OPTIMALISASI TEKNOLOGI AERIAL VIDEOGRAPHY SEBAGAI ALTERNATIF PRODUK DATA PENGINDERAAN JAUH. Fredi Satya Candra Rosaji

dokumen-dokumen yang mirip
UPAYA PENINGKATAN KUALITAS GEOMETRIK CITRA LAPAN-TUBSAT PADA APLIKASI SURVEILEN

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

TEKNOLOGI RIMS (RAPID IMAGING AND MAPPING SYSTEMS)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

9. PEMOTRETAN UDARA. Universitas Gadjah Mada

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS. 4.1 Percobaan Metode Videogrametri di Laboratorium

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SISTEM PEMANTAUAN TATA RUANG KOTA DENGAN WAHANA UDARA NIR- AWAK SEBAGAI PENYEDIA FOTO UDARA MURAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

POTENSI PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DENGAN WAHANA UDARA NIR-AWAK DI INDUSTRI TAMBANG DAN MIGAS

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

PEMBUATAN MODEL ORTOFOTO HASIL PERKAMAN DENGAN WAHANA UAV MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FOTOGRAMETRI

I. BAB I PENDAHULUAN

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

Citra Satelit IKONOS

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL


KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR

MAPPING THE OUTERMOST SMALL ISLANDS UTILIZING UAV- BASED AERIAL PHOTOGRAPHY OUTLINE

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Jenis Peta menurut Skala. Secara umum, dasar pembuatan peta dapat dinyatakan seperti Gambar 2.1

LAPORAN PRAKTIKUM DIGITAL FOTOGRAMETRI DASAR ACARA II DIGITAL

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

Penilaian Cepat Perubahan Lingkungan Pasca Kejadian Bencana dengan Wahana Udara Tanpa Awak

Analisa Kalibrasi Kamera Sony Exmor Pada Nilai Orientasi Parameter Interior untuk Keperluan Pemetaan (FUFK)

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

TAHAPAN STUDI. Gambar 3-1 Kamera Nikon D5000

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 3 TAHAPAN STUDI. 3.1 Percobaan Videogrametri di Laboratorium

Abstract. Keywords: Aerial Photo, EAGLE, Orienteering, UAV

SURVEYING (CIV-104) PERTEMUAN : PENGUKURAN DENGAN TOTAL STATION

Pemetaan Foto Udara Menggunakan Wahana Fix Wing UAV (Studi Kasus: Kampus ITS, Sukolilo)

STEREOSKOPIS PARALAKS

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH. ACARA 2 Mozaik Foto Udara dan Pengamatan Sterioskop. Oleh : Muhamad Nurdinansa [ ]

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI GEOMETRIK CITRA

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

JENIS CITRA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

Isfandiar M. Baihaqi

PENGGUNAAN FOTO UDARA FORMAT KECIL MENGGUNAKAN WAHANA UDARA NIR-AWAK DALAM PEMETAAN SKALA BESAR

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

Mekanisme Penyelenggaraan Citra Satelit Tegak Resolusi Tinggi Sesuai Inpres Nomor 6 Tahun 2012

PENGEMBANGAN KAMERA NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN PEMODELAN BANGUNAN

Suharyadi 1, Yudhistira Tri Nurteisa 2. Dosen Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada 2

BUKU AJAR. : Inderaja untuk Penataan Ruang : Perencanaan Wilayah dan Kota : Fakultas Teknik. Mata Kuliah Prgram Studi Fakultas

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya)

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Analisis Kesalahan Pengukuran Kecepatan Akibat Distorsi Lensa

PT.LINTAS ANANTARA NUSA DRONE MULTI PURPOSES.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERANCANGAN VIDEO PROFIL DINAS PARIWISATA KULON PROGO SEBAGAI SARANA INFORMASI DAN PROMOSI DENGAN TEKNIK AERIAL VIDEOGRAFI NASKAH PUBLIKASI

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

III. BAHAN DAN METODE

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

C I N I A. Survei dan Pemetaan Untuk Perencanaan Jaringan Gas Bumi Bagi Rumah Tangga Menggunakan Metode Terrestrial dan Fotogrametri Jarak Dekat

METODE KALIBRASI IN-FLIGHT KAMERA DIGITAL NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN CLOSE- RANGE PHOTOGRAMMETRY

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Aerial Videografi sebagai Alternatif Perolehan Data Pergerakan Kendaraan untuk Evaluasi Tingkat Pelayanan Jalan

Ilustrasi: Proses Produksi

Oghy Octori 1, Agung Budi Cahyono 1 1 Jurusan Teknik Geomatika FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember

2 TINJAUAN PUSTAKA. Unmanned Surface Vehicle (USV) atau Autonomous Surface Vehicle (ASV)

ORTHOREKTIFIKASI CITRA RESOLUSI TINGGI UNTUK KEPERLUAN PEMETAAN RENCANA DETAIL TATA RUANG Studi Kasus Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III REKONTRUKSI 3D MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK PHOTOMODELER.

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERBANDINGAN NILAI KOORDINAT DAN ELEVASI ANTAR MODEL STEREO PADA FOTO UDARA HASIL TRIANGULASI UDARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Patria Rachman Hakim, Abdul Rahman, Suhermanto, Elvira Rachim Peneliti Pusat Teknologi Satelit, Lapan

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan

BAB I PENDAHULUAN I.1.

LAPORAN PRAKTIKUM FOTOGRAMETRI DASAR PENGAMATAN PARALAKS FOTO UDARA

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r)

APA ITU FOTO UDARA? Felix Yanuar Endro Wicaksono

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

JENIS-JENIS KAMERA & TEKNIK KAMERA DALAM PENGAMBILAN GAMBAR

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

ISTILAH DI NEGARA LAIN

VIDEO By y N ur N ul ur Ad A h d ay a a y n a ti t 1

Transkripsi:

OPTIMALISASI TEKNOLOGI AERIAL VIDEOGRAPHY SEBAGAI ALTERNATIF PRODUK DATA PENGINDERAAN JAUH Fredi Satya Candra Rosaji fredi8satya7@gmail.com Barandi Sapta Widartono barandi@geo.ugm.ac.id Nur Muhammad Farda farda@geo.ugm.ac.id Abstract As a developing country, Indonesia requires spatial data for resources management and regional planning. However, remote sensing data in Indonesia still have some limitations. The main purpose of this experimental research is to establish an aerial mapping system using aerial videography. The system is expected to be an alternative remote sensing data product to tackle the limitations. In this research aerial videography performed using High Definition video camera as the main sensor and paramotor as a platform. Video correction and enhancement has been done to enhance video quality, from geometric and also radiometric aspect. Some video processing generates single image, stereoimages, mosaic2d, Near-orthomosaic and Stereomosaic3D. Ground pixel size of this imagery is about ±0,16m with sub-meter geometric accuracy, both horizontally and vertically. The results of this research show that the aerial videography image potentially can be used as a spatial data to arrange detailed spatial planning. Keywords: remote sensing data, aerial videography, detailed spatial planning Abstrak Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan pemenuhan data spasial untuk kegiatan manajemen sumber daya wilayah dan perencanaan regional. Namun data penginderaan jauh yang ada sekarang masih mempunyai beberapa kekurangan dan batasan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan tujuan membangun suatu sistem dan prosedur pemetaan udara menggunakan teknologi aerial videography yang hasilnya diharapkan mampu menjadi alternatif produk data penginderaan jauh untuk menjawab keterbatasan yang ada. Teknologi aerial videography yang dibangun dalam penelitian ini menggunakan kamera video Hi-Def sebagai sensor utama dan paramotor sebagai 59

wahana. Koreksi dan enchancement video, dilakukan untuk meningkatkan kualitas video baik secara geometrik maupun radiometrik. Pemrosesan video dalam penelitian ini menghasilkan citra single image, stereoimages, mosaic2d, Nearorthomosaic and Stereomosaic3D. Citra yang dihasilkan mempunyai ground pixel size ±0,16m dengan akurasi geometrik dalam sub meter baik horizontal maupun vertikal. Berdasarkan akurasi tersebut citra aerial videography dapat digunakan sebagai data spasial dalam penyusunan materi rencana detail tata ruang. Kata kunci: data penginderaan jauh, aerial videography, materi rencana detil tata ruang PENDAHULUAN Kebutuhan akan data spasial dewasa ini sudah sangat tinggi, terlebih pada negara berkembang termasuk Indonesia. Data spasial memegang posisi tawar yang sangat tinggi dalam pembangunan di berbagai daerah. Penggunaan data penginderaan jauh sebagai sumber data utama pembuatan peta sudah begitu pesat dalam perkembangannya, hal ini dikarenakan penginderaan jauh mampu menghilangkan keterbatasan teknik pemetaan survei terrestrial sebagai sumber data pembuatan peta. Oleh karena itu berbagai upaya peningkatan alternatif dan kualitas produk penginderaan jauh perlu dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan data spasial yang relatif mendesak. Penelitian ini diarahkan untuk bisa membangun sistem dan prosedur, mengembangkan dan mengoptimalkan sistem pemetaan dengan teknologi Aerial Videography. Rokhmana (2006) menyebutkan beberapa karakteristik dari sistem pemetaan yang perlu dikembangkan yaitu low cost (biaya yang murah), easy in operation (pengoperasian yang mudah), fast in production (produksi cepat), and appropriate quality (kualitas yang sesuai), dan menurutnya Aerial Videography merupakan salah satu teknologi yang bisa menjawab kebutuhan tersebut. Aerial Videography, atau dapat disebut dengan Airborne Video System, menurut ITC-UNEP (2005) adalah penggunaan dari video recorder yang dibawa atau dipasangkan pada pesawat terbang atau helikopter. Aerial Videography pada dasarnya merupakan videografi di udara. Definisi menurut Rokhmana (2006) tidak jauh berbeda dimana Aerial Videography adalah sebuah sistem menggunakan camcorder dipasangkan pada pesawat jenis Light untuk merekam data video permukaan bumi, dan menggunakan handheld GPS receiver sebagai navigasi udara. Berikut ini merupakan keuntungan dari Aerial Videography menurut ITC-UNEP (2005): 1. Mampu digunakan dalam keadaan yang tiba-tiba seperti adanya bencana, tidak terbatas pada resolusi temporal. Mampu secara cepat merekam untuk keperluan 60

monitoring tanaman yang umurnya pendek. 2. Live video images, dimana operator bisa mengamati langsung saat perekaman lewat monitor, sehinga bisa melihat jika ada kesalahan perekaman. 3. Mampu diolah atau diintegrasikan dengan Sistem Informasi Geografis. 4. Biaya yang lebih murah dimana harga peralatan video camcorder relatif lebih murah daripada sebuah camera. 5. Higher sensitivity: video camera lebih sensitif daripada camera photography sehingga akuisisi data memungkinkan dilakukan pada keadaan cuaca dibawah keadaan ideal sekalipun. 6. Bentuk camcorder lebih mudah dipasangkan pada pesawat sehingga tidak membutuhkan modifikasi khusus. METODE PENELITIAN Penulis membagi proses dalam membangun sistem Aerial Videography ini berdasarkan tiga tahapan, yaitu pra-akuisisi data (preflight), akuisisi data (in-flight), pasca akuisisi data yang berupa pemrosesan data. Pra-akuisisi data terdiri dari persiapan peralatan yang dibutuhkan untuk membangun sensor, platform/wahana, pembuatan Camera mounting, perencanaan perekaman udara (flight plan). Beberapa alat yang digunakan antara lain: Camcorder sebagai sensor utama, HandHeld GPS receiver sebagai alat navigasi, dan altimeter untuk mengetahui ketinggian terbang. Koreksi Lensa camcorder dan kalibrasi GPS dilakukan sebelum alatalat tersebut digunakan. Gambar 1. Instalasi sensor pada wahana Platform atau wahana untuk membawa sensor dalam penelitian ini berupa paramotor. Untuk instalasi sensor camcorder dan peralatan lainnya pada wahana tersebut diperlukan sebuah dudukan atau disebut mounting. Camera mounting yang akan digunakan adalah fix mounting yang berarti posisi mounting tidak dapat diubah-ubah saat perekaman. Flight Plan atau perencanaan perekaman udara dibuat berdasarkan beberapa faktor antara lain: Peta wilayah yang akan direkam (obyek), format CCD/CMOS, video type recording, resolusi spasial dan skala, focal length, rencana waktu, lebar dan luas cakupan, ketinggian terbang, kecepatan terbang, shutter speed/kecepataan bukaan, AIM (Apparent Image Motion), jumlah, panjang dan arah jalur terbang, safety Tabel 1. Parameter flight plan 61

No. Parameter Nilai/Keterangan Daerah Penelitian dan Rencana Output citra 1 Daerah Penelitian Sebagian wilayah permukiman Pantai Parangtritis dan Parangkusumo 2 Resolusi spasial/ground Pixel Size 0,3 m Karakteristik Sensor dan pengaturannya 3 Jenis Camcorder Video Camera RD32 (FPV camera sport) 4 Jenis detektor dan jumlah CMOS 1 buah 5 Ukuran format (WxH) 1/2,5 inch (5,76mm x 4.32mm ) 6 Output video recording type h286 (.AviClip) 7 Frame Rate NTSC 30 frame/sekon 8 Pixel Aspect Ratio 1 : 1, 9 Ukuran Frame Asli 1280 * 720 10 Media Penyimpanan SD Card 11 Panjang Fokus (tak hingga) 12 Panjang fokal (focal length) 3 mm 13 skala pada CCD 1 : 50.000 14 CCD Ground Width 384 m 15 CCD Ground Height 216 m 16 Luas Cakupan per frame 8,29 Ha Platform dan Pengaturannya 17 Wahana Paramotor 18 Kecepatan 35 km/jam atau 8.2 m/s (kondisi ideal) 19 Ketinggian terbang 150 m diatas tanah (ketinggian referensi) Parameter lainnya yang mengikuti 20 Waktu Perekaman 08.30 WIB - 10.00 WIB 21 Apparent Image Motion (AIM) 3.28 µm Jalur Terbang 22 Jumlah jalur terbang 1 23 Panjang tiap jalur terbang 800 m factor (sidelap, pitch and roll tolerance) dan faktor cuaca. Semua faktor tersebut akan saling melengkapi dan dipergunakan untuk menggambarkan jalur terbang dan menentukan waktu perekaman atau tahap akuisisi data (in-flight). 62 Tahap yang kedua adalah akuisisi data (in-flight) atau perekaman udara dengan sensor dan peralatan lainnya yang sudah diintalasikan pada wahana. Hal yang paling penting dari pilot adalah menjaga ketinggian dan kecepatan untuk mendekati konstan selama mengikuti jalur terbang. Waktu perekaman dilakukan di pagi hari saat

kecepatan angin rendah dan cahaya matahari sudah mencukupi disamping cuaca dianggap ideal. Tahapan terakhir adalah pemrosesan data video hasil perekaman menjadi citra single images, stereo images, mosaic 2D, near-orthoimages, serta stereo mosaic 3D. Data video hasil perekaman akan dilakukan proses koreksi dan beberapa proses enchancement. Proses pemisahan video frames menjadi images sequence merupakan tahapan merubah data video menjadi images. Dengan pemilihan kualitas gambar terbaik maka telah didapatkan citra single images, serta seleksi dengan persentase tampalan sekitar 50% - 70% didapatkan juga stereo images. Mosaik dari stereo images akan menghasilkan citra mosaik 2D yang kemudian diregistrasi dengan nilai ground control point yang didapatkan dari citra/peta acuan. Near-orthomosaic diproses dengan mengambil nadir view pada frame dimana setiap frame akan di crop sekitar nadir yang nantinya hasil crop setiap pandang nadir tersebut dimosaik. Sehingga pada dasarnya ortho ini terbentuk dari kumpulan images pada nadir view, yang dianggap akan mempunyai distorsi terkecil dengan minimum relief displacement. Georegistration dilakukan dengan langkah yang sama seperti sebelumnya. Stereo mosaic 3D didapatkan dengan cara yang hampir sama saat membuat orthoimages. Hanya pada stereomosaic 3D ini yang diambil dan dimosaic adalah sudut pandang (Slit window) tiap forward dan backward. Pemrosesan selanjutnya adalah membuat 3D anaglyph citra stereo mosaik tersebut agar bisa dilihat secara 3D. Citra-citra yang dihasilkan dari Aerial Videography ini selanjutnya akan digunakan untuk perhitungan akurasi geometrik beberapa bangunan di daerah penelitian. Tingkat akurasi dari analisis citra aerial videography ini juga diukur berdasarkan perbandingan antara penghitungan di laboratorium dengan hasil pengukuran ketinggian bangunan di lapangan. Kemudian akan dujicobakan penggunaan citra aerial videography untuk aplikasi materi RDTR seperti Koefisien Dasar Bangunan dan Koeisien Lantai Bangunan. HASIL DAN PEMBAHASAN Video yang dihasilkan mengindikasikan adanya perubahan orientasi kamera yang terjadi saat perekaman. Perubahan orientasi kamera ini disebabkan oleh karakteristik dasar wahana paramotor dan sumberdaya pilot. Kestabilan terbang paramotor sangat bergantung pada kondisi angin karena daya angkat dan manuver terjadi akibat respon parasut terhadap angin. Orientasi kamera tidak selalu mengarah pada posisi tegak lurus (nadirview) terhadap bidang perekaman. Dari 6 jenis outer orientation pada penelitian ini, setidaknya terjadi 4 kesalahan orientasi, yaitu Z translation dan 3 tilt (phi, omega, kappa). Gambar 2. Tilt yang terjadi pada phi dan omega ini menyebabkan frame sedikit low oblique, ditandakan dengan perbedaan 63

Gambar 4. Obyek manusia dan bayangannya masih dapat terdeteksi pada citra aerial videography ini. lebar sisi frame yang lebih besar (merah) dibandingkan sisi frame lainnya (biru) Video yang dihasilkan juga mengalami distorsi non-sistematik, yaitu Jello effect. Efek jello ini membuat geometri obyek berubahubah dari frame satu ke frame selanjutnya. Efek Jello ini biasanya disebabkan oleh penggunaan sensor CMOS pada video dan adanya getaran yang besar dan lebih cepat daripada proses penyiaman pada kamera video. Citra mosaik dilakukan dengan rektifikasi terlebih dahulu frame/citra yang akan dimosaik oleh karena terjadi distorsi non-systematic akibat efek Jello. Rektifikasi menggunakan metode transformasi Spline (rubbersheet) kemudian diinterpolasi menjadi citra/frame baru yang telah terkoreksi geometrik. Citra-citra tersebut kemudian dimosaik menggunakan perangkat lunak orthovista dengan mempertimbangkan proses feathering. Gambar 3. Jello efek yang membuat geometri bangunan berubah-ubah. Berdasarkan hasil akuisisi video pada sistem yang dibangun ini, didapatkan ground pixel size sebesar ± 0,16 m atau 16cm tiap pikselnya. Gambar 5. Citra hasil proses rektifikasi Citra near-orthomosaic dan Stereomosaic3D diproses dengan mengambil slit window pada tiap frame. Tiap slit window yang berurutan tersebut kemudian di mosaik. Citra near-ortho menghasilkan citra mosaik dengan minimum relief displacement, mirip seperti citra satelit resolusi tinggi (Gb. 7). Hal tersebut merupakan salah satu keunggulan aerial videography apabila dibandingkan dengan foto udara. Gambar 6. Proses feathering saat mosaik citra membuat mosaik menjadi seamless. 64

ketelitian geometris harus dibawah 1,5m. Berdasarkan akurasi tersebut citra Aerial videography dengan sistem yang dibangun pada penelitian ini layak untuk dijadikan alternatif sumber data spasial untuk materi RDTR. Penelitian ini juga berhasil membuktikan bahwa citra aerial videography bisa dimanfaatkan untuk ekstraksi materi RDTR seperti Koefisien Dasar Bangunan dan Koefisien Lantai Bangunan pada wilayah perekaman. Gambar 7. Mosaik 2D (atas) dan Nearorthomosaic (bawah) dengan relief displacement yang lebih minimum. Akurasi geometrik horizontal citra aerial videography dihasilkan dari perbandingan dengan citra resolusi tinggi lainnya, dengan asumsi bahwa citra tersebut dianggap sudah benar secara geometrik. Sedangkan akurasi vertikal dicari dengan perhitungan ketinggian bangunan. Ekstraksi data ketinggian bangunan pada penelitian ini dilakukan pada satu pasang citra stereo sebagai sampel dalam menilai kemampuan citra aerial videography untuk tujuan ekstraksi ketinggian. Hasil dari uji akurasi horizontal maupun vertikal ini cukup baik dimana presisi pengukuran dari citra video mempunyai selisih rata-rata <1 m terhadap citra acuan ataupun pengukuran lapangan. Peta RDTR digambarkan pada skala 1 : 5.000 dengan konsekuensi 65 KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pembangunan sistem dan prosedur Teknologi Aerial Videography untuk menghasilkan data video udara terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut : a. Tahap Pra akuisisi data (preflight) Tahap akuisisi data terdiri dari pemilihan dan persiapan wahana maupun sensor, desain mounting, instalasi sensor terhadap wahana, dan pembuatan perencanaan jalur terbang. b. Tahap akuisisi data (in-flight) Tahap akusisi data terdiri dari perekaman udara oleh pilot dengan mengikuti jalur terbang yang sudah direncanakan. c. Tahap pasca perekaman (postflight) Tahap pasca perekaman ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas video

hasil perekaman yang terdiri dari koreksi video, antara lain koreksi interlaced, koreksi pixel aspect ratio, koreksi kelengkungan lensa, dan penajaman citra video sehingga video siap untuk diolah menjadi citra. 2. Citra Aerial Videography dihasilkan dari data video yang telah terkoreksi, pemecahan data video menjadi gambar (images sequence), dan proses rektifikasi untuk menghasilkan citra single images. Dua citra single image yang bertampalan merupakan citra stereo images untuk pembuatan stereo anaglyph. Proses mosaik dari citra yang telah ter-rektifikasi menghasilkan citra mosaic2d. Citra Near-Orthomosaic dibuat dengan mengambil slit window ortho untuk dimosaik. Slit window forward yang dimosaik pada frame terpilih menghasilkan mosaik forward. Citra Near-Orthomosaic dan Citra mosaik forward digunakan untuk menghasilkan citra Stereomosaic 3d Anaglyph. 3. Citra aerial videography pada penelitian ini mempunyai akurasi geometrik dalam sub-meter baik secara Citra Aerial Videography: single Image horizontal maupun vertikal sehingga layak digunakan sebagai alternatif sumberdata spasial untuk penyusunan materi Rencana Detil Tata Ruang. DAFTAR PUSTAKA Rokhmana, C. A. 2006. Some Aspects on Developing a Truly Low-Cost Mapping System Using Handheld GPS and Camcorder. Shaping the Change XXIII FIG Congress, Munich, Germany. UNEP-ITC. 2005. Videography. RS/GIS for Monitoring and Assessment of Iraqi Marshland, 6-10 Feb 2005. Warner, W.S., Graham, R.W. and Read, R.E. 1996. Small Format Aerial Photography. American Society for Photogrammetry and Remote Sensing, Bethesda, Maryland. Zhu, Z., A. Hanson, H. Schultz, F. Stolle, and E. Riseman, 1999, Stereo Mosaics From A Moving Video Camera For Environmental Monitoring. ftp://visftp.cs.umass.edu/ Papers/zhu/dcv99.pdf, diakses tanggal 15 Januari 2010. 66

67