I. PENDAHULUAN Ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan ketidakstabilan politik pada akhir pemerintahan Soeharto menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi tidak pasti, inflasi yang tinggi (77.63 %, www.bps.go.id), penurunan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, yang berimbas pada hampir seluruh sektor bisnis di Indonesia. Hal ini mencerminkan kestabilan situasi politik memiliki peran terhadap kepastian sektor bisnis. Disadari atau tidak, gejolak kehidupan politik secara langsung maupun tidak langsung memiliki pengaruh terhadap kondisi ekonomi di sebuah negara. Hal ini dikarenakan kondisi ekonomi suatu negara akan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang ditentukan baik oleh lembaga legislatif (parlemen) maupun lembaga eksekutif (pemerintah). Pada masa pemerintahan Soeharto, Fisman (2001) menemukan bukti bahwa bagi perusahaan, koneksi politik sangat berharga dimana hubungan politik yang bukan merupakan aktivitas fundamental, merupakan faktor penentu profitabilitas perusahaan. Faccio (2006) menyebutkan dorongan bagi perusahaan untuk memiliki hubungan politik, dikarenakan dalam beberapa hal, perusahaan mengharapkan perlakuan istimewa oleh perusahaan milik negara, perpajakan yang lebih ringan, perlakuan istimewa dalam persaingan untuk proyek pemerintah, pengawasan yang tidak terlalu ketat, dan dalam hal lain. Dalam praktek di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Busyro Muqodas 1
(Tempo.co, 4 Juni 2012) mengatakan perusahaan perusahaan milik negara (BUMN) menjadi berantakan setelah dicampuri orang orang dari partai politik. Perusahaan negara atau daerah kerap dijadikan sapi perah untuk kepentingan politik. Menurut hasil kajian KPK menunjukkan kinerja BUMN pada 2009-2012 selalu terkait dengan korupsi. Di samping itu, diperkirakan sebanyak 63 persen anggota DPR merangkap pengusaha (Tempo.co, 26 Maret 2012). Dari fenomena yang terjadi di Indonesia, dapat terlihat bahwa politik mempunyai peranan di dalam bisnis. Perhatian para akademisi terhadap topik political connections mulai meningkat beberapa tahun terakhir. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penelitian yang mengaitkan isu politik dengan kinerja. Beberapa penelitian yang mengaitkan dengan kinerja pasar antara lain : Fisman (2001) meneliti dampak dari rumor mengenai kesehatan mantan presiden Suharto pada perusahaan-perusahaan yang terhubung kepadanya, dan hasilnya menunjukkan bahwa nilai perusahaan yang memiliki hubungan politik didukung oleh political connections. Faccio (2006) menguji pengaruh political connection pada kinerja perusahaan dengan sampel 47 negara, dan menemukan bahwa political connection mengubah alokasi dana investasi dengan memberikan manfaat kepada perusahaan yang kurang kompetitif. Leuz dan Gee (2006) menemukan bahwa hubungan politik memiliki dampak pada kecenderungan pembiayaan global yang mempunyai implikasi penting untuk meneliti estimasi pengaruh kinerja sekuritas asing. Fan, Wong, dan Zhang (2007) 2
menunjukkan bahwa perusahaan dengan CEO yang memiliki political connections memiliki kinerja buruk, dibandingkan dengan mereka yang tidak. Goldman, Rocholl, dan So (2009) menunjukkan bahwa pengumuman pencalonan individu yang secara politis terhubung dengan dewan direksi perusahaan di Amerika Serikat akan mengakibatkan return saham positif. Penelitian yang mengaitkan political connections dengan kinerja keuangan antara lain : Sapienza (2004) di Italy, bank pemerintah berfungsi sebagai mekanisme untuk memberikan dukungan politik. Khwaja dan Mian (2005) menggunakan data dari pakistan untuk menunjukkan bahwa bank pemerintah memberikan pinjaman jauh lebih banyak kepada perusahaan yang memiliki hubungan politik. Ferguson dan Voth (2008) menemukan bukti bahwa perusahaan Jerman yang terkait dengan gerakan Nazi mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi daripada perusahaan yang tidak terkait dengan Nazi. Hok dan Wong (2010) menggunakan data perusahaan-perusahaan Hongkong dan menemukan bukti bahwa political connections dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh political connections terhadap kinerja perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Menurut Faccio (2006) suatu perusahaan dapat dikatakan memiliki political connections apabila setidaknya ada satu pemegang saham besar (memiliki (mengendalikan) 10% hak suara) atau board of directors yang menjadi anggota parlemen, menteri dan top official 3
atau (Boubakri et al, 2011) memiliki hubungan erat dengan politisi dan partai. Dalam penelitian ini, political connections didefinisikan apabila dalam perusahaan memiliki setidaknya satu board of directors yang menjadi anggota parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat), menteri, dan atau merupakan anggota partai politik, dan atau merupakan mantan pejabat negara, serta merupakan mantan anggota militer (purnawirawan polisi dan TNI) yang merupakan pembeda dari penelitian-penelitian political connections sebelumnya. Penambahan variabel mantan anggota militer sebagai indikator political connections dengan alasan, adanya fenomena perusahaan-perusahaan memperkerjakan mereka sebagai bagian dari perusahaan. Keterkaitan militer dan bisnis terjadi sejak awal kemerdekaan Indonesia, yang dikenal dengan nama operasi kekaryaan TNI, dimana militer menduduki posisi penting di perusahaan-perusahaan swasta milik Belanda dikarenakan adanya usaha dari PKI untuk merebut posisi strategis tersebut. Hal tersebut berlanjut dan berkembang di era orde baru dimana, pengangkatan militer sebagai komisaris di beberapa perusahaan milik negara digunakan sebagai tanda terima kasih, tetapi bisa juga digunakan sebagai sarana tutup mulut. Penempatan unsur militer di dalam perusahaan seperti menjadi tradisi yang dilakukan oleh perusahaan hingga saat ini. Anehnya penempatan anggota militer seakan-akan hanya asal tunjuk dan tidak mempertimbangkan relevansi kebutuhan perusahaan dengan kompetensi yang dimiliki oleh anggota militer yang bersangkutan. 4
Keberadaan Militer pada era orde baru, tidak lepas dari peran mereka di dalam politik praktis dengan adanya dwifungsi ABRI. Militer mendominasi perpolitikan Indonesia pada masa orde baru dengan menempati posisi strategis pemerintahan pusat ataupun daerah. Dengan keberadaan militer dan peran mereka di dalam politik praktis, anggota militer memiliki akses terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat baik pemerintah pusat maupun daerah termasuk di dalamnya kebijakan terhadap sektor bisnis. Sejak dihapusnya dwifungsi ABRI, praktis pada era reformasi seperti sekarang ini, militer tidak lagi memiliki akses dalam lingkup politik. Tetapi fenomena pemberian jatah kursi di dalam perusahaan bagi anggota militer masih dapat ditemukan hingga saat ini. Apabila dicermati lebih dalam, pada era sebelum reformasi, TNI yang memiliki inisiatif untuk masuk dalam kehidupan bisnis, namun memasuki era reformasi bukan lagi TNI yang berinisiatif melainkan dari pihak sipil yang berinisiatif memasukkan TNI ke dalam bisnis, entah sebagai komisaris atau yang lain. Faccio (2007) menyebutkan salah satu alasan perusahaan memiliki koneksi politik, adalah sebagai cara untuk mendapatkan bantuan untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi. Inisiatif penunjukkan TNI ke dalam perusahaan di duga mempunyai motif yang sama dengan yang diungkapkan oleh Faccio (2007), bahwa perusahaan melihat TNI mempunyai kapasitas yang dapat membantu mereka (perusahaan) untuk memecahkan masalah yang dihadapi. 5
Selain mantan anggota militer, dalam penelitian ini juga menggunakan mantan pejabat negara sebagai salah satu indikator political connections. Dalam beberapa perusahaan, penempatan mantan pejabat negara masih banyak ditemui. Para mantan pejabat, memiliki pengalaman terkait dengan birokrasi di sektor pemerintahan. Hal ini di duga akan memberikan dampak terhadap kinerja perusahaan. Bagi calon investor, kinerja perusahaan menjadi salah satu dasar dari keputusan yang mereka ambil, apakah berinvestasi atau tidak? Di samping itu, bagi investor yang sudah menanamkan modal kepada perusahaan, kinerja perusahaan menjadi suatu pertanggungjawaban manajemen kepada pemilik (investor). Idealnya, dengan melihat pentingnya perfoma perusahaan, manajemen akan bekerja dengan sekuat tenaga agar kinerja perusahaan baik. Faccio (2007), melihat koneksi politik dapat memberi nilai tambah bagi perusahaan, tetapi dari penelitian yang dilakukannya tidak semua perusahaan yang memiliki koneksi politik memiliki kinerja yang baik. Tetapi Hok dan Wong (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa koneksi politik dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Dari uraian di atas peneliti bermaksud untuk meneliti : Apakah proporsi komisaris independen yang memiliki hubungan politik berpengaruh terhadap kinerja perusahaan? 6
Apakah proporsi kepemilikan manajerial yang memiliki hubungan politik berpengaruh terhadap kinerja perusahaan? Penelitian ini menjadi perlu untuk dilakukan karena isu politik merupakan isu yang jarang didengar dalam konteks penelitian corporate governance di Indonesia. Selain itu, keadaan politik Indonesia pada era reformasi yang merupakan data dari penelitian ini berbeda dengan keadaan politik pada era orde baru (era Soeharto) yang merupakan data beberapa penelitian sebelumnya (Fisman, 2001; Faccio, 2006; Faccio, 2007). Serta isu independensi direktur perusahaanperusahaan di Indonesia yang tertuang dalam undangundang perseroan terbatas dan baru dimulai sejak tahun 2004. 7