BAB 1 PENDAHULUAN. Penerimaan Pajak Diperkirakan Rp 604 Triliun, diunduh tanggal 30 Mei 2010.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dapat dilihat pada Anggaran Pendapatan dan

PENGADILAN PAJAK DI INDONESIA SEBAGAI SOLUSI SENGKETA PAJAK (ATURAN DAN PELAKSANAANNYA) Oleh : Rizal Muchtasar 1. Intisari

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

1 Universitas Indonesia

PENGADILAN PAJAK DI INDONESIA: ATURAN DAN PELAKSANAANNYA SEBAGAI SOLUSI SENGKETA PAJAK

BAB I PENDAHULUAN. pajak bagi APBN dari tahun ke tahun. 1. dari swasta kepada sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat

UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI INDONESIA Oleh : E. Rial. N, SH 1

PERUMUSAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

BAB I PENDAHULUAN. Pajak memiliki peranan yang sangat besar dalam pembagunan Negara,

PENYELESAIAN SENGKETA PERPAJAKAN

Lex et Societatis, Vol. III/No. 7/Ags/2015. PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK TERHADAP KEBERATAN WAJIB PAJAK 1 Oleh : Jenifer M.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 86/PUU-XII/2014 Pengangkatan Tenaga Honorer/Pegawai Tidak Tetap

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 4/PUU-XIII/2015 Penerimaan Negara Bukan Pajak (Iuran) Yang Ditetapkan Oleh Peraturan Pemerintah

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 /PUU-VII/2009 Tentang Undang-undang Kepabeanan (Sertifikat Registrasi Pabean)

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Pajak menurut Pasal 1 Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 88/PUU-XII/2014 Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 46/PUU-XII/2014 Retribusi Terhadap Menara Telekomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun yang. perolehan pajak bagi APBN dari tahun ke tahun.

BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN PAJAK. semakin meningkat. Dalam upaya untuk mendapatkan dana dari pajak,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 27/PUU-XV/2017 Kewenangan Menteri Keuangan Dalam Menentukan Persyaratan Sebagai Kuasa Wajib Pajak

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 5/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang Notaris dan Formasi Jabatan Notaris

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

KUASA HUKUM Fathul Hadie Ustman berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 20 Oktober 2014.

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 11/PUU-XIII/2015 Hak dan Kesejahteraan Guru Non-PNS yang diangkat oleh Pemerintah.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 63/PUU-XII/2014 Organisasi Notaris

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 134/PUU-XII/2014 Status dan Hak Pegawai Negeri Sipil

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016 Pengampunan Pajak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014 Pengaturan Organisasi Masyarakat dan Sistem Informasi Ormas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 64/PUU-XI/2013 Pajak Rokok

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggara negara memerlukan aspek akuntabilitas (pertanggungjawaban).

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 86/PUU-XII/2014 Pengangkatan Tenaga Honorer/Pegawai Tidak Tetap

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XI/2013 Penyelenggaraan RUPS

Kuasa Hukum: Fathul Hadie Utsman sebagai kuasa hukum para Pemohon, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 20 Oktober 2012.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 13/PUU-XIII/2015 Hak Warga Negara Indonesia Untuk Mendapatkan Kesempatan Yang sama dalam Menunaikan Ibadah Haji

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XIII/2015 Kewajiban Pelaku Pembangunan Rumah Susun Dalam Memfasilitasi Terbentuknya PPPSRS

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014 Pengaturan Organisasi Masyarakat dan Sistem Informasi Ormas

Pajak Kontemporer Peradilan Pajak

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

REPOSISI PENGADILAN PAJAK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-IX/2011 Tentang Peringatan Kesehatan dalam Promosi Rokok

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 122/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 13/PUU-XIV/2016 Penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XI/2013 Tentang Pemberhentian Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

PERLINDUNGAN HUKUM WAJIB PAJAK ATAS PUTUSAN BANDING PPh BADAN YANG DIAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI S K R I P S I

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RechtsVinding Online

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK BERDASARKAN UU NO.14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN UU NO

RINGKASAN. Disertasi ini mengangkat tema sentral yakni Perlindungan Hukum Bagi. Wajib Pajak Atas Penggunaan Wewenang Pemerintah Dalam Rangka

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 94/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 6/PUU-XII/2014 Pemberian Manfaat Pasti Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 5/PUU-XIII/2015

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 66/PUU-XII/2014 Frasa Membuat Lambang untuk Perseorangan dan Menyerupai Lambang Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016 Korelasi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 5/PUU-XIII/2015

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 13/PUU-XIV/2016 Penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 31/PUU-XIV/2016 Pengelolaan Pendidikan Tingkat Menengah Oleh Pemerintah Daerah Provinsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

KUASA HUKUM Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dan Vivi Ayunita Kusumandari, S.H., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Oktober 2014.

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

KUASA HUKUM Dra. Endang Susilowati, S.H., M.H., dan Ibrahim Sumantri, S.H., M.Kn., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26 September 2013.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Meningkatnya kebutuhan pembangunan untuk mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengakibatkan pemerintah dari tahun ke tahun membutuhkan dana yang semakin meningkat pula. Untuk itu, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan negara, salah satunya adalah dengan jalan meningkatkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan, yang meliputi penerimaan Pajak Pusat, Bea Masuk dan Cukai, maupun Pajak Daerah. Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan Kas Negara yang digunakan untuk pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterahkan kehidupan rakyat. Oleh karena itu, sektor Pajak memegang peranan penting dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Penting dan strategisnya peran sektor perpajakan dalam penyelenggaraan pemerintah dapat dilihat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Rancangan APBN setiap tahun yang disampaikan pemerintah, yaitu terjadinya peningkatan persentase sumbangan perolehan pajak bagi APBN dari tahun ke tahun. 1 Pada tahun 2005 kontribusi perolehan pajak bagi APBN sebesar 263,4 Triliun, naik menjadi 315,0 Triliun pada APBN tahun anggaran 2006. Sumbangan pajak bagi anggaran mengalami peningkatan lagi pada tahun anggaran 2007, yaitu sebesar 381,4 Triliun dan naik menjadi 494,1 Triliun pada APBN tahun anggaran 2008. Sedangkan untuk APBN tahun 2009, sumbangan pajak meningkat lagi sebesar 515,9 Triliun. 2 1 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta : Salemba Empat, 2008), hlm. 11. 2 Penerimaan Pajak Diperkirakan Rp 604 Triliun, http://web.antaranews.com/berita/1271942185.htm, diunduh tanggal 30 Mei 2010. 1

2 Penerimaan negara dari sektor perpajakan merupakan salah satu penerimaan negara yang perlu ditingkatkan dan dikelola secara bijak dan adil, agar tercapai kemandirian pembiayaan bernegara dan melepaskan diri dari keterikatan utang luar negeri. Akan tetapi, pada kenyataannya upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan lebih mudah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan upaya meningkatkan keadilannya. Masyarakat selaku Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara pemerintah (instansi perpajakan) dengan pihak Wajib Pajak. Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 bahwa, Segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak. Salah satu asas atau dasar yang menjadi landasan bagi negara untuk memungut pajak, adalah asas equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan), yakni pungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan Wajib Pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap Wajib Pajak. Walaupun pajak dipungut oleh negara berdasarkan asas equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan), pada kenyataannya sering kali masih terjadi sengketa pajak. Terjadinya Sengketa Pajak atau Bea dan Cukai diawali dengan adanya ketidaksamaan persepsi atau perbedaan pendapat antara : 3 1. Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak (aparat Direktoral Jenderal Pajak) atas penetapan Pajak terutang untuk Pajak-Pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak; atau 3 Atep Adya Barata, Memahami Prosedur Beracara Di Pengadilan Pajak, (Jakarta : Sociadana, LP3AB-IBTA, 2002), hlm. 5.

3 2. Wajib Pajak dengan Kepala Daerah/Kepala Dinas Pendapatan Daerah (aparat Dinas Pendapatan Daerah) setempat (Propinsi/Kabupaten/Kota) atas penetapan Pajak terutang untuk Pajak-Pajak daerah; atau 3. Orang (perseorangan atau Badan Hukum)/Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Bea dan Cukai (aparat Direktoral Jenderal Bea dan Cukai) atas penetapan bea masuk, cukai, dan sanksi administrasinya, serta Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor, Pajak Pertambahan Nilai Impor, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Impor. Guna mengurangi sengketa di antara pemerintah (instansi perpajakan) dengan pihak Wajib Pajak, sebaiknya pemerintah (instansi perpajakan) dapat menyelaraskan beban pajak yang harus dipikul oleh Wajib Pajak dengan keadilannya, sehingga Wajib Pajak mampu memenuhi kewajiban dan penggunaan hak dibidang perpajakan secara baik. Namun, sebesar apapun usaha pemerintah untuk menyelaraskan beban pajak yang harus dipikul oleh Wajib Pajak dengan keadilannya, tetap saja terjadi sengketa di antara pemerintah (instansi perpajakan) dengan Wajib Pajak. Untuk itu, diperlukan adanya suatu lembaga penyelesaian perselisihan pajak di Indonesia. Keberadaan lembaga penyelesaian perselisihan pajak di Indonesia pertama kali dibentuk oleh Institusi Pertimbangan Pajak pada tanggal 11 Desember 1915, berdasarkan Staatsblad 1915 Nomor 707. Dengan berlakunya Indonesia Corruption Watch (ICW) (Undang-Undang Perbendaharaan Negara/Staatsblad 1925), maka dibentuklah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang saat itu bernama Raad van Beroep Voor Belastingzaken berdasarkan Ordonnantie tot Regeling van het Beroep in Belastingzaken, Staatsblad 1927 Nomor 29 juncto Staatsblad 1933 Nomor 6, sebagai badan peradilan administrasi. 4 Pada saat pendudukan Jepang di Indonesia yakni pada tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, Raad van Beroep Voor Belastingzaken tetap berfungsi dan menjalankan tugasnya berdasarkan ketentuan Pasal 3 Osomu Seirei Nomor 1 tanggal 1 Maret 1942 yang menyatakan bahwa semua badan-badan pemerintah yang terdahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, sepanjang tidak 4 Drs. Winarto Suhendro, Ak. MM., Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Khusus Di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, http://opinidenny.blogspot.com/2010/04/pengadilan- Pajak.html, diunduh tanggal 7 Mei 2010.

4 bertentangan dengan aturan pemerintahan militer. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959, Raad van Beroep Voor Belastingzaken berganti nama menjadi Majelis Pertimbangan Pajak (MPP). 5 Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara semua putusan Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) dianggap sebagai keputusan Badan/Lembaga Banding Administratif, bukan sebagai putusan Badan Peradilan Administrasi, sehingga putusannya dapat diuji keabsahannya oleh Peradilan Tata Usaha Negara, akibatnya proses penyelesaian Sengketa Pajak menjadi lebih panjang. 6 Kondisi tersebut kemudian melahirkan ide untuk menegaskan Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) sebagai badan peradilan administrasi di bidang perpajakan, dengan cara merumuskannya ke dalam Pasal 27 ayat (1), (2) dan (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, yaitu : 7 1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. 2. Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara. 3. Putusan badan peradilan pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. Upaya penegasan Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) sebagai badan peradilan dalam undang-undang tersebut tidak efektif karena dalam prakteknya Mahkamah Agung berpendapat bahwa selama badan peradilan pajak yang dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1) tersebut di atas belum dibentuk, maka putusan Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) dianggap sebagai keputusan Tata Usaha Negara yang dapat diuji keabsahannya oleh Peradilan Tata Usaha Negara. 8 5 Ibid. 6 Ibid. 7 Ibid. 8 Ibid.

5 Guna memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, maka dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997, sebagai badan peradilan Pajak yang mempunyai tugas memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Pengertian Perpajakan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) ini lebih luas dari sebelumnya karena menyangkut juga sengketa kepabeanan. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga putusannya tidak dapat digugat ke Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 9 Namun demikian, dalam pelaksanaannya Mahkamah Agung menganggap sama halnya dengan putusan Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) semua putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tetap diperiksa dan diputus sesuai hukum acara yang berlaku karena Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) dianggap bukan merupakan badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) tersebut di atas. 10 Berdasarkan pertimbangan bahwa dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan, dan penyelesaian Sengketa Pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana, maka dibentuklah Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. 11 Dengan dibentuknya Pengadilan Pajak telah terjadi perubahan mendasar dalam penyelesaian Sengketa Pajak dan merupakan babak baru hukum positif di Indonesia yang melandasi keberadaan lembaga/badan Peradilan Pajak di Indonesia. Babak baru tersebut bukan semata-mata penggantian istilah lembaga Peradilan Pajak menjadi Pengadilan Pajak, namun hal yang mendasar yaitu 9 Ibid. 10 Ibid. 11 Ibid.

6 menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yang merupakan kekhususan dari Pengadilan Pajak, yaitu : 12 1. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain; 2. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan; 3. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak Terutang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak Terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibatnya jenis putusan Pengadilan Pajak, di samping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar. Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang merupakan kekhususan dari Pengadilan Pajak, antara lain sebagai berikut : 13 1. Pengadilan Pajak berkedudukan di Ibukota Negara; 2. Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedang pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan; 3. Proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak dalam acara pemeriksaannya hanya mewajibkan kehadiran Terbanding atau Tergugat, sedangkan Pemohon Banding atau Penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali apabila dipanggil oleh Hakim atas dasar alasan yang cukup jelas; 4. Proses seleksi penerimaan Hakim dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dengan melibatkan Mahkamah Agung; 5. Pengadilan Pajak selain menjadi bagian integral dari kekuasaan kehakiman juga merupakan bagian integral dari proses penerimaan negara yang bermuara di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); 12 Ibid. 13 Ibid.

7 6. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak; 7. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasca Amandemen keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), telah diundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Berdasarkan kedua Undang- Undang tersebut kedudukan Pengadilan Pajak secara eksplisit dinyatakan sebagai pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 14 Walaupun berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut di atas kedudukan Pengadilan Pajak secara eksplisit dinyatakan sebagai pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), tidak menjadikan Pengadilan Pajak yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dapat begitu saja diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 004/PUU-II/2004 dan Nomor 011/PUU-IV/2006. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 004/PUU-II/2004 tersebut, dalam pertimbangan Pokok Perkara dinyatakan bahwa adanya ketentuan yang menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, dan bahwa di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang telah cukup menjadi dasar yang menegaskan bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). 14 Ibid.

8 Sedangkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 011/PUU-IV/2006, dalam pertimbangan Pokok Perkara dinyatakan bahwa alasan yang diajukan Pemohon ternyata tidak berbeda dengan alasan yang diajukan Pemohon dalam Perkara Nomor 004/PUU-II/2004, sehingga Mahkamah Konstitusi berpendapat permohonan pengujian tersebut tidak memenuhi syaratsyarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan berbeda sebagaimana dimaksud oleh Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang lagi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus materi permohonan a quo. Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 secara tegas juga dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 15 Dibentuknya Pengadilan Pajak telah menimbulkan kerancuan mengingat obyek Sengketa Pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hingga sekarang, kewenangan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Pengadilan Pajak belum dialihkan kepada Mahkamah Agung. Hal ini menimbulkan polemik tersendiri dalam lingkungan Peradilan di Indonesia, khususnya untuk Pengadilan Pajak. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyatakan bahwa : 15 Ibid.

9 (1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. (3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Patrialis Akbar yang menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, juga mengatakan bahwa Pengadilan Pajak di Indonesia tidak konstitusional, sebagaimana ditulis oleh Vini Mariyane Rosya, pada hari Kamis, 08 April 2010, pukul 20.55 Waktu Indonesia Barat, dalam artikel yang berjudul Aturan Pengadilan Pajak Inkonstitusional. 16 Hal itu merujuk kepada Pasal 24H Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) yang dengan tegas menyatakan, Kekuasaan Kehakiman hanyalah di tangan Mahkamah Agung. Dengan demikian Mahkamah Agung secara konstitusi membawahi 4 (empat) pengadilan, yakni Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Aturan pajak harus di judicial review karena kalau tidak itu sama saja dengan inkonstitusional, paparnya di sela-sela kunjungan ke lapas wanita kelas II a, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (8/4). 17 Menurut Patrialis aturan pajak yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 sudah tak sesuai dengan semangat hukum yang mandiri. Pengadilan pajak, imbuhnya, harus berada di bawah satu atap, yakni Mahkamah Agung. Tak boleh satu pun lembaga peradilan yang berdiri saat ini tak berada di bawah Mahkamah Agung. Semua peradilan wajib tunduk ke Mahkamah Agung, terang Patrialis. 18 Dualisme Pengadilan Pajak antara Mahkamah Agung dan Kementerian Keuangan inilah yang menimbulkan anggapan di masyarakat bahwa Pengadilan Pajak adalah pengadilan yang inkonsistusional, yakni disusun dengan melanggar prinsip-prinsip dan prosedural penyusunan dalam pembuatan undang-undang yang patut. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak 16 Aturan Pengadilan Pajak Inkonstitusional, Media Indonesia : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/04/04/134758/16/1/aturan-pengadilan-pajak- Inkonstitusional, diunduh tanggal 4 Mei 2010. 17 Ibid. 18 Aturan Pengadilan Pajak Inkonstitusional, Metronews : http://metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/04/08/14722/aturan-pengadilan-pajak- Inkonstitusional, diunduh tanggal 1 Mei 2010.

10 dianggap telah dibuat tanpa mengikuti prosedur/proses dan tata cara penyusunan yang sesuai dengan norma-norma hukum, asas-asas hukum dan fungsi dalam pembentukan undang-undang yang patut di Indonesia. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, Penulis tertarik untuk membahas hal tersebut sebagai suatu karya tulis ilmiah dengan judul : TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGADILAN PAJAK DI INDONESIA YANG DIANGGAP INKONSTITUSIONAL. 1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, adapun pokok permasalahan dalam penulisan karya tulis ini adalah, sebagai berikut : 1. Apakah anggapan bahwa Pengadilan Pajak adalah pengadilan yang inkonstitusional adalah benar? 2. Tindakan apa dapat ditempuh oleh Pemerintah berkenaan dengan adanya anggapan bahwa Pengadilan Pajak adalah pengadilan yang inkonstitusional tersebut? 1.3 Metode Penelitian Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu harus ditetapkan mengenai metode yang akan dipakai dalam penelitian ini. Metode penelitian yang dipilih sangat penting untuk dijadikan pedoman bagi penelitian yang akan dilakukan oleh Penulis. Dalam rangka melengkapi data yang diperlukan guna penyusunan karya tulis ini, jenis penelitian yang digunakan oleh Penulis adalah yang bersifat yuridisnormatif, karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm) yang berlaku di Indonesia. 19 Selanjutnya, metode penulisan yang akan digunakan oleh Penulis adalah metode penelitian eksplanatoris, yang bertujuan untuk menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam tentang suatu gejala, yang bersifat mempertegas hipotesa yang ada. 20 19 Sri Mamudji, Et. al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, (Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum, 2005), hlm. 68. 20 Ibid., hlm. 4.

11 Dalam mengumpulkan data, Penulis akan menitikberatkan penelitian pada studi kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan melalui studi dokumen atau bahan pustaka, data-data yang diperoleh melalui penelusuran dari bahan-bahan hukum dan bahan-bahan lainnya untuk menjelaskan teori-teori yang mendasari pembahasan materi yang terkandung dalan judul karya tulis ini. Dalam penelitian kepustakaan terdapat 3 (tiga) macam bahan hukum, yang terdiri dari : 21 1. Bahan hukum primer, yaitu : bahan hukum yang mengikat (hukum positif), seperti undang-undang, yurisprudensi, peraturan pemerintah, dan sebagainya. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu : bahan hukum yang memberikan penjelasan pada bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, dan sebagainya. 3. Bahan hukum tersier, yaitu : bahan-bahan yang memberikan petunjuk bagi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi dan sebagainya. Selanjutnya, untuk menganalisa data-data yang telah diperoleh, Penulis akan menggunakan pendekatan kualitatif yang akan menghasilkan data deskriptif analitis. 1.4 Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan karya tulis ini serta untuk memudahkan para pembaca memahaminya, maka Penulis menguraikan karya tulis ini ke dalam 3 (tiga) bab, yang terdiri dari : BAB 1 : PENDAHULUAN Bab ini merupakan pengantar, yang berisi uraian mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, metode penelitian, dan sistematika penulisan dalam karya tulis ini, yang merupakan pengantar untuk bab-bab selanjutnya. 21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penulisan Hukum, cetakan ke-3, (Jakarta : Universitas Indonesia-Press, 1986), hlm. 51-52.

12 BAB 2 : TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGADILAN PAJAK DI INDONESIA YANG DIANGGAP INKONSTITUSIONAL Dalam bab ini diuraikan hasil kajian pustaka, yang berisi uraian mengenai Tinjauan Umum Tentang Pajak, yang terdiri dari Pengertian dan Filosofi Pajak, Fungsi dan Asas-Asas Pajak, Penggolongan dan Prinsip-Prinsip Pengenaan Pajak, dan Sistem Perpajakan Di Indonesia; selain itu dalam bab ini diuraikan pula mengenai Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Pajak, yang terdiri dari Pengertian dan Dasar Hukum Pengadilan Pajak, Kedudukan dan Kompetensi Pengadilan Pajak, serta Putusan Pengadilan Pajak dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak; kemudian dalam bab ini diuraikan pula mengenai Tinjauan Yuridis Tentang Pengadilan Pajak Di Indonesia Yang Dianggap Inkonstitusional, yang terdiri dari Kekuasaan Kehakiman, Pembuatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, Fungsi Pengadilan Pajak, Uji Materiil Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Prinsip-Prinsip Yang Dianut Oleh Pengadilan Pajak. BAB 3 : PENUTUP Bab ini berisi simpulan yang diambil berdasarkan hasil analisa dari bab sebelumnya yang merupakan jawaban dari pokok-pokok permasalahan yang terdapat dalam karya tulis ini, serta saran-saran berupa usulan atau rekomendasi yang tersirat dalam simpulan, sehingga dapat memberikan suatu yang bermanfaat.