PEMANTAUAN PERTUMBUHAN PADI MENGGUNAKAN L-BAND SAR BERBASIS TEORI DEKOMPOSISI: STUDI KASUS SUBANG ADI YUDHA PRAMONO A

dokumen-dokumen yang mirip
Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Interpretasi Citra SAR. Estimasi Kelembaban Tanah. Sifat Dielektrik. Parameter Target/Obyek: Sifat Dielektrik Geometri

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU JAKARTA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR POLARISASI GANDA

PEMANTAUAN POLA PENANAMAN PADI MELALUI ANALISIS HAMBURAN BALIK CITRA ALOS PALSAR SCANSAR

III. METODE PENELITAN ' ' KEC. BINONG KEC. PAMANUKAN KAB. INDRAMAYU KAB. SUMEDANG ' ' Gambar 2.

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth.

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

III. BAHAN DAN METODE

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

PEMANTAUAN FASE PERTUMBUHAN PADI MENGGUNAKAN SENSOR AVNIR DAN PALSAR POLARISASI PENUH (STUDI KASUS PT SANG HYANG SERI, SUBANG)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMANTAUAN LAHAN SAWAH PT. SANG HYANG SERI, KABUPATEN SUBANG AUFA HILLIYUN AIDHA SYAFRIL A

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PENDAHULUAN. Latar Belakang

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

III. BAHAN DAN METODE

PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

III. METODE PENELITIAN

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

III. BAHAN DAN METODE

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

III. METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

III. METODE PENELITIAN

ANALISIS KESESUAIAN MEDAN UNTUK BANGUNAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN PAJANGAN KABUPATEN BANTUL

BAB III METODE PENELITIAN

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

PENGARUH PUPUK SLOW RELEASE UREA- ZEOLIT- ASAM HUMAT (UZA) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI VAR. CIHERANG

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

G ~ QJ\Y~~\-rJl<~\ Vol. 15 No.2, Desember 2009

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

5. IDENTIFIKASI JENIS TANAMAN. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Geografis Kabupaten Bekasi dan Sekitarnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017

BAB II DAERAH PENELITIAN & BAHAN

Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 9 No. 1 Juni 2012 : 12-24

Transkripsi:

PEMANTAUAN PERTUMBUHAN PADI MENGGUNAKAN L-BAND SAR BERBASIS TEORI DEKOMPOSISI: STUDI KASUS SUBANG ADI YUDHA PRAMONO A14070061 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

RINGKASAN ADI YUDHA PRAMONO. Pemantauan Pertumbuhan Padi Menggunakan L- Band SAR Berbasis Teori Dekomposisi: Studi Kasus Subang. Dibawah bimbingan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO dan DYAH RETNO PANUJU. Permasalahan pangan di Indonesia tidak dapat dihindari, walaupun Indonesia sering disebut sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Kenyataan bahwa masih banyak kekurangan pangan yang melanda seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, sering diungkapkan pada berbagai kesempatan. Ketahanan pangan sangat terkait dengan produksi pangan sebagai salah satu faktor pembangunan. Padi merupakan makanan pokok yang utama di Indonesia, sehingga pemantauan lahan sawah merupakan salah satu langkah ekstraksi informasi penting bagi perencanaan pertanian yang lebih baik. Pemantauan dengan penginderaan jauh optik akan sangat beresiko untuk kondisi di Indonesia atau wilayah tropik secara umum mengingat cakupan awan yang tinggi. SAR (Synthetic Aperture Radar) memberikan alternatif dalam penyediaan data untuk tujuan tersebut, terutama dengan teknologi polarisasi. Sebagai sistem yang mempunyai sumber energi sendiri tanpa tergantung dengan sumber energi matahari, SAR dapat beroperasi siang maupun malam dalam segala kondisi cuaca (karena gelombang mikro dapat menembus awan, asap dan hujan). Sifat ini sangat bermanfaat untuk aplikasi penginderaan yang sensitif waktu seperti pertanian tanaman semusim atau bencana alam. Berbagai studi yang dilakukan sebelumnya memiliki fokus kajian pada pemanfaatan data backscatter (hamburan balik) SAR. Pengembangan lebih lanjut dari teknologi SAR yaitu polarisasi penuh memungkinkan analisis data SAR yang lebih kompleks dibandingkan dengan analisis berbasis hamburan balik. Prosedur analisis SAR polarisasi penuh yang saat ini banyak mengundang perhatian adalah analisis dekomposisi polarimetrik.

Penelitian ini membahas aplikasi teori dekomposisi Cloude-Pottier dalam mengkaji fase pertumbuhan padi sawah (varietas Ciherang). Melalui teori ini, data polarimetrik penuh yang kompleks akan dikonversi menjadi tiga unit analisis yang lebih sederhana yaitu Entropi (H), Sudut Alfa ( ) dan Anisotropi (A). Pada penelitian ini, blok penanaman padi PT. Sang Hyang Seri, Subang yang memiliki keragaman dalam umur tanaman menjadi informasi lapangan utama dalam analisis. Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa Teori dekomposisi Cloude-Pottier dapat dimanfaatkan untuk menggambarkan karakteristik berbagai tingkat pertumbuhan padi sawah. Hasil analisis menunjukkan bahwa parameter Entropi berperan penting dalam membedakan umur tanaman padi. Distribusi nilai Entropi sesuai untuk menggambarkan berbagai fase pertumbuhan padi. Hal ini disebabkan oleh adanya keterkaitan antara perubahan pola Entropi dengan variasi umur tanaman padi. Pertambahan umur tanaman padi cenderung bersesuaian dengan peningkatan nilai Entropinya. Nilai entropi menjadi kecil pada tanaman padi yang masih muda, karena rendahnya jumlah daun atau tajuk tanaman sehingga kontribusi tanah cukup dominan. Meskipun Sudut Alfa ditemukan berguna untuk menjelaskan jenis hamburan, parameter ini terlihat kurang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap interpretasi data. Kata Kunci: SAR (Synthetic Aperture Radar), Dekomposisi Cloude-Pottier, Padi.

SUMMARY ADI YUDHA PRAMONO. Rice Growth Monitoring Using L-Band SAR Based on Decomposition Theory: A Case Study of Subang. Under supervision of BAMBANG HENDRO TRISASONGKO and DYAH RETNO PANUJU. Food problems in Indonesia cannot be avoided, although Indonesia is often referred to as an agricultural country where predominant livelihood is farming. As a matter of fact, there are still a lot of food shortages along increasing number of inhabitants. Rice is the main staple food in Indonesia, therefore monitoring rice field is important information for better agricultural planning. Monitoring with optical remote sensing would be on stake for Indonesia or tropical regions considering high cloud cover. SAR (Synthetic Aperture Radar) provides an alternative in the provision of data for such purposes, especially with polarization technology. As a system that has its own energy source, irrespective to source of solar energy, a SAR system can operate day and night in virtually all weather conditions, because microwaves can penetrate clouds, smoke and rain. This property is very useful for time sensitive applications such as sensing of agricultural crops or natural disasters. Earlier studies primarily focused on the use of backscatter data. Further development of the SAR technology allows analysis of fully polarization SAR data, which are generally more complex than backscattering-based analysis. Fully polarization SAR analysis procedures that are currently inviting attention is the polarimetric decomposition. This study discusses an application of the Cloude-Pottier decomposition theory in assessment of growth phase of Ciherang rice. Using this theory, a complex fully polarimetric data can be converted into three units of analysis, i.e. Entropy (H), Alpha Angle ( ) and Anisotropy (A). In this study, blocks of rice cultivation owned by PT. Sang Hyang Seri, provided major field information for detailed analysis. This research indicated that the Cloude-Pottier decomposition theory was able to describe characteristics of different levels of rice growth. The analysis

showed that Entropy played an important role in distinguishing plants age. Distribution of entropy corresponded to various phases of rice growth. Aging rice plants tend to coincide to increasing value of entropy. Entropy became smaller in young rice plants, because of a decrease in the number of leaves or density of plant canopy and therefore soil contribution was dominant. Although the alpha angle was found useful to describe scattering type, this parameter is less visible to contribute significantly to the interpretation of data. Keywords: SAR (Synthetic Aperture Radar), Cloude-Pottier Decomposition, Rice.

PEMANTAUAN PERTUMBUHAN PADI MENGGUNAKAN L-BAND SAR BERBASIS TEORI DEKOMPOSISI: STUDI KASUS SUBANG ADI YUDHA PRAMONO A14070061 Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Judul Skripsi : Pemantauan Pertumbuhan Padi Menggunakan L-Band SAR Berbasis Teori Dekomposisi: Studi Kasus Subang. Nama Mahasiswa : Adi Yudha Pramono Nomor Pokok : A14070061 Menyetujui Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc Ir. Dyah R. Panuju, M.Si NIP. 19700903 200812 1 001 NIP. 19710412 199702 2 005 Mengetahui Ketua Departemen Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003 Tanggal lulus :

RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Ngawi, Jawa Timur pada tanggal 26 Januari 1989 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Kasno, M.Pd dan Siti Nining Lestari, S.Pd. Pedidikan formal yang ditempuh oleh penulis berawal dari SD Negeri Karangtengah IV Ngawi (1996-2001). Selepas Sekolah Dasar, penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 2 Ngawi (2001-2004) dan SMA Negeri 2 Ngawi (2004-2007). Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (DITSL). Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti kegiatan kemahasiswaan sebagai Hubungan Luar dan Alumni HMIT IPB Divisi Informasi dan Komunikasi (2008-2009), Divisi Informasi dan Komunikasi AZIMUTH - Soil IPB Adventure Society (2009-2010). Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap 2010/2011, mata kuliah Sistem Informasi Geografis 2010/2011, dan mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra 2011/2012. Selain itu juga aktif di beberapa kepanitiaan lain yang diselenggarakan oleh Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian dan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (DITSL). Penulis juga menjadi presentator dalam Seminar Nasional PIT MAPIN XVII Tahun 2011 Observasi Pertumbuhan Tanaman Padi Menggunakan Parameter Dekomposisi Entropi dan Sudut Alfa di Universitas Diponegoro, Semarang.

KATA PENGANTAR Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian ini berjudul Pemantauan Pertumbuhan Padi Menggunakan L-Band SAR Berbasis Teori Dekomposisi: Studi Kasus Subang. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Orang tua tercinta Bapak (Kasno) dan Ibu (Siti Nining Lestari) serta kakak (Pramudya Baskoro) yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, restu, kepercayaan serta dukungan moral dan spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. 2. Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc. dan Ir. Dyah R. Panuju, M.Si. selaku pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan bimbingan, kritik, saran dan motivasi dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. 3. Dr. Boedi Tjahjono selaku penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyempurnaan karya ilmiah ini. 4. Kantor Regional I Sukamandi PT. Sang Hyang Seri, Subang, yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan data dan informasi yang sangat dibutuhkan selama pelaksanaan karya ilmiah ini. 5. Pusat Perencanaan, Pengembangan dan Pengkajian Wilayah (P4W) LPPM IPB atas kesempatan yang telah diberikan untuk memperoleh ilmu dalam pelaksanaan karya ilmiah ini. 6. Keluarga besar Ngawi yang selalu memberikan nasehat, motivasi dan doanya selama ini. 7. Setia Wahyu C., Ika Puspita S., Hanna Aditya J., Kriswindya Tasha, Melinda Rakhmawati, Rhoma Purnanto, Herdianto Eka S., Aulia Bahadhori M., Farid Ridwan, dan Herdian Priambodo atas saran dan motivasinya. 8. Wiwid Wijayanto, M. Kusumah, Defrey S. Z., Melati N., dan Annisa T., Tiyok, Ajih atas dukungannya.

9. Keluarga besar Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial IPB serta seluruh mahasiswa MSL atas dukungannya selama ini. 10. Seluruh saudara seangkatan mahasiswa MSL 44 atas saran, dukungan, dan kebersamaannya selama ini. Kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini dan berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Januari 2012 Adi Yudha Pramono

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix I. PENDAHULUAN... 2 1.1. Latar Belakang... 2 1.2. Tujuan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA... 7 2.1. Pemantauan Padi... 7 2.2. Pemanfaatan Polarisasi Tunggal dan Ganda... 7 2.3. Pemanfaatan Polarisasi Linier... 10 2.4. Dekomposisi Cloude-Pottier... 10 III. METODOLOGI... 17 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 17 3.2. Bahan dan Alat Penelitian... 18 3.3. Metode Penelitian... 18 3.3.1. Persiapan... 18 3.3.2. Pengumpulan Data... 18 3.3.3. Survei Lapang... 19 3.3.4. Analisis dan Interpretasi Data... 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 24 4.1. Respon Polarimetri pada Tanaman Padi Varietas Ciherang... 24 4.1.1. Analisis Data Eksploratif... 24 4.1.2. Keterkaitan Umur Tanaman dengan Entropi dan Sudut Alfa... 31 4.2. Klasifikasi Fase Tumbuh Tanaman... 35 4.2.1. Proses Klasifikasi... 35 4.2.2. Akurasi... 41 V. KESIMPULAN DAN SARAN... 44 5.1. Kesimpulan... 44 5.2. Saran...... 45 DAFTAR PUSTAKA... 46

viii DAFTAR TABEL Tabel 1. Interpretasi Zona... 14 Tabel 2. Permodelan pada parameter Entropi... 32 Tabel 3. Permodelan pada parameter Sudut Alfa... 32 Tabel 4. Nilai Transformed Divergence (TD) menggunakan data training pada citra PALSAR 2009... 35 Tabel 5. Nilai Transformed Divergence (TD) menggunakan data training pada citra PALSAR 2007... 35 Tabel 6. Luas Hasil Klasifikasi citra PALSAR 2009 dan 2007... 41 Tabel 7. Akurasi Klasifikasi Algoritma QUEST Citra PALSAR 2009... 41 Tabel 8. Akurasi Klasifikasi Algoritma QUEST Citra PALSAR 2007... 42 Lampiran Tabel Lampiran 1. Karakteristik umum sensor PALSAR... 52

ix DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Segmentasi bidang entropy-alpha (Trisasongko, 2010)... 12 Gambar 2. Lokasi Penelitian... 17 Gambar 3. Beberapa kondisi pertumbuhan tanaman padi varietas Ciherang... 19 Gambar 4. Citra PALSAR yang diakuisisi tahun 2007 (a) dan 2009 (b). Citra JAXA dan METI... 21 Gambar 5. Citra PALSAR 2009; Lokasi blok lahan sawah PT Sang Hyang Seri (a) dan lokasi pengambilan contoh umur tanaman padi varietas Ciherang (b)... 22 Gambar 6. Citra PALSAR 2007; Lokasi blok lahan sawah PT Sang Hyang Seri (a) dan lokasi pengambilan contoh umur tanaman padi varietas Ciherang (b)... 22 Gambar 7. Diagram Alir Penelitian... 23 Gambar 8. Boxplot nilai Entropi (median) terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang... 24 Gambar 9. Boxplot nilai Entropi (mean) terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang... 25 Gambar 10. Boxplot nilai Sudut Alfa (median) terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang... 27 Gambar 11. Boxplot nilai Sudut Alfa (mean) terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang... 27 Gambar 12. Sketsa tanaman padi pada fase vegetatif akhir (a) dan generatif (b)... 28 Gambar 13. kondisi tanaman padi varietas Ciherang yang terserang tikus... 29 Gambar 14. Diagram Pencar Cloude-Pottier citra PALSAR 2009 (a) dan 2007 (b)... 30

x Gambar 15. Permodelan kuadratik nilai Entropi terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang pada Citra PALSAR 2009 (a dan c) dan 2007 (b dan d)... 33 Gambar 16. Hasil permodelan Kuadratik nilai Sudut Alfa terhadap Umur tanaman padi varietas Ciherang pada Citra PALSAR 2009 (a dan c) serta 2007 (b dan d)... 34 Gambar 17. Pohon Keputusan berdasarkan QUEST pada citra PALSAR 2009... 37 Gambar 18. Pohon Keputusan berdasarkan QUEST pada citra PALSAR 2007... 38 Gambar 19. Citra ALOS PALSAR 2009 (a) dan Hasil Klasifikasi Pohon Keputusan Algoritma QUEST Citra ALOS PALSAR Blok Penanaman Padi PT. Sang Hyang Seri, Sukamandi 2009 (b)... 39 Gambar 20. Citra ALOS PALSAR 2007 (a) dan Hasil Klasifikasi Pohon Keputusan Algoritma QUEST Citra ALOS PALSAR Blok Penanaman Padi PT. Sang Hyang Seri, Sukamandi 2007 (b)... 40 Lampiran Gambar Lampiran 1. Satelit ALOS (JAXA, EORC, 1997)... 51 Gambar Lampiran 2. Instrumen PALSAR (JAXA, EORC, 1997)... 52 Gambar Lampiran 3. Permodelan linier nilai Entropi terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang pada Citra PALSAR 2009 (a dan c) dan 2007 (b dan d)... 54 Gambar Lampiran 4. Permodelan linier nilai Sudut Alfa terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang pada Citra PALSAR 2009 (a dan c) dan 2007 (b dan d)... 55 Gambar Lampiran 5. Permodelan Jenuh nilai Entropi terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang pada Citra PALSAR 2009 (a dan c) dan 2007 (b dan d)... 56

xi Gambar Lampiran 6. Permodelan Jenuh nilai Sudut Alfa terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang pada Citra PALSAR 2009 (a dan c) dan 2007 (b dan d)... 57

2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan pangan di Indonesia tidak dapat dihindari, walaupun Indonesia sering disebut sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Kenyataan bahwa masih banyak kekurangan pangan yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk, sering diungkapkan pada berbagai kesempatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hingga saat ini ketahanan pangan di Indonesia masih terbatas. Ketahanan pangan sangat terkait dengan ketersediaan pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk, sehingga ketahanan pangan tidak dapat lepas dari produksi pangan sebagai salah satu faktor pembangunnya. Pemantauan lahan sawah (padi) merupakan salah satu langkah untuk mengetahui informasi penting yang dibutuhkan bagi pemenuhan jumlah produksi pangan yang diinginkan. Pemantauan ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik survei lapang dan/atau teknologi penginderaan jauh. Teknik survei lapang memiliki beberapa kekurangan, diantaranya teknik ini memerlukan tenaga dan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan teknik penginderaan jauh. Selain itu survei lapang membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Namun demikian, teknik ini memiliki kelebihan karena dapat mengetahui kondisi lapang secara langsung dan data yang diperoleh mempunyai tingkat kedetilan yang tinggi. Teknologi penginderaan jauh juga memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dalam beberapa segi. Salah satunya adalah mampu memberikan informasi mendekati real time dan mencakup wilayah yang sangat luas. Ketersediaan data penginderaan jauh/citra satelit dalam bentuk digital memungkinkan untuk dilakukan analisis dengan komputer secara kuantitatif dan konsisten. Selain itu data penginderaan jauh dapat digunakan sebagai masukan yang independen untuk verifikasi lapangan. Melalui teknologi penginderaan jauh ini, penjelajahan lapangan juga dapat dikurangi, sehingga dapat menghemat waktu dan biaya bila dibandingkan dengan cara terestris. Dengan demikian, informasi hasil pemantauan dengan teknologi penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk membantu proses pengambilan

3 keputusan dalam mengembangkan areal persawahan. Selain dapat digunakan untuk pemantauan padi dan pengamatan daerah yang sangat luas, penginderaan jauh juga dapat memberi informasi mengenai keadaan lahan yang mencakup topografi/relief, pertumbuhan tanaman/vegetasi dan fenomena alam lainnya. Hal ini dapat memberikan peluang untuk mengamati, mempelajari pengaruh iklim, vegetasi, litologi, dan topografi terhadap penyebaran sumberdaya lahan dan lahan pertanian. Pemantauan lahan pertanian yang saat ini dilakukan umumnya bergantung pada citra optik. Penggunaan citra Landsat ETM pada studi Septiana et al. (2011) dimanfaatkan untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan sawah di Kabupaten Karawang melalui analisis luasan penggunaan lahannya. Pendugaan perubahan ini dilakukan untuk mengetahui laju pertumbuhan tanaman padi. Selain itu, studi lain juga dilakukan oleh Dirgahayu (2011) dengan menggunakan data EVI MODIS untuk mendeteksi awal tanam padi di lahan sawah. Analisis spasial pada data ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan waktu awal tanam terhadap kualitas pertumbuhan tanaman padi. Nilai EVI maksimum saat pertumbuhan vegetatif tanaman menjelang pembungaan manjadi indikator kualitas pertumbuhan tanaman padi. Citra optik lain yang juga digunakan dalam bidang pertanian adalah data satelit SPOT 4 untuk identifikasi lahan sawah di wilayah Kabupaten Sambas. Data SPOT 4 diolah lebih lanjut dengan bantuan citra satelit Landsat untuk menghasilkan citra mozaik yang relatif baik dari liputan awan sehingga analisis yang dilakukan pada citra menghasilkan akurasi yang baik terhadap liputan lahan sawah (Harsanugraha dan Trisakti, 2011). Pemanfaatan data optik untuk aplikasi yang sensitif waktu seperti pertanian akan sangat riskan untuk wilayah Indonesia atau wilayah tropis secara umum, mengingat cakupan awan di wilayah ini sangat tinggi. Untuk wilayah tersebut, data alternatif atau komplemen sangat dibutuhkan. Salah satu data yang dapat menyajikan informasi tersebut adalah data Synthetic Aperture Radar (SAR). Ari et al. (2005) menyebutkan bahwa suatu sistem SAR monostatik terdiri dari antena yang berfungsi sebagai Transmitter (Pemancar) dan Receiver (Penerima), yang disertai dengan sistem elektronis untuk memproses dan merekam data. Bagian pemancar akan mengirimkan pulsa gelombang mikro

4 secara kontinyu ke permukaan bumi, kemudian antena penerima akan menerima hamburan balik (backscatter) yang kemudian direkam atau diproses lebih lanjut. Sebagai sistem yang mempunyai sumber energi sendiri tanpa tergantung dengan sumber energi matahari, maka SAR dapat beroperasi pada siang maupun malam dalam hari segala kondisi cuaca (karena gelombang mikro dapat menembus awan, asap dan hujan). Sifat-sifat seperti ini sangat bermanfaat untuk aplikasi penginderaan yang sensitif waktu seperti pertanian tanaman semusim atau bencana alam. Gelombang mikro dengan panjang gelombang tertentu juga memiliki kemampuan untuk menembus lapisan permukaan, sebagai contoh kanopi vegetasi, lebih dalam daripada sensor optik. Radar juga sensitif terhadap kekasaran permukaan, kelembaban, sifat dielektrik, dan gerakan dalam permukaan yang diiluminasi. Informasi unik yang diberikan citra SAR seperti ini juga dapat dimanfaatkan sebagai komplemen citra-citra optik. Instrumen SAR dapat dirancang untuk mengirimkan gelombang gelombang mikro yang terpolarisasi linier baik secara horisontal (H) maupun secara vertikal (V). Demikian pula antena penerimanya dapat dirancang untuk menerima sinyal hambur balik baik yang terpolarisasi secara horisontal (H) maupun vertikal (V). Dengan demikian terdapat empat kombinasi polarisasi linier yang memungkinkan, yaitu : HH, VV, HV, dan VH. Ketika gelombang radar berinteraksi dengan permukaan bumi atau target, polarisasi tersebut akan termodifikasi sesuai dengan karakteristik permukaan bumi atau target tersebut yang pada gilirannya akan memberikan efek yang berbeda-beda pada energi hamburan baliknya. Citra SAR sangat berguna dalam studi padi karena karakteristik hamburan spekular yang unik dari sinyal radar pada sawah tergenang. Pada kanal L (Lband), sinyal radar dapat menembus kanopi padi sehingga menyediakan informasi struktural, sedangkan indeks vegetasi dari citra optik cenderung jenuh dalam tahap puncak pertumbuhan padi. Telah ditemukan dalam studi sebelumnya oleh Shao et al. (2001) bahwa atribut biofisik padi, seperti indeks luas daun (LAI), biomasa segar, dan tinggi tanaman, secara signifikan berkorelasi dengan amplitudo hamburan balik SAR. Namun, untuk parameter tertentu, kekuatan korelasi tidak konsisten dalam studi yang berbeda yang tergantung pada besarnya variasi dari struktur padi dan biomasa yang bervariasi antar spesies, tahap

5 pertumbuhan, periode penggenangan, dan budaya aktivitas pertanian. Faktor sistem (frekuensi, polarisasi, insiden sudut, dan lain-lain) dari sensor SAR secara dramatis juga menyebabkan perbedaan karakteristik hamburan balik (Brisco and Brown, 1998). Berbagai studi yang dilakukan sebelumnya memiliki fokus kajian pada pemanfaatan data backscatter (hamburan balik) SAR. Wang et al. (2009) misalnya, menggunakan data SAR ALOS PALSAR polarisasi HH dan HV untuk pemantauan padi di Cina Tenggara. Analisis hamburan balik yang dilakukan menunjukkan tinggi tanaman dan banyaknya massa daun merupakan dua parameter struktural utama yang berkontribusi dalam hamburan balik padi pada citra PALSAR. hamburan balik HH lebih sensitif terhadap variasi struktural padi, sementara Hamburan balik VV hampir konstan sepanjang siklus pertumbuhan padi. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa hamburan balik L-HH multitemporal mungkin lebih berguna dalam pemetaan biofisik padi dan studi pemodelan. Hamburan balik HV dipengaruhi oleh interaksi beberapa radar sinyal dan kanopi padi dan tidak dapat secara akurat disimulasikan melalui model hamburan kanopi orde pertama. Hasil ini juga diperkuat oleh Wu et al. (2011) yang mencoba menganalisis data hamburan balik data SAR RADARSAT-2 polarisasi linier HV. Pengembangan lebih lanjut dari teknologi SAR yaitu polarisasi penuh memungkinkan analisis data SAR yang lebih kompleks dibandingkan dengan analisis berbasis hamburan balik. Prosedur analisis SAR polarisasi penuh yang saat ini banyak mengundang perhatian adalah analisis dekomposisi polarimetrik. Hal ini dikarenakan data polarimetrik penuh memiliki keakuratan yang jauh lebih baik dibanding polarisasi tunggal, ganda dan quad. Perbedaannya terletak pada jenis data yang di analisis. Data polarimetrik penuh mampu menggunakan bilangan kompleks yang terdiri dari nilai amplitudo dan beda fase, untuk dilakukan analisis. Sedangkan polarisasi tunggal, ganda dan quad hanya menggunakan nilai amplitudo dalam proses analisisnya. Saat ini terdapat beberapa teori dekomposisi yang tersedia pada literatur ilmiah, seperti Holm dan Touzi. Namun demikian, telaah literatur menunjukkan bahwa teori dekomposisi Cloude- Pottier (Cloude and Pottier, 1997) merupakan teori dekomposisi yang paling

6 populer untuk ditelaah. Hal ini dikarenakan dekomposisi Cloude dan Pottier memiliki dasar matematis yang kuat, walaupun menurut Freeman and Durden (1998), hal tersebut belum tentu dapat diinterpretasikan dengan mudah. 1.2. Tujuan 1. Mempelajari berbagai fase pertumbuhan padi sawah varietas Ciherang pada SAR L-band berbasis teori dekomposisi Cloude-Pottier. 2. Menguji beberapa pendekatan model pertumbuhan padi menggunakan analisis regresi dan klasifikasi berbasis teori dekomposisi dalam memetakan fase pertumbuhan padi.

7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi Kondisi tanah pada wilayah pertanian relatif lebih dinamis dibandingkan dengan pada wilayah hutan. Oleh karena itu, pengamatan tepat waktu dan periodik penting dilakukan di bidang pertanian (Ishitsuka, 2007). Selain itu, sistem tanam padi di Asia yang saat ini sedang mengalami perubahan besar untuk mengatasi peningkatan demografi dan perubahan iklim, membuat pemantauan padi menjadi masalah kritis (Bouvet et al., 2009). Di Indonesia, pertanian identik dengan bercocok tanam padi, sebab mayoritas penduduk Indonesia mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Populasi penduduk dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi menjadikan pemantauan tanaman padi sangat diperlukan di Indonesia. Pemantauan tanaman padi juga perlu dilakukan untuk mengetahui perubahanperubahan kondisi lingkungan di sekitar sawah yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman padi itu sendiri, mengingat dinamika spasial suatu bentang lahan berinteraksi dengan proses ekologi (Turner, 1989). Informasi produksi tanaman melalui pemantauan padi juga penting bagi kebijakan untuk mengelola dan mengatur distribusi beras dalam suatu negara. Dengan demikian pemantauan padi dengan teknologi penginderaan jauh dapat memberikan informasi yang tepat waktu dan akurat, baik mengenai distribusi tanaman, luas lahan pertanian, maupun produksi yang potensial bagi para pembuat keputusan. Estimasi hasil panen dan produksi merupakan topik kepentingan global. Selain itu manajemen sumberdaya lahan pertanian yang efisien sangat terkait dengan pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan, terutama penting di Cina (Shao et al., 2001). 2.2. Pemanfaatan Polarisasi Tunggal dan Ganda untuk Tanaman Padi Dewasa ini, telah banyak dilakukan berbagai studi terhadap tanaman padi dengan menggunakan citra SAR. Hal ini dikarenakan citra SAR memiliki karakteristik hamburan balik sinyal radar yang unik di area sawah tergenang (Kurosu et al., 1997). Pada gelombang panjang (misalnya, C-atau L-band), sinyal radar bisa

8 menembus kanopi padi dan dengan demikian informasi struktural menjadi tersedia (Thenkabail et al., 2000). Kurosu et al. (1997) menyajikan hubungan antara koefisien hamburan balik radar dan parameter tanaman padi pada data satelit penginderaan jauh Eropa (ERS-1) C-band SAR data polarisasi VV. Dalam Chakraborty et al. (2005), data RADARSAT C-Band polarisasi tunggal HH digunakan di India, salah satunya untuk mengevaluasi efek dari sudut datang, sehingga dataset optimum dapat dipilih yang mengarah pada pendekatan menjadi lebih baik atau sensitif untuk telaah parameter pertumbuhan padi. Hasil analisis penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesalahan estimasi umur dari hamburan balik relatif tinggi, karena tidak ada hubungan langsung antara umur dengan hamburan balik, dan hal ini merupakan efek tinggi tanaman atau biomassa. Tinggi tanaman yang berasal dari C-band SAR mewakili ketinggian di atas permukaan air, dan dengan demikian peristiwa episodik seperti penggenangan atau pengeringan yang berefek pada tinggi tanaman tercermin dengan baik dalam perubahan hamburan balik. Studi ini mencatat bahwa data yang diperoleh selama periode pertumbuhan tanaman sangat penting karena merupakan hasil awal dalam mencapai akurasi yang tinggi dari parameter yang diperkirakan. Namun, untuk polarisasi tunggal, seperti data ERS-1 polarisasi VV dan RADARSAT-1 polarisasi HH, informasi yang diberikan masih terbatas. Analisis multi-temporal SAR signatures padi dan kelas penutupan lahan lainnya dengan menggunakan RADARSAT polarisasi tunggal HH juga telah dilakukan di Baleshwar dan Bhadrak Orissa, India, dimana berbagai kondisi pertumbuhan padi telah diamati (Choudhury and Chakraborty, 2006). Analisis menunjukkan bahwa data multi-temporal SAR berguna untuk memantau perilaku temporal dari pertumbuhan tanaman selama siklus pertumbuhan dan untuk mengukur keterpisahan antara pasangan kelas yang berbeda. Uji keterpisahan telah menunjukkan bahwa padi dapat dipisahkan dari tutupan lahan lain kecuali untuk awal pertumbuhan padi, yang bercampur dengan lereng bukit (sisi jauh) dan bayangan bukit. Penelitian lain juga dilakukan Ishitsuka (2007) mengunakan polarisasi tunggal untuk melakukan pemantauan tanaman padi di Jepang. Studi yang dilakukan menggunakan PALSAR dengan polarisasi tunggal HH.

9 Berdasarkan analisis hamburan balik, disimpulkan bahwa pemisahan area yang berisi air, sawah yang digenangi air, dan area lain sulit dilakukan dengan jelas dari data hamburan balik. Walaupun hasil penelitian ini menunjukkan tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam membedakan keadaan tanah dengan polarisasi tunggal. Klasifikasi masih mungkin untuk dilakukan hanya jika PALSAR dikombinasikan dengan citra SAR lain dengan panjang gelombang yang berbeda atau dengan sensor citra optik. Seiring berkembangnya teknologi, polarisasi ganda mulai diperkenalkan sebagai alternatif baru. Le Toan et al. (1989) telah melakukan studi mengenai penggunaan polarisasi ganda (HH dan VV) X-band SAR untuk identifikasi dan pemantauan vegetasi pertanian. Pemodelan yang dilakukan memberikan hasil menjanjikan selama periode pertumbuhan padi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan pemanfaatan data HH dan VV untuk mengidentifikasi kanopi padi dan untuk memantau perkembangan melalui parameter kanopi seperti tinggi, nilai kepadatan, atau biomassa. Berkaitan dengan ini, penelitian Wang et al. (2009) memanfaatkan data SAR ALOS PALSAR polarisasi ganda HH dan HV multitemporal untuk pemantauan padi di Cina Tenggara. Analisis hamburan balik yang dilakukan menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan banyaknya massa daun merupakan dua parameter struktural utama yang berkontribusi dalam hamburan balik padi pada citra PALSAR. Terlepas dari potensi yang tinggi dari hasil pendekatan pemodelan yang dilakukan pada citra SAR, pemantauan dengan menggunakan satu tanggal saja menghasilkan analisis yang kurang optimal dalam penelitian kuantitatif padi. Mengingat pertumbuhannya yang cepat dalam waktu yang relatif singkat, sifat biofisik padi di berbagai lahan sering bervariasi dalam satu jenis data satelit. Hamburan balik padi dalam satu tahap juga ditemukan sangat bias oleh variasi dalam spesies dan aktivitas pengelolaan. Pada citra satelit multi waktu menunjukkan bahwa variasi temporal dari hamburan balik padi terkait erat dengan peningkatan pertumbuhan biofisik padi. Oleh karena itu, citra SAR multitemporal dan model simulasi dapat mengurangi ketidakpastian dalam kuantifikasi biofisik.

10 2.3. Pemanfaatan Polarisasi Linier Pemanfaatan polarisasi linear telah banyak dilakukan baik melalui polarisasi tunggal maupun dengan polarisasi ganda atau polarisasi quad dengan mengkombinasikan polarisasi linier HH, VV, HV, dan VH. Bouvet et al. (2009) misalnya, telah memanfaatkan polarisasi linier untuk studi di wilayah Delta Mekong, Vietnam. Studi tersebut bertujuan melakukan penilaian penggunaan rasio polarisasi HH/VV yang berasal dari data Advanced SAR (ASAR) dari satelit ENVISAT untuk produksi petak sawah. Pendekatan yang dilakukan didasarkan pada pengetahuan masa lalu pada perilaku polarisasi kanopi padi, yaitu hamburan balik VV jauh lebih rendah dibandingkan HH hampir sepanjang musim tanam padi, karena redaman gelombang oleh struktur vertikal tanaman. Metodologi ini dikembangkan untuk Delta Mekong, dimana pola tanam yang kompleks ditemukan (satu sampai tiga rotasi tanaman padi per tahun). Pendekatan yang digunakan meliputi analisis statistik dari rasio HH/VV pada distribusi kelas padi dan non-padi melalui tanggal akuisisi yang berbeda. Hasil analisis mengkonfirmasi bahwa rasio HH/VV dapat digunakan sebagai pengklasifikasi dan dapat mengindikasikan kebutuhan yang relevan untuk penyaringan spekel sebelum klasifikasi. Telaah lain oleh Wu et al. (2011) mencoba menganalisis data hamburan balik polarisasi quad SAR RADARSAT-2 pada tanaman padi. Analisis dilakukan dengan memanfaatkan data time series polarisasi quad yang mencakup siklus hidup padi pada tahun 2009. Hasil eksperimen menyimpulkan bahwa koefisien hamburan balik tanaman padi pada keempat polarisasi mempunyai korelasi yang baik dengan usia padi setelah transplantasi. Tetapi secara khusus, polarisasi linier HV atau VH menunjukkan hubungan terbaik terhadap usia padi setelah transplantasi. Selain itu, HV atau VH juga lebih cocok untuk ekstraksi parameter pertumbuhan padi, seperti tinggi dan biomassa padi. Namun demikian, korelasi antara koefisien hamburan balik dan parameter padi tidak terlalu tinggi. 2.4. Dekomposisi Cloude-Pottier Metode dekomposisi untuk memahami karakteristik fisik melalui refleksi objek telah mulai diperkenalkan dalam analisis radar polarimetrik penuh. Salah satu teknik terbaru dalam dekomposisi data polarisasi penuh adalah dengan

11 menggunakan analisis eigen untuk memperoleh atribut fisik. Salah satu algoritma dekomposisi yang digunakan secara luas adalah dekomposisi Cloude-Pottier (Cloude and Pottier, 1997) dari data polarimetrik penuh (berbentuk matriks kovarian atau koherensi). Melalui teori dekomposisi Cloude-Pottier, data polarimetrik penuh yang kompleks akan dikonversi menjadi tiga unit analisis yang lebih sederhana yaitu Entropy, Alpha angle dan Anisotropy. ;...(1) Entropy (H) memiliki kisaran nilai antara 0~1 yang menunjukkan tingkat keacakan obyek penghambur di permukaan bumi. dapat disebut sebagai intensitas relatif dari proses hamburan ke-i. Nilai H=0 mengindikasikan obyek yang tunggal dan khas. Di lain pihak, H=1 mengindikasikan proses hamburan balik yang acak secara penuh dan tidak ditemukan obyek yang dominan dalam cakupan suatu piksel pengamatan. Sehingga ketika suatu objek di permukaan bumi bersifat tunggal atau khas maka nilai entropi akan cenderung mendekati nol, begitu sebaliknya....(2) Parameter penting lainnya adalah Alpha Angle (2), yang menunjukkan jenis hamburan balik (atau jenis obyek) yang paling dominan dalam piksel yang diamati. Nilai bervariasi antara 0 dan 90 o. Nol derajat mengindikasikan oddbounce scattering (hamburan spekular) dari permukaan yang datar. Perwujudan even-bounce scattering (hamburan balik ganda) dapat diamati di sekitar =90 o, sedangkan =45 o mengindikasikan hamburan dipole yang umumnya ditemui pada vegetasi berkayu. Dengan demikian objek yang bersifat tunggal dalam cakupan piksel akan cenderung memiliki hamburan balik ganda, begitu sebaliknya. Analisis Entropy dan Alpha angle biasanya dikaji menggunakan suatu diagram pencar yang khusus. Untuk menyederhanakan interpretasi, ruang tampilan dibagi dalam sembilan wilayah. Jika ditemukan lebih dari satu obyek yang dominan (0 < H <1), maka satu parameter tambahan, yaitu Anisotropy, akan

12 digunakan untuk menambah kemampuan interpretasi obyek. Berikut ini merupakan diagram pencar Cloude-Pottier. Gambar 1. Segmentasi bidang entropy-alpha (Trisasongko, 2010) Semua mekanisme hamburan acak (random scattering) dapat diwakili dalam klasifikasi H- pada Gambar 1. Klasifikasi tersebut ditunjukkan dalam sembilan kelas karakteristik zona dasar dari perilaku hamburan balik yang terbagi dengan garis putus-putus. Batas-batas pembagi tersebut dipilih berdasarkan sifat umum dari mekanisme hamburan dan tidak tergantung pada satu set data tertentu. Berikut ini merupakan ringkasan singkat dari karakteristik hamburan fisik masing-masing zona (Cloude and Pottier, 1997): Zona 1. Dapat dilihat pada daerah H>0,9 masih dapat dibedakan mekanisme double bounce pada lingkungan high entropy (entropi tinggi). Mekanisme tersebut dapat diamati pada aplikasi kehutanan atau hamburan dari vegetasi yang memiliki cabang berkembang dengan baik dan struktur mahkota. Zona 2. High entropy volume scattering muncul ketika =45 dan H=0,95. Hamburan dari kanopi hutan terletak di zona ini, seperti halnya hamburan dari

13 beberapa jenis permukaan yang bervegetasi dengan elemen hamburan acak anisotropik yang tinggi. Zona 3. Zona ini bukan bagian dari daerah yang feasible (layak) dari klasifikasi zona H-. Tidak dapat dibedakannya hamburan permukaan dengan entropi H>0,9 merupakan penyebab sulitnya mengklasifikasikan jenis hamburan dengan peningkatan entropi. Zona 4. Meliputi hamburan dihedral dengan entropi sedang. Hal ini terjadi misalnya pada aplikasi kehutanan, di mana mekanisme double bounce terjadi pada P dan L-band setelah menyebar melalui kanopi. Pengaruh kanopi di sini untuk meningkatkan entropi dari proses hamburan. Proses penting lainnya dalam kategori ini adalah daerah perkotaan, yang menghasilkan entropi sedang dengan didominasi low order multiple scattering. Zona 5. Pada zona ini terdapat entropi sedang yang didominasi oleh mekanisme jenis hamburan dipol. Peningkatan entropi disebabkan oleh distribusi statistik dari pusat sudut orientasi. Zona 6. Mencerminkan peningkatan entropi akibat perubahan kekasaran permukaan dan akibat efek penyebaran kanopi. Zona 7. Zona ini sesuai dengan peristiwa low entropy double or even bounce scattering. Hal ini ditandai oleh >47,5. Zona 8. Pada Zona ini terjadi mekanisme yang berkorelasi kuat dengan besarnya ketidakseimbangan antara amplitudo HH dan VV. Sebuah hamburan dipol akan muncul dizona ini, seperti hamburan dari vegetasi yang berhubungan kuat dengan elemen hamburan anisotropik. Zona 9. Terjadi proses low entropy scattering dengan nilai <42,5. Bentuk Fisik permukaan seperti air (L dan P-band), laut es (L-band) serta permukaan tanah yang sangat halus, semua masuk dalam kategori ini.

14 Tabel 1. Interpretasi Zona Zona Deskripsi Contoh 1 High entropy multiple scattering Hutan 2 High entropy vegetation scattering Hutan 3 Non-feasible region 4 Medium entropy multiple scattering Permukiman 5 Medium entropy vegetation scattering Vegetasi rendah 6 Medium entropy vegetation scattering Vegetasi rendah 7 Low entropy multiple scattering Permukiman 8 Low entropy dipole scattering Vegetasi rendah 9 Low entropy surface scattering Air, Es, Wilayah terbuka Sumber: Trisasongko (2010) 2.5. Klasifikasi Pohon keputusan Metode Pohon Keputusan adalah teknik klasifikasi terbimbing yang dihasilkan dari data training dari konteks yang umum menuju cakupan yang spesifik atau khusus. Status awal dari suatu pohon keputusan adalah tangkai pohon yang menjadi pangkal bagi pemisahan (disimbolkan dalam cabang pohon) yang diturunkan dari data training (Apte dan Weiss, 1997). Pohon keputusan yang menggunakan pemisahan (split) peubah tunggal banyak diimplementasikan mengingat sifatnya yang mudah dipahami oleh pemakai karena kesederhanaan representasinya. Namun demikian, batasan-batasan yang diterapkan pada representasi aturan dan pohon tertentu dapat secara signifikan membatasi bentuk fungsional dari model. Kelebihan-kelebihan pohon keputusan antara lain adalah menyediakan hasil yang mudah divisualisasikan sehingga mudah dipahami pengguna, dibangun berdasarkan aturan yang dapat dimengerti dan dipahami, dan dapat dimanfaatkan untuk prediksi. Di samping itu, kekurangan dari pohon keputusan adalah model dapat menjadi sangat kompleks untuk tujuan yang sederhana pada suatu data tertentu (Kaneko et al., 1999). Penelitian pendahuluan oleh Panuju dan Trisasongko (2008) menunjukkan bahwa walaupun perbedaan kinerja algoritma pohon keputusan tidak selalu signifikan, kinerja algoritma pohon keputusan secara konsisten selalu lebih baik dibandingkan dengan algoritma klasik seperti algoritma kemungkinan maksimum.

15 Berbagai teknik pohon keputusan dapat ditemukan di literatur. Salah satu teknik yang belum banyak ditelaah adalah QUEST (Quick, Unbiased, Efficient Statistical Trees). QUEST merupakan algoritma split (pemisahan) biner untuk keperluan klasifikasi dan data mining. QUEST dapat digunakan dengan pemisahan univariate atau pemisahan kombinasi linear. Feature unik dari teknik ini adalah pemilihan seleksi atribut yang mempunyai penyimpangan yang tidak terlalu penting. Jika semua atribut tidak informatif berhubungan dengan atribut kelas, maka masing-masing atribut mempunyai perkiraan perubahan yang sama terpilih untuk split (pemisahan) suatu tangkai pohon (Loh and Shih, 1997). Model QUEST juga diketahui mampu mengurangi ukuran pohon, mengembangkan prediksi kelas, dan membangun visualisasi model yang lebih sederhana. Pengurangan ukuran pohon ini dapat terpenuhi melalui penggunaan model diskriminan. Hasil analisis pendahuluan juga menyatakan bahwa perolehan keputusan model ini juga lebih akurat untuk aplikasi penginderaan jauh optik (Panuju and Trisasongko, 2008). 2.6. Tingkat Keterpisahan (Transformed Divergence) Pengkajian keterpisahan kelas perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keakuratan suatu proses klasifikasi. Metode Transformed Divergence (D Urso dan Menenti, 1996) merupakan salah satu metode yang banyak digunakan. Berikut ini adalah persamaan Transformed Divergence:...(3) Dimana = parameter TD dan adalah parameter yang diperoleh dari persamaan:...(4) Parameter adalah nilai rataan vektor kelas ke-i sedangkan adalah nilai matriks koragam kelas ke-i, sedangkan tanda tr menotasikan fungsi teras (trace dalam aljabar matriks) dan T menunjukkan fungsi transposisi. Dari persamaan TD (3) di atas, dapat diketahui bahwa nilai TD berkisar antara 0

16 sampai dengan 2. Nilai maksimum diperoleh pada saat nilai sama dengan tak hingga. Dengan menganalogikan penjelasan pada ukuran keterpisahan JM sebagaimana disampaikan oleh D Urso dan Menenti (1996), nilai parameter TD untuk jumlah kelas dalam klasifikasi lebih dari 2, dapat ditentukan melalui persamaan berikut:...(5) dimana m adalah jumlah kelas. Dengan menggunakan persamaan tersebut, maka akan diperoleh selang nilai keterpisahan antara 0 hingga 2. Kelas yang dibangun disebut terpisah cukup baik jika nilai (5) mendekati 2 dan sebaliknya, antar kelas yang cenderung mirip dan tidak terpisah secara baik diindikasikan dengan nilai (5) mendekati nol (Panuju et al.2010).

17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar 2). Wilayah ini dipilih sebagai daerah penelitian karena merupakan salah satu wilayah sentra produksi padi di Indonesia dengan wilayah penanaman yang kontinu dan memiliki tingkat produksi yang tinggi. Kabupaten Subang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat setelah Indramayu dan Karawang, sekaligus merupakan penyumbang produksi padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Secara spesifik, penelitian ini dilakukan di Kantor Regional I Sukamandi PT Sang Hyang Seri, Subang, Jawa Barat, dengan luas lahan sawah Irigasi Teknis lebih dari 3.000 Ha. Wilayah kerja PT. Sang Hyang Seri (Persero) Regional Sukamandi terletak di Kecamatan Ciasem, Blanakan dan Patokbeusi, Kabupaten Subang. Lokasi blok penanaman padi berada pada ketinggian sekitar 15 mdpl dengan kemiringan lereng berkisar 0 3%. 107 40' 107 50' N W E 6 20' 6 30' 6 20' 6 30' S Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 106 107 108 6 40' 6 40' -7-6 -6-7 6000 0 6000 12000 Meter 50000 0 50000Meter 107 40' 107 50' 106 107 108 Gambar 2. Lokasi Penelitian

18 Pengolahan data dan analisis citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra ALOS PALSAR yang diakuisisi pada 25 Maret 2007 dan 30 Maret 2009. Sensor Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh oleh kondisi cuaca. Sensor PALSAR memiliki panjang gelombang 23.5 cm atau frekuensi 1.27 GHz dengan kemampuan multimoda dan observasi multipolarisasi (Zhang. et al, 2009). Data spasial tambahan yang dimanfaatkan adalah Peta Blok Lahan Sawah PT. Sang Hyang Seri, Peta Rupa Bumi Indonesia wilayah Jawa Barat skala 1:25.000 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Adapun peralatan yang digunakan adalah kamera digital, ArcView GIS 3.3, Envi 4.5, MapReady 2.3 beserta program tambahan Statistica 8, Microsoft Word 2007, dan Microsoft Excel 2007. 3.3. Metode Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap, yaitu 1) Persiapan, 2) Pengumpulan Data, 3) Survey Lapang, 4) Analisis dan Interpretasi Data. 3.3.1. Persiapan Pada tahapan ini dilakukan studi pustaka mengenai topik penelitian. Studi pustaka sangat penting untuk mempelajari sumber-sumber yang terkait atau mendukung pelaksanaan penelitian dan memahami metode yang telah berkembang dalam kaitannya dengan penelitian ini. Data penunjang yang dikumpulkan antara lain: buku teks, berbagai jurnal atau artikel ilmiah, dan prosiding seminar yang terkait dengan tujuan penelitian. 3.3.2. Pengumpulan Data Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk penelitian, diantaranya adalah Citra ALOS PALSAR, Peta Blok

19 Lahan Sawah PT. Sang Hyang Seri, serta Peta Rupa Bumi lokasi penelitian. Citra ALOS PALSAR diperoleh dari pihak Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) dalam rangka penelitian ALOS Pilot Project II. Selain itu, data tambahan diperoleh dari hasil survei lapang sebelumnya dan dari akses internet. 3.3.3. Survei Lapang Survei lapang meliputi pengamatan pada lahan sawah PT. Sang Hyang Seri Regional I Sukamandi pada tanggal 28 Juni 2011. Pengamatan dilakukan pada beberapa kondisi lahan sawah diantaranya adalah pengamatan fase bera, fase pembibitan, fase penggenangan untuk awal masa tanam padi, fase vegetatif, dan fase generatif. Berikut ini adalah beberapa gambar kondisi lapang yang telah diamati tahun 2011 dan tahun 2009. Awal masa tanam (2009) Fase vegetatif awal (2011) Fase vegetatif akhir (2011) Fase vegetatif akhir (2011) Padi yang tidak tumbuh Fase pematangan atau dengan baik (2011) menjelang panen (2009) Gambar 3. Beberapa kondisi pertumbuhan tanaman padi varietas Ciherang

20 3.3.4. Analisis dan Interpretasi Data Data PALSAR yang diperoleh dari JAXA direkam dalam format CEOS yang kemudian dikonversi menggunakan perangkat lunak MapReady 2.3. Perangkat lunak ini juga memungkinkan pengguna memperoleh data hasil dekomposisi polarimetrik Entropi-Alfa (Cloude and Pottier, 1996). Dalam proses tersebut, data polarimetrik penuh akan dikonversi menjadi tiga unit analisis yang lebih sederhana yaitu Entropi (H), Sudut Alfa ( ) dan Anisotropi (A). Setelah dilakukan koreksi geometrik dengan perangkat lunak ArcView GIS 3.3, selanjutnya data tersebut siap untuk diolah dengan menggunakan perangkat lunak Envi 4.5. Untuk memudahkan pengambilan contoh, citra komposit dibangun dari kombinasi citra VV, HV dan HH yang masing-masing dimasukkan dalam kanal merah, hijau dan biru secara berturut-turut. Proses pengambilan contoh data dilakukan dengan memilih minimum 75 pixel pada masing-masing umur tanaman padi pada blok sawah PT. Sang Hyang Seri. Terdapat 9 kelas atau kelompok umur tanaman padi (dalam satuan hari) pada citra PALSAR diakuisisi tahun 2007, yaitu: Umur 86-90, Umur 96-100, Umur 101-105, Umur 106-110, Umur 111-115, Umur 116-120, Umur 121-125, Umur 126-130, Umur 131-135. Sedangkan pada citra PALSAR yang diakuisisi tahun 2009 juga terdapat 9 kelas atau kelompok umur tanaman padi, yaitu: Umur 75-80, Umur 81-85, Umur 86-90, Umur 91-95, Umur 96-100, Umur 101-105, Umur 106-110, Umur 111-115, dan Umur 116-120. Tahap berikutnya adalah mengekstrak nilai dari setiap peubah (Entropi, Sudut Alfa dan Anisotropi) pada kelompok umur yang telah ditetapkan sebelumnya dalam sebuah tabel. Dengan menggunakan nilai median dan mean sebagai pewakil data yang paling representatif, tahapan selanjutnya adalah membangun diagram untuk mengetahui distribusi nilai dari masing-masing peubah. Analisis statistik pertama yang dimanfaatkan adalah analisis boxplot. Analisis boxplot memuat ringkasan sampel yang disajikan secara grafis yang menggambarkan bentuk distribusi data. Pola distribusi nilai masing-masing peubah inilah yang kemudian dapat diinterpretasikan untuk menjelaskan keterkaitan pola perubahannya terhadap variasi umur tanaman padi. Selanjutnya dilakukan analisis regresi pada distribusi nilai masing-masing peubah tersebut

21 dengan berbagai jenis permodelan. Masing-masing permodelan akan memiliki persamaan, nilai R 2, dan Standard Error (SE) yang berbeda. Ketiga hal inilah yang kemudian menjadi dasar dalam pemilihan permodelan yang sesuai dengan distribusi nilai pada setiap peubah. Model yang terbaik adalah persamaan yang menghasilkan nilai R 2 terbesar dan SE terkecil. Gambar 4 menyajikan Citra ALOS PALSAR setelah dilakukan penyusunan berdasarkan band VV, HV dan HH. (a) (b) Gambar 4. Citra PALSAR yang diakuisisi tahun 2007 (a) dan 2009 (b). Citra JAXA dan METI Klasifikasi kelompok umur tanaman padi merupakan salah satu teknik pembangunan data spasial yang dapat dikaji dengan menggunakan metode klasifikasi numerik. Dalam penelitian ini, digunakan algoritma klasifikasi terbimbing decision tree (pohon keputusan) dengan pendekatan Quick, Unbiased, Efficient Statistical Trees (QUEST; Loh and Shih, 1997) yang diolah dengan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5 dengan toolbox tambahan. Telaah dengan menggunakan pendekatan algoritma ini telah digunakan sebelumnya antara lain oleh Kim and Loh (2001), Panuju dan Trisasongko (2008) dan Syafril

22 et al. (2009). Selanjutnya hasil pengolahan pohon keputusan berupa citra hasil klasifikasi diuji dengan menghitung nilai akurasi. Nilai ini dihitung dengan memanfaatkan analisis matriks akurasi pada data testing (penguji). Selain itu, untuk menunjang hasil analisis, dilakukan perhitungan koefisien Kappa (indeks kesalahan). Berikut ini adalah gambar lokasi pengambilan contoh umur tanaman pada masing-masing citra. (a) (b) Gambar 5. Citra PALSAR 2009, Citra JAXA dan METI; Lokasi blok lahan sawah PT Sang Hyang Seri (a) dan lokasi pengambilan contoh umur tanaman padi varietas Ciherang (b) (a) (b) Gambar 6. Citra PALSAR 2007, Citra JAXA dan METI; Lokasi blok lahan sawah PT Sang Hyang Seri (a) dan lokasi pengambilan contoh umur tanaman padi varietas Ciherang (b)

23 Pengumpulan Data dan Eksplorasi Perangkat Lunak Data Raw Citra PALSAR Peta Rupa Bumi Jawa Barat Citra PALSAR Geocoded dan Terkoreksi Filtering Citra (Lee Filter) Blok Lahan Sawah dan Survei lapang Pengambilan Contoh Data dan Analisis Dekomposisi Cloude-Pottier Analisis Statistik Deskriptif (boxplot) Analisis Regresi Analisis Akurasi Klasifikasi Pohon Keputusan (Decision Tree) Algoritma QUEST Gambar 7. Diagram Alir Penelitian

24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Respon Polarimetri pada Tanaman Padi Varietas Ciherang 4.1.1. Analisis Data Eksploratif Hasil penerapan teori dekomposisi Cloude Pottier pada penelitian ini terwakili oleh Entropi dan Sudut Alfa. Gambar 8, 9, 10, dan 11 menunjukkan pola penyebaran nilai Entropi dan Sudut Alfa terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang. Nilai dari masing-masing peubah yang disajikan dalam gambar tersebut merupakan nilai tengah (median) dan rataan (mean) dari seluruh data training (masing-masing 75 piksel), dengan pengelompokan umur padi dalam rentang 5 hari. Pengelompokan umur tanaman padi ini bertujuan untuk memperjelas pola penyebaran masing-masing parameter, sehingga interpretasi data jauh lebih mudah. 0,8 0,7 0,6 Entropi 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 76-80 81-85 86-90 91-95 96-100 106-110 115-120 126-130 101-105 111-115 121-125 131-135 Umur 2007 Outliers Extremes 2009 Outliers Extremes Gambar 8. Boxplot nilai Entropi (median) terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang

25 0,8 0,7 0,6 Entropi 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 76-80 81-85 86-90 91-95 96-100 106-110 115-120 126-130 101-105 111-115 121-125 131-135 Umur 2007 Outliers Extremes 2009 Outliers Extremes Gambar 9. Boxplot nilai Entropi (mean) terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang Pada citra PALSAR 2007, peningkatan umur tanaman terlihat sejalan dengan peningkatan nilai Entropinya. Tanaman Padi dengan umur 86-90 hari setelah tanam (HST) memiliki nilai Entropi terendah, yaitu sekitar 0,4 hingga 0,5. Pada umur ini, tanaman padi masih berada pada fase vegetatif (mendekati masa generatif) dengan kondisi relatif seragam (homogen). Fase ini dicirikan oleh dominansi bagian tubuh tanaman vegetatif (batang dan daun). Hal ini menyebabkan proses hamburan tunggal mendominasi pada kisaran umur tersebut. Ketika pertumbuhan tanaman memasuki fase generatif, kondisi tanaman cenderung tidak seragam (heterogen) karena mulai terdapat malai, bulir-bulir padi serta ditandai oleh daun-daun yang telah mengering dan cenderung merunduk. Pada kondisi ini, tanaman padi memiliki nilai Entropi lebih tinggi yang mengidentifikasikan adanya dominasi proses hamburan balik yang acak. Dengan demikian, obyek (scatterer) yang dominan dalam proses hamburan balik dalam cakupan piksel hanya ditemukan dalam jumlah kecil (minor). Pada citra PALSAR 2009, nilai Entropi yang ditemukan lebih rendah dibandingkan pada citra PALSAR 2007. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya deviasi pada citra PALSAR 2009 yang disebabkan oleh tidak

26 terkuantifikasikannya rotasi Faraday. Ketika terjadi interaksi ionosfer dengan gelombang elektromagnetik, rotasi Faraday menyebabkan distorsi dalam data PALSAR. Menurut Meyer and Nicoll (2007), dalam SAR L-band, pengaruh ionosfer pada kualitas gambar radiometrik, geometrik dan polarimetrik menjadi perhatian utama. Efek ionosfer pada L-band jauh melampai efek ionosfer pada C- band, sehingga pengaruhnya lebih signifikan dalam gambar PALSAR. Oleh karena itu, estimasi dan koreksi efek Faraday diperlukan untuk menjamin kualitas dan konsistensi data yang tinggi. Potensi penyebab lainnya adalah serangan hama. Pada umur sekitar 90 hari, pertumbuhan tanaman padi mulai memasuki fase generatif. Ketika tanaman memasuki fase generatif, penggenangan sawah mulai dikurangi sehingga kondisi lahan pesawahan sedikit kering. Survei lapangan menunjukkan bahwa hal ini menyebabkan terjadinya serangan tikus yang meluas dan seragam, sehingga menyebabkan kenampakan yang relatif seragam. Kenampakan ini dapat menyebabkan nilai Entropi cenderung rendah. Wilayah yang terkena dampak umumnya langsung disulam oleh petani/penggarap sehingga pada keragaman kembali meningkat dengan waktu. Kondisi ini terefleksikan oleh peningkatan kembali nilai Entropi. Serupa dengan yang ditemukan pada parameter Entropi, pola penyebaran nilai Sudut Alfa baik pada data median maupun mean terlihat relatif sama (Gambar 10 dan 11). Terdapat kesesuaian antara pola penyebaran nilai Sudut Alfa dengan pola penyebaran nilai Entropi, yaitu menginjak umur 91-95 hari, terjadi perubahan nilai Sudut Alfa.

27 70 65 60 55 Sudut Alfa 50 45 40 35 30 76-80 81-85 86-90 91-95 96-100 106-110 115-120 126-130 101-105 111-115 121-125 131-135 Umur 2007 Outliers Extremes 2009 Outliers Extremes Gambar 10. Boxplot nilai Sudut Alfa (median) terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang 70 65 60 Sudut Alfa 55 50 45 40 35 30 76-80 81-85 86-90 91-95 96-100 106-110 115-120 126-130 101-105 111-115 121-125 131-135 Umur 2007 Outliers Extremes 2009 Outliers Extremes Gambar 11. Boxplot nilai Sudut Alfa (mean) terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang Pada citra PALSAR 2007, peningkatan umur tanaman padi (mulai kelompok umur 86-90 HST) berbanding terbalik dengan nilai Sudut Alfa. Dengan umur padi yang bertambah, nilai Sudut Alfa cenderung semakin menurun.

28 Tanaman dengan umur 86-90 HST memiliki nilai Sudut Alfa sekitar 50, atau masih berada dalam kisaran jenis hamburan Volume Scattering (45 ). Hal ini dapat dipahami mengingat penanaman padi pada seluruh blok memiliki jarak tanam yang relatif dekat sehingga rumpun padi pada akhir fase vegetatif akan memiliki densitas yang tinggi. Dengan densitas padi yang tinggi tersebut, dapat terindikasikan bahwa sinyal L-band tidak mampu menembus hingga permukaan tanah. Penurunan nilai Sudut Alfa erat kaitannya dengan kondisi tanaman padi. Padi yang telah menua (memasuki fase generatif) akan memiliki bagian non vegetatif (malai, bulir-bulir padi dan lain-lain) sehingga menyebabkan rumpun padi semakin rapat dengan komposisi yang beragam (Gambar 12). Hal ini mengakibatkan hamburan balik cenderung memiliki pola mendekati Odd Bounce atau spekular walaupun masih tetap berada pada lingkup Volume Scattering. Sebaliknya, jika densitas tanaman padi rendah, maka hamburan balik akan cenderung ke pola hamburan balik Even Bounce. (a) (b) Gambar 12. Sketsa tanaman padi pada fase vegetatif akhir (a) dan generatif (b) Fenomena ini cukup jelas terlihat pada citra PALSAR tahun 2009. Ketika tanaman mengalami serangan hama (terutama tikus seperti terindikasi di lapangan), kondisi rumpun tanaman menjadi jarang (densitas rendah) sehingga nilai Sudut Alfa cenderung meningkat mendekati Even Bounce dengan batang sebagai unsur penghambur utama. Data yang tidak simetris (median tidak berada di tengah box dan salah satu whisker lebih panjang dari yang lain) dan adanya outliers (pencilan) pada beberapa data dapat disebabkan adanya perbedaan kondisi tanaman yang sangat menyolok pada blok penanaman padi sebagai akibat dari penyulaman tanaman. Walaupun dalam satu blok pengamatan memiliki umur

29 tanaman yang sama, di lapangan banyak ditemukan perbedaan kondisi tanaman padi dalam satu blok. Gambar 13. Kondisi tanaman padi varietas Ciherang yang terserang tikus (diambil tahun 2009) Panjang box (kotak) bersesuaian dengan IQR (jangkauan antar kuartil dalam) yang merupakan selisih antara kuartil ketiga (Q3) dengan kuartil pertama (Q1). IQR menggambarkan ukuran penyebaran atau keragaman data. Semakin panjang bidang IQR atau box, menunjukkan bahwa data semakin menyebar. Dalam hal ini, box yang panjang menunjukkan bahwa nilai Entropi atau Sudut Alfa pada citra memiliki variasi yang besar dibandingkan dengan box yang pendek. Berdasarkan hasil penelitian ini, citra PALSAR 2009 memiliki nilai Entropi dan Sudut Alfa yang lebih beragam dibandingkan citra PALSAR 2007. Salah satunya dapat dilihat pada kelompok umur 115-120 HST pada citra PALSAR 2009, dimana bentuk boxplot hanya berupa nilai median. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok umur tersebut nilai Entropi atau Sudut Alfa relatif seragam akibat kondisi tanaman yang homogen. Sedangkan letak nilai median dan panjang whisker (garis perpanjangan dari box) menggambarkan tingkat kesimetrisan data. Banyak data yang tidak simetris (median tidak berada di tengah box dan salah satu whisker lebih panjang dari yang lain) baik nilai Entropi maupun nilai Sudut Alfa. Selain itu, terlihat adanya outliers (pencilan) pada beberapa data dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi tanaman yang sangat menyolok pada blok penanaman padi sebagai akibat dari penyulaman tanaman.

30 Meskipun Sudut Alfa ditemukan berguna untuk menjelaskan jenis hamburan, parameter ini tampaknya kurang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap interpretasi data. Gambar 14 menunjukkan persebaran nilai Entropi-Sudut Alfa pada diagram pencar Cloude-Pottier. Pada citra PALSAR 2009, hamburan balik lebih menyebar jika dibandingkan pada citra PALSAR 2007 yaitu berada pada zona 4, 5, 7, dan 8. Walaupun nilai Entropi terus meningkat seiring peningkatan umur tanaman padi, nilai Sudut Alfa cenderung mengelompok di zona 7, yang merupakan zona low entropy multiple scattering, yaitu zona yang mencirikan cukup besarnya pengaruh hamburan balik double bounce. Selain itu, hamburan balik lainnya berada di zona 4 dan 8, yaitu zona medium entropy multiple scattering dan zona low dipole scattering (mengindikasikan wilayah dengan vegetasi rendah atau tidak berkayu). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman padi tidak tumbuh dengan baik. Sedangkan zona 9 merupakan zona low entropy surface scattering (mengindikasikan wilayah yang cenderung terbuka). Walaupun memiliki pola penyebaran yang berbeda, pola penyebaran citra PALSAR 2007 dan citra PALSAR 2009 masih berada dalam kisaran jenis hamburan Volume Scattering (45 ). Wilayah ini mengindikasikan hamburan dipole yang umumnya didominasi oleh vegetasi (umumnya adalah vegetasi berkayu). (a) (b) Gambar 14. Diagram Pencar Cloude-Pottier citra PALSAR 2009 (a) dan 2007 (b) Pada citra 2007, peningkatan umur tanaman padi, cenderung disertai dengan peningkatan nilai Entropinya. Pada umur 86-90 HST, nilai Entropi yang dimiliki sebesar 0,4925. Kemudian terus meningkat hingga umur 131-135 HST, yaitu sebesar 0,6536. Hal ini menunjukkan bahwa pada umur lebih muda atau

31 tanaman padi masih berada pada fase vegetatif memiliki kondisi relatif homogen sehingga nilai Entropi akan cenderung kecil atau lebih rendah. Sedangkan pada umur yang lebih tua (memasuki fase generatif), kondisi tanaman cenderung heterogen karena mulai terdapat malai, bulir-bulir padi serta ditandai oleh daundaun yang telah mengering dan cenderung merunduk sehingga tanaman padi memiliki nilai Entropi lebih tinggi yang mengidentifikasikan adanya dominasi proses hamburan balik yang acak. Sedangkan pada citra PALSAR 2009, pertambahan umur tidak selalu diikuti oleh peningkatan nilai Entropinya. Serangan tikus yang meluas menyebabkan kondisi tanaman menjadi relatif seragam sehingga nilai Entropi cenderung menurun (hamburan tunggal). Walaupun sumbangannya kurang signifikan, Sudut Alfa masih dapat dimanfaatkan untuk membedakan tanaman padi sawah yang sehat dan rusak. Tanaman padi yang tumbuh dengan baik akan berada pada zona medium entropy vegetation scattering, yaitu zona 5 dan 6. Sedangkan nilai Sudut Alfa yang berada pada zona 4 menunjukkan tanaman padi sawah yang mengalami gangguan hama atau penyakit. Kondisi densitas yang tinggi pada padi yang telah menua (fase generatif) akan memiliki hamburan balik yang cenderung mendekati Odd Bounce. Sebaliknya, hamburan balik akan cenderung ke pola Even Bounce jika tanaman padi memiliki densitas yang lebih rendah. 4.1.2. Keterkaitan Umur Tanaman dengan Entropi dan Sudut Alfa Untuk mengestimasi pola keterkaitan antara umur tanaman padi (Ciherang) terhadap entropi dan sudut alfa, dilakukan permodelan dengan persamaan Linier, Kuadratik dan Jenuh. Masing-masing komponen diwakili oleh nilai rataan (mean) dan nilai tengah (median). Pengujian beberapa permodelan ini bertujuan untuk mengetahui jenis permodelan yang memiliki pola terbaik sehingga dapat dimanfaatkan untuk melakukan prediksi. Tabel 2 dan 3 menyajikan hasil permodelan yang dilakukan pada citra PALSAR 2009 dan 2007 dalam bentuk persamaan kurva Y yang dilengkapi dengan nilai R 2 dan Standard Error. Berdasarkan hasil permodelan, persamaan Kuadratik pada peubah Entropi dan Sudut Alfa menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan permodelan dengan persamaan Linier dan Jenuh. Analisis pada

32 citra tahun 2009 dan 2007, baik dengan menggunakan rataan maupun nilai tengah, menunjukkan nilai R 2 yang tinggi dengan nilai Standard Error yang rendah. Tabel 2. Permodelan pada parameter Entropi Model Persamaan R 2 S Linier Mean 2009 Y= -0,11141 + 0,00583x 0,8693 0,1285 2007 Y= 0,21751 + 0,0033x 0,9103 0,0623 Median 2009 Y= -0,15175 + 0,00634x 0,8802 0,1324 2007 Y= 0,23548 + 0,00316x 0,9116 0,0593 Kuadratik Mean 2009 Y= 2,00292 + -0,03807x + 0,00022x 2 0,9480 0,0827 2007 Y= -0,44352 + 0,015397x + -0,00005x 2 0,9328 0,0543 Median 2009 Y= 1,76907 + -0,03355x + 0,0002x 2 0,9366 0,0977 2007 Y= -0,38087 + 0,01444x + -0,00005x 2 0,9329 0,0519 Jenuh Mean 2009 Y= 8,11503exp(-4,22091 + 0,01420x)/(1+exp(-4,22091 + 0,01420x)) 0,8933 0,1168 2007 Y= 0,6667exp(-3,33582 + 0,04923x)/(1+exp(-3,33582 + 0,04923x)) 0,9351 0,0534 Median 2009 Y= 8,32150exp(-4,30677 + 0,01501x)/(1+exp(-4,30677 + 0,01501x)) 0,9011 0,1210 2007 Y= 0,66569exp(-3,26792 + 0,04911x)/(1+exp(-3,26792 + 0,04911x)) 0,9358 0,0508 Tabel 3. Permodelan pada parameter Sudut Alfa Model Persamaan R 2 S Linier Mean 2009 Y= 39,36302 + 0,11332x 0,3203 12,9790 2007 Y= 68,95308 + -0,21984x 0,7842 7,2179 Median 2009 Y= 38,07558 + 0,12754x 0,3547 13,0203 2007 Y= 67,06362 + -0,19915x 0,7026 8,3696 Kuadratik Mean 2009 Y= -208,630 + 5,264x + -0,026x 2 0,9004 5,9605 2007 Y= 126,1106 + -1,2655x + 0,0047x 2 0,8166 6,7142 Median 2009 Y= -213,415 + 5,351x + -0,027x 2 0.9114 5,7294 2007 Y= 122,8174 + -1,2191x + 0,0046x 2 0,7362 7,9607 Jenuh Mean 2009 Y= 52,4703exp(-12,1316 + 0,1743x)/(1+exp(-12,1316 + 0,1743x)) 0,6755 10,1021 2007 Y= 361,7357exp(-1,3307 + -0,0057x)/(1+exp(-1,3307 + -0,0057x)) 0,7905 7,1249 Median 2009 Y= 52,7101exp(-12,1122 + 0,1732x)/(1+exp(-12,1122 + 0,1732x)) 0,7042 9,8872 2007 Y= 351,1551exp(-1,3479 + -0,0052x)/(1+exp(-1,3479 + -0,0052x)) 0,7081 8,3058 Walaupun nilai R 2 dan Standard Error pada masing-masing citra berbeda antara nilai tengah dan rataan, perbedaan nilai tersebut sangat kecil. Hal ini terlihat pada kurva persamaan Y (Gambar 15) yang terbentuk dari permodelan

33 Kuadratik dimana hasilnya relatif sama antara nilai tengah dan rataan baik pada citra PALSAR 2009 maupun citra PALSAR 2007. 0,70 Mean 0,70 Mean 0,65 0,65 0,60 0,60 0,55 0,55 Entropi 0,50 0,45 Entropi 0,50 0,45 0,40 0,40 0,35 0,35 0,30 75 80 85 90 95 100 105 110 115 120 Umur y=(2,00292)+(-0,03808)*x+(0,224e-3)*x^2 R 2 =0,948 (a) 0,30 85 90 95 100 105 110 115 120 125 130 135 Umur y=(-0,44352)+(0,015397)*x+(-0,54e-4)*x^2 R 2 =0,932 (b) 0,70 Median 0,70 Median 0,65 0,65 0,60 0,60 0,55 0,55 Entropi 0,50 0,45 Entropi 0,50 0,45 0,40 0,40 0,35 0,35 0,30 75 80 85 90 95 100 105 110 115 120 Umur y=(1,76908)+(-0,03355)*x+(0,204e-3)*x^2 R 2 =0,936 0,30 85 90 95 100 105 110 115 120 125 130 135 Umur y=(-0,38087)+(0,014443)*x+(-0,51e-4)*x^2 R 2 =0,932 (c) (d) Gambar 15. Permodelan kuadratik nilai Entropi terhadap umur tanaman padi varietas Ciherang pada Citra PALSAR 2009 (a dan c) dan 2007 (b dan d) Pada citra 2009, permodelan Kuadratik pada Entropi menunjukkan kurva Y mengalami penurunan hingga titik terendahnya pada umur 85 hingga 90 hari setelah tanam (HST) dan kemudian meningkat kembali seiring bertambahnya umur tanaman padi. Perbedaan cembung-cekungnya model pada penelitian ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang belum dapat diketahui pasti dari penelitian ini, diantaranya adalah ketiadaan contoh pada umur yang lebih muda pada tahun 2007. Pada citra 2007, kurva hasil permodelan cenderung langsung mengalami peningkatan seiring bertambahnya umur tanaman padi. Menjelang panen, gradien peningkatan nilai entropi semakin lama semakin mengecil. Pada gambar tersebut juga terdapat indikasi bahwa Entropi cenderung jenuh (saturated) pada umur lebih

34 dari 110. Kecenderungan ini disebabkan oleh kondisi rumpun tanaman padi yang relatif tidak berubah karena telah memasuki fase pematangan atau menjelang panen. Tidak ada penambahan jumlah bulir padi dan densitas tanaman tidak berubah secara signifikan. Hal ini patut menjadi perhatian bagi upaya telaah yang terkait dengan fase pertumbuhan seperti estimasi biomasa tanaman. Nilai Entropi cenderung jenuh menunjukkan kondisi rumpun tanaman padi yang relatif tidak berubah memiliki korelasi dengan biomasa tanaman. 60 Mean 60 Mean 55 55 Sudut Alfa 50 45 Sudut Alfa 50 45 40 40 35 75 80 85 90 95 100 105 110 115 120 35 85 90 95 100 105 110 115 120 125 130 135 Umur Umur y=(-208,63)+(5,26379)*x+(-0,02628)*x^2 R 2 =0,9 y=(126,111)+(-1,2655)*x+(0,004707)*x^2 R 2 =0,816 (a) (b) 60 Median 60 Median 55 55 Sudut Alfa 50 45 Sudut Alfa 50 45 40 40 35 75 80 85 90 95 100 105 110 115 120 35 85 90 95 100 105 110 115 120 125 130 135 Umur Umur y=(-213,41)+(5,35063)*x+(-0,02665)*x^2 R 2 =0,911 y=(122,817)+(-1,2191)*x+(0,004592)*x^2 R 2 =0,736 (c) (d) Gambar 16. Hasil permodelan Kuadratik nilai Sudut Alfa terhadap Umur tanaman padi varietas Ciherang pada Citra PALSAR 2009 (a dan c) serta 2007 (b dan d) Hasil permodelan pada kedua citra ini dapat menjadi salah satu indikator untuk mengindikasikan pertumbuhan tanaman padi varietas Ciherang yang telah dewasa. Persamaan kurva Y mampu memberikan informasi mengenai umur tanaman padi yang mengindikasikan fase pertumbuhan dan kondisinya.

35 4.2. Klasifikasi Fase Tumbuh Tanaman 4.2.1. Proses Klasifikasi Pada penelitian ini, analisis keterpisahan kelas umur tanaman padi varietas Ciherang dilakukan dengan menggunakan metode Transformed Divergence (D Urso and Menenti, 1996). Nilai Transformed Divergence (TD) berkisar antara 0 sampai dengan 2 yang menunjukkan keterpisahan data. Tabel 4 dan 5 menyajikan analisis TD pada dua citra yang digunakan. Tabel 4. Nilai Transformed Divergence (TD) menggunakan data training pada citra PALSAR 2009 Kelas Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur 75-80 81-85 86-90 91-95 96-100 101-105 106-110 111-115 116-120 Umur 75-80 - 0,743 1,566 1,993 1,903 1,998 1,998 1,999 1,951 Umur 81-85 0,743-0,778 1,875 1,528 1,993 1,957 1,988 1,906 Umur 86-90 1,566 0,778-1,977 1,854 1,998 1,983 1,982 1,910 Umur 91-95 1,993 1,875 1,977-1,444 1,673 1,634 2,000 2,000 Umur 96-100 1,903 1,528 1,854 1,444-1,876 1,033 1,993 1,994 Umur 101-105 1,998 1,993 1,998 1,673 1,876-1,957 2,000 1,999 Umur 106-110 1,998 1,957 1,983 1,634 1,033 1,957-1,836 1,988 Umur 111-115 1,999 1,988 1,982 2,000 1,993 2,000 1,836-1,295 Umur 116-120 1,951 1,906 1,910 2,000 1,994 1,999 1,988 1,295 - Tabel 5. Nilai Transformed Divergence (TD) menggunakan data training pada citra PALSAR 2007 Kelas Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur 86-90 96-100 101-105 106-110 111-115 116-120 121-125 126-130 131-135 Umur 86-90 - 0,685 1,699 2,000 1,491 1,741 1,772 2,000 1,991 Umur 96-100 0,685-1,312 1,992 1,296 1,715 1,467 1,995 1,939 Umur 101-105 1,699 1,312-1,778 0,447 0,874 0,299 1,834 1,293 Umur 106-110 2,000 1,992 1,778-1,560 1,866 1,684 1,587 1,336 Umur 111-115 1,491 1,296 0,447 1,560-0,549 0,500 1,734 1,239 Umur 116-120 1,741 1,715 0,874 1,866 1,549-1,341 1,945 1,766 Umur 121-125 1,772 1,467 0,299 1,684 0,500 1,341-1,764 1,027 Umur 126-130 2,000 1,995 1,834 1,587 1,734 1,945 1,764-0,716 Umur 131-135 1,991 1,939 1,293 1,336 1,239 1,766 1,027 0,716 - Dari hasil analisis TD pada kedua citra, kelas umur tanaman padi pada citra PALSAR 2009 (Tabel 4) yang mendekati nilai 2 relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan nilai TD pada citra PALSAR 2007 (Tabel 5). Hal ini

36 menunjukkan bahwa keterpisahan data kelas umur tanaman padi pada blok pengamatan pada citra PALSAR 2009 lebih baik dibandingkan dengan citra PALSAR 2007. Untuk memperoleh peta tematik umur padi, perlu adanya klasifikasi numerik; pada penelitian ini digunakan klasifikasi Decision Trees (Pohon Keputusan) dengan algoritma Quick, Unbiased, Efficient Statistical Trees (QUEST; Loh and Shih, 1997). Gambar 17 menyajikan hasil klasifikasi pohon keputusan. Terlihat pada Gambar 17, pohon keputusan yang dibangun oleh algoritma QUEST sangat kompleks. Algoritma tersebut menggunakan Sudut Alfa (kode band 5) sebagai komponen pusat pohon keputusan pada citra PALSAR 2009 yang kemudian membentuk dua komponen cabang, yaitu band 6 (Anisotropi) dan band 4 (Entropi). Berdasarkan Gambar 17, terlihat Entropi lebih banyak berperan dalam klasifikasi umur tanaman padi dibandingkan Anisotropi dan Sudut Alfa. Hal ini sesuai dengan Gambar 8, 9 dan 15 yang menunjukkan nilai Entropi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam membedakan kelompok umur tanaman padi (Ciherang). Walaupun analisis komponen Cloude-Pottier tidak menunjukkan pentingnya Anisotropi, algoritma QUEST ternyata menggunakannya untuk pemisahan antar kelas fase pertumbuhan padi. Hal ini mengindikasikan bahwa standar interpretasi diagram Cloude-Pottier yang umum digunakan saat ini perlu dipertajam dengan mengintegrasikan Anisotropi secara simultan. Hasil analisis QUEST pada citra tahun 2007 disajikan pada gambar 18.. Jika kedua pohon keputusan citra PALSAR 2009 (Gambar 17) dan 2007 (Gambar 18) dibandingkan, pohon keputusan citra PALSAR 2007 jauh lebih sederhana. Hal ini disebabkan kondisi lapang tanaman padi pada tahun 2007 lebih baik (lebih homogen) daripada tahun 2009 yang terindikasi mendapat serangan tikus yang meluas sehingga pemisahan kelas umur tanaman padi cenderung lebih rumit. Algoritma QUEST pada citra 2007 menggunakan band 4 (Entropi) sebagai komponen pusat untuk pemisahan awal dan pembeda umur tanaman padi menjadi dua komponen cabang.

Gambar 17. Pohon Keputusan berdasarkan Algoritma QUEST pada citra PALSAR 2009

Gambar 18. Pohon Keputusan berdasarkan Algoritma QUEST pada citra PALSAR 2007

39 Hal ini menegaskan diskusi terdahulu bahwa Entropi memiliki peran utama dalam membedakan umur tanaman padi. Semakin tua umur tanaman, nilai Entropi yang dimiliki semakin tinggi. Walaupun band 6 (Anisotropi) digunakan dalam pemisahan kelas, pohon keputusan menunjukkan bahwa Anisotropi memiliki peranan yang cukup lemah. Terlihat pada Gambar 18, komponen Entropi dan Sudut Alfa tetap dominan dalam membedakan kelas umur dibandingkan Anisotropi. Pohon keputusan yang dibangun oleh algoritma QUEST ini selanjutkan dapat diimplementasikan untuk citra PALSAR. Citra PALSAR wilayah blok penanaman padi PT. Sang Hyang Seri (persero) disajikan pada Gambar 19(a) dan 19(b), sedangkan hasil klasifikasi dengan menggunakan algoritma QUEST disajikan pada Gambar 20(a) dan 20(b). (a) (b) Gambar 19. Citra ALOS PALSAR 2009, Citra JAXA dan METI (a) dan Hasil Klasifikasi Pohon Keputusan Algoritma QUEST Citra ALOS PALSAR Blok Penanaman Padi PT. Sang Hyang Seri, Sukamandi 2009 (b)

40 (a) (b) Gambar 20. Citra ALOS PALSAR 2007, Citra JAXA dan METI (a) dan Hasil Klasifikasi Pohon Keputusan Algoritma QUEST Citra ALOS PALSAR Blok Penanaman Padi PT. Sang Hyang Seri, Sukamandi 2007 (b) Hasil klasifikasi algoritma QUEST pada kedua citra terlihat sangat berbeda, dimana citra PALSAR 2007 lebih rumit dibanding citra PALSAR 2009. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya data pembangun yang digunakan. Semakin rumit struktur pohon keputusan maka semakin rendah bias atau kesalahan yang dihasilkan. Struktur pohon keputusan citra PALSAR 2007 (Gambar 18) jauh lebih sederhana dibandingkan citra PALSAR 2009 (Gambar 17). Hal ini dapat menjadi salah satu faktor hasil klasifikasi pada citra PALSAR 2007 lebih bias sehingga klasifikasi kelas umur tanaman padi menjadi menyebar. Berdasarkan hasil klasifikasi yang telah dilakukan, luas areal masingmasing kelompok umur tanaman pada pada kedua citra dapat diketahui. Tabel 6 menunjukkan hasil perhitungan luas areal pada citra PALSAR 2009 dan 2007.

41 Tabel 6. Luas Hasil Klasifikasi citra PALSAR 2009 dan 2007 2009 2007 Kelas (HST) Luas (Ha) Kelas (HST) Luas (Ha) 75-80 HST 510,30 86-90 HST 505,92 81-85 HST 459,86 96-100 HST 324,23 86-90 HST 744,32 101-105 HST 483,84 91-95 HST 54,31 106-110 HST 1079,25 96-100 HST 146,97 111-115 HST 111,71 101-105 HST 67,73 116-120 HST 452,71 106-110 HST 222,53 121-125 HST 386,69 111-115 HST 1162,98 126-130 HST 579,20 116-120 HST 736,75 131-135 HST 185,61 Total 4105,75 Total 4109,15 4.2.2. Akurasi Untuk mengukur hasil secara kuantitatif, maka diperlukan analisis akurasi. Prosedur sederhana yang umum diterapkan dalam analisis penginderaan jauh adalah dengan memanfaatkan bahan evaluasi yang sering disebut sebagai data uji (testing). Tingkat akurasi dianalisis dengan menggunakan confusion matrix yang menggambarkan jumlah persen piksel dari masing-masing kelas pada suatu kelompok atau cluster. Hasil analisis akurasi menggunakan algoritma QUEST disajikan dalam Tabel 7 dan 8. Tabel 7. Akurasi Klasifikasi Algoritma QUEST Citra PALSAR 2009 Data Training Data Testing (%) Kelas Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur 75-80 81-85 86-90 91-95 96-100 101-105 106-110 111-115 116-120 Umur 75-80 49.33 44.00 16.00 - - - - - - Umur 81-85 42.67 22.67 6.67 - - 1.33 1.33 2.67 - Umur 86-90 - 33.33 54.67 36.00 2.67 6.67 1.33 2.67 1.33 Umur 91-95 - - - - 2.67 - - - - Umur 96-100 - - - 6.67 34.67 8.00-5.33 5.33 Umur 101-105 - - - - - - - - - Umur 106-110 - - - - 60.00 32.00 38.67 13.33 14.67 Umur 111-115 - - 4.00 45.33-25.33 34.67 45.33 26.67 Umur 116-120 - - 10.67 12.00-26.67 24.00 30.67 52.00 Akurasi total=33,04%; Koefisian Kappa=0,25

42 Tabel 8. Akurasi Klasifikasi Algoritma QUEST Citra PALSAR 2007 Data Training Data Testing (%) Kelas Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur Umur 86-90 96-100 101-105 106-110 111-115 116-120 121-125 126-130 131-135 Umur 86-90 50.67 2.67-1.33 21.33 6.67 1.33 - - Umur 96-100 20.00 5.33 - - 10.67 4.00 1.33 1.33 - Umur 101-105 26.67 14.67-1.33 6.67-4.00 34.67 16.00 Umur 106-110 - 24.00-72.00-62.67 40.00 14.67 26.67 Umur 111-115 - 13.33-1.33 - - 4.00 4.00 - Umur 116-120 1.33 24.00 100.00 2.67 57.33 25.33 1.33 12.00 - Umur 121-125 - 14.67-12.00 4.00 1.33 24.00 26.67 - Umur 126-130 1.33 1.33-9.33 - - 12.00 2.67 37.33 Umur 131-135 - - - - - - 12.00 4.00 20.00 Akurasi total=22,22%; Koefisian Kappa=0,125. Tabel 7 dan 8 menunjukkan secara lebih detil ukuran kuantitatif dari kenampakan visual yang disajikan pada Gambar 19(b) dan 20(b). Pada Tabel 6, kelompok umur 86-90 HST menunjukkan akurasi yang paling tinggi yaitu 54,67%. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya bias yang tinggi pada citra, dimana dalam satu blok penanaman seharusnya memiliki umur sama menjadi lebih beragam akibat penyulaman setelah terserang tikus. Kesalahan klasifikasi ini disebabkan oleh nilai Entropi yang hampir sama sehingga algoritma QUEST kurang mampu untuk memisahkan kelompok umur tersebut. Hasil akurasi total citra PALSAR 2009 dari klasifikasi pohon keputusan menggunakan algoritma QUEST adalah 33,04% dengan nilai koefisian kappa sebesar 0,25. Hal ini menunjukkan bahwa klasifikasi pohon keputusan memiliki tingkat kepercayaan yang kurang baik. Berbeda dengan klasifikasi pohon keputusan pada citra PALSAR 2009, citra PALSAR 2007 menunjukkan kelompok umur 106-110 HST memiliki akurasi yang paling tinggi, yaitu sebesar 72%. Walaupun umur tersebut memiliki akurasi yang tinggi, hampir semua kelompok umur tanaman padi memiliki tingkat akurasi yang rendah. Nilai Entropi pada kelompok umur tersebut dapat menjadi penyebabnya karena nilai Entropi kelompok kelas yang satu hampir mendekati nilai Entropi kelompok umur lain. Kedekatan nilai Entropi ini menyebabkan data pembangun yang seharusnya masuk sesuai kelompok umur masing-masing, sebagian besar diklasifikasikan sebagai kelompok umur yang lain. Hasil ini

43 menunjukkan bahwa bias dalam klasifikasi kelompok umur tanaman padi pada citra PALSAR 2007 jauh lebih besar dibanding citra PALSAR 2009. Selain itu, akurasi ini juga menunjukkan bahwa struktur pohon yang sederhana dapat menghasilkan kesalahan klasifikasi yang cukup tinggi. Hasil akurasi total citra PALSAR 2007 dari klasifikasi pohon keputusan menggunakan algoritma QUEST adalah 22,22% dengan nilai koefisian kappa sebesar 0,125. Hal ini menunjukkan bahwa klasifikasi pohon keputusan pada citra PALSAR 2007 juga memiliki tingkat kepercayaan yang kurang baik. Rendahnya nilai akurasi hasil klasifikasi pada kedua citra ini umumnya disebabkan oleh kompleksitas kelas yang harus dipisahkan dari 3 data utama hasil dekomposisi Cloude-Pottier.

44 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa Teori dekomposisi Cloude-Pottier dapat dimanfaatkan untuk mempelajari karakteristik berbagai tingkat pertumbuhan padi sawah. Hasil analisis menunjukkan bahwa parameter Entropi berperan penting dalam membedakan umur tanaman padi. Pertambahan umur tanaman padi cenderung bersesuaian dengan meningkatnya nilai Entropi. Tanaman padi yang masih berada pada fase vegetatif (lebih muda) memiliki kondisi relatif seragam. Hal ini menyebabkan proses hamburan tunggal deterministik mendominasi pada umur tersebut. Ketika pertumbuhan tanaman memasuki fase generatif (lebih tua), kondisi tanaman cenderung tidak seragam karena munculnya bulir-bulir padi dan daun-daun yang telah mengering sehingga densitas tanaman lebih tinggi. Pada kondisi ini, nilai Entropi akan lebih tinggi yang mengidentifikasikan adanya dominasi proses hamburan balik yang acak. Pada Citra PALSAR 2009, nilai Entropi yang dimiliki lebih rendah dibanding citra PALSAR 2007. Hal ini disebabkan adanya serangan hama ketika tanaman memasuki fase generatif sehingga kondisi blok penanaman rusak (kondisi fase tumbuh padi lebih beragam). Meskipun Sudut Alfa ditemukan berguna untuk menjelaskan jenis hamburan, parameter ini terlihat kurang memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengkaji berbagai fase pertumbuhan padi sawah varietas Ciherang pada SAR L-band. Nilai Sudut Alfa yang lebih tinggi (mendekati Even Bounce) mengindikasikan kondisi tanaman yang memiliki densitas rendah sedangkan nilai Sudut Alfa yang lebih rendah (mendekati Odd Bounce) mengindikasikan kondisi tanaman yang dapat diinterpretasikan lebih sehat. Berdasarkan hasil analisis regresi, model Kuadratik menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan permodelan Linier dan permodelan Jenuh. Nilai masing-masing parameter pada Citra 2009 dan 2007, baik dengan menggunakan nilai mean maupun median menunjukkan nilai R 2 yang tinggi dengan nilai standard error yang rendah. Hasil klasifikasi pohon keputusan dengan algoritma QUEST memperkuat hasil analisis sebelumnya. Pada konstruksi algoritma QUEST terlihat parameter

45 Entropi sangat berperan sebagai pemisah kelompok umur tanaman padi (Ciherang). Walaupun nilai akurasi pada kedua citra PALSAR memiliki tingkat kepercayaan yang kurang baik (rendah), hasil penelitian ini cukup relevan untuk digunakan dalam mengidentifikasi pertumbuhan tanaman padi varietas Ciherang. 5.2. Saran Analisis pada penelitian ini hanya ditekankan pada varietas tunggal yaitu Ciherang. Hal ini belum dapat mengindikasikan keragaan umum padi yang tumbuh di Indonesia. Keragaman dalam tinggi serta densitas tanaman pada varietas yang umum ditanam masih perlu dikaji lebih lanjut untuk melihat pola spesifik yang mungkin teridentifikasi.

DAFTAR PUSTAKA Ari, S. K., Teguh, K. dan Santoso, H. 2005. Klasifikasi Data Polarimetrik Radar Dengan Menggunakan Metode Dekomposisi Cloude & Pottier. Prosiding PIT MAPIN XIV. Surabaya, 14 September 2005 Bouvet, A., Le Toan, T., and Lam-Dao, N. 2009. Monitoring of the Rice Cropping in the Mekong Delta Using ENVISAT/ASAR Dual Polarization Data. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 47: 517-526 Brisco, B. and Brown, R. J. 1998. Agricultural applications with radar in Manual of Remote Sensing Principles and Applications Imaging Radar, 3rd edition; edited by F. M. Henderson and A. J. Lewis. New York: Wiley Chakraborty, M., Manjunath, K. R., Panigrahy, S., Kundu, N., and Parihar, J. S. 2005. Rice Crop Parameter Retrieval Using Multi-temporal, Multiincidence Angle RADARSAT SAR data. ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing, 59: 310-322 Choudhury, I., and Chakraborty, M. 2006. SAR Signature Investigation of Rice Crop Using RADARSAT Data. International Journal of Remote Sensing, 27: 519-534 Cloude, S. R. and Pottier, E. 1996. A Review of Target Decomposition Theorems in Radar Polarimetry. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 34(2): 498-518 Cloude, S. R. and Pottier, E. 1997. An Entropy Based Classification Scheme for Land Applications of Polarimetris SAR. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 35: 68-78 Dirgahayu, D. 2011. Pengaruh Awal Tanam Terhadap Kualitas Pertumbuhan Tanaman Padi Menggunakan Data EVI MODIS Multitemporal. Prosiding PIT MAPIN XVIII. Semarang, 8 Juni 2011

47 D Urso, G. and Menenti, M. 1996. Performance Indicators for The Statistical Evaluation of Digital Image Classifications. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 51: 78-90 Freeman, A. And Durden, S. L. 1998. A Three-Component Scattering Model for Polarimetric SAR Data. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 36(3): 963-973 Harsanugraha, W. K., dan Trisakti, B. 2011. Pemanfaatan Data Satelit SPOT 4 dan Landsat untuk Identifikasi Lahan Sawah di Wilayah Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat. Prosiding PIT MAPIN XVIII. Semarang, 8 Juni 2011 Ishitsuka, N. The Scatter Characteristic of Rice Paddy Fields Using L-band Multi Polarimetric Satellite SAR Observation. Proceeding ALOS PI Symposium 2007 JAXA, EORC. 1997. PALSAR - Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar. http://www.eorc.jaxa.jp/alos/en/about/palsar.htm [4 Februari 2012] JAXA, EORC. 1997. ALOS User Handbook. http://www.eorc.jaxa.jp/alos/en/doc/handbk.htm [4 Februari 2012] Kaneko, D., Kumakura, T., Yang, P. 2009. Data assimilation for crop yield and CO 2 fixation monitoring in Asia by a photosynthetic sterility model using satellites and meterological data. International Journal of Global Warming 1: 179-200. Kurosu, T., Fujita, M., and Chiba, K. 1997. The Identification of Rice Fields Using Multi-temporal ERS-1 C-band SAR data. International Journal of Remote Sensing, 18: 2953-2965 Kim, H. and Loh, W. Y. 2001. Classification Trees with Unbiased Multiway Splits. Journal of The American Statistical Association, 96: 589-604

48 Le Toan, T., Laur, H., and Mougin, E. 1989. Multitemporal and Dual- Polarization Observation of Agricultural Vegetation Covers by X-band SAR Images. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 27: 709-718 Loh, W. Y., and Shih, Y. S. 1997. Split selection methods for classification trees. Statistica Sinica, 7: 815-840 Meyer, F. And Nicoll, J. 2007. Faraday Rotation Effects in ALOS/PALSAR Data. Alaska Satellit Facility (ASF) News and Note, 4:4 http://www.asf.alaska.edu/news_notes/4-4/faraday-rotation-effects-alospalsar-data [10 Februari 2012] Panuju, D. R., dan Trisasongko, B. H. 2008. The Use of Statistical Three Methods on Rice Field Mapping. Jurnal Ilmiah Geomatika, 14(2): 75-84 Panuju, D. R., Iman, L. S., Trisasongko, B. H., Barus, B., Shiddiq, D. 2010. Simulasi Data Losat Untuk Pemantauan Pesisir. Bab buku: Satelit Mikro untuk Mitigasi Bencana dan Ketahanan Pangan (Eds. AP Sunaryanti, S Tanoemihardja). IPB Press. Bogor. ISBN 978-979-1458-35-1 Septiana, A., Iswati, A., dan Panuju, D. R. Dinamika Perubahan Lahan Sawah Kabupaten Karawang dan Keterkaitannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Prosiding PIT MAPIN XVIII. Semarang, 8 Juni 2011 Shao,Y., Fan, X., Liu, H., Xiao, J., Ross, S., Brisco, B., Brown, R., and Staples, G. 2001. Rice monitoring and production estimation using multitemporal RADARSAT. Remote Sensing of Environment, 76: 310 325 Syafril, A. H. A., Tjahjono B., Trisasongko, B. H., dan Panuju, D. R. 2009. Pemanfaatan Pendekatan Data Mining untuk Pemetaan Lahan Sawah. Prosiding Semiloka Geomatika-SAR Nasional. Bogor, 21 April 2009 Theinkabail, P. S., Smith, R. B., and De Pauw, E. 2000. Hyperspectral Vegetation Indices and Their Relationships with Agricultural Crop Characteristics. Remote Sensing of Environment, 71: 158-182

49 Trisasongko, B. H. 2010. The use of polarimetric SAR data for forest disturbance monitoring. Sensing and Imaging, 11: 1-13 Turner, M. G. 1989. Landscape Ecology: The Effect of Pattern on Process. Annual Review of Ecology, Evolution and Systematics, 20:171-197 Wang, C., Wu, J., Zang, Y., Pan, G., Qi, J., and Salas, W. A. 2009. Characterizing L-Band Scattering of Paddy Rice in Southeast China With Radiative Transfer Model and Multitemporal ALOS/PALSAR Imagery. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 47: 988-998 Wu, F., Wang, Chao., Zang, H., Zhang, B., and Tang, Y. 2011. Rice Crop Monitoring in South China With RADARSAT-2 Quad-Polarization SAR Data. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 8: 196-200 Zhang, Y., Wang, C., Wu, J., Qi, J., and Salas, W.A. 2009. Mapping paddy rice with multitemporal ALOS/PALSAR imagery in South China. International Journal of Remote Sensing, 30: 6301-6315

LAMPIRAN

51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh oleh kondisi cuaca. (JAXA EORC, 1997). Sensor L-band SAR (PALSAR) memiliki panjang gelombang 23.5 cm dan frekuensi 1.27 GHz dengan kemampuan multimode dan observasi multipolarisasi (Zang. et al, 2009). Satelit ALOS disajikan pada Gambar 21. Gambar Lampiran 1. Satelit ALOS (JAXA, EORC, 1997) Salah satu mode observasi PALSAR, yaitu ScanSAR yang memungkinkan PALSAR dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang lebih luas, yaitu 250-350 km. Pembangunan PALSAR sendiri adalah proyek kerjasama antara JAXA dan Japan Resources Observation System Organization (JAROS). Menurut ALOS Data (2009), sensor ini mampu mengamati dengan berbagai resolusi disamping mode konvensional seperti halnya wider swath. Sensor ini dapat dimanfaatkan untuk membuat DEM, mengekstrak data topografi oleh interferometry, menaksir biomassa, monitoring hutan, pertanian, memonitoring minyak tumpahkan, kelembaban tanah, inspeksi perkapalan, dan sebagainya. Namun demikian sensor PALSAR tidak dapat mengamati daerahdaerah di luar 87.8 Lintang Utara dan 75.9 Lintang Selatan ketika off-nadir adalah sudut 41.5. Tabel 9 menyajikan karakteristik umun sensor PALSAR dan Gambar 22 menyajikan bentuk dari instrumen PALSAR.

52 Gambar Lampiran 2. Instrumen PALSAR (JAXA, EORC, 1997) Tabel Lampiran 1. Karakteristik umum sensor PALSAR No Mode Fine ScanSAR Polarimetric (Experimental mode) 1 Frekuensi 1270 MHz (L-band) Pusat 2 Chrip 28 MHz 14 MHz 14 MHz 14 MHz Bandwidth 28 MHz 3 Polarisasi HH atau VV HH+HV HH atau VV HH+HV+VH+VV atau VV+VH 4 Incident 8-60 8-60 18-43 18-30 Angle 5 Range 7-44 m 14-88 m 100 m 24-89 m Resolution (multilook) 6 Observation 40-70 km 40-70 km 250-350 km 20-65 km Swath 7 Bit Length 5 bit 5 bit 5 bit 3 atau 5 bit 8 Data rate 240 Mbps 240 Mbps 120 Mbps 240 Mbps 240 Mbps 9 Radiometric Scene : 1 db / orbit : 1.5 db Accuracy Sumber: http://www.eorc.jaxa.jp/alos/en/about/palsar.htm pada 4 Januari 2012