HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan salah satu bentuk penutup lahan di permukaan bumi yang

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

Gambar 22. Peta Kabupaten Kutai Timur

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan

KEADAAN UMUM LOKASI. Tabel 7. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW, RT, dan KK di Kabupaten Jepara Tahun Desa/ Kelurahan

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

I. PENDAHULUAN. mengalami peremajaan secara berkesinambungan (Alibasyah, 1996).

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak semua kerusakan alam akibat dari ulah manusia. yang berbentuk menyerupai cekungan karena dikelilingi oleh lima gunung

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

PENDAHULUAN Latar Belakang

KEADAAN UMUM WILAYAH

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

commit to user BAB I PENDAHULUAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

Geografi. Kab. SUMEDANG. Kab. CIANJUR. Kab. TASIKMALAYA

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

Karakteristik Daerah Aliran Sungai Mamberamo Papua

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan terbesar terdapat pada pertanian lahan kering (PLK), dengan luasan mencapai 139.760 hektar atau meliputi 45,4% wilayah Kabupaten Garut, sedangkan penutupan terkecil terdapat pada pemanfaatan penambangan seluas 200 hektar atau hanya meliputi 0,1% wilayah Kabupaten Garut yang dimanfaatkan sebagai areal penambangan pasir. Pemanfaatan lahan lain yang cukup dominan adalah hutan dan pertanian lahan basah (PLB), dengan masingmasing luasan sebesar 73.290 hektar dan 51.870 hektar. Secara terperinci luas dan persentase penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Luas dan persentase pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut tahun 2009 No. Pemanfaatan Lahan Aktual Luas (Ha) Persen (%) 1. Hutan 73.290 23,8 2. Padang Rumput 230 0,1 3. Perkebunan 25.090 8,2 4. Permukiman 14.260 4,6 5. Penambangan 200 0,1 6. Pertanian Lahan Basah 51.870 16,9 7. Pertanian Lahan Kering 139.760 45,4 8. Tanah Terbuka 2.160 0,7 9. Tubuh Air 790 0,3 Jumlah Total 307.646,00 100,0 50

Secara spasial, seperti terlihat pada Gambar 20, sebaran pertanian lahan kering, menyebar merata hampir di semua wilayah kabupaten. Namun secara visual, proporsi penyebarannya terlihat lebih banyak berada di wilayah Selatan Kabupaten Garut, sedangkan pada wilayah Garut bagian Utara, pemanfaatan lahannya lebih didominasi oleh pertanian lahan basah. Gambar 20 Pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut tahun 2009 Pemanfaatan lahan hutan termasuk di dalamnya hutan primer dan hutan sekunder sedangkan pemanfaatan perkebunan, berdasarkan hasil interpretasi umumnya didominasi oleh jenis komoditas kelapa sawit, karet dan teh sedangkan jenis komoditas perkebunan lainnya tidak dapat teridentifikasi dengan jelas. 51

Gambar 21 Perkebunan sawit Gambar 22 Perkebunan karet 52

Gambar 23 Perkebunan teh Pada pemanfaatan lahan pertanian lahan kering, umumnya didominasi oleh jenis komoditas palawija dan banyak ditemukan di wilayah Selatan seperti kecamatan Caringin, Bungbulang, Pakenjeng, Cikelet, Pameungpeuk dan Cibalong, sedangkan untuk sebagian wilayah Utara, jenis tanaman yang umum dibudidayakan pada areal pertanian lahan kering umumnya palawija dan sayuran dataran rendah. Di beberapa kecamatan yang memiliki ketinggian tempat lebih dari 800 m dpl, jenis tanaman yang banyak dibudidayakan adalah sayuran dataran tinggi. Kondisi ini dapat ditemukan di kecamatan Cikajang, Cigedug, Cisurupan, Pasirwangi dan Samarang. Penyebaran pemanfaatan lahan pertanian lahan basah, hampir dapat ditemukan di semua wilayah di Kabupaten Garut. Pada jenis pemanfaatan lahan ini termasuk pertanian lahan basah yang ditunjang oleh pengairan irigasi teknis, irigasi perdesaan maupun areal sawah tadah hujan. Varietas yang umum diusahakan adalah IR-64 dan varietas Ciherang pada sawah yang memiliki pengairan teknis maupun perdesaan, sedangkan pada areal sawah tadah hujan varietas yang diusahakan adalah Situ Bagendit dan Situ Patenggang dan banyak dibudidayakan pada lahan-lahan di wilayah Selatan yang memiliki jumlah curah hujan relatif lebih rendah dibandingkan daerah Tengah maupun Utara. 53

Gambar 24 Pertanian lahan kering Gambar 25 Pertanian lahan basah Perbedaan yang sangat nyata dari penampakan ketiganya dapat dilihat dari bentuk dan pola penutupannya. Pada pertanian lahan basah yang ditunjang oleh 54

jaringan irigasi teknis, penampakan secara spasial membentuk hamparan yang luas dan berkesinambungan dan berada pada wilayah dengan topografi datar sampai landai. Hal ini dapat dilihat pada pemanfaatan pertanian lahan basah yang ada di wilayah Tengah sampai Utara Kabupaten Garut. Sedangkan pada areal pertanian lahan basah yang ditunjang oleh jaringan irigasi perdesaan maupun sawah tadah hujan, umumnya memiliki bentuk dan pola spasial yang terpisah dengan bentuk hamparan yang relatif lebih kecil dan umumnya banyak ditemukan di daerah yang berbukit atau bergelombang. Areal permukiman, seperti halnya pemanfaatan lahan pertanian lahan basah dan kering, juga hampir dapat ditemukan di semua wilayah. Perbedaan antara pola dan bentuk areal permukiman menunjukkan karakteristik suatu wilayah. Pada areal permukiman yang memiliki bentuk luas dan pola yang lebih kompak umumnya terdapat pada daerah perkotaan sedang di wilayah perdesaan pola dan bentuk areal permukiman lebih tersebar dalam bentuk yang lebih kecil. Gambar 26 Permukiman Pemanfaatan lahan tanah terbuka berdasarkan hasil interpretasi berada di kaki gunung Guntur. Luas areal ini mencapai 2.160 Hektar atau meliputi 0,7% wilayah Kabupaten Garut. Areal ini sebenarnya termasuk ke dalam wilayah Hutan 55

Lindung yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kementerian Kehutanan, namun karena memiliki deposit pasir yang cukup banyak, material ini banyak digali oleh masyarakat sebagai bahan bangunan. Gambar 27 Tanah terbuka Secara umum berdasarkan interpretasi citra satelit, terlihat bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Garut (70,4%) dimanfaatkan untuk aktifitas yang berkaitan dengan pertanian, yaitu pertanian lahan kering (45,4%), pertanian lahan basah (16,9%) dan perkebunan (8,2%). Kondisi ini ditunjang oleh jenis tanah yang umumnya cocok dimanfaatkan bagi kegiatan pertanian seperti aluvial, andosol, regosol dan podsolik. Selain itu kondisi topografi yang sebagian besar merupakan daerah yang datar sampai dengan landai (48,1%) dan agak curam (32,1%) serta curah hujan yang cukup tinggi (> 2.500 mm/tahun) merupakan faktor yang sangat mendukung untuk budidaya pertanian. Hampir semua jenis komoditas pertanian dapat dibudidayakan pada wilayah ini. Berdasarkan data statistik pertanian, terdapat 104 komoditas yang ditanam dan dibudidayakan oleh masyarakat di Kabupaten Garut, diluar komoditas kehutanan, ternak dan perikanan. Namun hanya beberapa komoditas yang proporsi produksinya cukup besar antara lain: ubi kayu, padi dan jagung pada kelompok padi dan palawija serta beberapa komoditas kelompok biofarmaka (jahe, kunyit, laos dan kapolaga). 56

Dilihat dari segi pemanfaatan lahan, pada areal pertanian lahan basah, umumnya ditanami oleh padi, palawija atau sayuran. Padi merupakan tanaman yang dominan ditanam pada areal pertanian lahan basah dimana intensitas penanamannya dapat dilakukan sampai dengan 3 kali musim tanam setiap tahunnya. Namun kondisi ini dapat tercapai hanya pada areal pertanian lahan basah yang telah ditunjang oleh pengairan teknis, maupun semi teknis. Palawija atau sayuran yang ditanam pada areal lahan basah umumnya merupakan tanaman penyela musim sebelum kembali ditanami padi pada musim berikutnya. Pada areal pertanian lahan kering, komoditas yang ditanam jauh lebih beragam. Hampir semua komoditas termasuk komoditas perkebunan rakyat ditanam pada areal pertanian lahan kering. Namun demikian dominasi komoditas yang ditanam umumnya di manfaatkan untuk budidaya palawija dan sayuran. Pada komoditas palawija, penanaman umumnya dilakukan pada areal pertanian lahan kering yang berada pada dataran rendah (ketinggian kurang dari 800 m dpl), sedangkan komoditas sayuran selain pada areal pertanian lahan kering dataran rendah juga ditanam pada dataran tinggi. Dibandingkan dengan areal pertanian lahan kering pada dataran rendah, pertanian lahan kering pada dataran tinggi umumnya berada pada areal yang memiliki bentuk wilayah agak curam sampai curam. Karakteristik tanaman sayuran yang umumnya sangat sensitif terhadap kelembaban menyebabkan para petani di areal ini sering mengabaikan aspek konservasi tanah sehingga sangat berpotensi terjadinya erosi pada musim penghujan. Kemampuan Lahan Kemampuan lahan merupakan indikator yang digunakan dalam penilaian kesesuaian penggunaan lahan secara umum. Pelaksanaan penilaian terhadap kemampuan lahan dilakukan sebelum dilakukan evaluasi kesesuaian untuk penggunaan tertentu. Di dalam penelitian ini, penentuan kemampuan lahan dilakukan sampai ke tingkat sub kelas sehingga dapat diketahui faktor penghambat utama untuk semua penggunaan secara umum pada setiap kelas kemampuan lahan. Secara rinci, informasi penyebaran dan luas setiap kelas kemampuan dapat dilihat pada Gambar 28 dan Tabel 16, sedangkan luas dan 57

penyebaran setiap sub kelas kemampuan dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 29. Tabel 16 Luas dan persentase kelas kemampuan lahan No. Kelas Kemampuan Luas (Ha) Persen (%) 1. Kelas II 4.640 1,5 2. Kelas III 55.320 18,0 3. Kelas IV 111.880 36,4 4. Kelas V 170 0,1 5. Kelas VI 88.440 28,7 6. Kelas VII 27.210 8,8 7. Kelas VIII 19.830 6,4 8. Unclassified 160 0,1 Jumlah Total 307.650 100,0 Gambar 28 Kelas kemampuan lahan 58

Berdasarkan informasi yang terdapat pada Tabel 16 dan Gambar 28 di Kabupaten Garut tidak terdapat lahan yang memiliki kelas kemampuan I. Luas kelas kemampuan terbesar terdapat pada kelas kemampuan IV seluas 111.880 hektar sedangkan kelas kemampuan dengan luasan terendah terdapat pada kelas kemampuan V. Wilayah yang termasuk dalam Unclassified merupakan daerah permukiman kota dan kaldera gunung Papandayan. Terdapat 27 (dua puluh tujuh) sub kelas kemampuan lahan yang ada di Kabupaten Garut. Luas terbesar merupakan sub kelas kemampuan IV dengan faktor penghambat utama kelerengan (l) dan batuan (b). Sub kelas ini secara spasial penyebarannya terdapat di wilayah Garut bagian Selatan. Sedangkan sub kelas kemampuan terkecil merupakan sub kelas kemampuan V dengan faktor penghambat utama ancaman banjir (o). Sub kelas kemampuan ini pada kenyataannya merupakan daerah aluvial pada muara sungai yang terbentuk dari sedimentasi material tanah yang terbawa aliran sungai. Gambar 29 Sub kelas kemampuan lahan 59

Dilihat dari aspek faktor pembatas utama, kelerengan (l) merupakan faktor pembatas dominan ditemukan di semua kelas kemampuan. Faktor ini merupakan merupakan faktor terberat yang dapat menjadi penghambat utama dalam pemanfaatan suatu lahan khususnya pemanfaatan pertanian. Selain faktor kelerengan, faktor erosi (e) juga cukup menjadi penghambat yang ditemukan hampir disemua kelas kemampuan. Faktor kedalaman tanah, batuan, tekstur dan bahaya banjir walaupun bukan merupakan penghambat yang berat, namun pada beberapa kelas kemampuan lahan, faktor ini merupakan faktor pembatas utama. Tabel 17 Luas dan persentase sub kelas kemampuan lahan No. Sub Kelas Kemampuan Luas (Ha) Persen (%) Keterangan 1 II-k 1.120 0,4 Faktor Pembatas : 2 II-lk 3.520 1,1 b = Batuan 3 III-be 14.480 4,7 e = Erosi 4 III-k 7.120 2,3 k = Kedalaman Tanah 5 III-l 7.970 2,6 l = Lereng 6 III-lbe 2.280 0,7 t = Tekstur Tanah 7 III-lk 10.060 3,3 o = Bahaya Banjir 8 III-lt 870 0,3 d = Drainase 9 III-lte 1.640 0,5 10 III-t 6.770 2,2 11 III-te 1.660 0,5 12 III-tk 2.470 0,8 13 IV-b 1.080 0,4 14 IV-e 5.700 1,9 15 IV-k 910 0,3 16 IV-l 17.780 5,8 17 IV-lb 79.750 25,9 18 IV-le 3.750 1,2 19 IV-lk 2.920 0,9 20 V-o 170 0,1 21 VI-e 74.590 24,2 22 VI-l 12.350 4,0 23 VI-le 1.500 0,5 24 VII-e 5.210 1,7 25 VII-l 22.000 7,2 26 VIII-l 16.880 5,5 27 VIII-lt 2.950 1,0 28 Unclassified 150 < 0,1 Jumlah Total 307.650 100,0 60

Berdasarkan deskripsi tersebut, sebagian besar lahan (55,9%) merupakan areal yang cocok dimanfaatkan untuk berbagai macam penggunaan. Lahan ini terdapat pada kelas kemampuan lahan II (1,5%), kemampuan lahan III (18,0%) dan kemampuan lahan IV (36,4%). Sedangkan pada kelas kemampuan lahan V (0,1%) dan kemampuan lahan VI (28,7%) masih dapat digunakan untuk penggunaan yang terbatas dengan memperhatikan faktor penghambat pada tiap kelas kemampuan lahan. Pada kelas kemampuan lahan V, secara alamiah terdapat faktor ancaman banjir sebagai penghambat utama. Namun faktor ini dapat menjadi penghambat yang berat jika wilayah tersebut merupakan wilayah dengan frekwensi kejadian banjir tinggi atau pada periode waktu tertentu sering dilanda banjir. Pada kelas kemampuan lahan VI, dominasi faktor penghambat yang terluas terdapat pada faktor erosi. Hal ini menunjukkan secara umum, karakteristik lahan yang ada rentan terhadap terjadinya erosi. Dalam jangka pendek dampak erosi tidak akan terlalu terasa, namun dalam jangka panjang, erosi akan menurunkan kesuburan tanah akibat hilangnya lapisan tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Arsyad (2010) secara rinci membagi dampak erosi menjadi empat golongan, yaitu: (1) berbentuk langsung dan berdampak di tempat kejadian erosi, (2) berbentuk langsung dan berdampak di luar tempat kejadian erosi, (3) berbentuk tidak langsung dan berdampak di tempat kejadian erosi, dan (4) berbentuk tidak langsung dan berdampak di luar tempat kejadian erosi. Memperhatikan dampak tersebut, penanganan erosi merupakan hal yang penting dan perlu mendapat perhatian yang utama, diantaranya melalui penerapan metode konservasi tanah dan air. Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual, Rencana Pemanfaatan Ruang dan Kemampuan Lahan Tahapan penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauhmana kesesuaian pemanfaatan aktual lahan terhadap kelas kemampuannya, rencana pemanfaatan ruang terhadap kelas kemampuannya dan rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual. Evaluasi ketiga aspek tersebut dilakukan dengan 61

menggunakan tabel keputusan yang dibuat untuk mempermudah dalam menentukan keputusan kesesuaian ketiga aspek tersebut. Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual terhadap Kemampuan Lahan Berdasarkan hasil analisis, kesesuaian pemanfaatan lahan aktual dengan kelas kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 30, sedangkan distribusi luasan untuk masing-masing kelas kesesuaian dapat dilihat pada Tabel 18. Kriteria yang disusun meliputi dua kondisi kesesuaian, yaitu sesuai (S) dan tidak sesuai (TS). Pemanfaatan lahan hutan dan tubuh air dikatakan sesuai untuk semua kelas kemampuan. Gambar 30 Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan Pada Tabel 17 terlihat bahwa, 152.738 hektar (49,6%) lahan yang ada di Kabupaten Garut, pemanfaatannya telah sesuai dengan kemampuan lahan 62

sedangkan 154.908 hektar (50,4%) dikatakan pemanfaatannya tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Pemanfaatan lahan tidak sesuai merupakan potensi terjadinya degradasi lahan. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengendalikan dan mengurangi pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Tabel 18 Luas dan persentase kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan Pemanfaatan Lahan Aktual Luas (Ha) Sesuai Tidak Sesuai Jumlah Total Persen (%) Luas (Ha) Persen (%) Luas (Ha) Persen (%) Hutan 73.285 23,8 - - 73.285 23,8 Padang Rumput 49 0,0 185 0,1 234 0,1 Perkebunan 24.529 8,0 559 0,2 25.088 8,2 Permukiman 8.028 2,6 6.230 2,0 14.259 4,6 Pertambangan 17 0,0 185 0,1 202 0,1 Pertanian Lahan Basah 24.321 7,9 27.552 9,0 51.873 16,9 Pertanian Lahan Kering 21.716 7,1 118.042 38,4 139.757 45,4 Tanah Terbuka - - 2.155 0,7 2.155 0,7 Tubuh Air 793 0,3 - - 793 0,3 Jumlah Total 152.738 49,6 154.908 50,4 307.646 100,0 Lahan yang tidak sesuai pemanfaatannya terhadap kemampuan lahan umumnya berada pada lahan yang terdapat aktifitas manusia, antara lain: pertanian lahan kering, pertanian lahan basah dan permukiman. Pertanian lahan kering merupakan pemanfaatan yang paling tinggi persentase ketidaksesuaiannya, yaitu seluas 118.042 hektar (38,4%), sedangkan pertanian lahan basah seluas 27.552 hektar (9,0%). Hasil analisis pada Lampiran 4 menunjukkan, ketidaksesuaian pertanian lahan kering sebagian besar terdapat pada kelas kemampuan lahan VI sampai dengan VIII. Secara umum, lahan yang memiliki kelas kemampuan lebih dari VI, memiliki faktor penghambat utama kelerengan dan bahaya erosi. Lereng yang agak curam sampai dengan sangat curam merupakan areal yang rawan terhadap timbulnya longsor dan erosi, apabila dibiarkan dalam kondisi yang sangat terbuka. Pada lahan yang terbuka, tanah menjadi sangat mudah terkikis oleh air, terutama 63

pada saat musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya erosi serta berpotensi mengalami longsor. Gambar 31 Pertanian lahan kering pada daerah berbukit Karakteristik budidaya pertanian lahan kering, seperti terlihat pada Gambar 31, umumnya didominasi oleh tanaman palawija dan sayuran. Komoditas sayuran yang banyak mendominasi pertanian pada lahan kering umumnya adalah sayuran dataran tinggi yang banyak ditanam pada daerah-daerah dengan kelerengan di atas 30%. Pada kondisi demikian, para petani umumnya tidak menerapkan metode konservasi tanah yang sesuai dengan kondisi yang ada. Hal ini akan menyebabkan tanah secara perlahan akan tererosi dan menurunkan kesuburannya. Pada pemanfaatan lahan pertanian lahan basah, ketidaksesuaian terbesar terdapat pada kelas kemampuan lahan VI sampai dengan VIII. Kondisi demikian akan menyebabkan areal pertanian lahan basah, menjadi rawan terhadap bahaya longsor. Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang terhadap Pemanfaatan Lahan Aktual Hasil analisis, kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual dapat dilihat pada Gambar 32, sedangkan luas dan persentase kondisi 64

kesesuaian pada masing-masing pemanfaatan lahan aktual dapat dilihat pada Tabel 19. Gambar 32 Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual Gambar 32 menunjukkan secara keruangan kondisi kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual. Secara visual kondisi sesuai lebih dominan dibandingkan kondisi tidak sesuai, namun jika dilihat dari aspek lokasional, kondisi sesuai lebih banyak ditemukan di wilayah Garut bagian Utara, sedangkan di wilayah Garut bagian Selatan secara lokasional kondisinya lebih didominasi oleh areal pemanfaatan lahan aktual yang tidak sesuai. Tabel 19 menunjukkan bahwa luas kondisi sesuai mencapai 201.134 hektar atau 65,4% dari pemanfaatan lahan aktual. Kondisi sesuai bersyarat seluas 202 hektar atau 0,1% dari pemanfaatan lahan aktual dan kondisi tidak sesuai seluas 106.310 hektar atau sebesar 34,6% dari pemanfaatan lahan aktual. Besarnya nilai kondisi sesuai, menunjukkan struktur pola ruang yang dibuat, dibentuk berdasarkan pemanfaatan lahan aktual yang ada. 65

Tabel 19 Luas dan persentase kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang Luas (Ha) Persen (%) Sesuai Hutan Konservasi 11.024 3,6 Hutan Lindung 52.211 17,0 Hutan Produksi 126 0,0 Hutan Produksi Terbatas 3.654 1,2 Perikanan Budidaya 39 0,0 Perkebunan 16.081 5,2 Permukiman 20.141 6,5 Pertanian Lahan Basah 30.941 10,1 Pertanian Lahan Kering 63.215 20,5 Peternakan 431 0,1 Sempadan Sungai/Pantai 3.270 1,1 Jumlah 201.134 65,4 Sesuai Bersyarat Hutan Konservasi 78 0,0 Hutan Lindung 4 0,0 Perkebunan 26 0,0 Pertanian Lahan Basah 10 0,0 Pertanian Lahan Kering 76 0,0 Peternakan 7 0,0 Jumlah 202 0,1 Tidak Sesuai Hutan Konservasi 1.003 0,3 Hutan Lindung 26.541 8,6 Hutan Produksi 45 0,0 Hutan Produksi Terbatas 8.760 2,8 Perkebunan 26.779 8,7 Perlindungan Geologi Karst 34 0,0 Permukiman 9 0,0 Pertanian Lahan Basah 30.785 10,0 Pertanian Lahan Kering 1.675 0,5 Peternakan 6 0,0 Sempadan Sungai/Pantai 10.674 3,5 Jumlah 106.310 34,6 Jumlah Total 307.646 100,0 Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang terhadap Kemampuan Lahan Secara umum hasil analisis ini menunjukkan sejauhmana rencana yang telah dibuat telah sesuai dengan aspek kemampuan lahan. Pertimbangan ini perlu dilakukan mengingat sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang bersifat tetap dalam luasan sehingga pemanfaatannya harus dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Hasil analisis menunjukkan, bahwa 179.740 hektar (58,4%) lahan, dalam perencanaannya telah sesuai dengan kemampuan lahannya, 52.770 hektar 66

(17,2%) dalam kondisi sesuai bersyarat dan 75.136 hektar (24,2%) perencanaannya tidak sesuai dengan kemampuan lahannya yang secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 20. Informasi pada Gambar 33 menunjukkan kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan didominasi oleh kondisi sesuai. Kondisi tidak sesuai dapat ditemukan pada wilayah Garut bagian Selatan, sebagian di ujung Utara dan di wilayah komplek pegunungan pada daerah perbatasan bagian Barat dan Timur yang memanjang dari Utara ke Selatan. Gambar 33 Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan Rencana pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kemampuan lahan meliputi hutan lindung, hutan konservasi, sempadan sungai/pantai, perlindungan geologi karst, hutan produksi terbatas, hutan produksi, perkebunan, perikanan budidaya, permukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan peternakan. Kondisi sesuai bersyarat ditemukan pada rencana pemanfaatan ruang hutan 67

produksi terbatas, perkebunan dan pertanian lahan kering, sedangkan kondisi tidak sesuai terdapat pada rencana pemanfaatan ruang hutan produksi, perikanan budidaya, perkebunan, permukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan peternakan. Tabel 20 Luas dan persentase kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan Rencana Pemanfaatan Ruang Kesesuaian terhadap Kemampuan Lahan (Ha) Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai Jumlah Total Hutan Konservasi 12.106 12.106 Hutan Lindung 78.756 78.756 Hutan Produksi 120 51 171 Hutan Produksi Terbatas 10.595 1.819 12.414 Perikanan Budidaya 1 38 39 Perkebunan 20.264 19.350 3.273 42.887 Perlindungan Geologi Karst 34 34 Permukiman 10.478 9.672 20.150 Pertanian Lahan Basah 21.358 16.939 23.440 61.737 Pertanian Lahan Kering 11.804 14.662 38.500 64.966 Peternakan 282 162 444 Sempadan Sungai/Pantai 13.944 13.944 Jumlah Total 179.740 52.770 75.136 307.646 Persen (%) 58,4 17,2 24,4 100,0 Secara umum, berdasarkan hasil analisis kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan, dapat dikatakan perencanaan yang dilakukan belum sepenuhnya memperhatikan aspek kemampuan lahan. Pada kondisi tidak sesuai seperti terlihat pada Tabel 20, bahwa sebagian area tidak sesuai rencana pemanfaatannya akan digunakan sebagai pertanian lahan kering dan lahan basah. Jika dikaitkan dengan kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual dapat dikatakan bahwa, dari 34,6% areal rencana 68

pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan pemanfaatan lahan, 24,4% merupakan areal rencana pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Daya Dukung Lingkungan Hidup Daya Dukung Lahan Perhitungan daya dukung lahan dilakukan dengan melihat ketersedian lahan dan kebutuhan lahan. Ketersediaan lahan dipengaruhi oleh aspek kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan bioproduk sehingga mampu memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan kebutuhan lahan dipengaruhi oleh jumlah penduduk dalam suatu wilayah. Pada dasarnya metode ini dibuat untuk memudahkan penilaian status daya dukung suatu wilayah yang secara prinsip mengadopsi konsep Ecological Footprints. Perhitungan ketersediaan dilakukan dengan menghitung jumlah nilai produksi dari seluruh bioproduk yang dihasilkan pada wilayah tersebut terhadap nilai produksi beras. Konversi yang digunakan untuk menyetarakan antara produk beras dengan non beras adalah harga (Rustiadi et al. 2010). Sedangkan pada perhitungan kebutuhan lahan asumsi yang digunakan adalah kebutuhan hidup layak untuk setiap penduduknya sebesar 1.000 kg beras. Tabel 21 Perhitungan ketersediaan lahan No. Faktor Satuan Nilai 1. Total Nilai Produksi Rp 15.610.955.178.030,50 2. Harga Beras Rp/Kg 7.442 3. Total Beras dari Padi Sawah dan Ladang Kg 429.363.750,00 4. Luas Panen Padi Ha 130.164,25 5. Produktivitas Beras Kg/Ha 3.298,63 Ketersediaan Lahan Ha 635.925,38 Berdasarkan perhitungan seperti terlihat pada Tabel 21, ketersediaan lahan di Kabupaten Garut sebesar 635.925,8 hektar pada harga beras Rp. 7.442/Kg. Secara matematis, sensitifitas nilai ketersediaan lahan sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (1) jumlah produksi seluruh komoditas dan (2) harga. Kedua faktor 69

tersebut secara umum memiliki karakteristik nilai yang sangat dinamis, dipengaruhi oleh musim dan permintaan pasar. Oleh sebab itu interpretasi dari nilai ketersedian lahan yang diperoleh berdasarkan perhitungan ini perlu melihat aspek lainnya, seperti ketersediaan komoditas di pasaran serta harga komoditas yang digunakan. Total nilai produksi diperoleh dari perhitungan nilai produksi 11 (sebelas) kelompok komoditas yaitu (1) padi dan palawija, (2) kelompok sayur mayur, (3) biofarmaka, (4) bunga-bungaan, (5) buah-buahan, (6) perkebunan rakyat, (7) kehutanan, (8) daging, (9) telur, (10) susu dan (11) perikanan. Secara terperinci nilai produksi masing-masing komoditas dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Nilai produksi setiap kelompok komoditas No. Kelompok Komoditas Jumlah Komoditas Nilai Produksi (Rp) Persen (%) 1. Padi dan Palawija 7 Komoditas 6.713.821.642.500,- 43,01 2. Sayur Mayur 21 Komoditas 5.195.992.500.000,- 33,28 3. Biofarmaka 14 Komoditas 108.644.339.500,- 0,70 4. Bunga-bungaan 20 Komoditas 1.188.364.475,- 0,01 5. Buah-buahan 21 Komoditas 1.294.001.910.000,- 8,29 6. Perkebunan Rakyat 21 Komoditas 465.451.190.000,- 2,98 7. Kehutanan 19 Komoditas 387.865.854.098,- 2,48 8. Daging 7 Komoditas 196.472.571.482,- 1,26 9. Telur 2 Komoditas 53.754.314.976,- 0,34 10. Susu 1 Komoditas 53.564.976.000,- 0,34 11. Perikanan 9 Komoditas 1.140.197.515.000,- 7,30 Jumlah Nilai Produksi 15.610.955.178.031,- 100,00 Persentase nilai produksi terbesar terdapat pada kelompok padi dan palawija sebesar 43,01% dari total nilai produksi, sedangkan nilai terkecil terdapat pada kelompok bunga-bungaan, yaitu sebesar 0,01% dari total nilai produksi. Kelompok komoditas lain yang memiliki kontribusi cukup tinggi adalah sayur mayur dengan persentase sebesar 33,28%. Kontribusi kelompok komoditas lain di luar padi dan palawija serta sayur mayur umumnya kurang dari 10%, bahkan 70

kelompok komoditas biofarmaka, bunga-bungaan, telur dan susu memiliki kontribusi di bawah satu persen. Berdasarkan perhitungan, kebutuhan lahan di Kabupaten Garut dengan jumlah penduduk 2.380.981 jiwa sebesar 721.808,97 hektar. Mengacu kepada nilai ini, dimana nilai kebutuhan lahan (721.808,97 hektar) lebih besar daripada nilai ketersediaan lahan (613.496,96 hektar) dapat dikatakan kondisi ketersediaan lahan dalam keadaan defisit. Kondisi defisit berdasarkan hasil pehitungan menggunakan metode ini dapat dikatakan sebagai keadaan ketersediaan bioproduk yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak dimana kebutuhan tersebut diasumsikan setara dengan kebutuhan satu ton beras perkapita setiap tahunnya. Namun metode perhitungan ini sangat dipengaruhi oleh produksi dan harga bioproduk yang dicatat pada saat pengambilan data. Pengambilan dan perhitungan data pada waktu yang berbeda sangat mungkin akan mengakibatkan perbedaan kondisi status daya dukung lahan sehingga perlu dipertimbangkan pula faktor musim dan kondisi pasar pada saat perhitungan. Besarnya peluang perbedaan tersebut akan menyebabkan status daya dukung lahan yang dihasilkan melalui perhitungan ini bersifat sangat dinamis. Informasi pada Tabel 22 juga menunjukkan bahwa, terdapat dua kelompok komoditas, yaitu padi dan palawija serta sayur mayur yang memiliki kontribusi nilai bioproduk cukup besar terhadap total nilai bioproduk yang dihasilkan, yaitu sebesar 76,3%. Hal ini berarti bahwa kedua kelompok komoditas tersebut merupakan kelompok komoditas yang dominan diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Garut. Selain itu kontribusi nilai yang cukup besar akan berpengaruh terhadap sensitifitas status daya dukung lahan atau dapat dikatakan, perubahan produksi dan harga pada kedua kelompok komoditas tersebut akan mempengaruhi status daya dukung lahannya. Terminologi defisit dalam perhitungan menggunakan metode ini, menurut Rustiadi et al. (2010) lebih tepat diartikan sebagai kondisi ketersedian pangan pada suatu wilayah yang tertutup. Kondisi ini berarti suatu wilayah dianggap tidak memperoleh aliran keluar dan aliran masuk bioproduk dari wilayah lain sehingga dalam keadaan yang sebenarnya hal ini bisa bertolak belakang dengan 71

kenyataan yang ada. Penelitian yang dilakukan oleh Christina (2011) menunjukkan bahwa dilihat dari ketersedian bahan makanan pokok, Kabupaten Garut berada dalam kondisi yang surplus sampai dengan 20 tahun yang akan datang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa, dilihat dari ketersediaan bahan makanan pokok, Kabupaten Garut dikatakan dalam kondisi yang surplus, sedangkan secara keseluruhan dengan mempertimbangkan kebutuhan seluruh bioproduk dapat dikatakan defisit. Kondisi defisit dalam penelitian diduga berasal dari kebutuhan lain diluar kebutuhan pangan pokok yang tidak terpenuhi, hal ini beradasarkan analisa, jika kebutuhan pangan pokok sudah terpenuhi maka kondisi defisit terdapat pada ketersediaan bioproduk selain pangan pokok. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut antara lain meningkatkan produktifitas, penerapan sistem budidaya tanaman sesuai anjuran, pemeliharaan tanaman dan penggunaan benih atau bibit bermutu. Daya Dukung Air Perhitungan dilakukan dengan memperhitungkan aspek ketersediaan dan kebutuhan air. Faktor yang mempengaruhi ketersediaan air adalah koefisien limpasan, curah hujan dan luas wilayah sedangkan kebutuhan air dipengaruhi oleh jumlah penduduk serta kebutuhan air untuk hidup layak bagi setiap penduduk. Tabel 23 Perhitungan status daya dukung air Faktor Rumus Nilai Satuan A. KETERSEDIAAN AIR Koefisien Limpasan Tertimbang 0,27 Curah Hujan Tahunan R 1.975,08 mm/tahun Luas Wilayah A 307.646,45 Ha Ketersediaan Air SA = 10 x C x R x A 1.650.181.447,12 m 3 /tahun B. KEBUTUHAN AIR Jumlah Penduduk N 2.380.981,00 Jiwa Kebutuhan Air untuk Hidup Layak KHLA 1.600,00 m 3 /tahun Kebutuhan Air DA = N x KHLA 3.809.569.600,00 m 3 /tahun 72

Faktor Rumus Nilai Satuan C. STATUS DDA Ketersediaan Air SA 1.650.181.447,12 m 3 /tahun Kebutuhan Air DA 3.809.569.600,00 m 3 /tahun Status Daya Dukung Air Defisit Suplus SA > DA Defisit SA < DA Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 23, kondisi ketersediaan air di Kabupaten Garut mencapai sebesar 1.650.181.447,12 m 3 /tahun sedangkan kebutuhan air mencapai 3.809.569.600,00 m 3 /tahun, status daya dukung air dianggap dalam keadaan defisit. Nilai koefisien limpasan tertimbang sebesar 0,27 menunjukkan besarnya air hujan mengalir di permukaan yang dapat dimanfaatkan, yaitu sebesar 27% dari keseluruhan air hujan. Rustiadi et al. (2010) menyatakan bahwa penentuan status daya dukung air dengan menggunakan metode ini tidak tepat. Hal ini disebabkan ketersediaan air yang ada tidak mencerminkan ketersediaan air yang sesungguhnya. Departemen Pekerjaan Umum (1994) dalam Kodoatie dan Sjarief (2008) memperhitungkan besarnya ketersedian air berdasarkan besaran aliran mantap, yaitu air yang tertampung dalam waduk, danau, sungai dan air yang masuk ke dalam tanah. Sedangkan kebutuhan air dilihat dari penggunaan air untuk kebutuhan domestik dan pertanian. Penggunaan indikator nilai limpasan air sebagai penentu ketersediaan akan membawa kepada pemahaman semakin besar limpasan air akan meningkatkan ketersediaan air sehingga menghasilkan kesimpulan yang salah terhadap makna dari ketersediaan air itu sendiri. Limpasan air lebih tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi aliran permukaan yang dikaitkan dengan kondisi tutupan suatu wilayah. Semakin besar areal terbuka atau terbangun di suatu wilayah akan meningkatkan nilai koefisien limpasan air. Hal ini secara langsung akan berdampak kepada peningkatan debit puncak. Akumulasi aliran permukaan yang mengalir dalam jumlah besar serta waktu bersamaan akan menimbulkan bencana banjir. 73

Permasalahan air yang utama sesungguhnya bukan terletak pada seberapa besar ketersediaan air, tetapi lebih menekankan kepada bagaimana pengelolaan terhadap air yang tersedia. Letak geografis Indonesia yang berada pada daerah beriklim tropika basah, menjadikan wilayah ini mendapat pasokan air hujan yang cukup berlimpah, namun demikian hanya 25% air hujan yang mampu diserap oleh tanah sedangkan sisanya mengalir kembali ke laut dalam bentuk aliran permukaan (Kodoatie dan Sjarief 2008). Peningkatan serapan air oleh tanah perlu dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan air sebagai cadangan yang akan dimanfaatkan pada musim kemarau. Upaya ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya meningkatkan daerah-daerah yang berfungsi sebagai resapan air serta membuat bangunan fisik penampung air limpasan permukaan sehingga tidak langsung mengalir ke laut. Arahan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup Ditinjau dari aspek kemampuan lahan, areal yang dapat dimanfaatkan dikelompokan menjadi tiga fungsi utama, yaitu (1) kawasan budidaya, (2) kawasan budidaya terbatas dan (2) kawasan lindung. Kawasan budidaya meliputi lahan-lahan yang memiliki kelas kemampuan II sampai dengan IV dan kawasan budidaya terbatas meliputi lahan dengan kelas kemampuan V dan VI, sedangkan kawasan lindung adalah lahan yang memiliki kelas kemampuan VII dan VIII. Luas dan persentase masing-masing pemanfaatan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Luas dan persentase pemanfaatan pemanfaatan ruang No. Arahan Pemanfaatan Ruang Luas (Ha) Persen (%) 1. Kawasan Lindung 53.633 17,4 2. Kawasan Budidaya Terbatas 83.819 27,3 3. Kawasan Budidaya 170.194 55,3 Jumlah Total 307.646 100,0 Informasi pada Tabel 23 menunjukkan bahwa, luas areal kawasan lindung yang dianalisis berdasarkan kemampuan lahan seluas 53.633 hektar (17,4%), kawasan budidaya terbatas seluas 83.819 hektar (27,3%) sedangkan kawasan 74

budidaya seluas 170.194 hektar (55,3%). Kawasan lindung merupakan areal yang secara fisik memiliki hambatan yang cukup berat dan sulit untuk dimodifikasi sehingga perlu dipertahankan kondisinya secara alami. Terminologi kawasan lindung dalam skenario ini merupakan kawasan yang memiliki vegetasi cukup rapat sehingga mampu meminimalkan dampak yang terjadi terhadap lahan berupa erosi dan longsor akibat kondisi wilayah yang sangat curam. Kawasan budidaya terbatas, secara kemampuan masih memungkinkan untuk dilakukan budidaya, namun pemanfaatannya perlu memperhatikan faktor penghambat utama. Pada kawasan ini faktor penghambat utama yang dapat menyebabkan penurunan kualitas lahan secara keseluruhan adalah faktor kelerengan dan erosi. Pemilihan komoditas yang akan dibudidayakan menjadi sangat penting disamping teknik budidaya digunakan dengan meminimalkan areal yang terbuka. Sedangkan pada kawasan budidaya, tidak memiliki faktor pembatas yang berarti sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal. Secara spasial penyebaran arahan pemanfaatan ruang menurut skenario I dapat dilihat pada Gambar 34. Gambar 34 Arahan pemanfaatan ruang skenario I. 75

Gambar 34 memperlihatkan bahwa secara spasial penyebaran kawasan budidaya relatif merata pada semua wilayah sedangkan kawasan budidaya terbatas, berada di wilayah selatan, dimana pada wilayah ini berdasarkan hasil identifikasi merupakan daerah yang berbukit dengan karakteristik lahan yang memiliki faktor penghambat utama erosi. Pola penanaman yang tepat dengan memperhatikan aspek konservasi tanah sangat dianjurkan untuk menjaga agar lahan tidak mengalami degradasi akibat erosi. Analisis kedua dilakukan dengan menggunakan skenario II, yaitu dengan menambahkan aspek kawasan hutan negara yang berfungsi lindung (hutan lindung dan hutan konservasi). Secara keruangan hasil analisis arahan pemanfaatan ruang skenario II dapat dilihat pada Gambar 35. Gambar 35 Arahan pemanfaatan ruang skenario II Berdasarkan analisis, areal kawasan budidaya yang memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya sebesar 61,2% atau setara dengan luasan 76

188.226 hektar, sedangkan areal yang memungkinkan untuk diarahkan pemanfaatannya sebagai kawasan lindung sebesar 38,8% atau setara dengan luasan 119.421 hektar. Kedua hasil analisis tersebut memperlihat bahwa dalam kondisi yang optimal pemanfaatan lahan yang diarahkan sebagai kawasan lindung hanya sebesar 38,82% dari keseluruhan wilayah yang ada. Kondisi ini jauh berbeda dengan rencana pola pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam RTRW Kabupaten Garut Tahun 2010-2030, yaitu sebesar 74,16%. Secara rinci perbandingan arahan pemanfaatan ruang menurut skenario dengan luasan minimal kawasan lindung dan rencana pemanfaatan ruang RTRW Kabupaten Garut 2010-2030 dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Perbandingan arahan pemanfaatan ruang menurut skenario dengan luasan minimal kawasan lindung dan rencana pemanfaatan ruang RTRW Kabupaten Garut 2010-2030 No. Skenario Arahan Pemanfaatan Ruang Fungsi Luas (Ha) Persen (%) Luas Minimal menurut UU (%) Rancangan RTRW Garut (%) 1. I (Pertama) Kawasan Lindung 53.633 17,4 30,0 74,16 Kawasan Budidaya Terbatas 83.819 27,3 - - Kawasan Budidaya 170.194 55,3 - - 2. II (Kedua) Kawasan Lindung 119.421 38,8 30,0 74,16 Kawasan Budidaya 188.226 61,2 - - Tabel 24 menunjukkan, skenario I tidak memungkinkan digunakan karena memiliki luasan kawasan lindung dibawah kondisi yang dipersyaratkan dalam undang-undang sebesar 30%. Penambahan kawasan lindung pada skenario I masih memungkinkan dengan memanfaatkan kawasan budidaya terbatas yang dapat difungsikan sebagai kawasan lindung. Penambahan ini akan menambah proporsi kawasan lindung menjadi sebesar 44,7%. Menurut konteks peraturan perundangan, luasan ini dianggap telah sesuai dengan persyaratan yang diinginkan, namun proporsi ini masih jauh dibawah nilai yang ditetapkan dalam rancangan RTRW Garut sebesar 74,16%. 77

Hasil analisis menggunakan skenario II sebagaimana terlihat pada Tabel 24 juga menunjukkan bahwa penetapan kawasan lindung dengan mempertahankan areal kawasan hutan negara yang berfungsi lindung hanya menambah proporsi kawasan lindung menjadi 38,8% atau meningkat 21,4% dibandingkan penetapan arahan pemanfaatan ruang berdasarkan kemampuan lahan. Kedua skenario tersebut menunjukkan bahwa, penetapan kawasan lindung di kawasan lindung berdasarkan kemampuan lahan sebesar 17,4 44,7% sedangkan jika ditambahkan dengan faktor kawasan hutan negara yang berfungsi lindung sebesar 38,8%. Hal ini menjadikan penetapan kawasan lindung sebesar 74,16% merupakan angka yang tidak realistis dilihat dari aspek kemampuan lahan maupun kondisi hutan yang ada sehingga perlu bagi pemerintah daerah untuk melakukan revisi ulang terhadap target capaian luas kawasan lindung yang direncanakan. Alternatif lain yang mungkin dapat digunakan adalah dengan menetapkan kawasan budidaya yang juga memiliki fungsi lindung. Kawasan ini dalam wujud fisik pemanfaatan lahan dapat berbentuk hutan (rakyat), perkebunan dan atau pertanian lahan kering yang dilakukan perubahan terhadap komoditas yang dibudidayakan. Pembentukan kawasan lindung yang berfungsi lindung dapat dilakukan berdasarkan arahan pemanfaatan ruang berdasarkan skenario I dengan kawasan budidaya bersyarat ditetapkan sebagai kawasan lindung. Sedangkan kawasan budidaya berfungsi lindung diperoleh dari hasil analisis terhadap kawasan budidaya pada skenario I dengan mempertimbangkan aspek pemanfaatan lahan aktual yang ada. Hasil analisis spasial skenario diperoleh arahan pemanfaatan alternatif sebagaimana terlihat pada Tabel 26 sedangkan penyebaran areal secara keruangan dapat dilihat pada Gambar 36. Tabel 26 Arahan pemanfaatan ruang berdasarkan skenario alternatif No. Arahan Pemanfaatan Ruang Luas (Ha) Persen (%) 1. Kawasan Lindung 119.463 38,8 2. Kawasan Budidaya berfungsi Lindung 65.506 21,3 3. Kawasan Budidaya 122.678 39,9 Jumlah Total 307.646 100,0 78

Tabel 26 menunjukkan bahwa penetapan kawasan budidaya sebagai kawasan yang juga berfungsi lindung menambah proporsi areal yang berfungsi lindung sebesar 61,1% dari keseluruhan wilayah Kabupaten Garut yang secara langsung akan berdampak terhadap semakin luasnya areal yang berfungsi sebagai resapan air. Gambar 36 Arahan pemanfaatan ruang berdasarkan skenario alternatif Selain itu struktur arahan tersebut telah memperhitungkan aspek kemampuan lahan, yang mengarahkan pemanfaatan lahan sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Namun penambahan ini tetap tidak dapat memenuhi capaian kawasan lindung yang ditetapkan dalam rancangan RTRW Kabupaten Garut Tahun 2010 2030 sebesar 74,16%. Hasil analisis ini memperkuat analisis sebelumnya yang menyatakan bahwa sulit bagi Kabupaten Garut untuk mencapai target penetapan kawasan lindung seluas 74,16% dari keseluruhan wilayah, baik dilihat dari aspek kemampuan lahan, status kawasan hutan maupun kondisi tutupan yang ada. 79

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang terbatas dan memiliki sifat dan karakteristik mudah mengalami degradasi namun sulit untuk mengembalikan kondisi awal. Pemanfaatan sumber daya lahan dalam konteks keruangan perlu memperhatikan aspek kemampuan lahan serta daya dukung lahan dan air. Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang dapat diperoleh, yaitu : 1. Terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual, yaitu : (1) hutan, (2) perkebunan, (3) pertanian lahan kering, (4) pertanian lahan basah, (5) permukiman, (6) pertambangan, (7) padang rumput, (8) tanah terbuka, dan (9) tubuh air. Pemanfaatan lahan terbesar adalah pertanian lahan kering seluas 139.757 hektar (45,5%) sedangkan pemanfaatan lahan terkecil berupa tambang pasir seluas 202 hektar (0,1%). 2. Terdapat 27 (dua puluh tujuh) sub kelas kemampuan lahan, dengan luas terbesar adalah sub kelas kemampuan IV dengan faktor penghambat kelerengan (l) dan batuan (b) seluas 79.748 hektar (22,9%), dan sub kelas kemampuan terkecil adalah sub kelas kemampuan V yang memiliki faktor penghambat terberat bahaya banjir (o) dengan luasan 171 hektar (0,1%). 3. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kemampuan lahan menunjukkan kondisi ketidaksesuaian pemanfaatan aktual terhadap kemampuan lahan sebesar 50,4%, ketidaksesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan aktual sebesar 34,6% dan ketidaksesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan sebesar 24,2%. 4. Ketidaksesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan menunjukkan potensi wilayah yang secara fisik terancam mengalami penurunan kualitas secara fisik. Pada kondisi ini perlu dilakukan upaya perbaikan sehingga punurunan kualitas tidak berdampak merugikan. Aspek kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual, menunjukkan wilayah yang dimanfaatkan tidak sesuai dengan perencanaan yang ada. Nilai kesesuaian yang cukup besar pada evaluasi ini juga

menunjukkan bahwa perencanaan yang disusun, dibuat berdasarkan pemanfaatan lahan aktual yang ada. Secara umum dapat rencana pemanfaatan ruang dan pemanfaatannya belum sesuai dengan kemampuan lahan yang ada, dimana 24,2% ketidaksesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan. 5. Pada aspek daya dukung lahan, status daya dukung lahan menunjukkan kondisi defisit. Kondisi ini terutama oleh rendahnya nilai produksi bioproduk yang diperhitungkan sehingga perlu upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan nilai produksi yang dihasilkan. 6. Selain itu kondisi daya dukung air juga menunjukkan nilai yang defisit. Keadaan ini dilihat dari aspek besarnya ketersediaan air yang didekati dengan perhitungan air limpasan. Pada konteks ini perhatian utama yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengelola air limpasan yang tersedia sehingga mampu diresapkan ke dalam tanah. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperbesar area vegetasi sehingga mampu berfungsi sebagai area resapan air. 7. Hasil analisis ketiga aspek daya dukung lahan, yaitu aspek kemampuan lahan, daya dukung lahan dan daya dukung air menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan yang ada saat ini tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Hal ini apabila dibiarkan akan berakibat semakin menurunnya produktifitas lahan yang berdampak kepada penurunan daya dukung lahan dan air. 8. Analisis spasial yang dilakukan untuk mendapatkan arahan pemanfaatan ruang, diperoleh hasil secara umum ditinjau dari aspek kemampauan lahan, status hutan yang berfungsi lindung maupun kondisi pemanfaatan lahan aktual yang ada, kawasan lindung yang dimungkinkan untuk dialokasikan di Kabupaten Garut sebesar 60,1% dari keseluruhan wilayah. Berdasarkan arahan pemanfaatan ruang ini, diharapkan kesesuaian pemanfaatan lahan lebih sesusai dengan aspek kemampuan lahan, dan meningkatkan daya dukung lahan dan air pada wilayah tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa capaian rencana kawasan lindung sebagaimana tertuang dalam rancangan RTRW Kabupaten Garut Tahun 2010 2030 merupakan hal yang sulit dicapai. 81

Saran Berdasarkan analisis daya dukung lingkungan hidup yang dilakukan pada wilayah ini dapat disarankan beberapa hal, yaitu : 1. Berdasarkan analisis kesesuaian yang dilakukan, perlu dilakukan tindakantindakan perbaikan terhadap fisik lahan dengan melakukan pemanfaatan yang sesuai dengan kemampuan lahannya. 2. Pada aspek daya dukung lahan, peningkatan produktifitas melalui optimalisasi pemanfaatan lahan harus dilakukan untuk meningkatkan nilai produksi yang diperoleh. 3. Terkait dengan aspek daya dukung air, besarnya ketersediaan air limpasan perlu upaya pengelolaan yang lebih baik melalui pembuatan bangunan penampung air (embung) atau memperbanyak wilayah-wilayah yang dapat difungsikan sebagai resapan air. 4. Terhadap hasil analisis spasial terhadap arahan pemanfaatan ruang, Pemerintah Kabupaten Garut perlu melakukan revisi capaian rancangan RTRW Kabupaten Garut Tahun 2010 2030 yang mengalokasikan kawasan lindung sebesar 74,16%. Analisis yang dilakukan beradasarkan aspek kemampuan lahan, status kawasan hutan maupun kondisi pemanfaatan lahan yang ada menunjukkan capaian tersebut sulit untuk dicapai. 82