakan pupuk tunggal seperti Urea, TSP, KCl dan Kisierit (MgSO 4 ) dengan takaran yang disesuaikan dengan umur kelapa sawit. Pupuk urea dan KCl diberikan dengan frekuensi satu kali dalam setahun, sedangkan pupuk TSP diberikan dengan frekuensi dua kali dalam setahun. Kisierit diberikan dua kali per tahun pada tanaman yang berumur 0 15 tahun dan satu kali per tahun pada tanaman berumur >15 tahun (Tabel 4). Tabel 4 Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman Umur Tanaman (tahun) 0 1 2 3 4 5 6 12 > 12 Urea (kg/pohon/tahun) 1.10 1.50 0.70 0.70 0.70 0.70 1.50 Sumber : PPKS (1999). TSP (kg/pohon/tahun) 0.50 0.50 0.50 1.00 1.00 1.00 2.00 1.00 KCl (kg/pohon/tahun) 0.80 1.50 0.50 0.50 0.50 1.50 1.00 19 MgSO4 (kg/pohon/tahun) 0.70 0.70 0.90 0.90 0.90 1.00 0.50

20 Teknik KTA juga diperlukan dalam pengembangan kelapa sawit untuk menurunkan kehilangan tanah, memperbaiki sifatsifat tanah dan meningkatkan produksi kelapa sawit. Teknik KTA yang dapat diterapkan dalam pengembangan kelapa sawit sama dengan tanaman perkebunan lainnya seperti karet, yaitu penggunaan LCC dan dilengkapi dengan teras pada lahan yang mempunyai kemiringan lereng > 15%. Analisis Usahatani Analisis usahatani pada dasarnya adalah upaya untuk menilai manfaat (output) dan biaya (cost) yang tercakup dalam suatu proses usahatani. Biaya adalah segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan dan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu tujuan (Gitingger 1986). Analisis usahatani dimaksudkan untuk mencari informasi tentang keragaan suatu usahatani yang dilihat dari berbagai aspek (Soekartawi 2002). Kadariah (1990) menambahkan bahwa tujuan analisis usahatani adalah untuk (1) mengetahui tingkat keuntungan yang dicapai melalui investasi dalam suatu kegiatan usahatani, (2) menghindari pemborosan pemakaian sumberdaya yaitu dengan menghindari pelaksanaan kegiatan usahatani yang tidak menguntungkan, (3) mengadakan penilaian terhadap peluang investasi yang dilakukan sehingga dapat diketahui usahatani tersebut menguntungkan atau tidak, dan (4) menentukan prioritas kegiatan usahatani. Analisis usahatani dapat dilakukan dengan mengetahui struktur penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani. Pendapatan usahatani merupakan selisih dari total penerimaan dan total biaya. Analisis usahatani dibagi menjadi dua, yaitu analisis parsial (satu cabang usahatani) dan analisis keseluruhan usahatani (wholefarm analysis). Selain faktor pendapatan ataupun keuntungan tersebut, perlu dianalisis biaya dan manfaatnya. Hasil analisis dapat digunakan untuk menilai kelayakan keuntungan yang diperoleh dari usahatani. Kelayakan keuntungan usahatani dapat dinilai melalui analisis finansial dan analisis ekonomi dengan indikator B/C ratio, Net Present Value (NPV) dan Internal Rate Return (IRR). Rasio manfaat terhadap biaya (B/C ratio) merupakan ukuran manfaat dari usahatani. Menurut Kadariah (1990), analisis B/C ratio adalah salah satu indikator untuk menilai kelayakan suatu investasi yang ditanam baik secara ekonomi maupun finansial. Net Present Value (NPV) merupakan penilaian kembali terhadap pendapatan yang ditimbulkan oleh investasi modal. Net Present Value (NPV)

dijadikan ukuran yang menggambarkan kemampuan suatu proyek (Soekartawi et al. 1986). Usahatani karet dan kelapa sawit merupakan kegiatan usahatani yang mempunyai siklus waktu yang relatif lama, sehingga setiap nilai input ataupun output perlu dikonversi ke nilai waktu sekarang (present). Hal ini penting dilakukan, mengingat waktu dan suku bunga uang akan berpengaruh terhadap nilai output yang diperoleh dari usahatani karet dan kelapa sawit. Internal Rate of Return (IRR) juga sering digunakan sebagai indikator kelayakan investasi dari suatu usahatani disamping B/C ratio dan NPV. Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan karena proyek baru sampai pada tingkat modal kembali (Merrett dan Sykes 1967, diacu dalam Gitingger 1986). Internal Rate of Return (IRR) adalah suku bunga yang dapat mengakibatkan NPV sama dengan nol. Kelayakan finansial dan ekonomi mempunyai indikator yang sama, tetapi keduanya berbeda. Pendekatan analisis ekonomi diperlukan untuk verifikasi bahwa hasil usahatani memberi manfaat bersih kepada masyarakat secara keseluruhan, sedangkan analisis finansial dilakukan untuk melihat keuntungan individu atau perusahaan (private group), seperti perkebunan (Gregersen et al. 1989). Secara rinci tentang perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi dapat dikemukakan dalam Tabel 5. Tabel 5 Perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi ditinjau dari beberapa unsur Unsur Analisis Finansial Analisis Ekonomi Fokus Keuntungan perusahaan atau individu Keuntungan untuk masyarakat Tujuan Indikasi insentif terhadap Ditentukan jika investasi pelaksanaan pemerintah sesuai dengan efisiensi ekonomi Harga Menggunakan harga pasar Beberapa item menggunakan (market price) harga bayangan (shadow price) Pajak Biaya (cost) Benefit Subsidi Pendapatan Biaya Pinjaman bank Meningkatkan modal (input) Transfer payment Bunga Cost (biaya) Transfer payment Discount rate Marginal cost terhadap Opportunity cost terhadap modal keuangan Distribusi pendapatan Dapat dihitung sebagai net return individu. Faktor produksi seperti lahan, tenaga kerja dan modal tidak termasuk dalam analisis finansial. Sumber : Hitzhusen (1982), diacu dalam Gregersen et al. (1989). 21 Tidak dipertimbangkan dan dapat dilakukan analisis secara terpisah atau sebagai analisis efisiensi terbobot dengan berbagai tujuan.

22 Erosi dan FaktorFaktor Penyebabnya Erosi tanah merupakan salah satu masalah yang sering terjadi dan ditemui hampir di seluruh kawasan dunia. Pengaruhnya bersifat langsung (on site) dan tidak langsung (off site). Pengaruh langsung adalah penurunan produktivitas lahan dan produksi tanaman, sedangkan pengaruh tak langsung dapat berupa siltasi reservoir, saluran dan sungai, penurunan pasokan air, penurunan kapasitas energi listrik, banjir, kerusakan jalan akibat landslide, dan lainlain (Widianto et al. 2003; Barrow 1991). Kerugian yang ditimbulkan oleh erosi tanah cukup besar, karena mengikis dan mengangkut sebagian tanah, misalnya kehilangan tanah yang terjadi pada lahan pertanian di Amerika dan Montana yang masingmasing mencapai 1.3 juta ton/tahun dan 5.50 ton/ha/tahun serta padang rumput di Wyoming yang telah menyebabkan erosi mencapai 5.10 ton/ha/tahun (McCauley dan Jones 2005). Pengaruh erosi di Indonesia dapat dilihat dari semakin meningkatnya hamparan lahan kritis dan frekuensi dan besaran banjir. Banjir terjadi akibat sedimentasi di sungai, sehingga kapasitas tampung sungai menurun dan air meluap di musim hujan. Peristiwa erosi juga menyebabkan sedimentasi di berbagai waduk seperti waduk Gajah Mungkur, bendungan Jati luhur, dan lainnya. Menurut Arsyad (2006), sedimentasi dapat mempengaruhi kapasitas waduk serta menurunkan life time waduk. Erosi dan sedimentasi merupakan dua hal yang berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Erosi adalah hilangnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Tanah atau bagianbagian tanah yang terangkut ini disebut sedimen. Erosi di daerah tropika basah termasuk Indonesia umumnya disebabkan oleh air (Arsyad 2006). Erosi yang diakibatkan oleh air sangat dipengaruhi oleh curah hujan (raindrop) dan run off. Proses erosi tanah oleh air terdiri atas empat subproses yang interaktif, yaitu :penghancuran oleh curah hujan, pengangkutan oleh curah hujan, penghancuran oleh run off (scour erosion) dan pengangkutan oleh run off (David 1988 dan Lu et al. 2005). Hujan jatuh di permukaan tanah akan menghancurkan partikel tanah dan memercikan partikel tersebut ke atas kemudian berpindah ke tempat lain. Selanjutnya partikel tersebut dapat menyumbat pori tanah sehingga menyebabkan terjadinya surface crusting atau memadatkan tanah sehingga menurunkan tingkat infiltrasi tanah. Hujan yang melebihi kapasitas infiltrasi tanah menyebabkan run off yang dapat menghancurkan partikel tanah dan

mengangkutnya dengan tenaga aliran run off, namun jika kecepatan aliran menjadi lambat atau terhenti, partikel akan mengalami deposisi atau sedimentasi (McClauley dan Jones 2005). Berdasarkan proses (tempat, sumber, magnitud dan bentuk), erosi dapat dibedakan menjadi erosi percikan (splash erosion), erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (riil erosion), erosi parit (gully erosion), sedangkan berdasarkan agent atau medianya, erosi dapat dibedakan menjadi erosi air dan erosi angin. Erosi mengalami perubahan secara spasial dan temporal, namun proses yang terlibat dalam erosi adalah sama dan semua jenis erosi ini umumnya diikuti oleh sedimentasi. Erosi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi faktor alam dan faktor manusia. Faktorfaktor alami yang mempengaruhi erosi dapat dirinci sesuai dengan pengaruh yang disumbangkannya terhadap proses erosi dan sedimentasi (Tabel 6). Tabel 6 Pengaruh beberapa faktorfaktor terhadap proses dan tingkat erosi tanah Faktor Pengaruh terhadap Proses Erosi Curah Hujan : intensitas, durasi, frekwensi, indeks erosi Lereng : Kemiringan, panjang dan bentuk 23 Menghancurkan agregat tanah dengan percikan butir air hujan dan mengangkut partikel oleh run off; surface sealing Erosi cenderung meningkat dengan meningkatnya panjang dan kemiringan lereng; bentuk lereng memperngaruhi tingkat kehilangan tanah, yaitu conveks>lurus>conkaf Posisi Terhadap lereng Tanah : Kedalaman Tekstur Struktur dan agregasi Kandungan Bahan Organik Vegetasi : Struktur, penutupan kanopi, penutupan dasar (ground) Sumber : Gunn et al. (1988). Mempengaruhi hubungan run off run on (erosi dan deposisi) Mempengaruhi kapasitas penyimpanan air tersedia Tanah dengan kandungan debu atau pasir halus umumnya paling mudah tererosi; erodibilitas akan menurun dengan meningkatnya kandungan fraksi pasir dan liat Proporsi air stabilitas dan ukuran agregat mempengaruhi erodibilitas Mempengaruhi inisiasi run off, infiltrasi, perkembangan struktur tanah, water repellency. Mempengaruhi intersepsi curah hujan, percikan butir air hujan, infiltrasi, evapotranspirasi dan run off.

24 Iklim Faktor iklim yang mempengaruhi erosi di daerah beriklim basah (seperti Indonesia) adalah hujan. Karakteristik hujan akan menghasilkan energi kinetik yang dapat mendispersi partikel tanah. Besarnya curah hujan, intensitas, ukuran butir dan distribusi menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan erosi. Kecepatan aliran permukaan juga akan berpengaruh terhadap sedimentasi. Kapasitas hujan untuk menimbulkan erosi disebut erosivitas. Nilai erosivitas ini dapat dihitung dengan berbagai cara, misalnya dengan menentukan nilai EI30 atau KE>25 (energi kinetik curah hujan dengan intensitas lebih dari 25 mm). Berdasarkan penelitian Barus dan Suwardjo (1977), diacu dalam Hardjowigeno (2007), di Indonesia kedua indikator tersebut merupakan indeks erosi hujan yang mempunyai koefisien korelasi paling tinggi dengan erosi yang terjadi. Erosivitas merupakan fungsi dari jumlah total curah hujan dan intensitasnya. Curah hujan yang tinggi dapat melebihi kapasitas infiltrasi tanah sehingga air akan mengalir di permukaan tanah. Curah hujan yang tinggi pada lahan bera dapat menyebabkan terjadinya surface sealing sehingga mengurangi tingkat infiltrasi tanah. Curah hujan kemudian mengakibatkan aliran run off di permukaan tanah, potensial erosi meningkat jika run off mulai concentrated (United State Society of Agronomy 2005). SifatSifat Tanah Jenis tanah yang berbeda menyebabkan perbedaan tingkat kepekaannya terhadap erosi. Kepekaan erosi tanah dikenal dengan istilah erodibilitas. Erodibilitas merupakan fungsi dari sifatsifat fisika dan kimia tanah. Sifatsifat tanah yang mempengaruhi erodibilitas meliputi tekstur, kelembaban, agregasi dan struktur, serta bahan organik. Debu dan pasir halus merupakan partikel yang paling mudah tererosi karena massanya lebih kecil dibanding partikel yang lebih besar serta kurang kohesif dibandingkan dengan partikel yang halus seperti liat (Morgan 1995). Oleh sebab itu tanah aluvial yang merupakan hasil sedimentasi sering merupakan lahan yang subur, karena partikel tanah yang tererosi dan terangkut merupakan tanah yang kaya akan bahan organik tanah dan unsur hara yang diperlukan tanaman. Kelembaban tanah dapat meningkatkan daya kohesif diantara partikel tanah sehingga sulit dihancurkan. Agregasi dapat mengurangi erosi melalui

25 ikatan potensial antarpartikel tanah sehingga ukuran partikel menjadi lebih besar dan resisten terhadap perusakan dan pengangkutan. Stabilitas agregat juga akan mempengaruhi erodibiltas dan berhubungan dengan senyawa kimia dan organik dalam tanah. Tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 2% akan lebih tahan terhadap erosi karena stabilitas agregatnya lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang kandungan bahan organiknya lebih kecil (McClauley dan Jones 2005). Nilai kepekaan erosi tanah di Indonesia juga bervariasi sesuai dengan bahan induknya, misalnya Latosol Darmaga (haplorthox) dengan bahan induk tuf vulkan mempunyai nilai erodibilitas sebesar 0.03, Podsolik Merah Kuning Lampung (tropudult) dengan bahan induk dasitik mempunyai nilai erodibilitas sebesar 0.32 dan Podsolik Jonggol (tropudult) dengan bahan induk batu liat mempunyai nilai erodibilitas sebesar 0.16 (Kurnia dan Suwardjo 1984, diacu dalam Hardjowigeno 2007). Topografi (Panjang dan Kemiringan Lereng) Pengaruh run off terhadap erosi sangat bergantung pada jumlah dan kecepatan aliran, yang pada gilirannya juga bergantung pada kemiringan lahan. Kecepatan aliran yang tinggi akan membawa sedimen lebih banyak daripada aliran yang lambat. Kehilangan material akan lebih besar terjadi pada lereng yang curam dibandingkan dengan gradual slope. Kedua faktor lereng ini akan sangat berpengaruh pada jumlah sedimen dan proses sedimentasi (United State Society of Agronomy 2005). Lereng yang pendek akan menyebabkan sedimen lebih cepat mencapai sungai. Lereng yang lebih panjang akan menyebabkan terjadinya sedimentasi di sepanjang lereng tersebut jika energi dari aliran run off berkurang atau berhenti, sehingga tidak cepat masuk ke sungai atau laut (Linsley 1982). Tanaman Vegetasi dapat meredam kecepatan angin sehingga dapat berfungsi untuk mengurangi energi angin untuk menimbulkan erosi. Penutupan vegetasi juga dapat mengurangi penghancuran tanah melalui intersepsi butir hujan, mengurangi energi butir hujan tersebut dan mengurangi energi run off dalam proses erosi oleh air. Vegetasi permukaan dan residunya akan bertindak sebagai penghalang atau dam untuk memperlambat aliran air dan memulai deposisi. Selain itu

26 vegetasi juga membantu meresapkan air ke dalam tanah melalui sistem perakarannya yang membentuk porositas tanah (Arsyad 2006). Pengaruh vegetasi terhadap erosi berbeda menurut jenisnya. Tumbuhan yang merambat di permukaan tanah dapat menghambat aliran permukaan, sedangkan pohonpohon dengan tegakan yang jarang mempunyai pengaruh yang relatif kecil dalam mengurangi kecepatan aliran permukaan. Semakin rendah dan rapat tajuk tanaman, semakin kecil energi hujan yang sampai ke permukaan tanah. Vegetasi tinggi (tajuknya berada jauh di atas permukaan tanah) menyebabkan energi yang sampai ke permukaan juga akan meningkat kembali karena bila butirbutir hujan terlepas dari tajuk. Oleh karena itu pada tanaman pohon yang tinggi, peran tanaman rendah juga sangat diperlukan untuk melindungi permukaan tanah. Manusia Faktorfaktor yang telah disebutkan sebelumnya merupakan faktor yang bersifat alami, namun sebenarnya erosi semakin parah dengan adanya aktivitas manusia dalam memanfaatkan tanah untuk berbagai kegunaan. Tata guna lahan juga merupakan faktor penting dalam menetapkan laju erosi. Cara bercocok tanam yang jelek atau pembuatan jalan yang ceroboh dapat mempercepat terjadinya erosi. Pemusnahan tanaman akibat kebakaran atau ditebang akan menyebabkan erosi semakin besar. Pengaturan KTA yang baik dapat memperkecil kehilangan tanah akibat erosi (Linsley 1982). Pengendalian secara vegetatif dan konstruksi seperti waterways, strip penyangga, strip cropping dan dam dapat dilakukan untuk mengurangi erosi tanah (United State Society of Agronomy 2005). Penyebab erosi seringkali merupakan faktor yang kompleks. Kultur, institusional, sosial, ekonomi dan lingkungan memberikan kontribusi terhadap erosi tanah, bahkan belakangan ini justru ada kecenderungan bahwa terjadinya kerusakan lahan merupakan akibat dari kepentingan politik, institusional dan ekonomi. Semua kepentingankepentingan tersebut merupakan tindakantindakan manusia dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya melalui pemanfaatan sumberdaya lahan (Barrow 1991). Banyak faktor yang menentukan bagaimana manusia memperlakukan tanah secara bijaksana sehingga kelestariannya tetap terjaga disamping terpenuhi kebutuhannya, diantaranya mengatur luas lahan pertanian yang diusahakan, sistem pengusahaan tanah, status penguasaan tanah, tingkat

27 pengetahuan dan penguasaan teknologi, harga hasil usahatani, perpajakan, ikatan hutang, pasar dan sumber keperluan usahatani, infrastruktur dan fasilitas kesejahteraan (Arsyad 2006). Besarnya erosi dapat diukur langsung di lapangan atau diprediksi dengan menggunakan model. Pengukuran langsung membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang lebih banyak. Oleh karena itu tingkat erosi sering diprediksi dengan berbagai pendekatan atau model. Model prediksi erosi yang umum digunakan adalah model parametrik seperti yang dikembangkan oleh Weischmeier dan Smith (1965, 1978) yang dikenal dengan The Universal Soil Loss Equation (USLE). The Universal Soil Loss Equation (USLE) memungkinkan perencana menduga laju ratarata erosi suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (teknik KTA) yang mungkin dilakukan atau yang sedang dipergunakan. Persamaan tersebut mengelompokan berbagai parameter fisik dan pengelolaan yang mempengaruhi laju erosi kedalam enam variabel utama yang nilainya pada setiap tempat dapat dinyatakan secara numerik (Gambar 3). Besarnya Erosi yang akan terjadi adalah fungsi : Hujan Kemungkinan Erosi Tanah Energi Sifat Tanah Pengelolaan Kekuatan Perusak Hujan Pengelolaan Lahan Pengelolaan Tanaman A R K LS P C Gambar 3 Skema parameter USLE berdasarkan pengelompokan variabel faktor fisik dan pengelolaannya (Arsyad 2006). The Universal Soil Loss Equation (USLE) dikembangkan di National Run Off and Soil Loss Data Centre yang didirikan tahun 1954 oleh The science and education administration Amerika Serikat yang bekerjasama dengan Universitas Purdue (Weischmeier dan Smith 1978). Persamaan model USLE adalah :

28 A = R K L S C P...(1) Keterangan : A : banyaknya tanah yang tererosi (ton/hektar/tahun) R : faktor indeks (erosivitas) hujan. K : faktor erodibilitas tanah L : faktor panjang lereng S : faktor kecuraman lereng C : faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman P : faktor tindakantindakan khusus konservasi tanah The Universal Soil Loss Equation (USLE) sebagai model prediksi erosi mempunyai keterbatasan (kelemahan) dan keunggulan. Kelemahan model USLE adalah sulit digunakan pada kejadian hujan tertentu, pada DAS yang kompleks dan tidak memperhitungkan proses (bersifat empirik). Penggunaan USLE didasarkan pada beberapa asumsi seperti hanya dapat digunakan pada lereng yang panjangnya 400 feet, kemiringan lereng 3% 18%, lahan dengan sistem penanaman dan pengelolaan yang konsisten, pada DAS yang tidak terlalu luas (DAS kecil), dan efektif pada unit lahan yang tanahnya bertekstur sedang (tidak untuk tanah yang bertekstur berpasir). The Universal Soil Loss Equation (USLE) mempunyai keunggulan karena mudah diaplikasikan, dapat diterapkan dimana saja (universal) dengan penetapan nilai setiap faktor secara tepat dan dapat memprediksi erosi dalam jangka panjang pada penggunaan lahan yang berbedabeda (Goldman et al. 1986). Selain untuk memprediksi erosi, model USLE dapat pula digunakan untuk memilih teknik KTA untuk pengelolaan tanaman dan lahan pertanian (Hudson 1992). Dampak Penggunaan Lahan terhadap Erosi Tipe dan cara penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap erosi yang terjadi. Secara umum telah diketahui bahwa pada penggunaan lahan hutan erosi yang terjadi relatif kecil. Menurut Calder (1998), hutan dapat mengurangi erosi, tetapi sangat bergantung pada situasi dan kondisi seperti intensitas hujan, kelerengan lahan, dan faktor geologi batuan, serta metode pengelolaan yang dipilih. Menurut Sutono et al. (2001), hanya hutan dan sawah yang mempunyai magnitud erosi yang masih dalam batas yang dapat ditoleransikan dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Kehilangan tanah yang tinggi terjadi pada lahan yang ditanami tanaman campuran (kombinasi tanaman pohon dan

tanaman semusim di lahan kering) dan penggunaan lahan untuk tanaman semusim di lahan kering. Tanaman semusim menyebabkan erosi paling besar dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya (Tabel 7). Tabel 7 Pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap kehilangan tanah (ton/ha/tahun) di beberapa daerah tangkapan DAS Citarum, Tahun 2000 Penggunaan Lahan Daerah Tangkapan Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Hilir 1. Hutan 2. Tanaman Campuran 0.13 8.40 0.24 15.40 0.14 36.86 0.24 30.68 (multistrata) 3. Perkebunan Karet 4. Pemukiman 5. Sawah 6. Belukar 7. Tanaman semusim di lahan kering 8. Perkebunan Teh 0.03 0.33 1.12 22.02 23.11 8.85 0.02 0.40 1.61 61.31 26.94 11.39 0.15 1.45 0.47 40.05 9.65 40.75 0.02 1.13 0.95 35.66 33.48 Sumber : Sutono et al. (2001). Berdasarkan hasil penelitian di Australia pada beberapa kategori penggunaan lahan juga menunjukkan bahwa secara umum erosi pada lahan pertanian relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hutan. Tutupan vegetasi yang pendek menyebabkan erosi yang lebih kecil dibandingkan dengan vegetasi yang tinggi (Tabel 8). Tingkat erosi juga bervariasi karena perbedaan kondisi oleh iklim, tanah dan topografi (Lu et al. 2005). Tabel 8 Pengaruh beberapa kategori penggunaan lahan terhadap kehilangan tanah di Australia, Tahun 2004 Tingkat erosi Luas Lahan (Km 2 ratarata ) (ton/ha/tahun) Deskripsi Penggunaan Lahan 1. Hutan terbuka 2. Hutan 3. Woodland 4. Hutan produksi komersial 5. Taman Nasional 6. Tanaman serat 7. Kacangkacangan 8. Oilseeds 9. Padi 10. Kapas 11. Tebu 12. Penggunaan Pertanian lainnya 13. Padang rumput 14. Padang rumput alami Sumber : Lu et al. (2005). 25 116 285 796 2 179 326 157 460 183 303 182 936 22 568 6 242 1 573 4 053 4 736 2 138 200 295 4 257 824 Total Erosi (ton/tahun) 2 772 706 9 896 968 1 102 649 750 5 864 068 188 824 306 39 517 812 795 556 2 390 087 115 250 2 784 581 18 694 681 2 402 811 46 307 300 3 388 486 244 Perencanaan Penggunaan Lahan Pertanian 1.10 0.35 5.06 0.37 10.30 2.16 0.35 3.83 0.73 6.87 39.87 11.24 2.31 7.96 Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi. Semua faktor tersebut mempengaruhi potensi lahan 29

30 disamping akibat kegiatan manusia baik pada masa lalu maupun sekarang (Hardjowigeno et al. 2001). Penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan dikelompokkan menjadi dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian (Arsyad 2006). Penggunaan lahan di daerah tropika basah seperti Indonesia secara terus menerus menyebabkan penurunan produktivitasnya secara drastis. Oleh sebab itu manajemen sumberdaya lahan pada dasarnya merupakan penerapan cara pemeliharaan lahan melalui upaya peningkatan kualitas tanah dan perbaikan karakteristik lingkungan sehingga dicapai produktivitas lahan yang tinggi secara berkelanjutan (Lal 1995). Ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi jangka panjang, dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi (Sabiham 2005). Lahan mempunyai keterbatasan daya dukung sehingga perlu perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan. Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan juga harus diterapkan pada lahan pertanian yang seringkali dibatasi oleh tingkat kesuburan yang rendah. Oleh karena itu penerapan SPK dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan pun memerlukan perencanaan yang harus diawali dengan evaluasi lahan. Evaluasi lahan berguna untuk mengetahui potensi/kemampuan lahan bagi penggunaan lahan tertentu, misalnya bagi tanaman (pertanian), pariwisata, pemukiman dll. Produktivitas lahan akan berkelanjutan bila lahan digunakan sesuai dengan potensinya yang telah diketahui secara dini. Evaluasi Lahan merupakan suatu proses penilaian suatu lahan sehingga sesuai dengan kondisinya pada penggunaanpenggunan tertentu. Evaluasi lahan terdiri atas evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif, tetapi evaluasi kualitatif adalah langkah pertama dalam evaluasi lahan dengan melakukan klasifikasi lahan. Berdasarkan tujuan evaluasi, klasifikasi lahan dapat berupa klasifikasi kemampuan lahan dan kesesuaian lahan. Klasifikasi kemampuan lahan digunakan untuk penggunaan pertanian secara umum yaitu lahan pertanian, padang penggembalaan (ternak), hutan dan cagar alam, sedangkan klasifikasi

31 kesesuaian lahan digunakan untuk penggunaan pertanian yang lebih khusus untuk jenis tanaman tertentu (crop specific) berikut tindakan pengelolaannya seperti teknik pemupukan dan KTA yang efektif diterapkan dan lainnya. Klasifikasi Kemampuan Lahan Evaluasi kemampuan lahan merupakan salah satu upaya untuk memanfaatkan lahan sesuai dengan potensinya. Evaluasi kemampuan lahan dapat mendukung proses dalam penyusunan rencana penggunaan lahan di suatu wilayah secara cepat dan tepat sebagai pijakan dalam mengatasi benturan pemanfaatan lahan (Suratman et al. 1993). Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak digunakan adalah sistem USDA yang dikemukakan oleh Klingebiel dan Montgomery (1961), diacu dalam Arsyad (2006) dan Hardjowigeno (2007). Sistem ini mengenal tiga kategori yaitu klas, subklas dan unit. Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas Kemampuan lahan dalam tingkat kelas menunjukkan keragaman besarnya faktorfaktor penghambat yang terdiri atas kelas I sampai VIII. Tingkat risiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat semakin bertambah dengan semakin tingginya kelas. Tingkat faktor penghambat ditentukan berdasarkan kriteria tertentu (Lampiran 6). Tanah kelas I IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan kelas V VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya (Gambar 4). Kelas I. Tanah yang tergolong kelas I sesuai untuk semua jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Tanah tergolong datar, dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah dan responsif terhadap pemupukan. Tanah kelas I tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan sehingga dapat digarap untuk usahatani tanaman semusim. Pemupukan dan usahausaha pemeliharaan tanah yang baik dapat menjaga kesuburannya dan mempertinggi produktivitasnya. Kelas II. Tanah kelas II sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan sedikit hambatan dan ancaman kerusakan. Lahannya berlereng landai, agak peka terhadap erosi, bertekstur halus sampai agak kasar. Penerapan untuk usaha pertanian semusim memerlukan pemupukan seperti pada kelas I dan disertai tindakan pengawetan tanah yang ringan seperti pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan LCC (pupuk hijau), dan guludan.

32 KELAS INTENSITAS DAN MACAM PENGGUNAAN MENINGKAT KEMAMPUAN LAHAN CAGAR ALAM/HUTAN LINDUNG HUTAN PRODUKSI TERBATAS PENGGEMBALAAN TTERBATAS PENGGEMBALAAN SEDANG PENGGEMBALAAN INTENSIF PERTANIAN TERBATAS PERTANIAN SEDANG PERTANIAN INTENSIF PERTANIAN SANGAT INTENSIF HAMBATAN/ANCAMAN MENINGKAT, KESESUAIAN DAN PILIHAN PENGGUNAAN BERKURANG I II III IV V VI VII VIII Gambar 4 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan (Klingebiel dan Montgomery 1961, diacu dalam Arsyad 2006 dan Hardjowigeno 2007). Kelas III. Tanah golongan kelas III sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas II sehingga memerlukan tindakan pengawetan khusus. Tanah kelas III terletak pada lereng agak miring. Usaha pertanian pada tanah kelas III memerlukan tindakan untuk memelihara atau meningkatkan kesuburan tanah dan tindakan pengawetan tanah khusus perlu diterapkan diantaranya penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran dengan LCC dimana waktu untuk tanaman tersebut lebih lama. Kelas IV. Tanah kelas IV sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas III, sehingga memerlukan tindakan pengawetan tanah khusus yang lebih berat dan lebih terbatas waktu penggunaannya untuk tanaman semusim. Tanah kelas IV terletak pada lereng yang miring (15 30%) atau berdrainase buruk atau kedalamannya dangkal. Penggunaannya untuk tanaman semusim

33 memerlukan penerapan teras atau perbaikan drainase atau pergiliran dengan LCC/makanan ternak/pupuk hijau selama 3 5 tahun. Kelas V. Tanah kelas V tidak sesuai untuk digarap bagi tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami tanaman makanan ternak secara permanen atau dihutankan. Tanah kelas V terletak pada tempat yang datar atau agak cekung sehingga selalu tergenang air atau terlalu banyak batu di atas permukaannya atau terdapat liat masam (cat clay) di dekat atau pada daerah perakarannya. Kelas VI. Tanah kelas VI tidak sesuai untuk digarap bagi usahatani tanaman semusim, disebabkan terletak pada lereng yang agak curam (30 45%) sehingga mudah tererosi, atau kedalamannya yang sangat dangkal atau telah mengalami erosi berat. Tanah ini lebih sesuai untuk padang rumput atau dihutankan. Penggarapannya untuk usahatani tanaman semusim memerlukan aplikasi teras tangga (bangku) dan penggunaannya untuk padang rumput harus dijaga agar rumputnya selalu menutup dengan baik. Kelas VII. Tanah kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk usahatani tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami vegetasi permanen. Penggunaannya untuk padang rumput atau penggembalaan atau penebangan harus dilakukan dengan hatihati. Tanah kelas VII terletak pada lereng yang curam (45 65%) dan tanahnya dangkal atau telah mengalami erosi yang sangat berat. Kelas VIII. Tanah kelas VIII tidak sesuai untuk usaha produksi pertanian, dan harus dibiarkan pada keadaan alami atau di bawah vegetasi alam. Tanah ini dapat dipergunakan untuk cagar alam daerah rekreasi atau hutan lindung. Tanah kelas VIII adalah tanahtanah yang berlereng sangat curam (lebih dari 65%) atau lebih dari 90% permukaan tanah ditutupi batuan lepas atau batuan singkapan dan tanah bertekstur kasar. Kemampuan Lahan pada Tingkat Subkelas Subkelas dalam kemampuan lahan adalah pengelompokan unit kemampuan lahan yang mempunyai jenis faktor penghambat atau ancaman kerusakan yang sama jika digunakan untuk pertanian. Jenisjenis hambatan atau ancaman kerusakan ditulis di belakang angka kelas. Jenis hambatan atau ancaman kerusakan pada tingkat subkelas terdiri atas ancaman erosi (e) yaitu tingkat erosi yang telah terjadi dan ditentukan berdasarkan kecuraman lereng dan kepekaan erosi tanah, keadaan drainase (d)

34 yang ditentukan berdasarkan kelebihan air atau ancaman banjir, hambatan daerah perakaran (s) ditentukan berdasarkan kedalaman tanah terhadap batu atau lapisan yang menghambat perkembangan perakaran, adanya batuan di permukaan tanah, kapasitas menahan air yang rendah, sifatsifat kimia yang sulit diperbaiki seperti salinitas atau kandungan Natrium atau senyawa kimia lain yang menghambat pertumbuhan tanaman yang tidak praktis dihilangkan dan hambatan iklim (c). Kemampuan Lahan pada Tingkat Unit (Satuan Pengelolaan) Kemampuan lahan pada tingkat unit atau satuan pengelolaan menunjukkan keterangan yang lebih spesifik dan detil atau besarnya faktor penghambat pada tingkat subkelas (Lampiran 8). Simbol tingkat unit kemampuan lahan ditulis dengan menambah angka arab di belakang simbol subkelas. Tanah yang tergolong dalam satu unit kemampuan lahan mempunyai kemampuan dan memerlukan cara pengelolaan (pemupukan dan lainlain) yang sama untuk pertumbuhan tanaman. Lahan ini mempunyai sifatsifat yang sama dalam hal (a) kemampuan mendukung produksi tanaman pertanian dan rumput ternak, (b) memerlukan tindakantindakan konservasi dan pengelolaan yang sama, (c) tanaman yang ditanam di lahan tersebut dengan pengelolaan yang sama akan memberi hasil yang kurang lebih sama (produksi ratarata tidak akan berbeda lebih dari 25%). Kesesuaian Lahan Penentuan kelas kesesuaian lahan adalah langkah pertama yang harus dilakukan dalam menyusun perencanaan SPK. Pertimbangan kesesuaian lahan sangat berkaitan dengan persyaratan yang dibutuhkan oleh tanaman pertanian sehingga dapat tumbuh baik dan berproduksi secara optimal. Selain itu juga diperlukan untuk menentukan tindakan pengelolaan yang tepat, baik kebutuhan input maupun pola dan sistem tanam. Setiap jenis tanaman akan membutuhkan persyaratan tumbuh yang berbeda (Sinukaban 1989 dan Abdurachman et al. 1998). Penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan kriteria setiap kelas kesesuaian lahan untuk suatu jenis tanaman dengan karakteristik (kualitas) lahan. Kerangka sistem klasifikasi kesesuaian laan terdiri atas 4 (empat) kategori, yaitu ordo, kelas, subkelas dan unit (FAO 1976, diacu dalam Djaenudin et al. 2003 dan Hardjowigeno 2006).

35 Tingkat ordo menggambarkan keadaan kesesuaian lahan secara global. Ordo kesesuaian lahan digolongkan menjadi sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Tingkat kelas kesesuaian lahan menggambarkan tingkat kesesuaian pada tingkat ordo dan dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N). Klasifikasi tingkat ordo dilanjutkan dengan tingkat subkelas yang menggambarkan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat. Jumlah faktor pembatas sebaiknya dibatasi, maksmimal dua pembatas. Tingkat subkelas kesesuaian lahan dapat pula digambarkan oleh tingkat unitnya yang ditentukan berdasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh terhadap pengelolaannya. Semua unit yang berada dalam satu subkelas mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkatan subkelas. Unit yang satu berbeda dengan unit yang lainnya dalam sifatsifat tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan perbedaan detil dari faktor pembatasnya. Penentuan pembatas hingga tingkat unit akan mempermudah tafsiran secara detil dalam perencanaan usahatani (Djaenudin et al. 2003). Program Tujuan Ganda Program tujuan ganda (PTG) atau multiple goal programming (MGP) merupakan pengembangan dari linear programming yang diperkenalkan oleh Charnes dan Cooper pada awal tahun 60an. Perbedaan utama antara PTG dengan linear programming (LP) terletak pada struktur dan penggunaan fungsi tujuan. Prinsip tersebut menunjukkan bahwa PTG dianggap sebagai salah satu teknik penyelesaian masalah (penarikan keputusan) dengan sistem multikriteria. Semua asumsi dalam LP berlaku pula dalam PTG, yaitu linearitas, proporsionalitas, aditivitas, divisibilitas dan deterministik (Nasendi dan Anwar 1985; Mulyono 1991). Multiple goal programming (MGP) adalah salah satu teknik pemrograman matematik yang ditujukan untuk memuaskan berbagai tujuan secara simultan. Semua tujuan digabung dalam sebuah fungsi tujuan dengan mengekspresikan tujuan itu dalam bentuk sebuah kendala (goal contraint) dan memasukkan suatu variabel simpangan dalam kendala tersebut untuk mencerminkan seberapa jauh tujuan tercapai dan menggabung variabel simpangan (deviasi) dalam fungsi tujuan. Tujuan dalam analisis LP adalah maksimisasi atau minimisasi,

36 sedangkan dalam MGP tujuannya adalah meminimumkan penyimpangan (deviasi) dari tujuan tertentu (Mulyono 1991 dan Hillier dan Lieberman 1980, diacu dalam Briassoulis 2004). Menurut Nasendi dan Anwar (1985), model PTG terdiri atas model tanpa prioritas tujuan dan model dengan prioritas tujuan. Perumusan model PTG tanpa prioritas dalam strukturnya adalah : Fungsi tujuan : z = m i= 1 W + d + W + i d i... (2) dengan syarat ikatan : n i= 1 a X + d d = b...(3) ij j + i i untuk i = 1, 2,...,n (kendala tujuan) i g X atau C...(4) kj j Untuk k = 1, 2,...,p (kendala fungsional) dan j = 1, 2,...,n + dan Xj, d i, d i 0...(5) k + d. = 0...(6) i d i Keterangan : X j = peubah keputusan (jenis penggunaan lahan) kej a ij = koefisien teknologi X j pada kendala sasaran kei g kj = koefisien teknologi X j pada kendala real kek b i = sasaran/tujuan target kei C k = jumlah sumberdaya k yang tersedia d, = deviasi yang kekurangan () dan kelebihan (+) terhadap tujuan kei + i d i + W = timbangan relatif dari d + W = timbangan relatif dari d Selain itu model PTG dengan prioritas tujuan dapat pula dirumuskan dengan menambahkan faktor prioritas tujuan (P s dan P y ) dalam struktur model (persamaan) fungsi tujuan seperti dapat ditulis sebagai berikut : z = q i= 1 + i s + i i, y PW, d + PW d...(7) s Program tujuan ganda (PTG) telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian tentang optimalisasi penggunaan lahan, diantaranya Manik (1992) i i

37 mengaplikasikan PTG dalam optimalisasi penggunaan lahan sesuai dengan daya dukung lingkungan di DAS Way Seputih, Lampung Tengah. Model yang disusun menggunakan luas lahan di hulu DAS Way Seputih sebagai fungsi kendala riil, sedangkan kendala tujuan terdiri atas tingkat erosi, aliran permukaan tiap bulan, ketersediaan tenaga kerja petani, serta pendapatan minimal per kapita petani. Output penelitian ini adalah alokasi luas lahan untuk setiap jenis penggunaan dalam DAS yang sesuai dengan daya dukung lingkungan. Program tujuan ganda (PTG) digunakan juga oleh Rachman (2000) untuk membuat model penggunaan lahan untuk pengembangan konservasi alam terpadu di Pulau Siberut Sumatera Barat dengan mempertimbangkan aspek biofisik dan sosial ekonomi sebagai faktor atau variabel kendala. Rauf (2004) juga telah menggunakan PTG ini dalam mengkaji sistem agroforestri yang optimal di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Faktor kendala riil yang digunakan adalah luas lahan yang dimiliki petani, dengan tujuan untuk mengurangi laju erosi, meningkatkan produksi dan pendapatan petani, memanfaatkan modal serta tenaga kerja yang dimiliki petani. Hasil analisis PTG menunjukkan alokasi luas lahan optimal untuk setiap jenis tanaman yang dijadikan komponen dalam setiap sistem agroforestri yang dikaji.

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai dari bulan Agustus 2006 hingga Januari 2007. Lokasi penelitian adalah kawasan hulu DAS Batanghari, tepatnya DAS Batang Pelepat (Lampiran 7). Daerah alliran sungai (DAS) ini terletak di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan berbagai pertimbangan, diantaranya DAS Batang Pelepat merupakan kawasan hulu DAS Batanghari yang sebagian wilayahnya termasuk kawasan penyangga TNKS dan sebagian hutannya telah mengalami konversi menjadi lahan UTKKS, tetapi belum dikelola secara berkelanjutan dan optimal, terutama usahatani rakyat. Bahan dan Alat Alatalat yang diperlukan dalam penelitian adalah seperangkat peralatan untuk survei tanah, seperti bor tanah, pisau profil, kompas atau GPS (Geography Position System), abney level, dan lainlain. Peralatan lain yang diperlukan adalah seperangkat peralatan untuk pengamatan erosi di lapangan, yaitu petak dan bak erosi. Penelitian juga memerlukan bahan berupa bahanbahan kimia yang digunakan untuk analisis sampel tanah di laboratorium. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei dan percobaan lapangan dengan pendekatan model program tujuan ganda (PTG). Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu persiapan, pengumpulan data, analisis data dan penyusunan perencanaan UTKKS berkelanjutan (Gambar 5). Persiapan Penelitian diawali dengan penetapan lokasi pengamatan intensif, yaitu pada sub DAS Batang Pelepat. Berdasarkan peta lereng, peta tanah dan peta penggunaan lahan sub DAS Batang Pelepat diperoleh satuan lahan (SL) yang menjadi obyek pengamatan dan dasar menyusun perencanaan. Satuan lahan (SL) juga digunakan sebagai pedoman untuk menentukan letak petak erosi yang mewakili setiap tipe UTKKS pada beberapa kemiringan lereng. Sub DAS Batang Pelepat juga digunakan sebagai unit perencanaan UTKKS berkelanjutan. Perencanaan yang disusun pada sub DAS Batang Pelepat tersebut diektrapolasi untuk seluruh DAS Batang Pelepat. 38

39 Mulai Persiapan : Studi Pustaka, Pengumpulan peta dan data sekunder, Penetapan sampel (Satuan Lahan Pengamatan, tanah dan responden), Persiapan Kuisioner, dan Groundcheck peta Pengumpulan Data di Lapangan Tujuan 1 dan 2 Survei, Pengukuran dan Pengamatan Kondisi Aktual Data Biofisik : Iklim, hidrologi, karakteristik lahan dan tipe penggunaan lahan, tipe UTKKS Data Sosial Ekonomi : Penduduk, pendapatan, jenis usahatani, luas dan status penggunaan lahan, modal, penggunaan input dan sarana produksi dan agroteknologi yang digunakan. Analisis Kemampuan dan Kesesuaian Lahan Analisis Tipe UTKKS Analisis Pengaruh Tipe UTKKS terhadap sifat tanah, aliran permukaan dan erosi Prediksi Erosi dengan USLE Analisis Karakteristik Petani Analisis Usahatani Analaisis Kelayakan Usahatani Alternatif Tipe dan Agroteknologi UTKKS yang sudah diterima dan diterapkan petani Tujuan 3 Analisis Agroteknologi UTKKS (Erosi Etol; P PKHL Tipe dan Agroteknologi UTKKS Berkelanjutan Analisis Optimalisasi UTKKS berkelanjutan dengan PTG Usahatani Berkelanjutan dan Optimal Selesai Gambar 5 Diagram alir tahapan penelitian dan analisis data.

Persiapan penelitian juga meliputi penyiapan kuisioner untuk pengumpulan data dari responden. Responden terdiri atas responden pejabat terkait dan petani. Responden pejabat terkait yang ditunjuk secara sengaja (purposive) berjumlah 2 orang, yaitu kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bungo dan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) di kecamatan Pelepat, sedangkan responden petani ditetapkan dengan cara proportional stratified random sampling. Petani ini dikelompokkan berdasarkan tipe usahatani yang terdapat di DAS Batang Pelepat dengan jumlah sampel sebanyak 10% dari jumlah populasi (Tabel 9). Tabel 9 Jumlah sampel responden petani yang ditetapkan berdasarkan tipe UTKKS yang terdapat di DAS Batang Pelepat Tipe UTKKS Jumlah Populasi Petani Jumlah Sampel Petani Karet : Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet I Monokultur Karet II KaretGaharu 630 526 200 460 20 63 52 20 46 2 Jumlah 1 836 183 Kelapa Sawit : Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang 174 4 17 1 Jumlah 178 18 Total 2 014 201 Pengumpulan Data Jenis, Sumber dan Kegunaan Data Data yang dihimpun dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder yang meliputi data biofisik dan sosial ekonomi (Tabel 10). Data sekunder berupa petapeta digunakan untuk melengkapi surface radar topography model (SRTM) dalam membuat (delineasi) batas DAS Batang Pelepat dan memperoleh satuan lahan. Data biofisik yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data hidrologi (tinggi muka air dan debit), data vegetasi (penggunaan lahan) dan tipe UTKKS, data tanah (fisik dan kimia) dan iklim (curah hujan dan suhu) yang dapat digunakan untuk menggambarkan karakteristik biofisik DAS Batang Pelepat. Data tanah dan iklim digunakan untuk evaluasi lahan, analisis erosi, erodibilitas dan pemilihan teknik KTA (Tabel 10). Data iklim (curah hujan yang meliputi curah hujan bulanan, jumlah hari hujan per bulan dan ratarata maksimum hujan dalam 24 jam setiap bulan) diperlukan untuk menentukan indeks erosivitas hujan dalam prediksi erosi dengan model USLE. 40

Tabel 10 Jenis, sumber, teknik pengumpulan dan kegunaan data penelitian Jenis Data Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Kegunaan Data Primer : 1. Aliran permukaan dan jumlah tanah yang tererosi pada setiap tipe UTKKS 2. Sifat tanah (berat volume, total ruang pori, stabilitas agregat, permeabilitas, kapasitas infiltrasi dan C organik) 3. Luas penggunaan lahan 4. jumlah dan jenis tanaman pertanian yang diusahakan 5. jumlah anggota keluarga 6. produksi tanaman 7. pendapatan petani 8. modal yang diperlukan dan yang dimiliki petani 9. tenaga kerja yang digunakan 10. input atau sarana produksi yang digunakan 11. Sistem usahatani (agroteknologi) yang diterapkan Data Sekunder : 1. Surface radar topograph model (SRTM) 2. Peta rupa bumi skala 1 : 50.000 lembar 081431, 0814 32, 091411 091413 dan 091442 3. Peta SPT Kabupaten Bungo skala 1 : 100.000 4. Peta penggunaan lahan yang dapat diinterpretasi dari citra landsat ETM 7 path 126/061 tahun 2002 5. Curah hujan dan suhu udara di DAS Batang Pelepat 6. Tinggi muka air dan debit 7. Sifatsifat tanah(berat volume, total ruang pori, struktur, tekstur, stabilitas agregat, warna tanah, kedalaman tanah, drainase dan permeabilitas, lereng dan bahaya erosi, bahaya banjir (genangan), batuan dipermukaan, Corganik, ph, Ntotal, Ktersedia, dan Ptersedia) 8. Data Kependudukan 9. Data pendukung lainnya dan hasil penelitian sebelumnya Pengukuran pada petak erosi Analisis sampel tanah petak erosi di laboratorium Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel & pengamatan pada SL Bakosurtanal Bakosurtanal Balitbang Pertanian (2005c) Balitbang Pertanian (2005c) Balitbang Pertanian (2005c) Stasiun Pasir Putih, Kabupaten Bungo Depkimpraswil Satuan lahan (Balitbang Pertanian 2005c) Kantor Kecamatan dan BPS Kab. Bungo Studi Pustaka Analisis pengaruh tipe UTKKS terhadap aliran permukaan dan erosi Analisis pengaruh tipe UTKKS terhadap sifatsifat tanah Analisis karakteristik petani Analisis karakteristik petani Analisis karakteristik petani, KFM &PKHL Analisis karakteristik UTKKS Analisis karakteristik petani Analisis karakteristik petani & analisis usahatani Analisis usahatani Analisis usahatani Identifikasi dan analisis karakteristik tipe UTKKS SRTM dan petapeta digunakan untuk delineasi batas DAS dan untuk menentukan satuan lahan Kondisi iklim dan menentukan indeks erosivitas Kondisi hidrologi Analisis karakteristik lahan, kelas kemampuan dan kesesuaian lahan, analisis erodibilitas dan erosi serta pemilihan teknik KTA Analisis karakteristik sosial ekonomi Penunjang 41

Data sosial ekonomi yang dikumpulkan antara lain data kependudukan, luas pemilikan lahan, sarana produksi yang digunakan, tingkat pendapatan, dan data sosial ekonomi lainnya (Tabel 10). Pengumpulan data ini dimaksudkan untuk menentukan karakteristik sosial dan ekonomi DAS Batang Pelepat, terutama karakteristik petani dan karakteristik tipe UTKKS. Teknik Pengumpulan Data Tipe UTKKS Tipe UTKKS yang ada di DAS Batang Pelepat diidentifikasi melalui survei berdasarkan peta satuan lahan. Satuan lahan (SL) yang dijadikan acuan adalah SL dengan penggunaan lahan berupa karet dan kelapa sawit. Tipe UTKKS diklasifikasi berdasarkan sistem pengelolaan atau budidaya. Tanah Data karakteristik tanah setiap satuan lahan (SL) diperoleh dari hasil penelitian Balitbang Pertanian (2005c). Data tanah juga diperoleh berdasarkan analisis sampel tanah utuh, agregat utuh dan komposit yang diambil dari setiap lokasi petak erosi sesuai dengan perlakuan dan kelompok yang ditetapkan (Tabel 11). Sampel tanah utuh digunakan untuk analisis sifatsifat fisik tanah seperti bobot isi dan permeabilitas, sampel tanah agregat utuh digunakan untuk analisis indeks kemantapan agregat dan sampel tanah komposit digunakan untuk Corganik tanah. Data tanah dari setiap petak erosi digunakan untuk analisis pengaruh tipe UTKKS terhadap sifat tanah. Aliran Permukaan dan Erosi tanah pada berbagai Tipe UTKKS dan Hutan Besarnya aliran permukaan dan erosi pada lahan dengan berbagai tipe UTKKS serta hutan ditentukan berdasarkan pengukuran di lapangan dengan membuat petak erosi. Pengukuran tersebut dilakukan pada jenis tanah yang paling dominan di kawasan DAS Batang Pelepat, yaitu Dystrudept. Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengukuran aliran permukaan dan erosi adalah rancangan acak kelompok dengan perlakuan yang terdiri atas 3 tipe usahatani karet, 2 tipe usahatani kelapa sawit dan hutan sekunder yang berumur 7 8 tahun dan kelompok (ulangan) yang terdiri atas kelas lereng 10%, 20%, dan 30%. Oleh karena itu jumlah petak erosi yang dibuat di lapangan adalah 18 petak (Tabel 11). Deskripsi masingmasing tipe UTKKS dan hutan yang dijadikan perlakuan adalah sebagai berikut : 42

Tabel 11 Perlakuan masingmasing petak erosi yang ditentukan berdasarkan tipe UTKKS serta kelompok kemiringan lereng yang digunakan untuk pengukuran aliran permukaan dan erosi di lapangan Kode Petak Erosi Perlakuan Kelas Lereng (%) (Kelompok) KR11 Monokultur Karet I 10 KR12 Monokultur Karet I 20 KR13 Monokultur Karet I 30 KR21 Monokultur Karet II 10 KR22 Monokultur Karet II 20 KR23 Monokultur Karet II 30 KR31 Karet Manau Sungkai 10 KR32 Karet Manau Sungkai 20 KR33 Karet Manau Sungkai 30 KS11 Monokultur Kelapa Sawit 10 KS12 Monokultur Kelapa Sawit 20 KS13 Monokultur Kelapa Sawit 30 KS21 Kelapa Sawit Pisang 10 KS22 Kelapa Sawit Pisang 20 KS22 Kelapa Sawit Pisang 30 Ht1 Hutan Sekunder 10 Ht2 Hutan Sekunder 20 Ht3 Hutan Sekunder 30 43 1. Monokultur karet I (KR1) Penanaman karet disertai dengan pemupukan dan penyemprotan dengan pestisida secara lebih teratur dengan takaran relatif rendah. Penyiangan tanaman pengganggu dilakukan secara intensif sehingga permukaan tanah relatif bersih dan terbuka (tanpa tanaman penutup tanah dan hanya ditutupi oleh daundaun karet yang gugur). 2. Monokultur karet II (KR2) Penanaman karet yang disertai dengan pemupukan pada saat tanaman belum menghasilkan dan selanjutnya hanya dilakukan setiap 5 tahun. Penyiangan tanaman pengganggu relatif tidak dilakukan sehingga permukaan tanah ditutupi oleh tumbuhan semak belukar. 3. Sesap karet (KR3) Campuran karet dengan tanaman hutan (manau dan sungkai), tanpa pemupukan dan permukaan tanah dibiarkan tertutup oleh tumbuhan semak belukar. 4. Monokultur kelapa sawit (KS1) Penanaman kelapa sawit yang disertai dengan pemupukan pada saat tanaman yang belum menghasilkan dan selanjutnya hanya dilakukan setiap 5 tahun. Penyiangan tanaman pengganggu relatif tidak dilakukan sehingga permukaan tanah ditutupi oleh tumbuhan semak belukar.

44 5. Campuran kelapa sawit dan pisang (KS2) Campuran kelapa sawit dengan pisang dengan teknik budidaya yang dilengkapi dengan pemupukan pada saat tanaman yang belum menghasilkan dan selanjutnya dilakukan secara tidak teratur. Penyiangan tanaman pengganggu relatif tidak dilakukan sehingga permukaan tanah ditutupi oleh tumbuhan semak belukar. 6. Hutan sekunder (Ht) Hutan bekas tebangan dan telah dibiarkan menjadi hutan kembali selama 7 8 tahun. Petak erosi yang dibuat berukuran 10 m searah lereng dan lebar 10 m searah kontur. Bagian atas dan samping petak dibatasi plastik dengan lebar 45 cm. Sebagian plastik (15 cm) ditanam secara vertikal ke dalam tanah. Bagian bawah lereng pada setiap petak dipasang bak penampung. Bak penampung ini berfungsi untuk menampung aliran permukaan yang terjadi dan tanah yang tererosi. Data aliran permukaan dan erosi pada setiap petak diasumsikan berbeda sesuai dengan perlakuan dan kelompok yang ditetapkan, sedangkan kondisi variabel lain yang mempengaruhi aliran permukaan dan erosi tersebut diasumsikan sama (homogen). Aliran permukaan dan tanah yang tererosi diukur per hari hujan. Volume aliran permukaan dihitung dengan menakar air yang tertampung pada bak erosi. Tanah yang tererosi ditentukan dengan menganalisis sampel yang tertampung di bak dengan metode gravimetri. Sosial Ekonomi Data sosial ekonomi (Tabel 10) diperoleh melalui wawancara responden dengan menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan. Data sosial ekonomi digunakan untuk menggambarkan karakteristik petani dan analisis pendapatan serta kelayakan usahatani. Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis data biofisik dan sosial ekonomi. Analisis data biofisik meliputi analisis karakateristik lahan (kemampuan dan kesesuaian lahan untuk beberapa tanaman pertanian) dan tipe UTKKS serta pengaruh tipe UTKKS terhadap sifatsifat tanah, aliran permukaan dan erosi, sedangkan analisis data sosial ekonomi meliputi analisis PKHL, pendapatan dan kelayakan setiap tipe UTKKS. Berdasarkan hasil analisis

data biofisik dan sosial ekonomi disusun perencanaan UTKKS berkelanjutan sehingga diperoleh tipe dan agroteknologi UTKKS berkelanjutan dan optimal (Gambar 5). Karakteristik Lahan Karakteristik lahan dianalisis secara deskriptif dan dilanjutkan dengan evaluasi lahan (penilaian kelas kemampuan dan kesesuaian lahan). Kelas kemampuan setiap SL dinilai dengan berdasarkan sifatsifat fisik lingkungan dan jenis faktor penghambat sesuai dengan kriteria klasifikasi kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Klingebiel dan Montgomery (1973), diacu dalam Arsyad (2006) dan Hardjowigeno (2007), sedangkan kelas kesesuaian lahan ditentukan dengan menilai atau membandingkan kualitas lahan pada setiap SL dengan kriteria kesesuaian lahan untuk karet dan kelapa sawit serta tanaman sela (padi ladang dan pisang yang disusun oleh Djaenudin et al. (2003) pada Lampiran 2 hingga 5. Karakteristik Tipe UTKKS Karakteristik tipe UTKKS yang terdapat di DAS Batang Pelepat dianalisis secara deskriptif. Analisis meliputi karakteristik petani dan setiap tipe UTKKS yang teridentifikasi, diantaranya tanaman yang digunakan, teknik budidaya dan teknik KTA dan input yang digunakan (bibit, pupuk, dan saprodi lainnya), produksi tanaman (karet, kelapa sawit dan tanaman sela) serta pendapatan yang diperoleh dari usahatani. Analisis Pengaruh Tipe UTKKS terhadap SifatSifat Tanah, Aliran Permukaan dan Erosi Pengaruh setiap tipe UTKKS terhadap sifatsifat tanah, aliran permukaan dan erosi dianalisis secara statistik dengan analisis ragam atau uji F pada selang kepercayaan 95%, yang didasarkan pada model linear aditif Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang menurut Gaspersz (1991) dirumuskan dengan persamaan berikut : Y = μ + K + A + ε...(8) ijk k i Keterangan : Y ijk = Pengamatan pada perlakuan kei dari faktor A dalam kelompok kek µ = nilai ratarata umum K k = pengaruh kelompok kek (kelas kemiringan lereng) = pengaruh perlakuan kei dari faktor A (tipe UTKKS dan hutan) A i ijk 45

46 Є ijk = pengaruh galat percobaan pada kelompok kek yang mempengaruhi perlakuan kei dari faktor A Analisis ragam dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan s New multiple range test atau DNMRT pada selang kepercayaan 95%). Analisis ini digunakan untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar perlakuan (tipe UTKKS serta hutan) dalam mempengaruhi sifatsifat tanah, aliran permukaan dan erosi. Erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) Erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Wood dan Dent (1983), diacu dalam Hardjowigeno (2007), yang juga memperhitungkan kedalaman minimum tanah dan laju pembentukan tanah selain kedalaman ekuivalen (equivalent depth) dan umur guna tanah (resources life) dengan persamaan sebagai berikut : D E tol = e D min + LPT...(9) UGT Keterangan : D e = kedalaman ekuivalen (Arsyad, 2006) = kedalaman efektif tanah (mm) x faktor kedalaman tanah (Lampiran 11) D min = kedalaman tanah minimum (mm) (Lampiran 12) UGT = Umur guna tanah, yaitu 300 tahun untuk pemakaian secara terus menerus dan intensif (Sinukaban, 1989) LPT = laju pembentukan tanah, yaitu 1.00 mm/tahun ( Hardjowigeno 2007) Prediksi Erosi pada Satuan Lahan Erosi pada setiap SL diprediksi dengan menggunakan model USLE. Data ini digunakan dalam menyusun perencanaan UTKKS di DAS Batang Pelepat. Penetapan nilai faktorfaktor dalam model USLE dapat dihitung dengan menggunakan rumusrumus atau hasil penelitian yang sudah ada, yaitu : Faktor Erosivitas hujan (R). Di Indonesia data hujan harian untuk menghitung EI belum banyak tersedia sehingga biasanya menggunakan rumus EI. Faktor erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan nilainilai indeks erosi hujan bulanan (Bols 1978) dan dihitung berdasarkan persamaan berikut : R = 12 i= 1 ( EI 30) i...(10)

47 Nilai EI30 dihitung dengan menggunakan rumus berikut : EI30 = 6.119 + (Rain) 1.21 (Days) 0.47 (Maxp) 0.53...(11) Keterangan : EI30 = ratarata erosivitas hujan bulanan Rain = ratarata hujan bulanan (cm) Days = ratarata jumlah hari hujan per bulan Maxp = ratarata maksimum hujan dalam 24 jam setiap bulan Faktor Erodibilitas Tanah (K). Nilai erodibilitas tanah dihitung dengan menggunakan rumus Weischmeier dan Smith (1978) berikut : 100K = {1.292 (2.1 M 1.44 (10 4 )(12 a) + 3.25 (b 2) + 2.5 (c 3)}...(12) Keterangan : K = erodibilitas tanah M = kelas tekstur tanah (% pasir halus + %debu)(100 % liat) a = % bahan organik b = kode struktur tanah (Lampiran 8) c = kode permeabilitas profil tanah (Lampiran 8) Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS). Faktor panjang dan kemiringan lereng juga bisa dihitung secara langsung (digabung) menurut rumus : LS = X ( 0.0138 + S 2 + 0.00965S 0.00138...(13) keterangan : X = panjang lereng (m) dan S = kecuraman lereng (%) Faktor Tanaman dan Pengelolaannya (C). Penentuan faktor C untuk tanaman karet dan kelapa sawit didasarkan atas berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, demikian pula dengan penggunaan lahan lainnya (Lampiran 9). Faktor Pengelolaan Lahan atau Teknik KTA (P). Faktor P juga ditentukan berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Lampiran 10). Analisis Agroteknologi Analisis agroteknologi didahului dengan inventarisasi tipe UTKKS yang ada dan alternatif agroteknologi yang sesuai dengan kapasitas dan keinginan masyarakat di DAS Batang Pelepat. Sistem budidaya yang telah diterapkan oleh petani dibandingkan dengan sistem budidaya yang direkomendasikan. Perbaikan

agroteknologi disesuaikan dengan sistem budidaya yang ideal (rekomendasi) tersebut, meliputi pemupukan dan tindakan pemeliharaan tanaman lainnya. Analisis agroteknologi juga dilengkapi dengan pemilihan teknik KTA yang tepat. Teknik KTA dievaluasi berdasarkan perbandingan erosi yang akibat penerapan beberapa tipe UTKKS dengan Etol. Pemilihan teknik KTA dilakukan berdasarkan simulasi dengan menggunakan model USLE (Weischmeier dan Smith 1978). Nilai faktor R, K, L, dan S diasumsikan konstan sehingga teknik KTA dapat ditentukan dengan simulasi terhadap nilai faktor C dan P saja. Kriteria yang digunakan untuk menetapkan nilai CP maksimum adalah nilai CP yang mengakibatkan erosi lebih kecil atau sama dengan Etol. Kriteria tersebut dapat ditulis sebagai berikut : 48 A Etol atau RKLSCP Etol...(14) Etol CP atau CP rek CP max...(15) RKLS Analisis Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani diperoleh dengan melakukan analisis usahatani dengan menggunakan input berupa komponen biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani. Menurut Soekartawi (2002), analisis usahatani dengan menggunakan variabel tersebut dikenal dengan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis). Variabelvariabel tersebut dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut : a. Total penerimaan usahatani, merupakan perkalian antara produksi tanaman kei yang diperoleh dengan harga produksi tanaman kei dan dapat ditulis sebagai : n TR = Y i P yi = ( Y1 Py1 + Y2 Py 2 +... + Yn Pyn )...(16) i= 1 Keterangan : TR = Total penerimaan usahatani (Rupiah) Y i = Produksi tanaman kei (kg/ha) P yi = Harga produksi tanaman kei (Rupiah) b. Total biaya Usahatani, merupakan nilai semua keluaran yang dipakai dalam usahatani selama proses produksi baik yang langsung maupun tidak langsung. Total biaya usahatani dapat dihitung dengan rumus :

49 TC = FC + VC...(17) n VC = X i P xi = ( X 1 Px 1 + X 2Px 2 +... + X npxn )...(18) i= 1 Keterangan : TC = Total biaya usahatani (Rupiah) FC = biaya tetap yang berupa pajak dan biayabiaya penyusutan modal petani seperti peralatan, bangunan, dll (Rupiah). VC = Biaya variabel atau tidak tetap (Rupiah) Xi = Input usahatani kei (kg/ha) Pxi = Harga input usahatani kei (Rupiah) c. Pendapatan usahatani, merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya yang dapat dirumuskan dalam persamaan berikut : π = TR TC...(19) Keterangan : π = Pendapatan usahatani (Rupiah) TR = Total penerimaan (Rupiah) TC = Total biaya (Rupiah) Pendapatan usahatani dianalisis pada setiap tipe UTKKS dengan berbagai skenario agroteknologi (pada kondisi aktual dan perbaikan). Pendapatan yang diperoleh dari setiap tipe UTKKS dengan penerapan alternatif agroteknologi dijadikan masukan dalam optimalisasi UTKKS berkelanjutan dengan menggunakan PTG. Standar Kebutuhan Fisik Minimum dan Hidup Layak Standar kebutuhan fisik minimum (KFM) dan hidup layak (KHL) ditentukan berdasarkan kebutuhan beras per KK dan harga beras yang berlaku di suatu daerah. Menurut Sajogyo dan Sajogyo (1990), nilai ambang kecukupan pangan (beras) untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di pedesaan berkisar antara 240 320 kg/orang/tahun. Standar kebutuhan fisik minimum (KFM) ditetapkan dengan pendekatan sebagai berikut : KFM = KRT x 100% x n x Rp...(20) Keterangan : KFM = Kebutuhan Fisik Minimum KRT = Kebutuhan Rumah Tangga setara beras

50 n = Jumlah anggota keluarga Rp = Harga beras Menurut Sinukaban (2007c), KHL adalah KFM ditambah dengan kebutuhan hidup tambahan (KHT) berupa kebutuhan untuk menabung, rekreasi ataupun kebutuhan untuk mengikuti kegiatan sosial yang masingmasing sebesar 50% dari KFM (Persamaan 21). Oleh karena itu besarnya KHL adalah 2.5 kali (250%) KFM (Persamaan 22). KHT = KPS + KKR +Kastab = 150% KFM... (21) KHL = KFM + KHT = KRT x 250% x n x Rp... (22) Keterangan : KFM = Standar Kebutuhan Fisik Minimum (Rupiah) KRT = Standar Kebutuhan Rumah Tangga setara beras (Rupiah) n = Jumlah anggota keluarga (jiwa) Rp = Harga beras (Rupiah) KHT = Standar Kebutuhan Hidup Tambahan (Rupiah) KHL = Standar Kebutuhan Hidup Layak (Rupiah) KPS = Standar Kebutuhan untuk pendidikan dan kegiatan sosial (Rupiah) KKR = Standar Kebutuhan untuk kesehatan dan rekreasi (Rupiah) Kastab = Standar Kebutuhan untuk asuransi dan tabungan (Rupiah) Kebutuhan Lahan Minimal (L min ) Kebutuhan lahan minimal (L min ) adalah luas lahan minimal yang dibutuhkan untuk mengembangkan setiap tipe UTKKS, alternatif agroteknologi sehingga petani dapat memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi PKHL. Oleh karena itu kebutuhan luas lahan minimal (L min ) dirumuskan sebagai perbandingan antara standar kebutuhan hidup layak (PKHL) dan pendapatan usahatani (P) atau dapat pula dituliskan dengan persamaan berikut : PKHL L min =...(23) P Analisis Kelayakan UTKKS Berdasarkan total biaya dan pendapatan yang diperoleh melalui analisis usahatani dapat dilakukan analisis kelayakan finansial terhadap setiap tipe UTKKS. Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk setiap tipe UTKKS eksisting dan setiap tipe UTKKS yang menerapkan skenario agroteknologi. Kelayakan

setiap tipe UTKKS dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator kelayakan. Menurut Gittinger (1986); Soekartawi (2002) dan Gray et al. (2007), kriteria yang umum digunakan dan dapat dipertanggung jawabkan untuk berbagai penggunaan adalah benefit cost ratio (B/C ratio), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Benefit Cost Ratio (B/C ratio) merupakan perbandingan antara present value total dari hasil keuntungan (B t /(1+i) t ) terhadap present value dari biaya (C t /(1+i) t ) atau dirumuskan dengan persamaan 24berikut : n B t i= 1 t + B (1 i) ratio = C...(24) n C t i= 1 t (1+ i) Keterangan rumus : B t = manfaat dalam tahun ket C t = biaya produksi dalam tahun ket i = tingkat diskonto atau bunga t = tahun ket n = umur ekonomi jenis tanaman Tipe UTKKS dinilai layak dan menguntungkan jika nilai B/C ratio > 1 dan tidak menguntungkan jika nilai B/C ratio < 1. Nilai B/C ratio = 1 menunjukkan tipe UTKKS hanya dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan. Net Prevent Value (NPV) merupakan perbedaan antara nilai sekarang dari benefit (B t /(1+i) t ) dengan nilai sekarang dari biaya (C t /(1+i) t ) dengan rumus : Keterangan rumus : B t = manfaat dalam tahun ket C t = biaya produksi dalam tahun ket i = tingkat diskonto atau bunga t = tahun ket n = umur ekonomi jenis tanaman 51 n Bt Ct NPV =...(25) t t= 0 (1+ i)

52 Nilai NPV > 0 (positif) adalah indikator tipe UTKKS layak dan menguntungkan untuk dikembangkan, NPV < 0 (negatif) menunjukkan bahwa tipe UTKKS tidak layak dan tidak menguntungkan untuk dikembangkan dan NPV = 0 berarti tipe UTKKS hanya dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan. Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat bunga yang menunjukkan persentase keuntungan yang akan diperoleh tiap tahun atau kemampuan usaha dalam mengembalikan bunga bank. Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga pada saat NPV bernilai 0. Perhitungan IRR dilakukan dengan cara interpolasi antara tingkat bunga (i) pada saat NPV bernilai positif (NPV 1 ) dengan tingkat bunga pada saat NPV bernilai negatif (NPV 2 ). Nilai IRR dihitung dengan menggunakan rumus : NPV IRR =...(26) ( i ) 1 i1 + 2 i1 NPV1 NPV2 Keterangan rumus : NPV 1 = NPV bernilai positif NPV 2 = NPV bernilai negatif i 1 = tingkat bunga pada NPV positif i 2 = tingkat bunga pada NPV negatif Tipe UTKKS dinilai layak dan menguntungkan jika IRR > tingkat suku bunga yang sedang berlaku dan jika nilai IRR < tingkat suku bunga yang sedang berlaku, tipe UTKKS dinilai tidak layak dan tidak menguntungkan untuk dikembangkan. Nilai IRR = tingkat suku bunga yang sedang berlaku menunjukkan bahwa tipe UTKKS hanya dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Asumsi yang digunakan dalam analisis pendapatan dan kelayakan usahatani (UTKKS) diantaranya : 1. Umur ekonomis tanaman adalah 30 tahun untuk tipe usahatani sesap karet dan 25 tahun untuk tipe usahatani lainnya. 2. Tanaman karet berproduksi pada umur 8 tahun (sesap karet) dan 6 tahun (monokultur karet), sedangkan tanaman kelapa sawit berproduksi pada umur 3 tahun. 3. Tanaman padi ladang sebagai tanaman sela hanya ditanam 2 musim tanam dalam setahun hingga tanaman utama (karet atau kelapa sawit) berumur 2

53 tahun, sedangkan produksi tanaman pagar (pinang) diperhitungkan setiap tahun, mulai tahun ketiga. 4. Produksi tanaman karet dalam bentuk kadar karet kering (KKK), kelapa sawit dalam bentuk tandan buah segar (TBS), padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG), pinang dalam bentuk biji kering, dan gaharu dalam bentuk gubal, kayu sungkai, balam dan medang dalam bentuk kayu bulat (kg/ha atau ton/ha). 5. Hasil panen berupa KKK dan TBS dan produk lainnya selama satu tahun (Lampiran 13) habis terjual pada tahun tersebut. 6. Harga yang digunakan adalah harga ratarata yang berlaku selama 5 tahun sebelumnya hingga penelitian berlangsung dan diasumsikan tetap (Rp/kg atau Rp/ton). 7. Perhitungan menggunakan tingkat suku bunga bank 12% dan diasumsikan tetap. 8. Harga pasar input (sarana) produksi, hasil (produksi) dan upah tenaga kerja ditentukan berdasarkan harga standar lokal. 9. Peralatan yang digunakan diasumsikan mengalami penyusutan 5% setiap tahun dan diperbaharui setiap 5 tahun. Optimalisasi UTKKS dengan PTG Analisis optimalisasi dilakukan untuk memperoleh usahatani berkelanjutan yang optimal. Analisis optimalisasi dirumuskan dengan model PTG dengan prioritas. Tahapan analisis optimalisasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Input data Input dalam analisis PTG adalah data modal yang dibutuhkan, erosi, pendapatan pada setiap kemiringan lereng yang menerapkan berbagai tipe UTKKS sesuai dengan skenario agroteknologi. 2. Penetapan target Penggunaan lahan untuk UTKKS yang disertai dengan agroteknologi optimal tersebut harus mencapai sasaran (target) sebagai berikut : a. erosi menjadi lebih kecil dari atau sama dengan Etol b. pendapatan yang diperoleh harus lebih besar dari sama dengan PKHL. 3. Penetapan peubah dan parameter Peubah keputusan, fungsi kendala dan fungsi tujuan yang ditetapkan untuk memperoleh solusi optimal berdasarkan analisis PTG adalah :

54 A. Peubah Keputusan : luas penggunaan lahan yang menerapkan tipe UTKKS kei (X i ) dalam hektar. B. Fungsi Kendala 1. Kendala real : a. Alokasi penggunaan lahan dengan menerapkan tipe UTKKS kei (X i ) yang dibatasi oleh luas milik petani (A) X i A...(27) X i 0...(28) b. Modal yang dibutuhkan untuk menerapkan tipe UTKKS kei (M i ) yang dibatasi oleh modal yang dimiliki oleh Petani (M pet ). M i X i M...(29) pet 2. Kendala tujuan/sasaran : a. Mengurangi jumlah erosi akibat penerapan UTKKS kei (X i ) yang dibatasi oleh Etol. + Ei X i + d e d e = Etol...(30) + Tujuan : meminimumkan d e b. Meningkatkan pendapatan petani dengan menerapkan tipe UTKKS kei (X i ) yang dibatasi oleh standar pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (PKHL). + Pi X i + d p d p = PKHL...(31) Tujuan : meminimumkan d p C. Fungsi tujuan : meminimumkan total simpangan (deviasi) fungsi kendala tujuan terhadap target yang ditetapkan. + ( P ) ywi yd i + PsW i sd Z =, i,... (32) Keterangan rumus : X ij : Luas lahan dengan tipe UTKKS kei A : Luas lahan dominan yang dimiliki petani (5 ha) M i : Modal yang dibutuhkan untuk menerapkan tipe UTKKS kei (X i ) M pet : Modal yang dimiliki oleh petani

55 E i : Erosi akibat menerapkan tipe UTKKS kei (X i ) Etol : Erosi yang dapat ditoleransikan d + e, d e : Deviasi positif dan negatif target erosi P i : Pendapatan akibat menerapkan tipe UTKKS kei PKHL : Pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak + d p, d p : Deviasi positif dan negatif target pendapatan P y, P s : Faktorfaktor prioritas ke y dan ke s (ordinal) W i,y : Pembobotan terhadap di + dalam prioritas ke y W i,s : Pembobotan terhadap di dalam prioritas ke s Z : Fungsi Tujuan 4. Penetapan Skenario Skenario analisis optimalisasi adalah penerapan alternatif agroteknologi UTKKS dengan modal dan luas lahan yang dimiliki petani dan diterapkan pada beberapa kemiringan lereng dengan prioritas tujuan yang berbeda, yaitu dengan menetapkan sasaran erosi sebagai prioritas utama atau menetapkan sasaran pendapatan sebagai prioritas utama.

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat terletak antara 1 0 33 1 o 54 36 Lintang Selatan dan 101 0 38 24 102 0 18 Bujur Timur. Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat berbatasan dengan kabupaten Tebo (sebelah timur), Kabupaten Merangin dan Kerinci (sebelah selatan) dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Rantau Pandan dan Bathin III Ulu (Lampiran 7). Wilayah DAS Batang Pelepat yang terletak di sebelah utara dan timur jalan Lintas Sumatera, mempunyai tanah bergelombang dengan ketinggian lebih kurang 500 m dpl, sedangkan wilayah bagian barat dan selatan mempunyai ketinggian 500 1 000 m dpl dan berbatasan dengan TNKS. Penduduk Jumlah penduduk di DAS Batang Pelepat adalah 7 026 jiwa, yang terdiri atas 3 454 jiwa lakilaki dan 3 572 jiwa perempuan dengan 2 154 KK dan masingmasing keluarga ratarata mempunyai 5 anggota keluarga (Tabel 12). Jumlah penduduk yang paling banyak terdapat di desa Rantau Keloyang (kawasan hilir DAS Batang Pelepat). Sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian sebagai petani karet (1 836 KK atau 85.24%) dan sebagian kecil petani kelapa sawit (178 KK atau 8.26%), pegawai negeri sipil dan swasta (40 KK atau 6.50%). Tabel 12 Sebaran jumlah penduduk, jumlah KK dan Jumlah jiwa/kk pada setiap desa di DAS Batang Pelepat berdasarkan jenis kelamin, Tahun 2003 No Desa Jumlah Penduduk Jumlah Jumlah Jiwa/ LakiLaki Wanita Jumlah KK KK 1 2 3 4 5 Batu Kerbau Baru Pelepat Rantel Balai Jaya Rantau Keloyang 552 540 261 356 1 745 548 506 458 304 1 756 1 100 1 046 719 660 3 501 445 362 224 266 857 5 5 6 5 5 Jumlah 3 454 3 572 7 026 2 154 26 RataRata 691 714 1 405 431 5 Sumber : BPS Kabupaten Bungo (2004). Penduduk di DAS Batang Pelepat juga terdiri atas penduduk asli dan pendatang. Penduduk pendatang lebih banyak terdapat di desa Rantau Keloyang yang merupakan ibukota kecamatan Pelepat. Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat juga menjadi sasaran program transmigrasi, yaitu di Desa Baru Pelepat. Jumlah transmigran yang tinggal di kawasan ini berjumlah 125 KK. Setiap kepala keluarga diberikan lahan seluas 2 ha, dengan alokasi peruntukan sebagai lahan garapan (1.75 ha) dan tempat tinggal (0.25 ha). Semua 56

57 transmigran merupakan petani karet, namun belum menerapkan teknik budidaya yang memadai. Iklim Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat mempunyai iklim tropis dengan kelembaban 56 85% dan suhu ratarata 25 o C 26 o C (BPS Kabupaten Bungo 2004). Berdasarkan data curah hujan, kawasan ini menurut Koppen termasuk ke dalam tipe iklim Afa, menurut SchmidtFerguson termasuk tipe hujan A (daerah basah dengan hutan hujan tropis) dan berdasarkan peta agroklimat Sumatera skala 1 : 3 000 000, termasuk ke dalam zona agroklimat B1 (Oldeman 1978) dengan bulan kering selama kurang dari atau sama dengan 2 bulan berturutturut (Balitbang Pertanian 2005c). Berdasarkan data hujan dari stasiun Pasir Putih tahun 1985 2005 dapat diketahui bahwa curah hujan ratarata tahunan di DAS Batang Pelepat adalah 2 359.12 mm (Lampiran 15) dengan 124 hari hujan. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan desember dan curah hujan minimum terjadi pada bulan Juli. Curah hujan yang < 100 mm/bulan terjadi pada bulan Mei hingga agustus, sedangkan curah hujan yang > 200 mm terjadi pada bulan oktober hingga maret (Gambar 6). 400.00 18 Curah Hujan Bulanan (mm) 350.00 300.00 250.00 200.00 150.00 100.00 16 13 12 12 303.81 273.60 203.88 140.66 8 Curah Hujan Bulanan Jumlah Hari Hujan 6 7 7 7 191.43 10 12 14 339.78 312.81 276.18 16 14 12 10 8 6 4 Jumlah Hari Hujan 50.00 98.40 68.76 64.90 84.90 2 0.00 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nop Des Bulan Gambar 6 Variasi curah hujan dan jumlah hari hujan setiap bulan di DAS Batang Pelepat berdasarkan data curah hujan tahun 19852005 (Depkimpraswil Provinsi Jambi 2005). 0 Hidrologi Berdasarkan data tinggi muka air dan debit tahun 1985 hingga 2005 dapat diketahui bahwa debit minimum DAS Batang Pelepat adalah 24.30 m 3 /det

dengan tinggi muka air 1.00 m, sedangkan debit maksimum adalah 51.61 m 3 /det dengan tinggi muka air 1.50 m. Tinggi muka air dan debit minimum terjadi pada bulan Agustus, sedangkan tinggi muka air dan debit maksimum terjadi pada bulan Desember (Tabel 13). Tabel 13 Fluktuasi tinggi muka air dan debit pada setiap bulan berdasarkan data tahun 1985 2005 di DAS Batang Pelepat Bulan Tinggi Muka Air (m) Debit (m 3 /det) Januari 1.41 45.15 Pebruari 1.38 43.23 Maret 1.38 43.46 April 1.32 39.74 Mei 1.25 36.01 Juni 1.12 29.44 Juli 1.04 25.69 Agustus 1.00 24.30 September 1.02 25.52 Oktober 1.08 28.78 Nopember 1.34 40.89 Desember 1.50 51.61 Sumber : Kimpraswil Provinsi Jambi (2005). Tanah Berdasarkan kajian Balitbang Pertanian (2005c), fisiografi sub DAS Batang Pelepat dibedakan atas 3 grup utama, yaitu : grup Aluvial (A), grup Tektonik dan Struktural (T) dan grup Volkan (V). Grup aluvial merupakan fisiografi muda yang terbentuk karena proses fluvial (aktivitas sungai) atau gabungan antara proses fluvial dan koluvial (aktivitas gravitasi). Tanah yang terbentuk umumnya berlapislapis dengan tekstur yang beragam. Grup aluvial yang dijumpai adalah dataran banjir dari sungai Batang Pelepat. Grup tektonik dan struktural merupakan fisiografi yang terbentuk sebagai akibat proses tektonik (orogenesis dan epirogenesis) berupa proses angkatan, patahan dan atau lipatan. Grup tektonik dan struktural dijumpai dalam bentuk dataran terplainasi berombak (T.10.2) dan bergelombang (T.10.3) dengan lereng 0 15%. Grup volkan adalah kelompok fisiografi yang terbentuk akibat aktivitas gunung berapi. Fisiografi ini dicirikan oleh adanya bentukan kerucut volkan, aliran lahar, lava ataupun wilayah yang merupakan akumulasi bahan volkanik. Di daerah penelitian terdapat perbukitan volkan tua (V.3.2) hingga pegunungan volkan tua (V.3.3). Perbukitan volkan tua menyebar pada bentuk wilayah berbukit agak curam hingga berbukit sangat curam dengan lereng 8 55%. Berdasarkan hasil penelitian lapangan dan peta tanah kabupaten Bungo skala 1 :100.000 (Balitbang Pertanian 2005c), tanah di DAS Batang Pelepat 58

terdiri dari 3 ordo, yaitu : Inceptisols, Ultisols dan Oxisols dan pada tingkat klasifikasi yang lebih rendah (Grup) dibedakan menjadi endoaquepts, Dystrudepts, Hapludults dan Kandiudox. Tanah di DAS Batang Pelepat didominasi oleh grup Dystrudepts dengan luas 35 441 ha atau 73.13% dari luas DAS (Tabel 14). Tabel 14 Sebaran dan luas setiap jenis tanah (berdasarkan grup) di DAS Batang Pelepat Jenis Tanah (Grup) Luas Ha % Endoaquepts 1 674 3.45 Dystrudepts 35 441 73.13 Hapludults 10 900 17.23 Kandiudox 450 0.93 Jumlah 48 465 100 Sumber : Balitbang Pertanian (2005c). Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat dikelompokkan menjadi penggunaan untuk pertanian dan non pertanian. Tutupan lahan di DAS Batang Pelepat tahun 1984 masih didominasi oleh hutan (45 800 ha atau 94.50% dari luas DAS) dan belum ada penggunaan lahan yang lain, seperti pertanian dan pemukiman di kawasan ini. Tahun 1996 tutupan hutan berkurang menjadi 37 887 ha (78.17%) dan disertai dengan adanya penggunaan lahan untuk perkebunan karet rakyat seluas 2 857 ha (5.9%) dan pemukiman seluas 95 ha (0.20%). Penggunaan lahan aktual di DAS Batang Pelepat masih didominasi oleh hutan, namun luasnya sudah berkurang menjadi 31 176 ha (64.20%). Penggunaan lahan pertanian hanya terdiri atas perkebunan karet seluas 10 641 ha dan kelapa sawit seluas 4 192 ha. Selain itu penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat saat ini juga meliputi pemukiman (0.74%), belukar (4.24%) dan juga ada lahan yang terbuka seluas 45 ha (Tabel 15). Tabel 15 Distribusi alokasi luas tipe penggunaan lahan di DAS Batang pelepat, Tahun 1986, 1994 dan 2005 Jenis Penggunaan Lahan 1986 a 1994 a 2005 b Ha % Ha % Ha % Pertanian : Karet 0 0 2 857 5.90 10 641 21.96 Kelapa Sawit 0 0 0 0 4 192 8.65 Non Pertanian : Hutan 45 800 94.50 37 887 78.17 31 176 64.32 Hutan Bekas Tebangan 2 665 5.50 6 036 12.45 Belukar 0 0 1 590 3.28 2 054 4.24 Tanah terbuka (bekas PETI) 0 0 0 0 45 0.09 Pemukiman 0 0 95 0.20 357 0.74 Jumlah 48 465 100 48 465 100 48 465 100 Sumber : a Biotrop (2000), diacu dalam Diana (2000) dan b Alokasi berdasarkan Peta Penggunaan Lahan (Balitbang Pertanian 2005c). 59

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan DAS Batang Pelepat Satuan Lahan di DAS Batang Pelepat Lahan di DAS Batang Pelepat terdiri atas 4 jenis (grup) tanah, yaitu endoaquepts, hapludults, dystrudepts dan kandiudox, tetapi jenis tanah yang dominan adalah grup dystrudepts, yaitu seluas 35 441 ha atau 73.13% (Tabel 16 dan Lampiran 17). Lahan tersebut didominasi oleh kelas lereng >15 30% (13 354 ha atau 27.55%) dan kelas lereng >45 65% (14 242 ha atau 29.39%). Penggunaan lahan aktual di DAS Batang Pelepat dikelompokkan menjadi penggunaan pertanian (umumnya UTKKS) seluas 15 184 ha atau 31.33% dan non pertanian (hutan, semak belukar dan lahan terbuka) seluas 33 281 atau 68.67% (Tabel 16 dan Lampiran 16). Berdasarkan peta tanah, peta lereng dan peta penggunaan lahan, DAS Batang Pelepat terbagi menjadi 23 satuan lahan (SL) (Tabel 16 dan Lampiran 19). Berdasarkan karakteristik SL dan kriteria penilaian sifat tanah yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah (1983) pada lampiran 20, umumnya tanah di DAS Batang Pelepat mempunyai tingkat kesuburan sangat rendah hingga rendah. Tingkat kemasaman (ph) tanah tergolong sangat masam hingga masam dan kejenuhan basa (KB) juga tergolong sangat rendah hingga rendah, sehingga berpengaruh terhadap ketersediaan hara tanaman. Kadar bahan organik tanah (BOT) yang tinggi terdapat pada SL yang mempunyai tutupan sangat rapat dan serasah yang tebal, umumnya hutan. Karakteristik tersebut harus menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan pertanian di DAS Batang Pelepat. Agroteknologi perlu dirancang untuk mendukung keberlanjutan pertanian, terutama untuk mengendalikan dampak kesuburan yang sangat rendah hingga rendah dan lereng yang miring hingga curam. Oleh karena itu sebelumnya harus ditentukan kelas kemampuan (Lampiran 21) dan kesesuaian (Lampiran 23) lahan untuk pertanian di DAS Batang Pelepat berdasarkan karakteristik tanah masingmasing SL (Lampiran 20) sehingga lahan dimanfaatkan sesuai dengan potensinya. Kemampuan dan kesesuaian lahan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam perencanaan atau pengembangan SPB dan sebagai langkah awal dalam penyusunan perencanaan SPK.

Tabel 16 Karakteristik satuan lahan yang terdapat di DAS Batang Pelepat SL Relief/lereng Jenis Tanah Penggunaan Lahan Luas Landform Bahan Induk (USDA) dan SPT (ha) (%) 1 Datar (03%) Endoaquepts Au.1.1.2.A.0 Dataran banjir bermeander aluvium Monokultur Karet II 1 482 3.06 2 Datar (03%) Endoaquepts Au.1.1.2.A.0 Dataran banjir bermeander aluvium Monokultur Kelapa Sawit 147 0.30 3 Landai (>3 8 %) Hapludults Tf.10.2.B.2 Peneplain berombak Batuliat Monokultur Karet I 1 098 2.27 4 Landai (>3 8 %) Hapludults Tf.10.2.B.2 Peneplain berombak Batuliat Monokultur Kelapa Sawit 841 1.74 5 Datar (03%) Hapludults Tf.10.2.B.2 Peneplain berombak Batuliat Monokultur Kelapa Sawit 248 0.51 6 Landai (>3 8 %) Hapludults Tf.10.2.B.2 Peneplain berombak Batuliat Sesap Karet 6 026 12.56 7 Agak miring (>815 %) Hapludults Tf.10.3.C.3 Peneplain bergelombang Batuliat Monokultur Karet I 70 0.02 8 Agak miring (>815 %) Dystrudepts Va.3.2.D.2 Perbukitan vulkanik tua Tuf Andesit Monokultur Kelapa Sawit 60 0.08 9 Agak miring (>815 %) Hapludults Tf.10.3.C.3 Peneplain bergelombang Batuliat Monokultur Kelapa Sawit 114 0.28 10 Agak miring (>815 %) Dystrudepts Va.3.2.D.2 Perbukitan vulkanik tua Tuf Andesit Sesap Karet 1 979 4.08 11 Miring (>1530%) Kandiudox Vg.3.2.E.2 Perbukitan vulkanik tua Granit Monokultur Karet I 162 0.33 12 Miring (>1530%) Kandiudox Vg.3.2.E.2 Perbukitan vulkanik tua Granit Monokultur Kelapa Sawit 144 0.30 13 Agak curam ( >3045% ) Dystrudepts Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Granit Monokultur Karet I 84 0.17 14 Agak curam ( >3045% ) Dystrudepts Va.3.3.E.3 Pegunungan vulkanik tua Tuf Andesit Monokultur Karet I 61 0.06 15 Miring (>1530%) Dystrudepts Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Granit Monokultur Kelapa Sawit 2 589 5.40 16 Landai (>3 8 %) Hapludults Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Granit Monokultur Kelapa Sawit 79 0.16 17 Miring (>1530%) Dystrudepts Va.3.3.E.3 Pegunungan vulkanik tua Tuf Andesit Belukar 1 811 3.74 18 Agak curam ( >3045% ) Dystrudepts Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Granit Belukar 249 0.51 19 Miring (>1530%) Dystrudepts Vab.3.3.E.3 Pegunungan vulkanik tua Tuf Andesit dan basalt Hutan 8 648 17.84 20 Agak curam ( >3045% ) Dystrudepts Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Granit Hutan 5 738 11.84 21 Agak curam ( >3045% ) Hapludults Va.3.3.E.3 Pegunungan vulkanik tua Tuf Andesit Hutan 2 548 5.26 22 Curam ( >4565% ) Dystrudepts Vab.3.3.F.4 Pegunungan vulkanik tua Tuf Andesit dan basalt Hutan 14 242 29.39 23 Datar (03%) Endoaquepts Au.1.1.2.A.0 Dataran banjir bermeander aluvium Lahan Terbuka 45 0.09 Total 48 465 100.00

Kemampuan Lahan di DAS Batang Pelepat Berdasarkan penilaian terhadap SL, kemampuan lahan di DAS Batang Pelepat tergolong menjadi kelas II, III, IV, VI dan VII dengan faktor penghambat yang dominan berupa drainase yang agak baik (d 2 ) hingga agak buruk (d 3 ), lereng yang miring (I 3 ) hingga curam (I 5 ) dan erosi yang ringan (e 1 ) hingga sangat berat (e 5 ) (Tabel 17 dan Lampiran 21). Luas lahan yang dapat digunakan untuk pertanian tanaman semusim atau arable land (kelas II, III dan IV) hanya 25 792 ha atau 53.22% (Tabel 17 dan Lampiran 22), sedangkan luas lahan pertanian yang ada saat ini adalah 15 184 ha. Tabel 17 Sebaran kelas kemampuan lahan di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan Klasifikasi Kemampuan Lahan Satuan Lahan Luas Ha % II d 3 1, 2, 23 1 674 3.45 II e 1 3, 4, 5, 6 8 213 16.95 III d 2 11 162 0.33 III e 1 7, 10 2 049 4.23 III e 2 8, 9,16 253 0.52 IV e 3 12,17, 18 2 204 4.55 IV e 5 15 2 589 5.34 IV I 3 19 8 648 17.84 VI I 4 13, 14, 20, 21 8 431 17.40 VII I 5 22 14 242 29.39 * Angka romawi menunjukkan kelas kemampuan lahan; d = faktor penghambat drainase; e = faktor penghambat erosi; I = faktor penghambat kemiringan lereng; angka latin menunjukkan level faktor penghambat. Lahan yang saat ini dimanfaatkan sebagai lahan pertanian sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahan karena tergolong kelas II, III dan IV, kecuali SL 13 dan 14. Kedua SL ini tergolong kelas VI dengan faktor penghambat utama berupa lereng yang tergolong agak curam (>30 45%). Satuan lahan 13 dan 14 saat ini dimanfaatkan sebagai lahan usahatani monokultur karet, padahal sebaiknya lahan kelas VI dimanfaatkan sebagai padang rumput atau dihutankan. Pemanfaatan lahan ini sebagai lahan perkebunan masih dapat dilakukan, namun penutupan permukaan tanah harus baik. Oleh karena itu SL ini sebaiknya dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan dengan sistem tanam campuran seperti agroforestri atau ditanam tanaman kayukayuan. Penggunaan lahan non pertanian di DAS Batang Pelepat saat ini terdiri atas semak belukar dan hutan, bahkan terdapat juga lahan terbuka. Lahan yang saat ini ditutupi oleh semak belukar (SL 17 dengan kemiringan lereng >15 30%) dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian karena tergolong kelas IVe 3, tetapi harus disertai dengan agroteknologi yang memadai, sedangkan SL 18 dapat dimanfaatkan untuk tanaman kayukayuan karena mempunyai

kemiringan lereng >30 45%. Lahan yang masih ditutupi hutan terdiri atas SL 19, 20, 21 dan 22. Berdasarkan hasil penelitian, setiap SL ini masingmasing tergolong kelas IV I 3 (SL 19), VI I 4 (SL 20 dan 21) dan VII I 5 (SL 22). Konversi penggunaan SL tersebut menjadi lahan pertanian dapat menimbulkan kerusakan lahan yang lebih berat karena faktor penghambat utamanya adalah lereng yang tergolong miring (I 3 ) hingga curam (I 5 ). Oleh karena itu SL tersebut diarahkan untuk tetap ditutupi hutan, terutama SL 20, 21 dan 22, sedangkan SL 19 dapat dikonversi menjadi lahan pertanian bila disertai dengan agroteknologi yang memadai dan harus disertai pula dengan izin dari Dephut RI. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian di DAS Batang Pelepat Kesesuaian Lahan untuk Karet Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk karet di DAS Batang Pelepat dapat diketahui bahwa kelas kesesuaian lahan DAS Batang Pelepat untuk karet tergolong S2 (12 141 ha atau 24.54%) dan tergolong S3 seluas 19 463 ha (40.2%). Lahan yang tergolong tidak sesuai (N) mencapai 16 831 ha atau 34.73% (Tabel 18 dan Lampiran 24). Tabel 18 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk karet di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan Kelas Kesesuaian Lahan Satuan Lahan Luas Ha % S2wa, eh 1, 2, 7, 8, 9, 10, 14, 23 3 958 8.17 S2wa, nr 3, 4, 6 7 965 16.44 S2wa, nr, eh 5 248 0.51 S3nr 16 79 0.16 S3eh 17, 19, 21 13 007 26.84 S3nr, eh 11, 12, 13, 18, 20 6 377 13.16 Neh 15, 22 16 831 34.73 * S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, N = tidak sesuai, wa = ketersediaan air, nr = retensi hara, eh = bahaya erosi. Faktor pembatas utama untuk pengembangan usahatani karet di kawasan ini adalah ketersediaan air karena curah hujan ratarata tahunan di DAS Batang Pelepat hanya 2 359.12 mm/tahun, sedangkan karet membutuhkan curah hujan 2 500 3 000 mm/tahun. Faktor pembatas lain adalah ph dan kejenuhan basa (KB) tanah yang rendah dan kemiringan lereng dan erosi. Hal ini berkaitan dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah hingga sangat rendah (Lampiran 20) dan sebagian besar topografi tergolong berbukit dan bahkan bergunung (Lampiran 18). 63

64 Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk kelapa sawit di DAS Batang pelepat, hanya sekitar 48% (23 213 ha) yang tergolong kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3), sedangkan sekitar 52% (25 262 ha) tergolong kelas yang tidak sesuai (N) untuk kelapa sawit. Faktor pembatas lahan di DAS Batang Pelepat untuk pengembangan kelapa sawit adalah ketersediaan air, KB dan ph yang rendah dan lereng yang tergolong berbukit hingga bergunung (Tabel 19 dan Lampiran 24). Tabel 19 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk kelapa sawit di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan Kelas Kesesuaian Lahan Satuan Lahan Luas Ha % S2wa, eh 1, 2, 8, 10, 23 3 713 7.66 S2wa, nr 3, 4, 6 7 965 16.44 S2wa, nr, eh 5, 7, 9, 16 511 1.05 S3eh 17, 18, 19 10 708 22.09 S3nr, eh 11, 12 306 0.63 Neh 13, 14, 15, 20, 21, 22 25 262 52.12 * S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, N = tidak sesuai, wa = ketersediaan air, nr = retensi hara, eh = bahaya erosi. Kesesuaian Lahan untuk Padi Ladang Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk padi ladang di DAS Batang Pelepat, hanya 16 861 ha (34.79%) yang tergolong kelas tidak sesuai (N) untuk padi ladang dengan faktor pembatas lereng yang tergolong miring hingga curam. Lahan yang tergolong kelas cukup sesuai dan sesuai marginal dengan faktor penghambat yang sama (S2nr,eh dan S3nr,eh) terdapat seluas 3 713 ha dan 15 025 ha, sedangkan lahan yang tergolong kelas sesuai marginal dengan faktor penghambat ph dan KB rendah (S3nr) dan kelas sesuai marginal dengan faktor lereng yang tergolong miring hingga curam masingmasing mencapai luas 8 476 ha dan 4 420 ha (Tabel 20 dan Lampiran 24). Tabel 20 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk padi ladang di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan Kelas Kesesuaian Lahan Satuan Lahan Luas Ha % S2nr, eh 1, 2, 8, 10, 23 3 713 7.66 S3nr 3, 4, 5, 6, 7, 9, 16, 8 476 17.49 S3nr, eh 11, 12, 13, 18, 19, 20 15 025 31.00 S3eh 14, 17, 21 4 420 9.12 Neh 15, 22 16 861 34.79 * S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, N = tidak sesuai, nr = retensi hara, eh = bahaya erosi.

65 Kesesuaian Lahan untuk Pisang Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk pisang sebagian besar lahan (65.15% atau 31 573 ha) di DAS Batang Pelepat tergolong sesuai marginal (S3) dan sebagian lainnya (sekitar 16 892 ha atau 34.85%) tergolong tidak sesuai (N) untuk pisang. Faktor pembatas utamanya adalah KB dan ph tanah yang rendah serta lereng yang tergolong miring hingga curam (Tabel 21 dan Lampiran 24). Tabel 21 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk pisang di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan Luas Kelas Kesesuaian Lahan Satuan Lahan Ha % S3nr 1,2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 16, 23 12 189 25.15 S3nr, eh 11, 12, 13, 17, 18, 19, 20, 21 19 384 40 Neh 14, 15, 22 16 892 34.85 * S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, N = tidak sesuai, nr = retensi hara, eh = bahaya erosi. Penggunaan lahan aktual sudah sesuai dengan kelas kesesuaian lahan untuk beberapa tanaman pertanian tersebut diatas, kecuali SL 15 yang saat ini ditutupi oleh kelapa sawit. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan, lahan ini tidak sesuai (Neh) untuk semua tanaman tersebut diatas dengan faktor penghambat ph dan KB yang rendah (Lampiran 23). Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan di DAS Batang Pelepat untuk beberapa tanaman pertanian diatas diketahui bahwa pengembangan pertanian di kawasan ini mempunyai faktor pembatas terutama KB dan ph yang rendah serta lereng yang tergolong miring hingga curam. Berkaitan dengan faktor pembatas tersebut, pengembangan pertanian (UTKKS) berkelanjutan di DAS Batang Pelepat harus disertai dengan agroteknologi yang memadai untuk mengatasi pengaruh negatif faktor pembatas tersebut, terutama pemupukan dan teknik KTA. Karakteristik Tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Usahatani di DAS Batang Pelepat terdiri atas 5 (lima) tipe usahatani karet, yaitu sesap karet I (SK I), sesap karet II (SK II), monokultur karet I (MK I), monokultur karet II (MK II), tumpangsari karetgaharu (KRG) dan 2 (dua) tipe usahatani kelapa sawit, yaitu monokultur kelapa sawit (MKS) dan tumpangsari kelapa sawitpisang (KSP). Lahan usahatani karet di DAS Batang Pelepat secara keseluruhan merupakan usahatani karet rakyat. Lahan usahatani karet rakyat umumnya ditanam secara monokultur dan campuran yang dikelola secara tidak intensif (62.43%). Hal ini dapat dilihat dari luas lahan tipe MK II yang mencapai 1

475 ha dan tipe SK seluas 8 005 ha. Luas lahan usahatani karet yang dikelola secara memadai (MK I) hanya 1 482 ha (9.71%). Usahatani kelapa sawit di DAS Batang Pelepat hanya meliputi 27.81% dari luas lahan pertanian atau 4 222 ha. Lahan usahatani kelapa sawit terdiri atas usahatani rakyat seluas 1 633 ha dan perkebunan swasta seluas 2 619 ha. Lahan usahatani rakyat terdiri atas MKS seluas 1 621 ha (99.27%) dan KSP seluas 12 ha (0.73%) (Tabel 22). Sistem pertanian yang diterapkan oleh petani karet dan kelapa sawit di DAS Batang Pelepat bersifat khas. Secara umum setelah pembukaan lahan dan sebelum tanaman karet dan kelapa sawit menutupi permukaan lahan, petani menanam padi ladang (Oryza sativa) dan pinang (Pinanga kuhlii) sebagai tanaman pagar. Kajian terhadap perbedaan dampak tipe UTKKS terhadap kondisi ekonomi petani dan lingkungan perlu diawali dengan pemahaman terhadap karakteristik agroteknologi setiap tipe UTKKS (Tabel 23). Tabel 22 Sebaran luas lahan berbagai tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat berdasarkan peta satuan lahan, Tahun 2005 Tipe UTKKS Luas Lahan ha % Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet I Monokultur Karet II KaretGaharu* Monokultur kelapa sawit Kelapa sawit Pisang* 4 321.00 3 684.00 1 482.00 1 475.00 4 222.00 28.46 24.26 9.76 9.71 27.81 Luas Lahan Pertanian 15 184.00 100.00 * Karetgaharu dan kelapa sawitpisang tidak dapat diperlihatkan dalam peta penggunaan lahan dan peta SL karena luasannya yang sangat kecil (masingmasing 40 ha dan 12 ha). Sumber : Balitbang Pertanian (2005c). Sesap Karet Sesap karet adalah campuran karet dengan tananam hutan, dan merupakan salah satu tipe usahatani karet khas di DAS Batang Pelepat. Tanaman hutan yang ditanam di sela karet berupa manau (Calamus manan Miq.), kayu balam (Palaquium Sp), kayu medang (Litsea Spp) dan kayu sungkai (Peronema canescens). Tanaman hutan ditanam beberapa tahun setelah karet tumbuh, sesuai dengan ketersediaan modal, bibit dan tenaga kerja yang dimiliki petani. Jarak tanam tidak teratur sehingga secara visual menyerupai hutan sehingga sering pula disebut hutan karet. Sistem budidaya pada tipe SK tidak disertai tindakan pemupukan dan pemberantasan hama penyakit dan gulma serta menggunakan bibit sapuan atau lokal. Tipe SK yang terdapat di DAS Batang Pelepat ada 2 macam, yaitu campuran karetkayu sungkaimanau (SK I) dan campuran karetkayu balam 66

Tabel 23 Deskripsi karakteristik setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Tipe UTKKS * Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet I Monokultur Karet II KaretGaharu Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang Kondisi tutupan permukaan tanah Relatif rapat, dengan serasah = 13.7 ton/ha (BB) dan 5.66 ton/ha (BK) Relatif rapat, dengan serasah = 13.7 ton/ha (BB) dan 5.66 ton/ha (BK) Relatif terbuka; serasah = 5.8 ton/ha (BB) dan 2.28 ton/ha (BK) Rapat tetapi lebih jarang dibandingkan Sesap karet; Serasah 11.7 ton/ha (BB) dan 4.39 ton/ha (BK) Relatif terbuka; serasah = 5.8 ton/ha (BB) dan 2.28 ton/ha (BK) Sama dengan Monokultur karet II dengan serasah = 13.1 ton/ha (BB) dan 3.95 ton/ha (BK) Sama dengan monokultur karet II dan monokultur kelapa sawit ; serasah = 13.1 ton/ha (BB) dan 3.95 ton/ha (BK) Jarak Tanam Tidak teratur Tidak teratur Populasi & Jenis Tanaman 500 karet, 100 manau dan 40 sungkai 500 karet, 50 balam dan 50 medang Pemupukan 3 m x 7 m 460 karet Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian 3 m x 7 m 460 karet Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (pada awal tanam dan selanjutnya hanya setiap 5 tahun) 3 m x 7m 460 karet dan 429 gaharu 8 m x 8 m 141kelapa sawit 8 m x 8 m 141 kelapa sawit dan 121 pisang Agroteknolgi Penyiangan Pemberantasan & Pengendalian HPT Teknik KTA Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak Ada Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak Ada Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) pada awal tanam dan selanjutnya hanya setiap 5 tahun Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) pada awal tanam dan selanjutnya hanya setiap 5 tahun Dilakukan Seperlunya Tidak Ada Relatif tidak Tidak dilakukan Tidak Ada dilakukan, hanya di sepanjang jalan yang ditempuh untuk menyadap karet Dilakukan Seperlunya Tidak Ada Relatif tidak dilakukan, hanya di sepanjang jalan yang ditempuh memanen TBS Relatif tidak dilakukan, hanya di sepanjang jalan yang ditempuh memanen TBS * Setiap tipe UTKKS tetap menerapkan penanaman Padi Ladang sebagai tanaman sela pada 2 tahun pertama dan Pinang sebagai tanaman pagar. Seperlunya Seperlunya Tidak Ada Tidak Ada

kayu medang (SK II). Populasi tanaman pada tipe SK I adalah 500 batang karet, 100 batang manau dan 40 batang kayu sungkai, sedangkan populasi tanaman pada tipe SK II adalah 500 batang karet, 50 batang kayu balam dan 50 batang kayu medang. Penutupan SK terhadap permukaan tanah tergolong rapat karena tumbuhan semak belukar dibiarkan tumbuh menutupi permukaan tanah. Tumbuhan semak belukar yang terdapat pada SK diantaranya adalah rumput jarum (Andropagon acciculatus), rumput teki (Kytlinga monocepela), rumput pahitan (Axohopus compresus), paku resam (Gleichenia linearis), paku sepat (Neprolepis exaltata) dan paku kawatan (Dicranopteris Spp). Berdasarkan pengukuran terhadap berat sampel serasah, total berat basah dan berat kering serasah pada tipe SK masingmasing adalah 13.70 ton/ha dan 5.66 ton/ha (Tabel 23). Sistem budidaya seperti tipe SK mempunyai nilai positif terhadap kondisi hidrologi DAS dan keanekaragaman hayati, tetapi tidak didukung oleh produksi yang optimal (Joshi et al. 2001). Monokultur karet Tipe MK di DAS Batang Pelepat karet terdiri atas 2 (dua) tipe, yaitu monokultur yang dikelola intensif (MK I) dan tidak intensif (MK II). Monokultur karet I (MK I) adalah budidaya karet yang ditanam secara monokultur dan pengelolaan yang lebih baik, namun belum disertai dengan teknik KTA. Karet ditanam dengan jarak tanam 3 m x 7 m (460 batang/ha) dan disertai pemupukan, pengendalian dan pemberantasan hama penyakit serta penyiangan. Pemupukan dilakukan sesuai dengan rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b), yaitu urea sebanyak 100 kg/ha, TSP sebanyak 50 kg/ha dan KCl 50 kg/ha setiap tahun. Bibit yang digunakan umumnya juga bibit lokal, hanya sebagian kecil petani yang menggunakan bibit unggul. Penyiangan dilakukan hingga permukaan tanah relatif terbuka, hanya ditutupi oleh sedikit rumputrumput pendek dan daundaun karet yang gugur. Berdasarkan pengukuran terhadap sampel serasah, serasah yang menutupi permukaan tanah pada tipe MK I lebih sedikit (5.8 ton/ha berat basah dan 2.28 ton/ha berat kering) dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya (Tabel 23). Kondisi seperti ini menyebabkan permukaan tanah lebih mudah terkikis dan terangkut jika terjadi hujan. Pengangkutan tanah akan diikuti oleh pengangkutan unsur hara tanah dan atau pupuk yang diberikan, terutama jika pupuk diberikan secara sebar. Oleh sebab itu perlu adanya penerapan teknik KTA untuk mengurangi dan mencegah erosi dan meningkatkan efektivitas pemupukan.

Karet pada tipe monokultur karet II (MK II) juga ditanam dengan jarak 3 m x 7 m (460 batang/ha), namun tanaman dibiarkan tumbuh tanpa perawatan yang intensif (tidak seperti pada tipe MK I). Pemupukan juga hanya dilakukan pada saat tanaman belum menghasilkan, namun setelah dilakukan penyadapan (pada umur 6 7 tahun) pemupukan hanya dilakukan setiap 5 tahun. Bibit yang digunakan pada tipe MK II ini adalah bibit lokal (Tabel 23). Penyiangan sangat jarang dilakukan sehingga permukaan tanah ditutupi oleh tumbuhan semak belukar. Penutupan permukaan lahan oleh tumbuhan semak belukar dapat menyebabkan persaingan terhadap tanaman karet sehingga produksi lateks tidak optimal. Kerapatan vegetasi yang cukup tinggi akan menghasilkan serasah yang lebih banyak (11.70 ton/ha berat basah dan 4.39 ton/ha berat kering) dibandingkan dengan tipe MK I. Tumpangsari Karet dan Gaharu Gaharu merupakan tanaman kehutanan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena harga gubal gaharu mencapai Rp2 000 000/kg (Dephut 2002). Tipe tumpangsari karetgaharu (KRG) merupakan program Dishutbun Kabupaten Bungo yang diterapkan oleh 20 petani di DAS Batang Pelepat. Tipe KRG terdiri atas 460 batang karet (jarak tanam 3 m x 7 m) dan 429 batang gaharu yang ditanam diantara tanaman karet (Gambar 7). 7 m Kr G Kr G Kr 3 m Kr G Kr G Kr Kr G Kr G Kr Gambar 7 Komposisi tanaman karet dan gaharu pada tipe KRG di DAS Batang Pelepat. Pengelolaan tipe KRG dilakukan secara intensif (seperti pada MK I) dengan penggunaan pupuk sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b). Tanaman gaharu juga diberi pupuk sesuai rekomendasi, yaitu 50 150 g urea/pohon, 50 150 g TSP/pohon dan 50 150 g KCl/pohon. Produksi gaharu diperkirakan mencapai 1 kg gubal, 10 kg kemedangan dan 15 kg abu dari setiap pohon gaharu (Dephut 2002 dan Sumarna 2005).

Monokultur Kelapa Sawit Petani di DAS Batang Pelepat umumnya juga menanam kelapa sawit secara monokultur (MKS). Jarak tanam yang digunakan adalah 8 m x 8 m (144 batang/ha), tetapi pengelolaannya juga kurang intensif (Tabel 23). Rumput dan tumbuhan semak belukar dibiarkan tumbuh diantara tanaman kelapa sawit karena penyiangan hanya dilakukan sambil mengambil hasil panen. Adapun berat basah serasah yang menutupi permukaan tanah adalah 13.10 ton/ha dan berat kering serasah sebesar 3.95 ton/ha. Pemupukan kelapa sawit hanya dilakukan pada saat tanam hingga menjelang tanaman menghasilkan, namun setelah tanaman menghasilkan pemupukan hanya dilakukan setiap 5 tahun (hampir tidak dilakukan). Pupuk yang digunakan untuk kelapa sawit oleh petani adalah NPK (35 kg/ha) dan MgSO 4 (15 kg/ha); takaran ini lebih rendah dibandingkan dengan takaran pupuk yang direkomendasikan oleh PPKS Medan (1999) yang telah dikemukakan sebelumnya pada Tabel 4. Tumpangsari Kelapa Sawit dan Pisang Usahatani kelapa sawit di DAS Batang Pelepat juga ada yang diterapkan dengan sistem tumpangsari dengan pisang (KSP). Komposisi tanaman untuk satu hektar lahan terdiri dari 144 batang kelapa sawit (jarak tanam 8 m x 8 m) dan 121 batang pisang yang ditanam diantara kelapa sawit (Gambar 8). Pisang dipelihara hingga kelapa sawit menghasilkan (empat tahun pertama) tanpa pemupukan. Seperti halnya MKS, tipe KSP juga tidak dikelola secara intensif dan permukaan lahan juga ditutupi oleh tumbuhan semak belukar. 8 m KS KS KS KS 8 m P P P KS KS KS KS P P P KS KS KS KS 8 m Gambar 8 Komposisi kelapa sawit dan pisang pada tipe KSP di DAS Batang Pelepat.

Pengaruh Tipe UTKKS terhadap SifatSifat Tanah di DAS Batang Pelepat Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tipe UTKKS dan hutan berpengaruh secara nyata terhadap beberapa sifat tanah. Selanjutnya berdasarkan uji DNMRT, sifatsifat tanah pada lahan UTKKS menunjukkan perbedaan dengan sifatsifat tanah hutan, baik bobot isi (BI), total ruang pori (TRP), pori drainase cepat (PDC), pori drainase lambat (PDL), air tersedia (AT), permeabilitas, kapasitas infiltrasi, persentase agregat, kemantapan agregat maupun kadar Corganik tanah (Lampiran 25). Tipe MK I mempunyai pengaruh paling buruk terhadap sifatsifat tanah dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya. Tanah pada tipe MK I mempunyai kepadatan paling tinggi dengan BI sebesar 1.14 g/cm 3 dan TRP sebesar 56.98% dibandingkan dengan tanah pada tipe usahatani lainnya yang mempunyai BI sebesar 0.92 1.05 g/cm 3 dan TRP sebesar 65.41 60.25% dan hutan yang mempunyai BI sebesar 0.81 g/cm 3 dan TRP sebesar 69.43%. Tanah yang mempunyai kepadatan yang lebih tinggi mempunyai PDL yang lebih tinggi, sebaliknya mempunyai PDC dan AT yang lebih rendah (Tabel 24). Kepadatan tanah tinggi pada tipe MK I menyebabkan tanah mempunyai permeabilitas sebesar 8.34 cm/jam dan kapasitas infiltrasi sebesar 26.43 cm/jam; permeabilitas dan kapasitas infiltrasi ini lebih rendah dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya (Tabel 25). Tabel 24 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap kepadatan dan pori tanah di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Tipe Usahatani dan BI TRP Distribusi Pori (% Volume) hutan (g/cm 3 ) (% Vol) PDC PDL Air Tersedia KR1(MK I) 1.14 a 56.98 e 12.97 e 19.61 a 15.30 e KR2(MK II) 0.98 c 63.14 c 16.91 c 17.97 c 21.26 c KR3 (SK) 0.92 d 65.41 b 18.97 b 17.25 d 24.37 b KS1(MKS) 1.05 b 60.25 d 15.70 c 18.55 b 20.39 c KS2 (KSP) 1.04 b 60.88 d 14.40 d 18.79 b 18.61 d Ht (HS) 0.81 e 69.43 e 20.33 a 15.91 e 25.86 a * BI : Bobot Isi, TRP : total ruang pori, PDC : pori drainase cepat, PDL : pori drainase lambat. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DNMRT). Pengaruh tipe MK I yang buruk terhadap sifatsifat tanah tersebut dapat disebabkan oleh kondisi permukaan tanah yang relatif terbuka dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya dan hutan. Kondisi tanah yang terbuka akan mempercepat proses pemadatan tanah. Selain itu jumlah serasah pada tipe MK I lebih sedikit dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya, yaitu 2.28 ton/ha berat kering (Tabel 23) sehingga kadar karbon organik tanah (COT) pada tipe MK I pun hanya 1.36% (Tabel 26) ; padahal kunci untuk mengurangi kepadatan tanah

adalah mempertahankan ketebalan serasah di permukaan tanah. Serasah dapat berfungsi untuk menjaga kekasaran permukaan tanah, kelembaban dan menyediakan pakan bagi mikroorganisme tanah seperti cacing (Hairiah et al. 2006). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kepadatan tanah (bobot isi) semakin meningkat dengan berkurangnya jumlah serasah (Gambar 9). Peningkatan kepadatan tanah akibat menurunnya jumlah serasah pada gilirannya akan berpengaruh terhadap penurunan permeabilitas dan kapasitas infiltrasi (Gambar 10). Tabel 25 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Tipe Usahatani dan Hutan Permeabilitas (cm/jam) Kapasitas Infiltrasi (cm/jam) KR1(MK I) 8.34 e 26.43 e KR2(MK II) 41.20 d 30.42 d KR3 (SK) 99.03 b 58.37 b KS1(MKS) 50.63 d 32.53 d KS2 (KSP) 75.89 c 44.31 c Ht (HS) 130.43 a 74.53 a * Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DNMRT). Tabel 26 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap Kadar COT, persentase dan indeks kemantapan agregat tanah di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Tipe Usahatani Agregat Tanah COT (%) dan Hutan % Agregat Indeks Kemantapan Agregat KR1(MK I) 1.36 e 42.94 e 35.55 e KR2(MK II) 1.56 d 47.80 d 86.67 d KR3 (SK) 2.50 b 78.39 b 143.33 b KS1(MKS) 1.59 d 47.60 d 86.67 d KS2 (KSP) 1.80 c 56.75 c 110.00 c Ht (HS) 3.10 a 84.82 a 166.67 a * COT = Corganik tanah; Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DNMRT). Berdasarkan hasil penelitian tipe SK mempunyai serasah yang paling banyak dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya, yaitu 5.66 ton/ha berat kering (Tabel 23). Jumlah serasah yang lebih banyak menyebabkan tanah yang ditutupi oleh SK mempunyai kandungan COT sebesar 2.50%; kandungan COT ini menunjukkan perbedaan dengan COT pada tipe usahatani lainnya yang hanya berkisar 1.36 1.80% dan hutan yang mempunyai COT sebesar 3.10% (Tabel 26). Hal ini disebabkan karena sistem agroforestri seperti SK mempunyai siklus hara yang berada diantara siklus hara tanah hutan (tertutup) dan siklus hara pada lahan pertanian (terbuka). Sistem agroforestri juga mempunyai sumber dan kualitas bahan organik dan unsur hara tanah yang variatif dan proses penyediaannya berlangsung terus menerus (Hairiah et al. 2007).

Bobot Isi (g/cm 3 ) 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 Berat Volume (Y1) Total Ruang Pori (Y2) Y2 = 2.29x + 54.68 R 2 = 0.96 Y1 = 0.06x + 1.2 R 2 = 0.96 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 Total Ruang Pori (% Vol) 0.20 10.00 0.00 KR1 (2.28) KS1 (3.95) KS2 (3.95) KR2 (4.39) KR3 (5.66) Ht (9.71) 0.00 Gambar 9 Berat Serasah (ton/ha) Pengaruh berat serasah pada setiap tipe UTKKS dan HS terhadap Bobot Isi dan total ruang pori tanah di DAS Batang Pelepat. 140.00 140 Permeabilitas (cm/jam) 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 Permeabilitas (Y1) Kapasitas Infiltrasi (Y2) Y1 = 20.60X 4.51 R 2 = 0.78 Y2 = 9.48X + 11.24 R 2 = 0.89 120 100 80 60 40 Kapasitas Infiltrasi (cm/jam) 20.00 20 0.00 KR1 (2.28) KS1 (3.95) KS2 (3.95) KR2 (4.39) KR3 (5.66) Ht (9.71) Berat Serasah (ton/ha) 0 Gambar 10 Pengaruh berat serasah terhadap permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah di DAS Batang Pelepat. Kondisi serasah dan COT yang lebih tinggi menyebabkan tanah yang ditutupi oleh SK mempunyai sifat tanah yang lebih baik dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya. Tanah pada tipe SK mempunyai tingkat kepadatan yang paling rendah (BI sebesar 0.92 g/cm 3 dan TRP sebesar 65.41%) sehingga mempunyai permeabilitas dan kapasitas infiltrasi yang lebih cepat, yaitu 99.03 dan 58.37 cm/jam (Tabel 25). Kandungan COT yang lebih tinggi (2.50%) tersebut juga menyebabkan tanah ini mempunyai persentase (78.39%) dan indeks kemantapan agregat (143.33) yang lebih baik dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya yang hanya mempunyai persentase agregat sebesar 42.94 56.75% dan indeks kemantapan agregat sebesar 35.55 110.00 (Tabel 26).

Pengaruh positif SK terhadap sifatsifat tanah juga didukung oleh sistem perakaran tanaman yang lebih dalam dan kompleks karena tipe SK terdiri atas tanaman yang lebih banyak dan bervariasi dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya. Perkembangan perakaran tanaman juga mampu menekan dan memperenggang agregat tanah yang berdekatan. Penyerapan air oleh akar tanaman dapat menyebabkan dehidrasi, pengkerutan dan terbentuknya rekahanrekahan kecil. Proses ini juga mendukung terbentuknya pori yang lebih besar (makroporositas). Selain itu banyaknya akar dapat meningkatkan produksi exudant dan akar yang mati juga merupakan sumber bahan organik tanah yang mampu memacu aktivitas mikroorganisme sehingga dapat mengurangi kepadatan tanah (Widianto et al. 2003). Tanah hutan juga menunjukkan permeabilitas dan kapasitas infiltrasi yang lebih cepat dibandingkan dengan pada lahan UTKKS, yaitu 130.43 dan 74.53 cm/jam (Tabel 25). Hal ini disebabkan karena tanah hutan mempunyai pori yang banyak sejalan dengan tingginya aktivitas biologi tanah serta turnover (penetrasi) perakaran yang lebih dalam. Sistem perakaran vegetasi penyusun hutan sangat mendukung pembentukan pori dan struktur tanah yang lebih baik (Susswein et al. 2001). Tanah hutan juga mempunyai serasah yang lebih banyak dibandingkan dengan tanah pada semua tipe UTKKS, yaitu 19.18 ton/ha (berat basah) atau 9.71 ton/ha (berat kering) (Tabel 23) dan bobot Isi tanah 0.81 g/cm 3 (Tabel 24). Jumlah serasah yang lebih banyak juga berpengaruh positif terhadap peningkatan permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah hutan (Gambar 10). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifatsifat tanah pada lahan UTKKS berbeda dengan sifatsifat tanah hutan, tetapi sifatsifat tanah pada lahan UTKKS tersebut masih lebih baik bila dibandingkan dengan sifatsifat tanah pada lahan pertanian tanaman pangan. Berdasarkan hasil penelitian Juarsah (2008), lahan pertanian tanaman pangan (padi gogopalawija) mempunyai tingkat kepadatan yang lebih tinggi (BI = 1.22 1.30 g/cm3 dan TRP 54.00 50.95%), PDC sebesar 12.00 12.95%, permeabilitas yang lebih lambat (1.85 2.95 cm/jam) dan COT yang lebih rendah yaitu 1.13 1.34%. Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Aliran Permukaan dan Erosi di DAS Batang Pelepat Tipe UTKKS berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi (analisis ragam pada Lampiran 25). Aliran permukaan dan erosi pada tanah dengan tutupan HS lebih kecil dibandingkan dengan aliran permukaan dan erosi pada lahan UTKKS. Aliran permukaan dan erosi pada lahan pertanian yang paling

tinggi terjadi pada lahan usahatani MK I (6.92 mm atau 28.07% dari jumlah hujan dan 0.58 ton/ha) dan menunjukkan perbedaan dengan aliran permukaan dan erosi pada tipe usahatani lainnya, sedangkan aliran permukaan dan erosi paling rendah terjadi pada tipe SK (3.53 mm atau 14.31% dari jumlah hujan dan 0.12 ton/ha). Aliran permukaan dan erosi yang terjadi pada lahan usahatani karet bervariasi sesuai tipe usahatani, tetapi aliran permukaan dan erosi pada lahan usahatani kelapa sawit (MKS dan KSP) tidak menunjukkan perbedaan satu sama lainnya, yaitu 5.09 mm atau 9.98% dari jumlah hujan dan 0.24 ton/ha pada tipe MKS dan 4.93 mm atau 22.25% dari jumlah hujan dan 0.23 ton/ha pada tipe KSP (Tabel 27). Tabel 27 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap aliran permukaan serta erosi tanah di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Berat Tipe Usahatani dan Aliran Permukaan 1 Konsentrasi Erosi 1 Serasah Hutan Sedimen 1 (g/l) (ton/ha) (ton/ha) (mm) % Hujan KR1(MK I) 2.28 6.92 a 28.07 8.40 0.58 a KR2(MK II) 4.39 5.04 b 20.43 4.10 0.21 b KR3 (SK) 5.66 3.53 c 14.31 3.50 0.12 c KS1(MKS) 3.95 5.09 b 19.98 4.80 0.24 b KS2 (KSP) 3.95 4.93 b 22.25 4.60 0.23 b Ht (HS) 9.71 0.12 d 0.49 0.001 1.2x10 6 d * 1 = berdasarkan ratarata dari 5 kejadian hujan (curah hujan 24.67 mm). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DNMRT). Kondisi aliran permukaan dan erosi yang demikian berkaitan dengan kondisi tutupan permukaan lahan dan kepadatan tanah. Tutupan permukaan tanah bergantung pada jumlah serasah, kerapatan dan jenis vegetasi yang menutupi permukaan lahan. Penot dan Budiman (2004) mengemukakan bahwa salah satu nilai positif dari agroforestri karet (SK) adalah kapasitas penutupannya terhadap tanah sehingga dapat mengendalikan erosi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tutupan yang lebih rapat pada sistem tanam polikultur (campuran) dan tutupan permukaan tanah oleh semak belukar pada lahan UTKKS (kecuali MK I) dan hutan mengakibatkan adanya serasah yang lebih banyak (Tabel 27). Berat serasah yang lebih tinggi menyebabkan aliran permukaan dan erosi lebih rendah (Gambar 11A) karena serasah dapat menyumbangkan BOT yang mempunyai kapasitas memegang air (water holding capasity) yang relatif tinggi dan meningkatkan pori makro melalui aktivitas mikroorganisme tanah sehingga kepadatan tanah menurun dan infiltrasi meningkat (Hairiah et al. 2007) dan berfungsi sebagai filter sehingga semakin tinggi berat serasah menyebabkan konsentrasi sedimen semakin menurun (Gambar 11B).

Pengaruh jumlah serasah terhadap aliran permukaan dan erosi juga berkaitan dengan pengaruhnya terhadap kepadatan tanah. Lahan usahatani dengan tipe MK I relatif terbuka dan mempunyai kepadatan yang lebih tinggi (BI = 1.14 g/cm 3 ) dibandingkan dengan tipe UTKKS lainnya (BI = 0.92 1.05 g/cm 3 ) dan HS (0.81 g/cm 3 ) (Tabel 24). Kondisi ini menyebabkan air lebih lambat terinfiltrasi ke dalam tanah sehingga aliran permukaan lebih cepat terjadi dan jumlahnya juga akan lebih besar (Gambar 12). Lahan usahatani kelapa sawit (MKS dan KSP) dan MK II mempunyai kondisi tutupan permukaan lahan dan tingkat kepadatan tanah yang sama sehingga aliran permukaan dan erosi yang terjadi pada kedua tipe usahatani kelapa sawit tersebut tidak menunjukkan perbedaan (Tabel 27). Gambar 11 Pengaruh berat serasah terhadap aliran permukaan dan erosi tanah (A) serta konsentrasi sedimen (B) di DAS Batang Pelepat. Gambar 12 Pengaruh bobot isi tanah terhadap aliran permukaan dan erosi tanah di DAS Batang Pelepat.

Data erosi hasil pengukuran langsung tersebut hanya dapat menggambarkan perbedaan erosi antar tipe UTKKS dan hutan, sedangkan erosi keseluruhan pada setiap tipe UTKKS tersebut diprediksi dengan model USLE. Prediksi erosi di DAS Batang Pelepat menunjukkan bahwa penggunaan lahan aktual menyebabkan erosi sebesar 0.84 838.31 ton/ha/tahun. Erosi terbesar terjadi pada lahan pertanian yaitu SL 15 dan erosi terkecil terjadi pada lahan nonpertanian (hutan) yaitu SL 22. Secara keseluruhan erosi yang terjadi di DAS Batang Pelepat mencapai 3 433 481.62 ton/tahun atau ratarata 70.84 ton/ha/tahun. Erosi pada lahan pertanian (2 592 060.13 ton/ha atau ratarata 170.71 ton/ha/tahun) lebih besar dibandingkan dengan erosi pada lahan non pertanian yang hanya 841 421.48 ton/tahun atau ratarata 25.28 ton/ha/tahun (Lampiran 27). Erosi pada lahan pertanian tersebut tidak dapat dihindari karena tanah selalu terganggu, tetapi kerusakan lahan dapat dikurangi dengan mengendalikan erosi. Kerusakan lahan akibat erosi dapat diindikasikan dengan erosi yang lebih besar dibandingkan dengan Etol. Etol setiap SL di DAS Batang Pelepat juga bervariasi antara 5.95 43.12 ton/ha/tahun (Gambar 13). Perbedaan Etol setiap SL tersebut disebabkan oleh perbedaan jenis tanah, kedalaman tanah, kedalaman minimum perakaran dan berat volume. Kedalaman tanah di DAS Batang Pelepat berkisar 880 1 600 cm dengan faktor yang berkisar 0.80 1.00. Kedalaman minimum perakaran bergantung pada penggunaan lahan (jenis tanaman yang menutupi tanah). Lahan yang ditutupi oleh tanaman perkebunan mempunyai kedalaman minimum perakaran 50 cm, sedangkan semak belukar dan hutan masingmasing mempunyai kedalaman minimum perakaran 30 cm dan 90 cm. Perbedaan jenis tanah dan tipe penggunaan lahan menyebabkan bobot isi tanah pun bervariasi antara 0.94 0.98 g/cm 3 sehingga pada gilirannya juga berpengaruh terhadap besarnya Etol (Lampiran 28). Berdasarkan prediksi, erosi yang terjadi pada lahan pertanian umumnya melebihi Etol, kecuali pada SL yang mempunyai kemiringan lereng <8%, yaitu SL 1 (22.23 ton/ha/tahun), SL 3 (12 ton/ha/tahun) dan SL 6 (12.27 ton/ha/tahun) dengan Etol masingmasing sebesar 43.12 ton/ha/tahun pada SL 1 dan 29.44 ton/ha/tahun pada SL 3 dan 6. Ketiga SL tersebut digunakan sebagai lahan pertanian berupa MK I (SL 3), MK II (SL 1) dan SK (SL 6). Erosi terbesar pada lahan pertanian terjadi pada SL 15, yaitu 838.31 ton/ha/tahun, padahal Etolnya hanya 21.31 ton/ha/tahun (Gambar 13A dan Lampiran 27). Satuan lahan (SL) 15

mempunyai kemiringan lereng 30% dan ditanami kelapa sawit berumur sekitar 4 tahun (lahan relatif banyak yang terbuka). Erosi parit yang berasal dari jatuhan air pelepah daun kelapa sawit telah terlihat pada SL 15. Prediksi erosi pada lahan non pertanian menunjukkan bahwa hanya SL yang ditutupi oleh hutan yang mempunyai erosi lebih kecil dari Etol, yaitu SL 19, 20, 21 dan 22. Satuan lahan yang terbuka (SL 23) dan yang ditutupi oleh semak belukar (SL 17 dan 18) mempunyai erosi yang juga lebih besar dari Etol (Gambar 13B). Satuan Lahan 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 15.79 155.38 21.31 31.33 172.86 21.31 195.12 30.72 30.72 83.57 28.05 46.19 30.72 126.24 42.90 230.97 26.40 26.79 29.44 12.27 29.44 66.80 29.44 51.80 29.44 12.00 43.12 51.79 43.12 22.23 413.83 Erosi Etol A 838.31 Satuan Lahan 23 22 21 20 19 18 17 52.25 9.46 0.84 16.49 1.61 5.95 2.11 21.77 2.44 27.57 38.80 186.45 357.10 B Erosi Etol 579.95 75 150 225 300 375 450 525 600 675 750 825 900 Erosi (ton/ha/thn) 75 150 225 300 375 450 525 600 675 750 825 900 Erosi (ton/ha/thn) Gambar 13 Prediksi erosi dan Etol pada setiap satuan lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian (A) dan nonpertanian (B) di DAS Batang Pelepat. Berkaitan dengan adanya beberapa tipe UTKKS yang terdapat di DAS Batang Pelepat, prediksi erosi pada lahan pertanian dapat dirinci berdasarkan tipe UTKKS tersebut pada berbagai kemiringan lereng. Prediksi erosi tersebut menunjukkan bahwa erosi yang terjadi berkisar 2.78 1 341.29 ton/ha/tahun; sebagian besar erosi tersebut melebihi Etol (21.31 43.12 ton/ha/tahun), kecuali erosi yang terjadi pada lereng 2% (2.78 22.23 ton/ha/tahun) dan 7% dengan tipe SK sebesar 12.27 ton/ha/tahun (Gambar 14 dan Lampiran 29). Berdasarkan prediksi erosi akibat penerapan berbagai tipe UTKKS tersebut dapat dikatakan bahwa erosi yang terjadi pada lahan dengan kemiringan lereng 3 < 8% masih dapat dikendalikan bila ditutupi oleh kanopi

tanaman yang rapat seperti tipe SK. Tipe SK mempunyai kapasitas penutupan yang lebih rapat (C = 0.10) terhadap pemukaan tanah dibandingkan dengan tipe MK I, MK II, KRG, MKS dan KSP. Tipe MK I mempunyai kapasitas penutupan yang tergolong jarang terhadap pemukaan tanah (C = 0.80), sedangkan MK II, KRG, MKS dan KSP mempunyai kapasitas penutupan yang tergolong sedang terhadap permukaan tanah (C = 0.50). Menurut Suprayogo et al. (2007), peningkatan diversivitas tanaman pohon seperti pada sistem agroforestri multistrata atau penanaman LCC adalah teknik KTA vegetatif yang dapat memulihkan laju infiltrasi dan kondisi makroporositas. Tanaman LCC dapat menjadi sumber serasah sehingga dapat menyumbangkan bahan organik tanah (BOT). Zheng et al. (2004) dan Terra et al. (2006) mengemukakan bahwa peningkatan kandungan karbon organik tanah akibat teknik KTA cenderung menurunkan koefisien erodibilitas tanah dan aliran permukaan. Gambar 14 Pengaruh penerapan setiap tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng terhadap erosi di DAS Batang Pelepat. Penggunaan LCC sangat terbatas pada kemiringan lereng 0 <15%, sedangkan penggunaannya pada lahan dengan kemiringan lereng 15% menunjukkan efektivitas yang rendah. Oleh karena itu dalam pengembangan tanaman perkebunan pada lereng yang lebih curam, penerapan LCC juga harus disertai dengan teras gulud atau teras kebun untuk menekan aliran permukaan dan erosi. Teras gulud efektif diterapkan pada lahan dengan kemiringan lereng 10 40% dan teras kebun masih efektif diterapkan pada lahan dengan kemiringan 30 50% (Ditjen PLA 2007a).

Karakteristik Sosial Ekonomi DAS Batang Pelepat Karakteristik Petani Karet dan Kelapa Sawit di DAS Batang Pelepat Berdasarkan hasil penelitian, jumlah rumah tangga (RT) tani di DAS Batang Pelepat adalah 2 014 atau sekitar 93.50% dari jumlah KK yang ada di DAS Batang Pelepat. Petani di DAS Batang Pelepat sebagian besar (91.04%) adalah petani karet dan sebagian kecil (8.96%) petani kelapa sawit yang menerapkan beberapa tipe usahatani, yaitu SK I (31.34%), SK II (25.87%), MK I (9.95%), MK II (22.95%), KRG (0.99%), MKS (8.46%) dan KSP (0.50%) (Tabel 28). Tabel 28 Sebaran jumlah petani karet dan kelapa sawit berdasarkan tipe usahatani di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Jumlah Tipe UTKKS Orang % Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet I Monokultur Karet II KaretGaharu Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang 63 52 20 46 2 17 1 31.34 25.87 9.95 22.89 0.99 8.46 0.50 Jumlah 201 100.00 Sebaran jumlah petani berdasarkan tipe UTKKS menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil petani yang mengelola tanaman secara memadai (MK I dan KRG). Pengelolaan usahatani yang tidak memadai di DAS Batang Pelepat disebabkan oleh keterbatasan modal tunai. Berdasarkan hasil penelitian, petani di DAS Batang Pelepat memiliki modal sebesar Rp6 000 000/KK (Rp2 000 000 modal tunai dan Rp4 000 000 modal tenaga kerja setara dengan 250 HOK). Keterbatasan modal pula yang menyebabkan petani hanya mampu mengelola sebagian lahan (2 ha) yang dimilikinya, walaupun petani memiliki lahan ratarata 5 ha/kk (Tabel 29). Table 29 Sebaran luas kepemilikan lahan dan luas lahan usahatani per KK pada setiap desa di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Desa Luas Lahan yang dimiliki (ha) Luas Lahan usahatani (ha) Batu Kerbau Baru Pelepat Rantel Balai jaya Rantau Keloyang 4.22 5.26 6.78 6.29 5.18 2.50 1.50 2.00 1.50 2.00 RataRata 5.28 1.90

Petani juga mempunyai tingkat pendidikan (formal) yang tergolong rendah karena sebagian besar (76.12%) petani hanya lulusan sekolah dasar (SD) dan bahkan sekitar 0.99% petani tidak pernah menempuh pendidikan formal (Tabel 30). Tingkat pendidikan yang relatif rendah merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat adopsi petani di kawasan ini terhadap agroteknologi usahatani, selain modal yang terbatas. Tabel 30 Sebaran tingkat pendidikan petani karet dan kelapa sawit di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Tingkat Pendidikan Jumlah Orang % Tidak sekolah SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi 2 153 8 32 6 0.99 76.12 3.98 15.92 2.99 Jumlah 201 100.00 Pengaruh Tipe UTTKS terhadap Produksi Tanaman Produksi Karet Produksi karet di DAS Batang Pelepat bervariasi antara 652.17 1 362.75 kg lateks/ha/tahun; sesuai dengan tipe usahatani. Tipe SK mulai berproduksi pada umur 8 tahun dan umur produktif mencapai 30 tahun, tetapi produksinya tergolong rendah, yaitu 652.17 kg lateks/ha/tahun. Karet pada tipe MK I dan KRG mulai berproduksi pada umur 6 tahun, tetapi umur produktifnya hanya 25 tahun dengan produksi 1 362.75 kg lateks/ha/tahun dan lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada SK dan MK II yang masingmasing hanya 652.17 dan 822.25 kg lateks/ha/tahun (Tabel 31). Tabel 31 Sebaran produksi karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Jenis Produksi Tanaman pada setiap Tipe Usahatani Tanaman SK I SK II MK I MK II KRG MKS KSP 1. Karet a 652.17 652.17 1 362.75 822.25 1 362.75 2. Manau b 4110 3. Sungkai c 40 4. Medang c 50 5. Balam c 50 6. Gaharu d 680 7. Klp. Sawit e 11 000 11 000 8. Pisang f 737.5 9. Padi g 1 250 1 250 1 250 1 250 1 250 1 250 1 250 10. Pinang h 11. Ky.Karet c 700 100 700 100 700 100 700 100 700 100 700 700 * a = dalam kg lateks/ha dan b = dalam kg manau panjang 6 m/ha/tahun, c = m 3 kayu bulat/ha/tahun, d = kg gubal/ha/tahun, e = kg TBS/ha/tahun, f = kg buah segar/ha/tahun, g = kg GKG/ha/tahun dan h = kg biji kering/ha/tahun.

Produksi karet maksimum pada setiap tipe usahatani juga dicapai pada waktu (umur tanaman karet) yang berbeda. Produksi karet pada tipe SK mencapai maksimum pada umur 20 tahun (1 100 kg lateks/ha), sedangkan produksi maksimum pada tipe MK II tercapai pada umur 15 tahun (1 500 kg lateks/ha) dan pada tipe MK I dan KRG tercapai pada umur 13 tahun (1 700 kg lateks/ha). Produksi karet maksimum pada tipe MK I dan KRG dapat diperoleh selama 3 tahun, yaitu umur tanaman 13 15 tahun setelah tanam (Gambar 15 dan Lampiran 13). Produksi karet pada semua tipe usahatani juga masih tergolong rendah dibandingkan dengan standar atau potensi produksi karet, yaitu 1 737.5 kg lateks/ha/tahun dengan produksi maksimum pada tahun sadap ke 9 (umur 14 tahun setelah tanam), yaitu sebesar 2 350 kg lateks/ha (Anwar 2006). Rendahnya produksi karet disebabkan karena pengelolaan yang belum memadai, sedangkan perbedaan produksi pada setiap tipe UTKKS disebabkan oleh perbedaan sistem pengelolaannya. Produksi Karet (kg lateks/ha) 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Sesap Karet Monokultur Karet II Monokultur Karet I dan Karet Gaharu 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Umur Tanaman (tahun) Gambar 15 Perbandingan sebaran produksi karet berdasarkan umur tanaman pada setiap tipe usahatani karet di DAS Batang Pelepat Produksi Kelapa Sawit Produksi kelapa sawit di DAS Batang Pelepat hanya sekitar 11 000 kg TBS/ha/tahun; produksi ini masih di bawah potensi produksi TBS pada lahan kelas S3 yang mencapai 22 000 kg TBS/ha/tahun (Tabel 31). Produksi TBS bervariasi sesuai umur tanaman dan mencapai produksi maskimum pada umur yang berbeda. Teknik budidaya kelapa sawit aktual mengakibatkan produksi maksimum tercapai pada umur tanaman 14 tahun, tetapi penerapan agroteknologi yang ideal pada lahan dengan kelas kesesuaian S3

mengakibatkan produksi maksimum tercapai pada umur tanaman 9 13 tahun (Gambar 16 dan Lampiran 13). Tipe usahatani kelapa sawit di DAS Batang Pelepat menerapkan sistem tanam monokultur (MKS) dan tumpangsari (KSP), namun belum disertai dengan agroteknologi yang memadai. Kedua tipe usahatani kelapa sawit tersebut menghasilkan jumlah produksi TBS yang sama. 30000 Produksi TBS (kg/ha) 25000 20000 15000 10000 5000 Potensi Produksi pada Kelas Kesesuaian Lahan S3 Produksi Aktual 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Umur Tanaman (tahun) Gambar 16 Perbandingan sebaran produksi TBS berdasarkan umur tanaman di DAS Batang Pelepat dengan potensi produksi pada lahan kelas S3. Produksi Tanaman Sela Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa produksi padi ladang sebagai tanaman sela hanya mencapai 1 250 kg GKG/ha/tahun dan produksi pinang adalah sekitar 700 kg biji kering/ha/tahun. Pisang adalah pilihan komoditi yang ditanam secara tumpangsari dengan kelapa sawit yang mempunyai kapasitas produksi 80 tandan pada tahun pertama dan 170 tandan pada tahun kedua hingga tahun keempat, sehingga produksi ratarata mencapai 147.5 tandan/ha/tahun atau 737.75 kg/ha/tahun (Tabel 31 dan Lampiran 13). Tanaman kehutanan berupa manau yang dijadikan tanaman sela pada tipe SK I mencapai produksi ratarata 4.11 ton/ha (dari 100 batang manau/ha) dan kayu sungkai dengan populasi 40 batang/ha dapat menghasilkan 40 m 3 kayu bulat/ha. Berat jenis kayu sungkai menurut Martawijaya (2005a) adalah 0.63 g/cm 3 sehingga 40 m 3 /ha kayu bulat tersebut setara dengan 25.20 ton/ha kayu bulat. Tanaman kehutanan lainnya yang digunakan sebagai tanaman sela pada usahatani karet adalah kayu medang dan kayu balam. Kedua jenis tanaman ini ditemukan pada SK II dengan populasi masingmasing 50 batang/ha dengan produksi sekitar 50 m 3 kayu bulat/ha. Menurut Martawijaya (2005b), berat jenis

kayu medang dan balam adalah 0.56 g/cm 3 sehingga 50 m 3 /ha kayu bulat tersebut setara dengan 11.20 ton/ha kayu bulat (Tabel 31 dan Lampiran 13). Selain tanaman sela, kayu karet yang sudah tua juga memberi kontribusi terhadap pendapatan petani. Berdasarkan hasil penelitian setiap hektar kebun karet rakyat dapat menghasilkan sekitar 100 m 3 kayu karet (Tabel 31). Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Pendapatan dan Kelayakan Usahatani di DAS Batang Pelepat Berdasarkan analisis usahatani dapat diketahui bahwa pendapatan petani karet berkisar Rp5 800 000 hingga 59 360 000/ha/tahun. Pendapatan tertinggi akan diperoleh dari tipe KRG, tetapi saat ini tanaman belum menghasilkan, sedangkan pendapatan terendah diperoleh dari tipe MK II, yaitu Rp5 800 000/ha/tahun. Tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat mempunyai struktur biaya, penerimaan dan pendapatan yang berbeda karena dikelola dengan agroteknologi yang berbeda (Tabel 32 dan Lampiran 30). Diversifikasi tanaman pada tipe UTKKS memberikan kontribusi terhadap pendapatan usahatani. Berdasarkan analisis usahatani diketahui bahwa pendapatan pada tipe usahatani campuran lebih tinggi dibandingkan pendapatan pada usahatani monokultur. Pendapatan pada tipe SK dan KRG lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur karet dan pendapatan dari tipe KSP lebih tinggi dibandingkan dengan MKS. Pendapatan yang diperoleh petani karet lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh oleh petani kelapa sawit. Petani MKS mempunyai pendapatan sekitar Rp8 000 000 dan petani KSP mempunyai pendapatan sekitar Rp8 100 000 (Tabel 32). Tabel 32 Distribusi biaya, penerimaan dan pendapatan serta kebutuhan luas lahan minimal (Lmin) setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Biaya Penerimaan Pendapatan Lmin Tipe UTKKS Juta Rp/ha/tahun Juta Rp/ha/tahun Juta Rp/ha/tahun (ha) Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet I Monokultur Karet II KaretGaharu (TBM) * Monokultur K.Sawit Kelapa sawitpisang 1.24 1.10 1.95 1.42 2.74 1. 00 1.16 * Hasil Prediksi karena tanaman belum menghasilkan 7.36 6.90 9.79 6.87 62.10 9.00 9.26 6.12 5.80 7.84 5.45 59.36 8.00 8.10 2.94 3.10 2.30 3.30 0.30 2.25 2.22 Berdasarkan hasil penelitian PKHL di DAS Batang Pelepat adalah Rp18 000 000/KK. Pendapatan petani karet dan kelapa sawit di DAS Batang Pelepat yang berasal dari 2 ha lahan belum dapat memenuhi PKHL, kecuali petani yang menerapkan tipe KRG (Gambar 17). Tingginya pendapatan dari tipe KRG

disebabkan oleh tingginya nilai ekonomi gubal gaharu (Rp2 000 000/kg), namun pengembangannya sangat dibatasi oleh pengetahuan petani untuk mengelola tanaman tersebut karena petani hanya terbiasa mengelola tanaman karet. Pengembangan tipe KRG di DAS Batang Pelepat masih bergantung pada fasilitas pemerintah, padahal menurut Sinukaban (2007b) pertanian berkelanjutan harus dapat dikembangkan oleh petani secara mandiri. Pendapatan (Juta Rupiah/2 ha/tahun) 140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 2% 7% 14% 30% Pendapatan SK I 12.24 12.24 12.24 12.24 Pendapatan SK II 11.60 11.60 11.60 11.60 Pendapatan MK I 15.68 15.68 15.68 15.68 Pendapatan MK II 10.92 10.92 10.92 10.92 Pendapatan KRG 118.72 118.72 118.72 118.72 Pendapatan MKS 16.00 16.00 16.00 16.00 Pendapatan KSP 16.20 16.20 16.20 16.20 PKHL 18.00 18.00 18.00 18.00 Kemiringan Lereng (%) Gambar 17 Pengaruh tipe UTKKS pada lahan seluas 2 ha terhadap pendapatan petani berdasarkan kelas kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat. Berdasarkan perbandingan PKHL dan pendapatan dari setiap tipe UTKKS dapat diketahui bahwa untuk memenuhi PKHL petani harus mengelola lahan yang lebih dari 2 ha, kecuali petani KRG (0.30 ha). Luas lahan minimal yang dibutuhkan petani untuk mencapai PKHL berkisar antara 2.20 3.30 ha (Tabel 32), sesuai tipe UTKKS yang dipilih. Pemanfaatan seluruh lahan yang dimiliki petani (5 ha) mengakibatkan petani dapat memenuhi PKHL, namun saat ini petani tidak memiliki modal yang cukup untuk mengelola seluruh lahan yang dimilikinya dan akan semakin meningkatkan luas lahan terdegradasi. Ketercapaian PKHL melalui usahatani merupakan salah satu indikator keberhasilan usahatani atau menunjukkan keberlanjutan suatu usahatani. Selanjutnya PKHL digunakan sebagai salah satu indikator penilaian keberlanjutan UTKKS di DAS Batang Pelepat dan PKHL tersebut juga digunakan sebagai salah satu target (target pendapatan) dalam optimalisasi UTKKS berkelanjutan dengan PTG.

Kelayakan UTKKS juga dapat dinilai berdasarkan analisis kelayakan terhadap masingmasing tipe UTKKS. Hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa tipe SK dan MK II tidak layak. Tipe usahatani yang layak adalah MK I, KRG, MKS dan KSP yang hanya diterapkan oleh sebagian kecil petani (Tabel 33 dan Lampiran 30). Hasil analisis kelayakan UTKKS sesuai dengan kondisi masyarakat (petani) di DAS Batang Pelepat yang umumnya belum dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak (masih miskin). Pendapatan sebagian besar masyarakat tergantung pada UTKKS (93.50% atau 2 014 KK), terutama tipe SK (57.21%) dan MK II (22.89%). Hasil analisis kelayakan menunjukkan bahwa tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat masih memerlukan penyempurnaan agroteknologi agar penanaman investasi petani pada UTKKS menguntungkan dan memberikan keuntungan yang layak bagi petani. Tabel 33 Pengaruh tipe UTKKS terhadap tingkat kelayakan usahatani di DAS Batang Pelepat Tipe UTKKS B/C NPV (Juta Rp) IRR (%) Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet I Monokultur Karet II KaretGaharu (TBM) Monokultur Kelapa Sawit Kelapa sawitpisang 0.99 0.77 1.40 0.96 16.08 3.26 3.15 0.10 3.42 8.29 0.76 529.09 31.89 33.41 11.96 10.65 15.01 11.68 57.40 26.47 28.00 Perencanaan UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Alternatif Tipe dan Agroteknologi UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Berdasarkan analisis pengaruhnya terhadap erosi dan pendapatan serta kelayakan usahatani diatas, semua tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat dinilai tidak berkelanjutan sehingga perlu dilakukan penyempurnaan terhadap tipe UTKKS yang sudah ada melalui perbaikan agroteknologi yang dapat diterima dan diterapkan petani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Semua tipe UTKKS (kecuali KRG) di DAS Batang Pelepat dapat dijadikan alternatif dalam pemilihan usahatani berkelanjutan yang local based yang disertai dengan 2 skenario agroteknologi. Skenario Agroteknologi 1 (SA1) Skenario agroteknologi 1 (SA1) adalah pengaturan jarak tanam pada tipe SK (untuk penanaman baru), penerapan teknik pemupukan dan KTA (Tabel 34). Pupuk yang digunakan untuk karet adalah urea, TSP dan KCl dengan takaran

Tabel 34 Deskripsi skenario agroteknologi 1 (SA1) dan skenario agroteknologi 2 (SA2) pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Skenario Agroteknologi 1 (SA1) Tipe UTKKS* Jarak Populasi & Jenis Pemberantasan & Pemupukan Penyiangan Tanam Tanaman Pengendalian HPT Teknik KTA Sesap Karet I 3 m x 7 m** 460 karet, 128 manau dan 128 Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (314%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 30%) sungkai Sesap Karet II 3 m x 7 m** 460 karet, 128 balam dan Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (314%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 30%) 128 medang Monokultur Karet 3 m x 7 m 460 karet Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (314%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 30%) Monokultur Kelapa Sawit 8 m x 8 m 141kelapa sawit Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (314%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 30%) Kelapa Sawit Pisang 8 m x 8 m 141 kelapa sawit dan 121 pisang Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (314%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 30%) Skenario Agroteknologi 2 (SA2) Tipe UTKKS* Jarak Populasi & Jenis Pemberantasan & Pemupukan Penyiangan Tanam Tanaman Pengendalian HPT Teknik KTA Sesap Karet I 3 m x 7 m** 460 karet, 128 manau dan 128 sungkai Rekomendasi BPP Sembawa (2003) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (314%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 30%) Sesap Karet II 3 m x 7 m** 460 karet, 128 balam dan 128 medang Rekomendasi BPP Sembawa (2003) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (314%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 30%) Monokultur Karet 3 m x 7 m 460 karet Rekomendasi BPP Sembawa (2003) Monokultur 8 m x 8 m 141kelapa sawit Rekomendasi PPKS Medan Kelapa Sawit (1999) Kelapa Sawit 8 m x 8 m 141 kelapa sawit Rekomendasi PPKS Medan Pisang dan 121 pisang (1999) untuk kelapa sawit dan rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) untuk pisang * Setiap tipe UTKKS tetap menerapkan penanaman Padi Ladang sebagai tanaman sela pada 2 tahun pertama dan Pinang sebagai tanaman pagar. ** Jika dilakukan penanaman baru Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (314%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 30%) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (314%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 30%) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (314%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 30%)

88 masingmasing 100, 50 dan 50 kg/ha/tahun, sedangkan untuk kelapa sawit digunakan pupuk NPK sebanyak 0.22 0.45 kg/pohon/tahun dan MgSO 4 sebanyak 0.10 0.40 kg/pohon/tahun (Balitbang Pertanian 2005b). Pemberian pupuk pada SA1 pada lereng 3 14% disertai dengan penerapan LCC dan sistem tanam menurut kontur (CP = 0.05 0.08) (Hammer 1986, diacu dalam Arsyad 2006) dan pada lereng 15 30% disertai dengan penerapan LCC serta teras gulud atau teras kebun (CP = 0.0102) (Balitbang Pertanian 2005b). Teknik KTA ini sesuai dengan nilai CP maks pada setiap kemiringan lereng, yaitu 0.24 (pada lereng 7%), 0.06 (pada lereng 14%) dan 0.01 pada lereng 30% (Lampiran 31). Penerapan SA1 menyebabkan erosi pada setiap tipe UTKKS lebih kecil dibandingkan dengan tanpa penerapan agroteknologi (Lampiran 31) dan bahkan erosi dapat dikendalikan hingga lebih kecil Etol. Erosi pada SK I dan SK II sebesar 0.61 3.46 ton/ha/tahun, pada MK sebesar 4.91 27.72 ton/ha/tahun dan pada MKS dan KSP sebesar 3.07 17.32 ton/ha/tahun, sedangkan Etol berkisar 21.31 43.12 ton/ha/tahun (Gambar 18 dan 19). Penyempurnaan agroteknologi yang dilengkapi dengan teknik KTA yang efektif mengendalikan erosi (sesuai kemiringan lereng) pada gilirannya dapat mempertahankan produktivitas lahan. Gambar 18 Pengaruh penerapan SA1 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 2 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat.

89 Gambar 19 Pengaruh penerapan SA1 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 5 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat. Penerapan SA1 mengakibatkan peningkatan biaya usahatani karena adanya perbaikan agroteknologi berupa pemupukan dan teknik KTA. Biaya pemupukan meningkat sesuai peningkatan takaran yang direkomendasikan, sedangkan biaya teknik KTA meningkat sesuai dengan jenis teknik KTA yang digunakan. Menurut Ditjen PLA Deptan (2007b), penerapan LCC membutuhkan biaya sebesar Rp425 000/ha, yang terdiri atas biaya upah tenaga kerja sebesar Rp 400 000 (setara 16 HOK) untuk penanamannya dan bibit LCC senilai Rp25 000/ha, serta Rp150 000/tahun (setara 6 HOK/tahun) untuk pemeliharaannya, sedangkan pembuatan teras gulud atau teras kebun membutuhkan biaya upah tenaga kerja sebesar Rp2 000 000/ha (80 HOK) dan pemeliharaannya membutuhkan biaya tenaga kerja sebesar Rp150 000 250 000/tahun (6 10 HOK). Perbaikan agroteknologi UTKKS melalui penerapan SA1 mengakibatkan produksi tanaman juga meningkat dibandingkan dengan produksi tanaman yang tidak menerapkan agroteknologi. Produksi karet mencapai 1 362.75 kg lateks/ha/tahun atau 0.00 108.97%, kelapa sawit mencapai 20 052.17 kg TBS/ha/tahun (84.11%), manau mencapai 5 260 kg/ha (27.98%) dan kayu

sungkai, balam serta medang mencapai 128 m 3 /ha (156 220%) (Tabel 35). Peningkatan produksi karet dan kelapa sawit dapat diketahui berdasarkan hasil survei terhadap petani yang sudah menerapkan takaran pemupukan tersebut, sedangkan peningkatan produksi tanaman sela diperkirakan berdasarkan penambahan populasi tanaman dan pengelolaan usahatani karet secara memadai dapat meningkatkan produksi kayu karet hingga 300 m 3 /ha kayu bulat (Ditjenbun 2007). Tabel 35 Sebaran produksi tanaman karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS akibat penerapan SA1 di DAS Batang Pelepat Jenis Tanaman Produksi Tanaman pada setiap Tipe Usahatani SK I SK II MK I MKS KSP Karet a Manau a Sungkai b Medang b Balam b Gaharu a Klp. Sawit a Pisang a Padi a Pinang a Kayu Karet b 1 362.75 5 260.00 128.00 1 250.00 700.00 300.00 1 362.75 128.00 128.00 1 250.00 700.00 300.00 1 362.75 1 250.00 700.00 300.00 20 052.00 1 250.00 700.00 20 052.00 737.50 1 250.00 700.00 * a = dalam kg lateks/ha dan b = dalam kg manau panjang 6 m/ha/tahun, c = m 3 kayu bulat/ha/tahun, d = kg gubal/ha/tahun, e = kg TBS/ha/tahun, f = kg buah segar/ha/tahun, g = kg GKG/ha/tahun dan h = kg biji kering/ha/tahun. Peningkatan produksi tanaman akibat penerapan SA1 pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan petani menjadi Rp13 380 000 16 350 000/ha/tahun, meskipun biaya yang dikeluarkan untuk usahatani juga meningkat (Rp1 290 000 2 440 000/ha). Pendapatan petani bervariasi sesuai tipe UTKKS dan agroteknologi yang diterapkan pada berbagai kemiringan lereng, yaitu Rp16 100 000 16 350 000/ha/tahun (SK I), Rp15 560 000 15 830 000/ha/tahun (SK II), Rp13 380 000 13 640 000/ha/tahun (MK), Rp 13 450 000 13 720 000/ha/tahun (MKS) dan Rp14 010 000 14 280 000/ha/tahun (KSP). Pendapatan paling tinggi dapat dicapai dengan menerapkan tipe SK I, sedangkan yang paling rendah dapat dicapai dengan hanya menerapkan tipe MK (Tabel 36). Pemanfaatan sebagian (2 ha) atau seluruh (5 ha) lahan milik petani dengan menerapkan SA1 mengakibatkan petani memperoleh pendapatan sebesar Rp26 740 000 81 750 000/tahun; pendapatan ini telah melampaui PKHL yang mencapai Rp18 000 000/KK (Gambar 18 dan Gambar 19). Berdasarkan pendapatan dari setiap tipe UTKKS yang dapat melampaui PKHL (pada lahan seluas 2 ha dan 5 ha) tersebut, berarti untuk memenuhi PKHL di DAS Batang Pelepat petani cukup mengelola lahan yang kurang dari 2 ha. 90

Berdasarkan perbandingan PKHL di DAS Batang Pelepat (Rp18 000 000/KK) dan pendapatan yang diperoleh dari setiap tipe UTKKS per hektar akibat penerapan SA1 dapat ditentukan kebutuhan lahan minimal yang harus dikelola petani sesuai dengan tipe UTKKS yang dipilih. Kebutuhan lahan minimal untuk setiap tipe UTKKS pun bervariasi sesuai dengan kemiringan lereng, yaitu 1.10 1.35 ha karena pendapatan yang diperoleh pada setiap tipe UTKKS pun bervariasi sesuai kemiringan lereng atau disesuaikan dengan teknik KTA yang diterapkan (Tabel 37). Tabel 36 Pengaruh penerapan SA1 terhadap biaya, penerimaan dan pendapatan pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Tipe Biaya (Juta Rp/ha) Penerimaan Pendapatan (Juta Rp/ha) UTKKS KTA0* KTA1* KTA2* (Juta Rp/ha) KTA0* KTA1* KTA2* SK I 1.44 1.45 1.71 17.80 16.35 16.34 16.10 SK II 1.29 1.30 1.56 17.12 15.83 15.82 15.56 MK 2.16 2.17 2.44 15.80 13.64 13.63 13.38 MKS 1.88 1.89 2.15 15.60 13.72 13.71 13.45 KSP 1.89 1.90 2.16 16.17 14.28 14.27 14.01 * KTA0 = tanpa teknik KTA pada lereng 0 2%, KTA1 = LCC dan sistem tanam menurut kontur (CC) pada lereng 3 14% dan KTA2 = LCC dan teras gulud atau teras kebun pada lereng 15 30%. Tabel 37 Pengaruh penerapan SA1 terhadap kebutuhan luas lahan minimal setiap tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat Tipe UTKKS Luas Lahan pada setiap Kemiringan Lereng (ha) 2% 7% 14% 30% Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang 1.10 1.14 1.32 1.31 1.26 1.10 1.14 1.32 1.31 1.26 1.10 1.14 1.32 1.31 1.26 1.12 1.16 1.35 1.34 1.28 Berdasarkan analisis kelayakan usahatani, semua tipe UTKKS berkelanjutan yang dicapai melalui penerapan SA1 layak dan menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari indikator kelayakan investasi usahatani (B/C, NPV dan IRR). Kelayakan investasi setiap tipe UTKKS bervariasi sesuai dengan kemiringan lereng karena biaya dan penerimaan usahatani pada setiap kemiringan lereng juga berbeda (Lampiran 30). Berdasarkan analisis kelayakan usahatani, tipe SK I mempunyai tingkat kelayakan yang lebih tinggi (B/C = 1.76 3.50, NPV = Rp14 125 266.17 43 147 341.60 dan IRR = 36.72 43.16%) dibandingkan dengan tipe UTKKS lainnya (Tabel 38). Peningkatan pendapatan, penurunan erosi dan analisis kelayakan usahatani tersebut menunjukkan bahwa indikator keberlanjutan pada setiap tipe UTKKS dapat dicapai dengan menerapkan SA1. Peningkatan pendapatan dan 91

penurunan erosi akibat penerapan SA1 berbanding lurus dengan diversivitas tanaman yang digunakan pada setiap tipe UTKKS. Tabel 38 Pengaruh penerapan SA1 terhadap tingkat kelayakan setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat pada setiap kemiringan lereng Tipe UTKKS B/C NPV (Juta Rupiah) IRR (%) SA1 pada lereng 2% Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang 3.50 3.33 2.20 4.23 4.44 SA1 pada lereng 7% dan 14% 3.46 3.29 2.18 4.19 4.40 SA1 pada lereng 30% 1.76 1.61 1.74 3.38 3.67 43.15 38.65 26.57 65.85 74.27 42.85 38.35 26.25 65.55 73.97 14.13 11.05 19.11 57.93 66.84 43.16 41.92 20.28 36.47 41.87 42.27 41.47 38.23 35.74 41.03 36.72 35.43 32.68 30.38 34.88 Skenario Agroteknologi 2 Skenario agroteknologi 2 (SA2) adalah pengaturan jarak tanam dan penerapan KTA seperti pada SA1, namun menerapkan rekomendasi pemupukan yang berbeda (Tabel 34). Takaran pupuk tanaman disesuaikan dengan rekomendasi BPP Sembawa (2003) untuk karet (250 350 g urea, 125 260 g SP36 dan 100 300 g KCl per pohon setiap tahun) dan rekomendasi PPKS Medan (1999) untuk kelapa sawit (0.70 1.50 kg urea, 0.50 2.00 kg TSP, 0.80 1.50 kg KCl dan 0.70 1.00 kg MgSO 4 per pohon setiap tahun). Perbaikan agroteknologi dengan menerapkan SA2 dapat mengendalikan erosi hingga di bawah Etol (Gambar 20 dan Gambar 21). Tingkat ketercapaian penurunan erosi akibat penerapan kedua skenario agroteknologi adalah sama. Pengendalian erosi dapat mempertahankan kesuburan tanah sehingga dapat pula dicapai produksi tanaman secara optimal. Penerapan SA2 dapat meningkatkan produksi karet menjadi 1 737.50 kg lateks/ha/tahun (27.50 145.30%) dan produksi kelapa sawit menjadi 21 782.61 kg TBS/ha/tahun (98.02%). Peningkatan produksi karet sesuai dengan standar produksi karet yang ditetapkan oleh BPP Sembawa (Anwar 2006), sedangkan peningkatan produksi kelapa sawit sesuai dengan potensi produksi TBS pada lahan dengan kelas kesesuaian S3. Peningkatan produksi tanaman lainnya sama dengan produksi akibat penerapan SA1 (Tabel 39 dan Lampiran 13). 92

93 Gambar 20 Pengaruh penerapan SA2 pada setiap tipe UTKKS terhadap erosi dan pendapatan pada lahan seluas 2 ha dengan kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat. Gambar 21 Pengaruh penerapan SA2 pada setiap tipe UTKKS terhadap erosi dan pendapatan pada lahan seluas 5 ha dengan kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat.

Tabel 39 Sebaran produksi tanaman karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS akibat penerapan SA2 di DAS Batang Pelepat Jenis Tanaman Produksi Tanaman pada setiap Tipe Usahatani SK I SK II MK I MKS KSP Karet a Manau a Sungkai b Medang b Balam b Gaharu a Klp. Sawit a Pisang a Padi a Pinang a Kayu Karet b 1 737.50 5 260.00 104.00 1 250.00 700.00 300.00 1 737.50 104.00 104.00 1 250.00 700.00 300.00 1 737.50 1 250.00 700.00 300.00 21 782.61 1 250.00 700.00 21 782.61 737.50 1 250.00 700.00 * a = dalam kg lateks/ha dan b = dalam kg manau panjang 6 m/ha/tahun, c = m 3 kayu bulat/ha/tahun, d = kg gubal/ha/tahun, e = kg TBS/ha/tahun, f = kg buah segar/ha/tahun, g = kg GKG/ha/tahun dan h = kg biji kering/ha/tahun. Penerapan SA2 membutuhkan biaya yang lebih besar (Rp1 430 000 3 040 000/ha) dibandingkan dengan penerapan SA1, tetapi peningkatan produksi tanaman mengakibatkan pendapatan yang diperoleh dari usahatani juga meningkat menjadi Rp13 980 000 18 590 000/ha/tahun; peningkatan pendapatan ini pun lebih tinggi dibandingkan dengan penerapan SA1 dan tanpa penerapan agroteknologi. Peningkatan pendapatan petani akibat penerapan SA2 juga bervariasi sesuai tipe UTKKS dan teknik KTA yang diterapkan pada setiap kemiringan lereng. Pendapatan tertinggi diperoleh dari tipe SK I, sedangkan pendapatan terendah diperoleh dari tipe MKS. Pendapatan yang diperoleh dari setiap tipe UTKKS berkisar Rp18 320 000 18 590 000/ha/tahun (SK I), Rp17 620 000 17 890 000/ha/tahun (SK II), Rp14 970 000 15 240 000/ha/tahun (MK), Rp 13 980 000 14 260 000/ha/tahun (MKS) dan Rp14 440 000 14 710 000/ha/tahun (KSP) (Tabel 40). Pemanfaatan sebagian (2 ha) dan seluruh (5 ha) lahan milik petani bila disertai penerapan SA2 juga menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani mencapai Rp27 960 000 92 950 000/tahun; pendapatan ini juga melampaui PKHL yang besarnya Rp18 000 000/KK (Gambar 20 dan Gambar 21). Tingkat ketercapaian peningkatan pendapatan akibat penerapan SA2 lebih tinggi dibandingkan dengan penerapan SA1. Peningkatan pendapatan dan penurunan erosi juga berbanding lurus dengan diversivitas tanaman pada setiap tipe UTKKS. Berdasarkan perbandingan pendapatan yang diperoleh dari setiap hektar tipe UTKKS yang disertai penerapan SA2 dengan PKHL di DAS Batang Pelepat (Rp18 000 000/KK) dapat ditentukan kebutuhan lahan minimal harus dikelola petani untuk setiap tipe UTKKS yang dipilih. Luas lahan minimal yang dibutuhkan untuk setiap tipe UTKKS dalam mencapai PKHL dengan menerapkan 94

SA2 lebih kecil dibandingkan dengan SA1, yaitu 0.97 1.29 ha. Kebutuhan lahan tersebut juga bervariasi berdasarkan kemiringan lereng (Tabel 41). Tabel 40 Pengaruh penerapan SA2 terhadap biaya, penerimaan dan pendapatan pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Tipe Biaya (Juta Rp/ha) Penerimaan Pendapatan (Juta Rp/ha) UTKKS KTA0* KTA1* KTA2* (Juta Rp/ha) KTA0* KTA1* KTA2* SK I 1.59 1.60 1.86 20.18 18.59 18.58 18.32 SK II 1.43 1.44 1.70 19.32 17.89 17.88 17.62 MK 2.57 2.58 2.85 17.82 15.24 15.23 14.97 MKS 2.65 2.66 2.92 16.91 14.26 14.25 13.98 KSP 2.76 2.77 3.04 17.47 14.71 14.70 14.44 * KTA0 = tanpa teknik KTA pada lereng 0 2%, KTA1 = LCC dan sistem tanam menurut kontur (CC) pada lereng 3 14% dan KTA2 = LCC dan teras gulud atau teras kebun pada lereng 15 30%. Tabel 41 Pengaruh penerapan SA2 terhadap kebutuhan luas lahan minimal setiap tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat Tipe UTKKS Luas Lahan pada setiap Kemiringan Lereng (Ha) 2% 7% 14% 30% Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang 0.97 1.01 1.18 1.26 1.22 0.97 1.01 1.18 1.26 1.22 0.97 1.01 1.18 1.26 1.22 0.98 1.02 1.20 1.29 1.25 Penilaian keberlanjutan setiap tipe UTKKS melalui penerapan SA2 juga didukung dengan analisis kelayakan usahatani. Hasil analisis kelayakan usahatani menunjukkan bahwa semua tipe UTKKS layak dan menguntungkan dengan indikator nilai B/C >1, NPV > 0 dan IRR > 12%. Tingkat kelayakan setiap tipe UTKKS yang disertai dengan penerapan SA2 bervariasi sesuai dengan teknik KTA yang digunakan pada setiap kemiringan lereng (Lampiran 30). Hasil analisis kelayakan usahatani menunjukkan bahwa SK I mempunyai tingkat kelayakan yang lebih tinggi (B/C = 2.94 3.74, NPV = 43 045 267.84 50 567 341.42 dan IRR = 37.15 43.25%) dibandingkan dengan tipe UTKKS lainnya (Tabel 42). Keberlanjutan UTKKS di DAS Batang Pelepat, terutama dengan tercapainya peningkatan pendapatan hingga melampaui PKHL akibat penerapan SA1 dan SA2 pada setiap tipe UTKKS dapat menekan dan mencegah perambahan hutan oleh masyarakat (petani). Perbaikan agroteknologi UTKKS di DAS Batang Pelepat juga merupakan salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan masyarakat di kawasan tersebut dan akan sangat efektif untuk menjamin kelestarian TNKS. Hal ini sejalan dengan kebijakan prioritas pembangunan kehutanan yang salah satu diantaranya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar dan dalam hutan (Menhut RI 2008). 95

96 Tabel 42 Pengaruh penerapan SA2 terhadap tingkat kelayakan setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat pada setiap kemiringan lereng Tipe UTKKS B/C NPV (Juta Rupiah) IRR (%) SA2 pada lereng 2% Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang 3.74 3.62 1.97 3.34 3.42 SA2 pada lereng 7% dan 14% 3.70 3.58 1.95 3.31 3.40 SA2 pada lereng 30% 2.94 2.80 1.61 2.80 2.91 50.57 46.14 26.07 61.72 68.66 50.27 45.84 25.77 61.42 68.36 43.05 38.62 18.63 54.28 61.23 43.25 42.45 18.40 33.77 38.36 42.83 42.02 18.28 33.44 37.96 37.15 36.21 16.07 28.61 32.25 Optimalisasi UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Usahatani berkelanjutan yang optimal diperoleh melalui analisis optimalisasi dengan PTG. Optimalisasi usahatani dilakukan pada penerapan SA1 dan SA2 untuk sebagian (2 ha) dan seluruh (5 ha) lahan milik petani pada beberapa kelas kemiringan lereng (2, 7, 14 dan 30 %) dengan modal yang dimiliki petani (Rp 6 000 000/tahun), target pendapatan Rp18 000 000 (PKHL) dan target erosi Etol (43.12 ton/ha/tahun pada lereng 2%, 29.44 ton/ha/tahun pada lereng 7%, 28.05 ton/ha/tahun pada lereng 14% dan 21.31 ton/ha/tahun pada lereng 30%). Hasil analisis PTG menunjukkan bahwa usahatani yang paling optimal diterapkan di DAS Batang Pelepat adalah SK I (karetmanaukayu sungkai) yang disertai penerapan SA2. Hal ini terlihat dari deviasi positif target erosi (de + ) dan deviasi negatif target pendapatan (dp ) yang sama dengan nol (de + dan dp = 0) pada setiap kemiringan lereng dengan alokasi penggunaan hanya untuk SK I. Penerapan agroteknologi (SA1 dan SA2) menyebabkan penetapan prioritas sasaran (pengutamaan terhadap salah satu aspek) tidak berpengaruh terhadap penentuan usahatani yang optimal karena analisis terhadap prioritas pengendalian erosi dan peningkatan pendapatan menunjukkan hasil yang sama (Lampiran 32). Tingkat ketercapaian target pengendalian erosi dan peningkatan pendapatan akibat penerapan SA1 berbeda dengan SA2 (Tabel 43 dan 44).

Tabel 43 Pengaruh penerapan SA1 dan SA2 terhadap persentase tingkat ketercapaian (d + ) dan ketidaktercapaian target (d ) usahatani optimal di DAS Batang Pelepat pada lahan seluas 2 ha dan berbagai kemiringan lereng Kendala Target SA1 SA2 Lereng 2% Lahan (Ha) 2.00 2.00 (00.00) 2.00 (00.00) Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 2.88 (+52.00 ) 3.18 ( +47.00) Erosi (ton/ha/tahun) 43.12 2.78 2.78 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 Lereng 7% Lahan (Ha) 2.00 Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 Erosi (ton/ha/tahun) 29.44 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 Lereng 14% Lahan (Ha) 2.00 Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 Erosi (ton/ha/tahun) 28.05 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 (93.55) 32.70 (+81.67 ) 2.00 (00.00) 2.90 (+51.67) 0.61 (97.93) 32.68 ( +81.56) 2.00 (00.00) 2.90 (+51.67) 3.46 (87.66) 32.68 (+81.56) 97 (93.55) 37.18 (+106.56) 2.00 (00.00) 3.20 (+46.67) 0.61 (97.93) 37.16 (+106.44) 2.00 (00.00) 3.20 (+46.67) 3.46 (87.66) 37.16 (+106.44) Lereng 30% Lahan (Ha) 2.00 2.00 (00.00) 2.00 (00.00) Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 3.42 (+43.00) 3.72 (+38.00) Erosi (ton/ha/tahun) 21.31 1.11 (94.79) 1.11 (94.79) Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 32.20 36.64 (+78.89) (+103.56) * nilai 0 menunjukkan tujuan/target tepat tercapai, tanda negatif menunjukkan target tidak tercapai (kurang dari target) dan tanda positif menunjukkan target terlampaui. Tingkat ketercapaian target mengendalikan erosi hingga di bawah Etol pada kedua skenario agroteknologi adalah sama (87.66 97.93% di bawah Etol). Sebaliknya tingkat ketercapaian target meningkatkan pendapatan petani hingga melebihi PKHL pada penerapan SA2 lebih tinggi dibandingkan dengan SA1. Peningkatan pendapatan dengan menerapkan SA1 mencapai 78.89 81.67% diatas PKHL (pada lahan seluas 2 ha) dan 347.22 354.17% diatas PKHL (pada lahan seluas 5 ha), sedangkan peningkatan pendapatan dengan menerapkan SA2 mencapai 103.56 106.56% diatas PKHL (pada lahan seluas 2 ha) dan 408.89 416.39% diatas PKHL (pada lahan seluas 5 ha) (Tabel 43 dan Tabel 44). Hasil analisis PTG juga menunjukkan bahwa usahatani paling optimal saat ini hanya dapat diterapkan petani dengan lahan seluas 2 ha, karena modal yang dibutuhkan (Rp2 880 000 3 720 000 atau 38.00 52.00%) lebih kecil dari

modal yang dimiliki petani (Tabel 43). Penerapannya pada lahan seluas 5 ha memerlukan modal (Rp 7 200 000 9 300 000 atau 20.00 55.00%) lebih besar dari modal yang dimiliki petani (Tabel 44). Tabel 44 Pengaruh penerapan SA1 dan SA2 terhadap persentase tingkat ketercapaian (d + ) dan ketidaktercapaian target (d ) usahatani optimal di DAS Batang Pelepat pada lahan seluas 5 ha dan berbagai kemiringan lereng Kendala Target SA1 SA2 Lereng 2% Lahan (Ha) 5.00 5.00 5.00 (00.00) (00.00) Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 7.20 7.95 (20.00 ) ( 32.50) Erosi (ton/ha/tahun) 43.12 2.78 2.78 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 Lereng 7% Lahan (Ha) 5.00 Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 Erosi (ton/ha/tahun) 29.44 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 Lereng 14% Lahan (Ha) 5.00 Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 Erosi (ton/ha/tahun) 28.05 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 (93.55) 81.75 (+354.17) 5.00 (00.00) 7.25 (20.83) 0.61 (97.93) 81.70 (+353.88) 5.00 (00.00) 7.25 (20.83) 3.46 (87.66) 81.70 (+353.88) 98 (93.55) 92.95 (+416.39) 5.00 (00.00) 8.00 ( 33.33) 0.61 (97.93) 92.90 ( +416.11) 5.00 (00.00) 8.00 ( 33.33) 3.46 (87.66) 92.90 ( +416.11) Lereng 30% Lahan (Ha) 5.00 5.00 5.00 (00.00) (00.00) Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 8.55 9.30 ( 42.50) (55.00) Erosi (ton/ha/tahun) 21.31 1.11 1.11 (94.79) (94.79) Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 80.50 91.60 (+347.22) (+408.89) * nilai 0 menunjukkan tujuan/target tepat tercapai, tanda negatif menunjukkan target tidak tercapai (kurang dari target) dan tanda positif menunjukkan target terlampaui. Usahatani berkelanjutan yang optimal akan dapat mendukung perbaikan kesejahteraan petani di DAS Batang Pelepat karena sebagian besar petani menerapkan tipe SK I (karetmanaukayu sungkai). Hasil penelitian ini sangat relevan untuk mendukung program pemerintah Kabupaten Bungo karena pengembangan rotan manau di Kabupaten Bungo merupakan prioritas ketiga setelah karet dan kelapa sawit (Budisetiawan 2008). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan kajian Penot dan Budiman (2004) yang mengemukakan bahwa SK adalah salah satu tipe agroforestri (agroforestri karet) khas Indonesia

99 yang berkembang dengan keterbatasan modal petani, namun melalui penerapan agroteknologi untuk intensifikasi pengelolaan dan input sistem usahatani akan memberikan keuntungan ekonomi dan lingkungan secara optimal. Penerapan UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Lahan di sub DAS Batang Pelepat terdiri atas beberapa kelas kemampuan lahan, yaitu II, III, IV, VI dan VII dengan faktor penghambat berupa lereng yang miring hingga curam, drainase yang agak baik hingga agak buruk dan erosi yang ringan hingga sangat berat. Lahan digolongkan cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N) untuk tanaman karet dan kelapa sawit dengan faktor pembatas kemiringan lereng dan kejenuhan basa dan ph tanah yang rendah. Usahatani karet dan kelapa sawit (UTKKS) rakyat yang dikembangkan petani lokal saat ini belum disertai dengan agroteknologi yang memadai sehingga terjadi kerusakan lahan, produksi yang dicapai pun tidak optimal dan pendapatan petani masih rendah. Oleh karena itu sangat diperlukan perencanaan UTKKS untuk memperbaiki kondisi tersebut. Perencanaan UTKKS berkelanjutan harus disusun secara komprehensif melalui pendekatan interdisiplin (sesuai konsep SPB) dan analisis multikriteria. Perencanaan UTKKS berkelanjutan disusun untuk memperoleh agroteknologi yang memadai dengan indikator tidak menimbulkan degradasi lahan (erosi Etol), meningkatkan kesejahteraan petani (pendapatan PKHL) dan dapat diterima serta diterapkan oleh petani. Hasil penelitian ini memberi rekomendasi agroteknologi yang menyempurnakan sistem UTKKS yang sudah ada sehingga diharapkan akan lebih mudah diadopsi oleh petani. Penyempurnaan agroteknologi UTKKS di sub DAS Batang Pelepat dititikberatkan pada teknik pemupukan dan teknik KTA yang dapat diterapkan petani sesuai dengan modal yang dimilikinya. Pemupukan yang direkomendasikan oleh BPP Sembawa (2003) untuk karet dan PPKS Medan (1999) untuk kelapa sawit dapat memberikan produksi dan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan yang direkomendasikan oleh Balitbang Pertanian (2005b). Teknik KTA yang dipilih disesuaikan dengan kemiringan lereng. Pemanfaatan lahan dengan kemiringan lereng 2% harus disertai dengan penanaman LCC, pada kemiringan lereng 3 14% disertai dengan penanaman LCC dan sistem tanam menurut kontur dan pada kemiringan lereng 15 30% disertai dengan penanaman LCC dan teras gulud (teras kebun). Lahan dengan kemiringan >30 45% direkomendasikan untuk tanaman kayu

100 PETA SEBARAN ARAHAN PENERAPAN AGROTEKNOLOGI UTKKS BERKELANJUTAN DAN PENGGUNAAN LAHAN DI SUB DAS BATANG PELEPAT Gambar 22 Peta sebaran arahan penerapan agroteknologi UTKKS berkelanjutan dan penggunaan lahan di Sub DAS Batang Pelepat

101 kayuan. Oleh karena itu sebaran penerapan agroteknologi UTKKS berkelanjutan dan penggunaan lahan di sub DAS Batang Pelepat bervariasi sesuai dengan kondisi biofisik lahan terutama kemiringan lereng (Gambar 22). Semua tipe UTKKS dapat dijadikan alternatif dalam pengembangan UTKKS berkelanjutan, tetapi tipe usahatani yang paling optimal adalah tipe SK I (karetmanaukayu sungkai). Penerapan tipe usahatani yang paling optimal dapat mengendalikan erosi hingga di bawah Etol (87.66% 97.93% di bawah Etol) dan meningkatkan pendapatan petani hingga melampaui PKHL (103.56% 106.56% diatas PKHL). Oleh karena itu SK I dapat dijadikan alternatif utama dalam pengembangan UTKKS berkelanjutan di sub DAS Batang Pelepat. Berdasarkan analisis kelayakan usahatani, penerapan alternatif agroteknologi dalam pengembangan UTKKS di sub DAS Batang Pelepat juga dikategorikan layak dan menguntungkan. Metode perencanaan UTKKS berkelanjutan di sub DAS Batang Pelepat (48 465 ha) dapat diterapkan pada seluruh DAS Batang Pelepat (111 952 ha). Berdasarkan peta satuan lahan DAS Batang Pelepat dapat direkomendasikan penerapan agroteknologi UTKKS berkelanjutan seperti pada sub DAS Batang Pelepat. Satuan lahan yang terdapat di DAS Batang Pelepat yang mempunyai karakteristik yang sama dengan satuan lahan di sub DAS Batang Pelepat direkomendasikan untuk menerapkan agroteknologi UTKKS yang sama. Berdasarkan perencanaan UTKKS berkelanjutan, arahan penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat meliputi hutan (31.82%), UTKKS (62.12%) dengan agroteknologi yang sesuai dan tanaman kayukayuan (6.07%) dengan sebaran seperti pada Gambar 23. Alokasi tersebut masih sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menetapkan bahwa luas penutupan hutan yang harus dipertahankan dalam suatu daerah DAS guna optimalisasi manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat setempat adalah minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran yang proporsional. Pengembangan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat diarahkan untuk memanfaatkan lahan pertanian yang ada secara optimal melalui penerapan agroteknologi yang sesuai. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa petani dapat mencapai pendapatan yang dapat memenuhi PKHL hanya dengan mengelola atau memanfaatkan lahan < 1.5 ha, meskipun saat ini petani mempunyai lahan seluas 5 ha. Lahan yang telah diusahakan petani saat ini umumnya adalah 2 ha yang bila dikelola secara optimal dengan agroteknologi yang memadai, petani akan memperoleh pendapatan yang melampaui PKHL dengan tetap menjaga kelestarian lahan.

102 PETA SEBARAN ARAHAN PENERAPAN AGROTEKNOLOGI UTKKS BERKELANJUTAN DAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAS BATANG PELEPAT Gambar 23 Peta sebaran arahan penerapan agroteknologi UTKKS berkelanjutan dan penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat