LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN AKHIR KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN (LANJUTAN)

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

INSENTIF EKONOMI DAN ASPEK KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN BUPATI CIANJUR

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PENDAHULUAN Latar Belakang

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

KATA PENGANTAR. Jakarta, Januari 2015 Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Ir. Suprapti NIP Laporan Kinerja Tahun 2014

Mempertahankan Tanah Agraris

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 31 TAHUN 2015 TENTANG

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

KATA PENGANTAR Ungaran, Februari 2017

Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

MP3EI Pertanian : Realisasi dan Tantangan

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis

PENDAHULUAN Latar Belakang

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KONSULTASI REGIONAL OPERASI DAN PEMELIHARAAN PRASARANA SUMBER DAYA AIR 2016

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT ALAT DAN MESIN PERTANIAN TA. 2014

PETUNJUK PELAKSANAAN PENILAIAN BAGI KEPALA DAERAH DAN PETANI BERPRESTASI TINGGI PENGELOLA LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015

A. Latar Belakang. ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. DAFTAR ISI... ii. I. Pendahuluan. 1 A. Latar Belakang. 1 B. Maksud dan Tujuan. 2 C. Sasaran... 2 D. Dasar Hukum...

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 80/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian sebagai Upaya Sinergis Program Lumbung Pangan Nasional di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA. Ketahanan Pangan. Dalam Kerangka Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan

Analisa dan Usulan Kegiatan Berdasarkan Fungsi Yang Diselenggarakan Direktorat Pemantauan dan Pembinaan Pertanahan

PENGANTAR. Ir. Suprapti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

POTENSI PENGEMBANGAN PERTANIAN DI KABUPATEN SIAK

LAPORAN KINERJA TA DITJEN PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN. Kementerian Pertanian. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Ir. Bambang Santosa, M.Sc NIP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta

Perencanaan pembangunan sering tidak tepat sasaran IMPLIKASI HASIL

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

KERANGKA ACUAN KERJA

Tugas Akhir PW Dosen Pembimbing : Ir. Heru Purwadio, MSP

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak utama dari roda. perekonomian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian

BAB 1 PENDAHULUAN. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

PRIORITAS 5 MATRIKS ARAH KEBIJAKAN BUKU III RKP 2011 WILAYAH MALUKU

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN BUPATI TEMANGGUNG NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KABUPATEN TEMANGGUNG

PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN

BAB I. PENDAHULUAN A.

KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar

RENCANA STRATEGIS DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN TAHUN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PUPUK DAN PESTISIDA TA. 2014

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara

Oleh: Tim Analisa BPK Biro Analisa APBN & Iman Sugema

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN Oleh : Muchjidin Rachmat Chairul Muslim Muhammad Iqbal PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF Dalam pembangunan nasional pencapaian swasembada pangan selalu merupakan menjadi prioritas. Untuk pencapaian tujuan tersebut, salah satu sumberdaya pendukung utama adalah ketersediaan lahan sehingga perlu mendapat perhatian. Kemajuan di segala bidang/sektor telah meningkatkan permintaan terhadap lahan, dan untuk mendapatkan hak atas lahan tersebut, masing masing sektor/bidang telah mengeluarkan peraturan yang memungkinkan diperolehnya hak untuk mendayagunakan lahan tersebut. Konflik kepentingan dalam rangka memperebutkan penggunaan lahan akan terjadi. Untuk memenuhi melindungi lahan pertanian produktif agar tidak dengan mudahnya dikonversi telah disusun UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, namun demikian sektor diluar pertanian juga berusaha untuk menggunakan lahan yang ada, untuk itu masing masing sektor menerbitkan UU yang berkaitan dengan kepentingannya, yang didalamnya juga mengatur tentang pendayagunaan lahan. Aturan yang tercantum dalam produk hukum tersebut berpotensi terjadi tumpang tindih dan berebut dalam pemanfaatan lahan sesuai kepentingannya. Kondisi ini akan berakibat konversi pemanfaatan lahan pertanian dan dengan sendirinya secara langsung akan mengurangi penggunaan lahan untuk tanaman pangan dan secara langsung mempengaruhi produksi dan upaya swasembada pangan. Tujuan dari kajian adalah : (1)Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundangan dibidang lahan dalam rangka pencapaian sasaran swasembada pangan, (2) Mengevaluasi implementasi peraturan perundangan dibidang lahan, dan (c ) Menganalisis dampak implementasi peraturan dibidang lahan terhadap pencapaian sasaran swasembada pangan. Dengan luas lahan sawah sekitar 8 juta ha saat ini kemampuan lahan untuk menyediakan pangan yang layak bagi penduduk berada pada batas kritis. Pada kondisi teknologi yang tidak berubah, keinginan untuk swasembada beras sebesar 10 juta ton pada tahun 2014 hanya akan tercapai apabila tersedian lahan sawah seluas 10 juta ha. Untuk itu pencegahan konversi dan diikuti oleh pencetakan sawah baru harus diupayakan secara serius. Dalam rangka pengamanan produksi pangan jangka panjang dan pengendalian konversi lahan telah disusun UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Secara garis besar UU 41/2009 tentang PLP2B berisi aturan/ketetapan tentang: (a) perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, (b) pengaturan alih fungsi lahan, (c) keterkaitan dengan peraturan Lain, (d) sistem informasi lahan berkelanjutan, (e) pemberdayaan masyarakat, dan (f) sistem insentif dan sangsi. Konflik kepentingan dalam rangka memperebutkan penggunaan lahan akan terjadi. Dalam implementasinya terjadi kekurang sinkronan antara UU 41/2009 dengan UU lain berkaitan penggunaan lahan, seperti dengan UU 26 /2007 tentang Penataan Ruang, UU 2/2012Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, UU 1/2011 tentang Perumahan dan kawasan Permukiman, i

serta dengan sesama UU lingkup sektor pertanian seperti UU 18/2004 tentang Perkebunan, UU 13/2010 tentang Hortikultura, UU 28/2009 tentang Peternakan dan kesehatan Hewan serta dengan Prepres Perpres 54/2008 tentang penataan ruang kawasan JABODETABEKPUNJUR dan Perpres No. 32 tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Ketidaksinkronan terjadi antara UU 41/2009 dengan UU No 26 /2007 tentang Penataan Ruang berkaitan dengan cakupan jenis lahan yang akan dilindungi. Dalam UU 41/2009 mengamanatkan bahwa lahan yang dilindungi mencakup lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak) dan atau lahan tidak beririgasi, termasuk didalamnya lahan yang di cadangkan untuk pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau diluar kawasan pertanian pangan. Lahan tersebut berada pada kawasan perdesaan dan atau perkotaan di wilayah kabupatan /kota. Sementara dalam UU 26/2007 dan diikuti oleh Perda RTRW Propinsi dan kabupaten Kota, kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan hanya di kawasan perdesaan. UU lain yang berpotensi mengeliminir berlakunya UU 41/2009 adalah UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan UU tersebut, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus menjamin tersedianya tanah untuk Kepentingan Umum, dan pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan oleh Pemerintah. Tanah untuk Kepentingan Umum mencakup 18 jenis yang mencakup hampir seluruh kebutuhan sarana umum. Dengan dasar tersebut atas nama kepentingan umum maka lahan pertanian yang berada dalam kawasan yang dilindungi dapat dikonversi. Pada sisi lain keberadaan UU NO 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman juga berpotensi besar menjadi dasar untuk terjadinya mengkonversi lahan pertanian. Dalam UU 1/2011 dikemukakan Pemerintah dan pemerintah daaerah sesuai dengan kewenangannya bertanggungjawab atas ketersediaan tanah untuk pembagunan perumahan dan kawasan permukiman, ditetapkan dalam RTRW. Implementasi UU 41/2009 di daerah sangat beragam, baik dalam pemahaman aparat daerah tentang materi UU 41/2009 dan implemtasinya di masing masing daerah yang tertuang dalam Perda RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. Penetapan jenis dan luas lahan pertanian pangan yang akan dilindungi dalam Perda RTRW yang cenderung lebih mengutamakan kebutuhan akan lahan lahan dari sektor lain. Konflik kepentingan penggunaan paling kompleks terjadi di Jawa Barat sejalan dengan besarnya tuntutan akan lahan sejalan dengan kemajuan di sektor diluar pertanian. Permasalahan menjadi semakin rumit dengan masuknya kepentingan politis penguasa daerah. Pada kondisi demikian maka konversi lahan manjadi tidak terkontrol. Dari penelusuran terhadap Perda RTRW kabupaten/kota di Jawa Barat diidentifikasi : (a) hampir seluruh wilayah pemerintah kota tidak mengalokasikan lahan pertanian yang dilindungi untuk lahan pangan berkelanjutan, (b) terdapat kabupaten yang mengalokasikan lahan pertanian ii

pangan yang dilindungi lebih kecil dari luas sawah irigasi teknis yang ada, (c) alokasikan lahan pertanian pangan yang dilindungi seluruh lahan pertanian sawah irigasi teknis dan sebagian lahan sawah non teknis, (d) alokasi lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan pertanian sawah, dan (e) hanya beberapa kabupaten yang mengalokasikan lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan pertanian sawah irigasi dan sebagian lahan non sawah. Kondisi paling ideal terjadi di propinsi Bali, keberadaan lembaga adat yang kuat mengakar dan didukung oleh kebijakan pemerintah menyebabkan perlidungn lahan lebih terkontrol. Lembaga adat tidak saja telah berperan dalam menjaga lahan pertanian sawah di propinsi Bali tetapi bersifat mengkonservasi lahan sawah, karena keberadaan lahan sawah juga didukung oleh terpeliharanya sumber air dan jaringan air dengan baik. Kasus di Sumatera Selatan, terdapat potensi besar untuk perluasan areal sawah (pencetakan sawah) dan berkembangnya kegiatan perekonomian serta perkembangan industry Kelapa Sawit dengan nilai ekonomi yang tinggi, disatu sisi memberikan peluang adanya kegiatan pencetakan sawah dan di sisi lain alih fungsi lahan sawah menjadi kebun sawit dan perumahan. Di propinsi Sulawesi Selatan, potensi pertanian sawah lebih stabil karena permintaan konversi lahan relative kecil (hanya sekitar kota propinsi) sementara permintaan untuk pencetaan sawah baru juga masih cukup besar baik dari lahan kering, bekas tambak dan bekas kebun kakao yang gagal. Dalam penerapan UU 41/2009, aturan dalam UU tersebut dinilai kurang tegas dan terlalu longgar karena cenderung menyerahkan kewenangan penetapan dan pengaturan lahan sawah yang dilindungi kepada Perda RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. Dengan banyaknya kepentingan akan lahan di masing masing daerah, maka dalam penyusunan Perda RTRW, maka penetapan penggunaan lahan cenderung terlebih dahulu memprioritaskan untuk kebutuhan sektor pembangunan lain, sehingga lahan pertanian yang dilindungi cenderung hanya sisa lahan setelah dikurangi kebutuhan untuk non pertanian tersebut. Pada kondisi demikian maka adanya UU 41/2009 dan selanjutnya dituangkan dalam Perda RTRW telah menjadi landasan /justifikasi kuat untuk terjadinya konversi lahan pertanian sesuai yang ditetapkan Perda. Dalam kaitan dengan tersebut, maka agar secara legal lahan pertanian pangan tidak banyak dikonversi, diperlukan pemantauan, pendampingan/advokasi pemerintah kepada daerah (Dinas pertanian dan Bappeda) dalam penyusunan Perda RTRW propinsi dan RTRW kabupaten/kota secara intensif sehingga daerah lebih peduli dalam menjaga keberadaan lahan untuk pangan untuk produksi pangan masyarakat. Pada bagian lain, adanya ketentuan masa pemberlakuan Perda RTRW selama jangka waktu 20 tahun dan RTRW dapat ditinjau kembali dilakukan satu kali dalam 5 tahun memungkinkan dalam jangka waktu tersebut terjadinya perubahan komitmen dalam alokasi lahan pertanian pangan yang dilindungi. Hal ini berarti terjadi ketidakpastian hukum tentang keberadaan lahan sawah yang dilindungi dalam jangka panjang. Idealnya UU 41/2009 lebih tegas dalam menetapkan dan iii

mengatur keberadaan lahan untuk pangan. UU/2009 juga seharusnya bukan hanya melindungi tetapi dapat mengarah kepada upaya mengkonservasi lahan pertanian pangan selamanya, melalui penetapan aturan yang lebih tegas dan memberikan arahan jaminan agar lahan sawah untuk produksi pangan tersebut terlindungi selamanya. Dengan menyerahkan pengaturannya kepada Perda RTRW, maka penerapan /pelaksanaan UU 41/2009 akan masih akan membutuhkan waktu panjang, karena untuk pelaksanaan UU 41/2009 memerlukan syarat: (a) terlebih dahulu telah diterbitkannya seluruh produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU 41/2009 berupa Peraturan Pemerintah dan Permentan, (b) telah disusun Perda RTRW Propinsi dan Perda RTRW Kabupaten /Kota yang didalamnya berisi arahan tentang kawasan lahan pertanian yang dilindungi secara wilayah, (c) harus telah disusun peraturan/perda/perbup tentang rencana Detail Tataruang yang didalamnya memuat antara lain rencana lebih rinci setiap desa/blok, (d) perlunya terlebih dahulu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar dalam implementasinya tidak terjadi konflik, dan (e) lambatnya implementasi UU 41/2009 juga berkaitan dengan adanya aturan tentang sangsi dimana setiap pejabat pemerintahan yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsial lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan dapat dipidana dengan pidana penjara sangat berat. iv