BULU SERIBU (Acanthaster planci)

dokumen-dokumen yang mirip
POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

PREFERENSI DAN DAYA PREDASI Acanthaster planci TERHADAP KARANG KERAS

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk segilima, mempunyai lima pasang garis

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

KICEPATAN BERGERAK DAN KECENDERUNGAN MAKAN KARANG BULU SERIBU (A~onlhosler pion~/) PADA TERUMBU KARANG DI GOSONG GABUO PERAIRAN PANTAI PADANG

BEBERAPA CATATAN TENTANG DAUR HlDUP BINTANG LAUT PEMAKAN KARANG. Oleh. Aznam Aziz 1)

oleh Aznam Aziz * ) ABSTRACT

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

JAKARTA (22/5/2015)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

Pengenalan Jenis-jenis Kima Di Indonesia. Kima Lubang (Tridacna crosea)

Apakah terumbu karang?

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri

JURNAL JENIS LOBSTER DI PANTAI BARON GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA. Disusun oleh : Mesi Verianta

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

KARYA ILMIAH KULIAH LINGKUNGAN BISNIS

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

KARYA ILMIAH MERAIH SUKSES DENGAN BISNIS BUDIDAYA IKAN LELE

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KELIMPAHAN SERTA PREDASI Acanthaster planci di PERAIRAN TANJUNG KELAYANG KABUPATEN BELITUNG. Anugrah Dwi Fahreza, Pujiono Wahyu P., Boedi Hendrarto*)

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

PEMBENIHAN TERIPANG PUTIH (Holothuria scabra)

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

APLIKASI PAKAN BUATAN UNTUK PEMIJAHAN INDUK IKAN MANDARIN (Synchiropus splendidus)

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M :

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

Analisis Populasi Acanthaster planci di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga

Tabel 1. Produksi Perikanan Di Danau Tondano pada Tahun Jenis Produksi. Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten Minahasa s

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup

4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

telur, dimana setelah jam diinkubasi pada suhu 25 C kista akan menetas

Phylum Echinodermata

- 2 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2013 MENTERl KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SHARIF C. SUTARDJO

Tingkat Kelangsungan Hidup

BAB I PENDAHULUAN. 1993). Yang dimaksud dengan hama ialah semua binatang yang mengganggu dan

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March :22

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar

STATUS EKOLOGI KEPADATAN PREDATOR KARANG Acanthaster planci LINN: KAITANNYA DENGAN KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN TOMIA, TAMAN NASIONAL WAKATOBI

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

TUGAS KARYA ILMIAH TENTANG PELUANG BISNIS DAN BUDIDAYA IKAN PATIN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock)

Deskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus)

bio.unsoed.ac.id HEWAN AVERTEBRATA SEBAGAI PAKAN IKAN LELE, Suatu Bahan Penyuluhan:" Pemanfaatan Belatung Ampas Tahu Sebagai Pakan PURWOKERTO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

BUDIDAYA IKAN NILA MUHAMMAD ARIEF

PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi(

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ikan-ikan Laut yang Berbahaya

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

CIRI-CIRI COELENTERATA :

DENSITY AND DISTRIBUTION PATTERN OF SEA URCHIN POPULATION (Diadema setosum) ON CORAL REEF (REEF FLAT) AT SETAN ISLAND

PENGELOLAAN INDUK IKAN NILA. B. Sistematika Berikut adalah klasifikasi ikan nila dalam dunia taksonomi : Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

STRUKTUR POPULASI Acanthaster planci DI RATAAN TERUMBU BAGIAN SELATAN PULAU BUNAKEN

BUDIDAYA IKAN LELE DUMBO PELUANG BISNIS YANG MENJANJIKAN

KELIMPAHAN DAN KERAGAMAN ECHINODERMATA DI PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU ABUNDANCE AND DIVERSITY OF ECHINODERM IN PARI ISLAND, SERIBU ISLANDS

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

5 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS RESILIENSI DALAM MENILAI PEMULIHAN TERUMBU KARANG

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

COELENTERATA Coilos = rongga Enteron = usus. By Luisa Diana Handoyo, M.Si.

Transkripsi:

Oseana, Volume XVI, Nomor 3:1-7 ISSN 0216-1877 BULU SERIBU (Acanthaster planci) oleh Suharsono 1) ABSTRACT The crown-of-thorns starfish, Acanthaster planci is belong to echinoderms and one of the most widely distributed of all reef species. Fishermans at Seribu Islands called Acanthaster planci as "Bulu Seribu" because of the number of spines. Several outbreak have reported and Acanthaster planci became very popular due to the ability to destroy coral reef in many areas. This paper will discuss morfology, reproduction, growth, behaviour, outbreak, using linier growth of spine to determine their age, control programs to deal with Acanthaster planci outbreak and research on Acanthaster planci in Indonesia. PENDAHULUAN Acanthaster planci atau yang lebih populer dengan nama bulu seribu, merupakan salah satu bintang laut perusak karang. Disebut binatang perusak karang oleh karena mereka memakan polip karang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. AZIZ (1977) pernah menulis tentang Acanthaster ini pada Oseana nomor 1, tentang Acanthaster planci dari Pulau Pari. Tentunya selama tahun 1977-1990 telah lebih banyak informasi yang telah diperoleh para pakar yang meneliti Acanthaster planci. Selanjutnya tulisan ini lebih bersifat menambah informasi yang mungkin belum terliput di dalam tulisan AZIZ (1977), dan disengaja untuk mencantumkan sumber referensi sesedikit mungkin agar lebih enak dibaca tanpa diganggu oleh referensi yang mungkin sering muncul. Namun jika pembaca ingin mengetahui sumber pustaka yang digunakan dalam tulisan ini dapat dilihat pada MORAN (1986, 1990), ZANN et al (1987), dan REICHELT et al. (1990) dan beberapa tulisan lainnya. Dalam tulisan ini penulis akan membahas distribusi, biografi, siklus hidup dan beberapa aspek biologi lainnya dan yang utama ialah car a pengendalian dan pengelolaan suatu wilayah yang dirusak oleh Acanthaster planci. 1) Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi - LIPI, Jakarta.

MORFOLOGI Acanthaster planci atau Crown-ofthorns starfish merupakan salah satu jenis bintang laut raksasa dengan jumlah duri yang banyak sekali, sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan nama Bulu Seribu. Penulis sendiri tidak tahu mengapa tidak disebut duri seribu padahal hampir seluruh tubuh bagian atas binatang ini ditutupi duri dan tidak ada satupun bulu dapat ditemukan disana. Bulu Seribu pertama kali dicatat oleh George Rumphius tahun 1705 dan kemudian diberi nama Acanthaster planci oleh LINNAEUS tahun 1758. Bulu seribu mempunyai warna bermacam-macam tergantung pada lokasi di mana mereka tinggal misalnya bulu seribu yang ditemukan di Thailand mempunyai warna merah dan abu-abu. Warna yang sama juga banyak ditemukan di Great Barrier Reef. Sedangkan di Hawaii bulu seribu berwarna hijau dan merah. Di Indonesia bulu seribu umumnya berwarna abu-abu, ungu, hijau dan biru. Lengan bulu seribu berjumlah antara 8-21 buah. Madreporit terdiri dari 3-16 buah dengan anus bervariasi antara 1 6 buah, sedangkan kulitnya mengandung bahan magnesium calcite. Walaupun bulu seribu mempunyai variasi dalam warna, jumlah lengan, madreporit dan anus, marga Acanthaster hanya mempunyai satu jenis yaitu Acanthaster planci REPRODUKSI Bulu seribu dibedakan menjadi hewan jantan dan betina sehingga tidak dikenal adanya bulu seribu yang bersidat hermaprodit. Fertilisasi secara external dengan ratio 1 : 1 untuk garnet jantan dan garnet betina. Bulu seribu dewasa dengan ukuran 0,5 4 kg dapat menghasilkan telur sebanyak 4 65 juta. Pada saat pemijahan, terjadi pelepasan secara serentak antara sperma dan telur. Waktu pemijahan tergantung pada letak geografi di mana hewan ini hidup. Di belahan bumi selatan terjadi pada bulan November Januari sedang untuk belahan bumi utara terjadi pada bulan Mei Juli. Kapankah pemijahan bulu seribu di daerah khatulistiwa seperti di Indonesia? Hal ini belum ada yang mengamati. Lamanya pelepasan telur atau sperma adalah 30 menit dengan ukuran telur rata-rata 0,2 mm dan sperma 0,5 mm. Mekanisme apakah yang menyebabkan pelepasan gonad secara serentak antara hewan jantan dan hewan betina? Penelitian menunjukkan bahwa pada saat pemijahan, Bulu seribu melepaskan sejenis hormon yang disebut pheromone. Pheromone ini merangsang bulu serbiu yang berdekatan untuk melepaskan gonadnya. Sampai seberapa jauh pengaruh pheromone ini dapat efektif untuk menghasilkan suatu fertilisasi secara sukses antara dua individu jantan dan betina belum diketahui. Setelah telur dan sperma bertemu bulu seribu akan mengalami dua fase dalam hidupnya yaitu fase plankton dan fase pasca metamorfosa. Fase planktonik di bedakan menjadi fase di mana garnet akan berubah menjadi blastula yang selanjutnya menjadi gastrula, bipinaria dan yang terakhir menjadi brachiolaria. Bipinaria biasanya mempunyai umur 4 5 hari sedangkan pada umur 6 12 hari bipinaria berubah menjadi brachiolaria. Pada hari ke 12 dan 16 brachiolaria akan mulai melekat pada suatu substrat dan mengalami metamorfosa. Brachiolaria akan megalamai metamorfosa menjadi bulu seribu muda. Pada masa pasca metamorfosa ini bulu seribu dibagi lagi mfenjadi beberapa

tingkatan tergantung dari jenis makanannya. Sesudah mengalami metamprfosa Bulu Seribu memakan berbagai jenis algae yang kemudian memakan karang. Pada perkembangan berikutnya akan menjadi bulu serbiu dewasa. Pada umur dua tahun bulu seribu akan menjadi induk muda walaupun tingkat fekunditasnya masih rendah. PERTUMBUHAN Temperatur optimal untuk pertumbuhan bulu seribu berkisar antara 26 28 C. Batas toleransi suhu maximum dan minimum adalah 33 C dan 14 C. Di atas suhu 33 C bulu seribu akan mati begitu juga di bawah suhu 14 C. Kecepatan tumbuh pada kondisi normal adalah 26 mm perbulan untuk individu muda yang memakan algae. Individu muda pemakan karang mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat yaitu 16.7 mm per bulan sedangkan setelah mencapai dewasa pertumbuhan berkisar antara 4.5 mm per bulan. Sedangkan ukuran diamter tubuh berdasarkan umur adalah seperti yang terlihat pada tabel berikut. bentuk pertumbuhan seperti meja. Anakan bulu seribu menyukai tempat yang terlindung misalnya dibawah bongkah-bongkah karang atau dibawah pecahan karang. Bulu seribu dewasa tidak menyukai tempat yang terbuka seperti daerah dangkal yang dipengaruhi ombak atau arus yang kuat. Di Pulaupulau Seribu individu dewasa pada umumnya banyak dijumpai pada kedalaman 3 5 meter. Sebaran vertikal bulu seribu di Great Barrier Reef dapat mencapai kedalaman 65 meter. Kecepatan bergerak pada anakan hingga individu muda adalah antara 0. 6-4 meter per jam. Sedangkan bulu sebiru dewasa dapat bergerak dengan kecepatan 20 meter per jam. Bulu Seribu mempunyai daya regenerasi yang tinggi sekali. Jika kita hilangkan sepertiga dari tubuhnya maka dengan cepat akan pulih seperti semula. Bulu seribu juga dapat menanggalkan lengannya jika diperlukan. Pangkal lengan yang ditanggalkan akan tumbuh kembali dengan kecepatan 25 mm per bulan. Kebutuhan oksigen bertambah dengan bertambahnya berat tubuh. Energi yang dibutuhkan untuk reproduksi mencapai 45 %. Energi yang besar ini dibutuhkan terutama pada saat pemasakan gonad. Energi diperoleh dari polip karang yang dimakan yang dilakukan pada siang maupun malam hari. CARA MAKAN DAN PREDATOR HABITAT, DAN TINGKAH LAKU Bulu beribu menyukai daerah terumbu karang yang padat dengan persentase tutupan yang tinggi. Pada umumnya mereka menyukai karang yang bercabang dengan Makanan bulu seribu berbeda-beda, tergantung dari tingkat kedewasaaannya. Tingkah laku makanpun berhubungan dengan ukuran tubuh. Bulu seribu dewasa makan pada siang maupun malam hari, sedangkan yang muda makan dilakukan pada malam hari. Individu muda makan pada malam hari untuk menghindarkan diri dari predator. Pada tingkat larva makanan

utamanya adalah phytoplankton terutama dari jenis diatom dan dinoflagelata. Pada tingkat berikutnya yaitu sesudah bulu seribu berubah menjadi juvenil makanan utamanya berupa "Coralline algae" dari jenis Lithothamnion sp. dan Porolithon sp. Individu muda maupun dewasa umumnya makan polip karang batu, tetapi pada waktu karang batu sulit ditemukan mereka memakan karang lunak, algae, gorgonian atau bahkan bulu seribu yang lain. Pada saat kritis tanpa makanan Bulu Seribu dapat tahan berpuasa selama 6 9 bulan. Cara makan bulu seribu cukup unik. Isi perut dikeluarkan melalui mulut kemudian ususnya akan menutupi permukaan koloni karang sehingga pencernaan terjadi diluar tubuh bulu seribu. Pada saat mencerna makanan bulu seribu mengeluarkan suatu enzim dari "pyloric caeca" yang berfungsi sebagai pemecah lemak. Proses pencernaan ini membutuhkan waktu antara 4 6 jam. Pada saat makan diduga bulu seribu juga mengeluarkan suatu zat tertentu yang dapat merangsang bulu seribu yang lain untuk berkumpul dan makan secara beramai-ramai. Bulu seribu dewasa lebih menyukai jenis karang batu yang tumbuh cepat dan mempunyai bentuk pertumbuhan yang lebar dan mendatar. Jenis karang yang disukai adalah dari marga Acropora dan Montipora. Bulu seribu yang mempunyai bentuk tubuh yang kokoh dengan seluruh tubuh dilindungi duri-duri yang beracun tampaknya tidak mungkin ada pemangsa yang mau memakannya, akan tetapi sejak dari mulai bentuk telur hingga individu dewasa bulu seribu tidak luput dari incaran pemangsa. Pada stadium larva bulu seribu merupakan makanan karang batu dan ikan-ikan karang seperti Chromis dimideatus. Pada stadium juvenil bulu seribu merupakan santapan empuk bagi ikan-ikan karang, udang (Hyme- noceva picta), lobster Panulirus penicillatus. Pada waktu bulu seribu menjadi dewasa diburu oleh sejenis cacing dari jenis Pherecardia Striata, ikan karang dari jenis Arothron hispidus dan jenis moluska dari jenis Charonia tritonis. Kematian bulu seribu yang disebabkan oleh predator diperkirakan antara 5-6 %. Sebagian besar kematian bulu seribu terjadi dalam tingkat juvenil yaitu mencapai 99 % dan penyebab utamanya adalah penyakit. Pada waktu bulu seribu telah menjadi dewasa jarang sekali diserang oleh penyakit. Kematian individu yang disebabkan oleh penyakit ditandai dengan rontoknya duri-duri dan luka yang berupa lubang di dinding tubuhnya. Larva bulu seribu dapat menyebar pada jarak yang cukup jauh. Pada perkembangan berikutnya mereka membutuhkan substrat untuk melekat yang biasanya berupa film bakteri atau sejenis algae tertentu (Lithotamnion sp.). LEDAKAN POPULASI Sebaran bulu seribu hanya di daerah Indo-Pacifik dan beberapa lokasi yang lain seperti Red Sea, Mauritius, Maldives, Teluk Panama. Kepadatan normal artinya jumlah yang belum dianggap berbahaya untuk dapat merusak komunitas karang adalah berkisar antara 10 20 individu/km. Pada saat terjadi ledakan populasi bulu seribu dapat mencapai 20/m. Pda tahun 1980 di Kepulauan Green dilaporkan populasi Bulu Seribu mencapai 3 juta dan di Pulau Ryukyus berhasil dibunuh sebanyak 13 juta. Ledakan populasi bulu seribu telah beberapa kali terjadi dan yang terakhir dilaporkan terjadi di Great Barrier Reef pada kurun waktu 1981-1989. Di malaysia juga dilaporkan telah terjadi ledakan populasi di tahun 1987-1989. Dari data Geologi menunjukkan kemungkinan pernah terjadi ledakan

populasi bulu seribu di Great Barrier Reef pada 7000 tahun yang silam. Pa da akhir tahun 1950 terjadi ledakan populasi di Jepang dan pada tahun 1960 terjadi di Great Barrier Reef, Micronesia, Ryukyus dan Samoa. Ledakan populasi bulu seribu dapat berlangsung selama bertahun-tahun tergantung dari luas daerah terumbu karang. Di daerah terumbu karang yang sangat luas seperti di Great Barrier Reef ledakan populasi berlangsung selama 10-15 tahun, sedangkan di daerah pulau karang yang terisolir dapat berlangsung selama 3-4 tahun. Penyebab terjadinya ledakan populasi sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Beberapa hipotesa menduga bahwa ledakan populasi sangat erat hubungannya dengan predator dan nutrisi yang dibawa oleh banjir. Beberapa ahli menyinipulkan adanya interaksi yang saling terkait antara beberapa faktor. Akibat ledakan populasi, 60 % dari karang di Great Barrier Reef hancur. Kematian karang dapat bervariasi antara 2-78 % dalam waktu 6 bulan. Kematian karang tidak merata tergantung dari lokasi dan kedalaman. Kecepatan makan bulu seribu dewasa adalah antara 5 6 m /tahun. Terumbu karang yang rusak akibat bulu seribu memerlukan waktu antara 1 2-1 5 tahun untuk pulih seperti semula, jika populasi karang yang rusak terdiri dari jenis karang yang mempunyai pertumbuhan cepat seperti Acropora dan Montipora. Pada komunitas karang yang sebagian besar terdiri dari karang masif, jika terjadi ledakan populasi bulu seribu maka untuk dapat pulih kembali seperti semula memerlukan waktu 50 tahun dengan asumsi tidak ada gangguan yang lain. DURI Acanthaster planci Duri pada Acanthaster planci mempunyai arti yang sangat penting untuk mempertahankan diri dari hewan pemangsa. Duri ditutupi oleh selapis kulit tipis dan dibawah kulit duri terdapat racun yang bersifat anti predator. Komposisi racun ini seperti protein dan disebut saponin. Jika manusia tertusuk duri akan berakibat gatalgatal, melepuh biasa sangat sakit atau bahkan dapat muntah-muntah. Panjang duri sangat bervariasi dan dapat mencapai panjang 4-5 cm dengan kecepatan tumbuh ratarata 1,3 mm per bulan. Duri tumbuh secara komplit pada waktu bulu seribu berumur 12 18 bulan. Pertumbuhannya memanjang, dan yang bertambah panjang adalah pangkalnya. Pertambahan panjang diikuti dengan penimbunan pigment yang berwarna hitam. Penimbunan pigment ini terjadi pada konsentrasi yang berbeda, sehingga terlihat adanya lapisan gelap dan terang sepanjang duri tersebut. Adanya perbedaan gelap dan terang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui umur bulu seribu. Para pakar terdahulu menggunakan rasio jumlah total duri untuk mengetahui umur seekor bulu seribu atau yang lebili dikenal sebagai indek pertumbuhan. Pengukuran indek pertumbuhan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Seperti misalnya individu yang mempunyai pertumbuhan cepat akan mempunyai indek yang kecil. Perkiraan umur menggunakan tanda penimbunan pigment tadi, tampaknya tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh nutrisi lingkungan. Akan tetapi belum diketahui apakah penimbunan pigment ini tidak dipengaruhi oleh musim dan letak geografi.

Penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk dapat menggunakan timbunan pigment sebagai tanda untuk menentukan umur bulu seribu. UPAYA PENGENDALIAN DAN KENDALANYA Dalam usaha untuk mengontrol ledakan populasi Acanthaster planci berbagai cara dan usaha telah dilakukan akan tetapi hasilnya belum memuaskan atau kalau tidak, boleh dikatakan gagal. Berbagai cara telah dilakukan untuk membunuh Acanthaster planci antara lain membunuh hewan ini di tempat yaitu dengan jalan membagi atau memenggal tubuhnya menjadi paling sedikit 4 bagian. Hal ini perlu dilakukan karena jika tubuhnya dibagi menjadi 2 bagian maka masing-masing bagian akan dapat berregenerasi kembali menjadi individu baru yang utuh. Cara kedua yaitu dengan mengumpulkan Acanthaster planci kemudian mengangkat dari laut dan dikubur di pasir. Cara ini sangat baik akan tetapi memakan banyak tenaga dan biaya. Cara ketiga adalah dengan cara menyuntik Acanthaster planci dengan Cupri sulfat pekat dengan dosis antara 5-10 ml/ekor. Cara suntik ini pernah dilakukan di Australia dan cukup efektif untuk membunuhnya akan tetapi biayanya cukup mahal. Setelah dihitung ternyata untuk membunuh setiap ekor diperlukan Rp. 70.000,-. Dengan biaya sebesar itu pengendalian populasi Acanthaster planci hanya efektif jika daerah yang dikendalikan relatif sempit. Untuk daerah yang luas cara pengendalian dengan suntikan sulit untuk dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena kecepatan reproduksi dan kecepatan bergerak yang tidak seimbang jika diban- dingkan dengan kecepatan untuk membunuh Acanthaster planci jika hal ini dilakukan di daerah yang sangat luas. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebaran vertikal Acanthaster planci adalah dari kedalaman 0-30 m. Sebaran horizontal dapat bersifat merata, bergerombol atau solider sehingga membutuhkan penyelam yang banyak sekali untuk dapat membunuh dengan baik. Program pengendalian Acanthaster planci pernah dilakukan di P. Ryukyu dan di Great Barrier Reef namun kedua proyek tersebut kurang berhasil walaupun telah menelan banyak tenaga dan biaya. Biaya yang besar terutama dikeluarkan untuk logistik meliputi jumalh waktu pemakaian kapal. Biaya untuk penyelaman sangat besar, hal ini disebabkan keterbatasan waktu selam bagi seorang penyelam. Biaya pengamatan sebelum dan sesudah program pengendalian yang harus dilakukan. Program pengendalian Acanthaster planci tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat oleh karena sifat alaminya yang bersifat "cryptic" dan mempunyai kemampuan bergerak yang cepat. Untuk program pengendalian juga harus perlu data topografi secara detail dari lokasi dan pola arus. PENELITIAN Acanthaster planci DI INDONESIA Pengamatan Acanthaster planci di Indonesia pernah dilakukan oleh AZIZ dan SUKARNO (1977) di Pulau Tikus, Pulaupulau Seribu. Pengamatan yang dilakukan meliputi besarnya populasi ukuran individu dan kecepatan gerak serta jenis-jenis karang yang dimakan oleh Acanthaster planci. Pada tahun 1983 (DARSONO 1988)mengamati fluktuasi jumlah Acanthaster planci di P. Pari, P. Genteng dan P. Kelapa, menemukan bahwa populasinya relatif rendah

yaitu berkisar antara 1 1 3 individu per lokasi pengamatan. Kemudian sejak tahun 1989 Puslitbang Oseanologi - LIPI bekerja sama dengan Australia yang lebih dikenal dengan Program ASEAN Australia, melakukan penelitian terumbu karang. Salah satu programnya mengamati dan memantau distribusi dan dinamika populasi (Acanthaster planci di Pulau-pulau Seribu. Hasil pengamatan sementara menunjukkan bahwa populasi Acanthaster planci di Pulau-pulau Seribu masih dalam kondisi yang normal atau belum dalam tingkat yang membahayakan. Mengambil hikmah dan pengalaman negara tetangga maka perlulah kita memi-kirkan andaikan ledakan populasi Acanthas-ter planci terjadi di Indonesia sudah siap-kah kita untuk menanggulanginya. DAFTAR PUSTAKA AZIZ. A. 1977. Bulu Seribu dari P. Pari. OseanalV. 1 : 7-1 3. AZIZ. A and SUKARNO 1977. Preliminary observation on living habits of Acanthas- ter planci (Linnaeus) at Pulau Tikus, Seribu Islands, Mar. Res, Indonesia. 17 : 121-132. DARSONO. P. 1988. Pengamatan terhadap kehadiran bintang laut pemangsa karang, Acanthaster planci (L). di Pulau Seribu (dalam Teluk Jakarta, M.K. Moosa, D.P. Praseno dan Sukarno, eds). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI: 48-54. MORAN. P.J. 1986. The Acanthaster phenomenon. Oceanogr. Mar. Biol Ann. Rev. 24: 379-480. MORAN. P.J. 1990. Acanthaster planci (L) : Biographical data Coral Reefs 9 : 95-96. REICHELT R.E., R.H. BRADBURY and PJ. MORAN, 1990. Distribution of Acanthaster planci ourbreaks on the Great Barrier Reef between 1966 and 1989. Coral Reefs 9 : 97-103. ZANN. L., J. BRODY, C. BERRYMAN and M. NAQASIMA 1987. Recruitment, ecology, growth and behavior of juvenile Acanthaster planci (L) (Echinodermata : Astreoidea). Bull. Mar. Set 41 : 561-575.