IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada di Indonesia di bawah Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan hewan Kementerian Pertanian Nomor 55/Permentan/OT.140/5/2013 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak. Balai ini memiliki tugas untuk melaksanakan pemuliaan, pemeliharaan, produksi, pengembangan, penyebaran dan pemasaran bibit sapi perah unggul, kambing perah dan hijauan pakan ternak. BBPTU-HPT Baturraden memiliki luas lahan ± 241,687 Ha dengan 4 lokasi farm yang berbeda yaitu lokasi satu Tegal Sari dengan luas,802 Ha, lokasi dua Munggang Sari seluas 10,098 Ha, lokasi tiga Limpakuwus 96,787 Ha dan lokasi empat Manggala dengan luas 100 Ha sebagai lokasi Rearing Unit. Tipe kandang yang digunakan adalah jenis freestall karena dengan kandang ini sapi dapat bergerak bebas dan nyaman. (BBPTU HPT Baturraden, 2015). Balai ini terletak di bagian selatan gunung Slamet di ketinggan 600 700 mdpl dengan curah hujan mencapai 3.000-3.500 mm/tahun dan temperatur lingkungan 21-30 o C serta tingkat kelembaban atau Relative Humidity (RH) mencapai 70-80 %. Rata rata suhu kandang di BBPTU HPT Baturraden adalah 24 o C dan kelembaban 70 80%. Di habitat aslinya sapi perah bangsa Friesian Holstein hidup dengan suhu udara optimum yaitu 10-13 o C untuk dapat mempertahankan nafsu makan dan kesehatan.
21 Pengaruh langsung suhu udara dan kelembaban terhadap kemampuan produksi sapi perah adalah konsumsi pakan karena apabila suhu meningkat akan menyebabkan menurunnya nafsu makan, turunnya gerak laju pakan dalam ransum serta efisiensi penggunaan energi untuk produksi susu dan status faali tubuh. Suhu tubuh normal sapi perah berkisar antara 38 39,3 o C dengan rata rata 38,6 o C (Djaja W. dkk., 2009). Suhu udara dan kelembaban kandang di BBPTU HPT Baturraden sudah memenuhi standar kenyamanan sapi perah untuk berproduksi secara optimal karena dengan suhu rata rata 24 o C sapi masih dapat berproduksi dengan baik. Suhu kritis untuk sapi perah yang berada di daerah tropis yaitu 27 o C memperlihatkan produksi susu semakin menurun. 4.2 Tatalaksana Pemberian Pakan Pakan merupakan salah satu aspek penting dalam peternakan sapi perah karena untuk mendapatkan produksi susu yang tinggi dibutuhkan nutrisi dari pakan yang diberikan. Manajemen pemberian pakan yang tepat baik dalam jumlah kandungan nutrisi dan waktu pemberiannya agar dapat memberikan produksi susu yang optimal dan menjaga kondisi kesehatan ternak. BBPTU-HPT Baturraden memberikan pakan sapi perah berupa hijauan rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan rumput raja (Pennisetum purpuroides) dan konsentrat dengan kandungan nutrisi yang sudah lengkap berupa energi, protein, mineral dan vitamin. Pemberian pakan di balai ini sebanyak 40 kg/ekor yang diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi hari pukul 07.00 dan sore hari pukul 14.00. Selain diberi pakan, sapi perah juga di Grazzing di padang penggembalaan selama 2 jam pada siang hari, hal ini bertujuan agar sapi perah
22 dapat bergerak bebas sehingga akan memperlancar aliran darah dan tetap sehat. Nutrisi pakan yang diberikan berbeda antara sapi yang berproduksi susu tinggi dengan yang rendah. Berikut tabel kandungan nutrisi konsentrat yang diberikan di BBPTU-HPT Baturraden. Tabel 3. Kandungan Nutrisi Konsentrat Sapi Perah BBPTU-HPT Baturraden No Jenis Konsentrat Protein Kasar Bahan Kering TDN... % 1 2 3 4 5 F1 F2 F3/Dara Pedet Calf Starter 18,1 15,4 15,4 18,1 20,3 Sumber : BBPTU-HPT Baturraden (2013) Keterangan: F1 Dewasa F2 Dewasa F3/Dara Pedet Calf Starter 83 83 82 84 84 75 73 71 74 74 : untuk sapi perah laktasi dengan produksi tinggi (>20 kg) : untuk sapi perah laktasi dengan produksi sedang (15-20 kg) : untuk sapi perah laktasi dengan produksi rendah (<15 kg), sapi dara dan sapi kering kandang. : untuk anak sapi umur 3 6 bulan : untuk anak sapi umur 1 hari 3 bulan Kandungan nutrisi berupa protein konsentrat yang diberikan untuk sapi perah F1 sudah memenuhi kebutuhan minimal yaitu 18 % seperti yang terdapat dalam Tabel 1. Jumlah protein kasar dalam ransum sebanyak 18,1 %, sedangkan kandungan protein untuk sapi perah F2 masih belum memenuhi standar minimal protein yaitu sebesar 16 %. Kebutuhan TDN dari konsentrat yang diberikan untuk sapi perah F1 dan F2 masing masing adalah 75% dan 73%. Menurut Abdullah, dkk., (2009) pemberian konsentrat dengan kandungan TDN 75% dan 60% menunjukan bahwa sapi mengkosumsi bahan pakan berkualitas baik. Semakin tinggi nilai TDN yang terkandung dalam pakan sapi perah maka kualitasnya semakin baik karena dapat meningkatkan efisiensi pencernaan dalam rumen sapi perah. Selain kandungan protein dan nilai TDN perlu diperhatikan juga bahan kering (BK) yang berdapat dalam pakan sapi perah.
23 Berikut ini merupakan perbandingan BK pakan induk laktasi di BBPTU- HPT Baturraden. Tabel 4. Perbandingan Bahan Kering Pakan Induk Laktasi Sapi Perah BBPTU HPT Batturaden Jenis Pakan Rataan Pemberian BK Persentase Hijauan Konsentrat Komersial (F1) Complete Feed... kg/ekor 5,216 6,225 6,375 % 29,277,940 35,782 Perbandingan antara pakan hijauan dan konsentrat untuk sapi perah laktasi adalah 60 : 40 dengan BK Hijauan 40% dari total kebutuhan BK ransum atau sekitar 1,5% dari bobot tubuh (Suryahadi, dkk., 1997). Pemberian jumlah pakan di Balai ini sudah memenuhi syarat untuk mencukupi kebutuhan nutrisi dari sapi perah agar dapat meningkatkan produksi susu. Penggunaan pakan yang sudah dicampurkan atau TMR (Total Mix Ration) antara hijauan dan konsentrat diberikan dalam satu waktu. Kandungan nutrisi yang lengkap dari TMR dapat memenuhi kebutuhan nutrisi serta meningkatkan produksi susu sapi perah. Berdasarkan literatur yang ada, pakan untuk sapi perah yang ada di BBPTU HPT Baturraden sudah mencukupi sesuai dengan standar minimal kebutuhan nutrisi pakan sapi perah. 4.3 Produksi Susu Bulanan Sapi Perah di BBPTU-HPT Baturraden Data produksi susu yang diambil yaitu catatan produksi susu bulanan lengkap pada periode laktasi 1 dan 2 dari ekor sapi laktasi mulai dari tahun 2008 - Maret 2015. Data yang memenuhi syarat kemudian dianalisis menjadi
24 produksi susu bulanan kumulatif dan hasilnya dikorelasikan dengan total produksi susu 305 hari periode laktasi 1 dan 2. Frekuesi pemerahan di BBPTU-HPT Baturraden sebanyak 2 kali dalam sehari, yaitu pukul 09.00 dan 16.00, untuk sapi yang berproduksi tinggi jumlah pemerahan ditambah menjadi 3 kali yaitu pada pukul 21.00. Hasil produksi susu pada pemerahan pagi dan malam dicatat setiap hari sehingga didapat catatan lengkap selama satu periode laktasi, dengan interval pemerahan 12 : 12. Menurut Soeharsono (2008), adanya sedikit perbedaan (1,3%) dalam jumlah susu antara selang pemerahan 12:12 jam dengan 16:8 jam tetapi tidak memperlihatkan perbedaan dengan selang pemerahan 10:14 jam. Produksi susu bulanan periode laktasi 1 dan 2 dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5. Produksi Susu Bulanan Kumulatif Laktasi 1 Sapi Perah di BBPTU- HPT Baturraden Bulan Produksi Susu Bulanan Standar Koefisien n Ke- Kumulatif Rataan Deviasi Variasi kg (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20.977 20.832 19.869 17.696 16.578 15.304 13.990 13.200 12.892 11.168 617 612 584 520 487 450 411 388 379 328 125,5 128,7 119,5 117,5 89,8 97,7 88,5 95,4 85,8 69,1 20,3 21,0 20,5 22,6 18,4 21,7 21,5 24,6 22,6 21,0 Jumlah 162.506 4.780 1018 Rataan 16.250,6 478 101,8 21,4
Tabel 6. Produksi Susu Bulanan Kumulatif Laktasi 2 Sapi Perah di BBPTU-HPT Baturraden Bulan Produksi Susu Bulanan Standar Koefisien n Ke- Kumulatif Rataan Deviasi Variasi kg (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 22.609 21.226 18.288 16.449 14.923 13.577 12.651 11.596 11.960 10.686 665 624 537 483 438 399 372 1 351 314 163,2 144,1 123,9 113,4 117,5 101,8 81,5 82,0 79,0 62,3 24,5 23,1 23,0 23,4 26,8 25,5 21,9 24,0 22,5 19,8 Jumlah 153.968 4.528 1.069 Rataan 15.396,8 452,8 106,9 23,5 Secara umum tingkat produksi susu sapi perah akan naik setelah melahirkan hingga menuju puncak produksi pada awal laktasi kemudian akan menurun secara perlahan hingga pada produksi yang rendah. Hasil penelitian pada Tabel 5 dan 6, dari catatan produksi susu bulanan kumulatif pada laktasi 1 dan 2 di BBPTU-HPT Baturraden menunjukan produksi tertinggi dicapai pada bulan ke 1 dengan rataan produksi susu bulanan masing masing sebesar 617 dan 665 kg kemudian menurun hingga produksi terendah pada bulan ke 10 masing masing sebesar 328 dan 314 kg. Hal ini berbeda dengan dengan pendapat Makin (2011), yang menyatakan bahwa puncak produksi akan meningkat hingga bulan ke 2 atau minggu ke 8 kemudian akan menurun secara perlahan. Jumlah produksi susu pada saat setelah melahirkan relatif tinggi dan akan terus meningkat hingga 3 6 minggu. Dari hasil pengamatan pada tabel 5 dan 6, jumlah produksi susu total 305 hari periode laktasi 1 di BBPTU HPT Baturaden lebih tinggi yaitu sebesar 162.512 kg dibandingkan produksi susu total 305 hari pada periode laktasi 2 25
26 sebesar 153.968 kg. Rata rata total produksi susu selama 305 hari periode laktasi 1 sebesar 4.780 kg dan peridoe laktasi 2 sebesar 4.528 kg. Produksi susu di BBPTU HPT Baturraden termasuk baik karena di Indonesia rata rata produksi susu sapi perah FH sebesar 3.050 kg/laktasi (Sudono, 2003 dan Talib, 2006). Apabila diasumsikan dengan persentase produksi susu pada laktasi 1 sebesar 100 % maka pada laktasi 2 yaitu sebesar 95 %. Dilihat dari hasil pengamatan, penurunan produksi susu sapi perah yang ada di BBPTU HPT Baturraden dipengaruhi oleh faktor lingkungan, walaupun balai ini memiliki kondisi iklim yang cukup nyaman di pegunungan dengan rata rata suhu 24 o C, tetapi sapi FH yang merupakan sapi yang berasal dari daerah subtropis ternyata cukup sulit untuk mempertahankan potensi genetik untuk produksi susu karena pada kondisi cekaman tropis di Indonesia, walaupun sapi yang ada di balai ini berasal dari keturunan pejantan yang memiliki potensi genetik produksi susu tinggi. Menurut Banos dan Smith (1991), Penurunan produksi susu anak anak betina yang berasal dari pejantan unggul dari iklim sedang (dingin) akan mengalami penurunan ketika dipelihara di daerah tropis dan penurunan tersebut semakin besar pada pejantan dengan superioritas yang baik. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap tingkat produksi susu sapi perah FH yang merupakan sapi impor dari New Zealand dan Australia dengan rata rata produksi susu mencapai > 6.000 kg/laktasi. Menurut Warwick et al. (1995) yang dikutip oleh Yustisi, dkk., (2013) produksi susu sebagai salah satu sifat kuantitatif akan ditentukan oleh gen gen yang ada, namun pengaruh lingkungan yang juga akan menjadi faktor pendukung untuk mengekspresikan fenotip secara maksimal.
27 Selain faktor iklim, tatalaksana pemberian pakan untuk sapi perah juga berpengaruh terhadap produksi susu. Kandungan nutrisi pakan yang diberikan memiliki perbedaan antara produksi tinggi dengan produksi rendah. Nutrisi pakan konsentrat berupa protein kasar untuk sapi yang berproduksi rendah masih belum memenuhi kebutuhan minimal sapi perah. Pemberian pakan berdasarkan pengelompokan tersebut kurang tepat sehingga sapi perah tidak berproduksi optimal, menurut Gavert (1987) seharusnya jumlah pemberian pakan sapi perah selama laktasi meningkat, sehingga memberikan kesempatan kepada sapi untuk dapat meningkatkan produksinya. Hal ini sesuai dengan penelitian Siregar dkk., (1994) bahwa peningkatan frekuensi pemberian pakan dapat meningkatkan kemampuan produksi susu sapi perah. Hal yang sama pada penelitian yang telah dilakukan pada sapi perah yang sedang berproduksi susu menunjukan bahwa frekuensi pemberian pakan yang lebih dari dua kali dalam satu hari akan meningkatkan konsumsi BK pakan, kadar lemak susu dan produksi susu (Campbell, 1961). Penelitian yang dilakukan pada sapi sapi di Denmark menunjukan bahwa frekuensi pemberian pakan empat kali dalam sehari ternyata mampu meningkatkan kemampuan berproduksi sampai 54,8 % (Mc. Cullough, 1973). Koefisien variasi (KV) tertinggi laktasi 1 terdapat pada bulan ke 8 yaitu 24,6 % dan koefisien variasi terendah berada pada bulan ke 5 yaitu 18,4 %, sedangkan untuk laktasi 2 nilai koefisien variasi tertinggi terdapat pada bulan ke 5 yaitu 26,8 % dan koefisien variasai terendah pada bulan ke 10 yaitu 19,8 %. Nilai koefisien variasi dikatakan seragam apabila memiliki nilai <10%, dan nilai koefisien variasi yang lebih dari 10% dikatakan tidak seragam dan efektif untuk dilakukannya seleksi (Hasan, 2004). Dari hasil analisis pada Tabel 5 dan 6,
Produksi Susu (Kg) 28 didapat nilai rataan koefisien variasi laktasi 1 dan 2 di BBPTU HPT Baturraden yaitu sebesar 21,4% dan 23,5% yang artinya tingkat produksi susu tidak seragam sehingga akan efektif jika dilakukan seleksi berdasarkan tingkat produksi susu. 4.4 Kurva Produksi Susu Bulanan Laktasi 1 dan 2 Secara umum bentuk kurva produksi susu akan naik mulai dari saat setelah melahirkan menuju puncak produksi pada awal laktasi yang kemudian berangsur angsur turun sampai akhir laktasi. Tingkat produksi susu kurva produksi pada Ilustrasi 2, menunjukan tingkat produksi susu tinggi pada awal laktasi dan kemudian mengalami penurunan produksi susu hingga bulan ke 10. 800 Produksi Susu Bulanan 600 400 200 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Bulan Laktasi Laktasi 1 Laktasi 2 Ilustrasi 2. Kurva Produksi Susu Bulanan Pada umumnya produksi susu pada periode laktasi 1 merupakan periode laktasi yang memiliki produksi susu yang lebih rendah dan akan meningkat pada periode laktasi berikutnya, namun dalam beberapa kasus di Indonesia meskipun puncak produksi terjadi pada periode laktasi ke 3 sampai laktasi ke 5, namun
29 beberapa peternakan dalam kisaran tahun tertentu memperlihatkan penurunan produksi terjadi setelah periode laktasi pertama. Penurunan produksi susu ini diduga karena faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap kuantitas susu yang dihasilkan. Sapi FH yang ada di BBPTU HPT Baturraden merupakan sapi yang diimpor dari negara beriklim sedang (dingin). Rata rata produksi susu di BBPTU-HPT Baturraden masih tergolong rendah dibandingkan dengan sapi perah yang ada di tempat aslinya, hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang berbeda dengan lingkungan aslinya, walaupun tempat balai ini berada di ketinggian dengan suhu rata rata 21 30 o C, namun di tempat asalnya sapi perah FH akan berproduksi optimal pada suhu 10 13 o C. Penurunan nafsu makan menyebabkan produksi susu direduksi. Stress panas merupakan faktor yang sangat berpengaruh tinggi terhadap produksi susu terutama pada saat puncak produksi (Kurniawan, 2012). 4.5 Nilai Korelasi Produksi Susu Bulanan dengan Produksi Total 305 Hari Korelasi adalah suatu besaran nilai yang menunjukkan tingkat keeratan antara dua variabel. Nilai korelasi produksi susu bulanan dengan produksi total 305 hari dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Nilai Korelasi Produksi Susu Bulanan dengan Produksi Total 305 Hari Laktasi 1 dan 2 Laktasi Hari 1 2 3 4 Bulan laktasi 5 6 7 8 9 10 1 2 305 305 0,61 0,74 0,86 0,85 0,86 0,81 0,89 0,80 0,88 0,84 0,83 0,73 0,77 0,66 0,76 0,46 0,77 0,40 0,43 0,45
30 Pendugaan nilai korelasi pada penelitian ini yaitu untuk melihat keeratan hubungan produksi susu bulanan kumulatif dengan produksi total 305 hari yang dihitung menggunakan rumus analisis korelasi. Dari hari penelitian pada Tabel 7, menunjukan nilai korelasi tertinggi pada laktasi 1 yaitu pada bulan ke 4 sebesar 0,89 dan pada laktasi 2 nilai korelasi tertinggi pada bulan ke 2 yaitu sebesar 0,85. Nilai korelasi ini menunjukan nilai korelasi yang tinggi yaitu masuk ke dalam kisaran 0,70 0,90. Hal ini sesuai dengan penjelasan Surakhmad (1998), yang menyatakan nilai korelasi 0,0 0,20 berarti korelasi sangat rendah; nilai 0,20 0,40 berarti korelasi rendah; nilai 0,40 0,70 berarti korelasi sedang; nilai 0,70 0,90 berarti korelasi tinggi; dan nilai 0,90 1,00 berarti korelasi sangat tinggi. Dari hasil analisis juga menunjukan nilai korelasi berdasarkan produksi susu bulanan kumulatif dengan produksi total 305 hari menunjukan nilai yang tinggi pada bulan ke 2 sampai bulan ke 5 dibandingkan dengan awal laktasi dan akhir laktasi dengan masing masing nilai laktasi 1 yaitu 0,86; 0,86; 0,89 dan 0,88 kemudian laktasi 2 yaitu 0,85; 0,81; 0,80 dan 0,84. Van Vleck dan Henderson (1961b) menyatakan bahwa tingginya nilai korelasi pada pertengahan periode laktasi dipengaruhi oleh perbedaan genetik dan lingkungan permanen yang lebih besar diantara sapi dari pada bulan lainnya. Nilai korelasi yang tinggi pada analisis korelasi menunjukan bahwa untuk dapat menduga produksi total 305 hari dapat dilakukan dengan hanya menggunakan beberapa catatan bulanan saja, seperti pada penelitian Pallawaruka (1989), yang menduga produksi nyata dapat hanya dengan menggunakan dua atau tiga bulan catatan produksi saja. Kombinasi catatan yang disarankan adalah kombinasi catatan bulan laktasi ke-4 dan ke-5 atau ke-4 dan ke-6, serta bulan laktasi ke 1 dan ke-8, yang dikombinasikan dengan catatan bulan ke 2, 3, atau
31 4. Hilmia (2005), menyebutkan bahwa nilai korelasi catatan bulanan kumulatif dengan produksi total 305 hari akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya catatan produksi yang digunakan. Nilai korelasi yang tinggi menunjukan bahwa produksi susu bulanan kumulatif memiliki keeratan yang besar dengan produksi total 305 hari. Manajemen pemeliharaan, pemberian pakan dan interval pemerahan yang sama berpengaruh terhadap keeratan tersebut.