III. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam ( Pangasius hypopthalmus 2.2. Transportasi Ikan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian 2.2 Prosedur Kerja Penelitian Pendahuluan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan 2.2 Tahap Penelitian

I. PENDAHULUAN. Akuakultur merupakan kegiatan memproduksi biota (organisme) akuatik di

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. BAHAN DAN METODE

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. BAHAN DAN METODE

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan gurami merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk badan oval

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di

HASIL DAN PEMBAHASAN

VI IDENTIFIKASI RISIKO PERUSAHAAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DA PEMBAHASA

II. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Tahap Penelitian 2.3 Alat dan Bahan Alat dan Bahan untuk Penentuan Kemampuan Puasa Ikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA

Tingkat Kelangsungan Hidup

HASIL DAN PEMBAHASAN Padat Tebar (ekor/liter)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan Uji Nilai Kisaran Uji Toksisitas Akut

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai

EFISIENSI TRANSPORTASI BENIH IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus) PADA UKURAN DAN KEPADATAN YANG BERBEDA

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada 17 Januari 2016 di UD.

Pertukaran cairan tubuh sehari-hari (antar kompartemen) Keseimbangan cairan dan elektrolit:

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Waktu dan Tempat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

SIFAT KOLIGATIF LARUTAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENYERAPAN UNSUR HARA OLEH AKAR DAN DAUN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh Variasi Dosis Tepung Ikan Gabus Terhadap Pertumbuhan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Artikel Kimia tentang Peranan Larutan Penyangga

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN, Pangasius sp.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Penambahan garam dalam air media yang berisi zeolit dan arang aktif pada transportasi sistem tertutup benih ikan gurami Osphronemus goramy Lac.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Penelitian Pendahuluan Hasil penelitian pendahuluan menyitir hasil penelitian Handayani (2012). 3.1.1.1 Kemampuan Puasa Ikan Kemampuan puasa benih ikan nila BEST ukuran 2-3 cm yang dipelihara sebanyak 30 ekor dapat bertahan hidup dalam keadaan puasa selama 7 hari dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 100%. Hasil uji dari kemampuan puasa ikan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kemampuan Puasa Ikan Nila BEST Hari ikan ikan SR Suhu ph DO Tingkah Laku Ikan ke- Hidup (ekor) Mati (ekor) (100%) ( o C) (mg/l) 1 30 0 100 27,0 8,00 6,8 Berenang aktif 2 30 0 100 27,3 7,96 6,8 Berenang aktif 3 30 0 100 26,9 7,28 6.6 Berenang aktif 4 30 0 100 26,9 7,32 6,8 Berenang aktif 5 30 0 100 26,8 7,28 6.5 Berenang aktif 6 30 0 100 26,9 7,30 6,4 Berenang aktif 7 30 0 100 26,8 7,16 6,3 Berenang aktif Keterangan: dilakukan pergantian air pemeliharaan setiap hari sebanyak 20% untuk menjaga kualitas air. 3.1.1.2 Tingkat Konsumsi Oksigen Benih Ikan Nila BEST Tabel 2. Tingkat Konsumsi Oksigen Ulangan (mgo 2 ) SD Jam ke 1 2 3 rata-rata (mgo 2 ) 0 4,07 3,72 3,63 3,81 0,232 1 3,73 3,52 3,31 3,52 0,210 2 3,25 2,95 2,63 2,94 0,310 3 2,72 2,95 2,37 2,68 0,292 4 2,54 2,77 2,25 2,52 0,261 5 2,22 2,64 1,86 2,24 0,390 TKO 0,052 0,078 11

Hasil uji TKO diperoleh benih ikan nila BEST dengan ukuran 2-3 cm (bobot ± 0,26 gram) memiliki nilai TKO sebesar 0,052 mgo 2.g -1.jam -1, jadi jumlah oksigen yang dibutuhkan selama 24 jam dengan kepadatan 700 ekor/l adalah sebanyak 227 mgo 2 (Lampiran 1). 3.1.1.3 Laju Ekskresi TAN Benih Ikan Nila BEST Tabel 3. Laju Ekskresi Amoniak Jam ke- Ulangan (mg/l) 1 2 3 Rata-rata (mg/l) SD 12 1,75 1,7 1,87 1,773 0,087 24 1,86 2,05 1,96 1,957 0,095 36 1,82 2,71 2,82 2,450 0,548 48 2,56 3,55 3,39 3,167 0,531 ekskresi/24 jam 0,700 1,5 1,43 1,210 0,443 ekskresi/jam 0,029 0,063 0,060 0,050 0,019 ekskresi/ekor 0,003 0,006 0,006 0,005 0,002 Ekskresi TAN benih ikan nila BEST dengan ukuran 2-3 cm (bobot ± 0,26 gram) dari pengujian setiap 12 jam selama 48 jam didapat nilai TAN 0,005 mg TAN L -1.jam -1 (Lampiran 2). Berdasarkan hasil uji tersebut diprediksi nilai TAN ikan nila BEST dengan ukuran 2-3 cm (bobot ± 0,26 gram) sebanyak 700 ekor dalam media transportasi selama 24 jam adalah 21,84 mg/l. 3.1.1.4 Kapasitas Daya Serap Zeolit Tabel 4. Kapasitas Daya Serap Zeolit Detik ke- Sampel TAN (mg/l) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata±SD 0 sampel 1 0,626 0,626 0,626 0,114±0,000 60 sampel 2 0,280 0,687 0,791 0,586±0,270 120 sampel 3 0,192 0,203 0,242 0,212±0,026 180 sampel 4 0,121 0,170 0,121 0,137±0,028 240 sampel 5 0,115 0,082 0,115 0,104±0,019 300 sampel 6 0,071 0,077 0,082 0,077±0.,006 360 sampel 7 0,060 0,066 0,066 0,064±0,034 420 sampel 8 0,000 0,000 0,000 0,000±0,000 12

Kapasitas daya serap zeolit dari pengujian setiap 60 detik selama 420 detik didapat nilai TAN 0,114 mg/l pada detik ke-0 dan nilai TAN 0,00 mg/l pada detik ke-420 (Tabel 4). 3.1.1.5 Kapasitas Daya Serap Karbon Aktif Tabel 5. Kapasitas Daya Serap Karbon Aktif Detik Sampel TAN (mg/l) ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata±SD 0 sampel 1 1,028 1,028 1,028 1,028±0,000 60 sampel 2 0,949 1,108 0,608 0,888±0,255 120 sampel 3 0,313 0,250 0,295 0,286±0,032 180 sampel 4 0,347 0,324 0,199 0,290±0,079 240 sampel 5 0,233 0,318 0,273 0,275±0,042 300 sampel 6 0,119 0,233 0,261 0,204±0,075 360 sampel 7 0,108 0,222 0,182 0,171±0,057 420 sampel 8 0,091 0,170 0,170 0,114±0,456 Kapasitas daya serap karbon aktif dari pengujian setiap 60 detik selama 420 detik didapat nilai TAN 1.028 mg/l pada detik ke-0 dan nilai TAN 0,114 mg/l pada detik ke-420 (Tabel 5). 3.1.2 Penelitian Utama 3.1.2.1 Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Transportasi Benih Ikan Nila BEST Tabel 6. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) selama Transportasi Nilai SR(%) Pemeliharaan Per Perlakuan Jam ke- 4 g/l 8 g/l 12 g/l 20 g/l 0 100±0,00 a 100±0,00 a 100±0,00 a 100±0,00 a 4 100±0,00 a 99,93±0,10 a 99,86±0,21 a 100±0,00 a 8 100±0,00 a 99,93±0,10 a 99,86±0,21 a 100±0,00 a 12 100±0,00 a 99,93±0,10 a 99,86±0,21 a 100±0,00 a 16 99,79±0.11 b 99,43±0,20 b 99,22±0,11 b 94,86±0,81 a 20 99,79±0.11 a 99,29±0,00 a 99,00±0,20 a 72,14±17,78 b 24 99,57±0,00 c 97,43±0,81 c 88,07±1,51 b 24,64±4,14 a Keterangan: Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05) 13

Hasil tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila BEST selama transportasi dapat dilihat pada Tabel 6, sedangkan hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 25. Berdasarkan uji statistik tidak terdapat perbedaan nyata antar perlakuan pada jam ke-0 hingga jam ke-12, namun terdapat perbedaan nyata pada jam ke-16 hingga jam ke-24 (P<0,05). Tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila BEST sebesar 100% pada jam ke-0, untuk perlakuan 4 g/l dan 20 g/l kelangsungan hidup masih sebesar 100% hingga jam ke-12. Kematian ikan mulai terjadi pada jam ke-4 pada perlakuan 8 g/l dan 12 g/l. Nilai tingkat kelangsungan hidup ikan nila BEST hingga akhir perlakuan bervariasi pada perlakuan 4 g/l, 8 g/l, 12 g/l, dan 20 g/l. Nilai tingkat kelangsungan hidup tertinggi adalah sebesar 99,57% pada perlakuan 4 g/l dan terendah sebesar 24,64% pada perlakuan 20 g/l (P<0,05). 3.1.2.2 Kualitas Air Media Transportasi Konsentrasi total amoniak nitrogen (TAN) selama transportasi mempunyai nilai yang berbeda antar perlakuan dan selalu naik untuk setiap jam pengamatannya (Tabel 7). Nilai TAN tertinggi sebesar 3,21 mg/l pada perlakuan 20 g/l jam ke-24, sedangkan nilai TAN terendah sebesar 0,23 mg/l pada perlakuan 4 g/l jam ke-0. Nilai TAN 4 g/l, 8 g/l, 12 g/l, dan 20 g/l pada jam ke-24 berturut-turut adalah 1,7 mg/l, 1,97 mg/l, 2,37 mg/l, dan 3,21 mg/l (Gambar 1). Berdasarkan uji statistik pada jam ke-8 tidak terdapat perbedaan nyata untuk setiap perlakuan. Pada jam ke-24 tidak terdapat perbedaan nyata antar perlakuan 4 g/l dan 8 g/l, namun terdapat perbedaan nyata terhadap perlakuan 12 g/l dan 20 g/l (P<0,05) (Lampiran 21). Tabel 7. Kadar TAN Media Transportasi TAN (mg/l) Jam ke- 4 g/l 8 g/l 12 g/l 20 g/l 0 0,23±0,04 a 0,3±0,06 ab 0,34±0,06 ab 0,52±0,06 b 4 0,36±0,04 a 0,60±0,04 b 0,38±0,08 ab 0,57±0,06 ab 8 0,58±0,08 a 0,90±0,11 a 0,69±0,08 a 0,91±0,04 a 12 0,79±0,09 a 1,29±0,02 b 1,37±0,02 b 1,42±0,00 b 16 1,22±0,11 a 1,50±0,04 b 1,72±0,05 bc 1,82±0,04 c 20 1,55±0,10 a 1,79±0,09 ab 2,08±0,04 b 2,46±0,10 c 24 1,70±0,02 a 1,97±0,02 a 2,37±0,13 b 3,21±0,06 c Keterangan: Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05) 14

4 TAN (mg/l) 3 2 1 0 0 4 8 12 16 20 24 4 g/l 8 g/l 12 g/l 20 g/l Waktu (jam) Gambar 1. Nilai TAN Media Transportasi Nilai CO 2 mengalami peningkatan selama perlakuan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai CO 2 pada jam ke-24 berkisar antara 15,98 mg/l hingga 63,13 mg/l. Nilai CO 2 terendah sebesar 4 mg/l pada perlakuan 4 g/l jam ke-0, sedangkan nilai CO 2 tertinggi sebesar 63,13 mg/l pada perlakuan 20 g/l jam ke- 24 (Gambar 2). Hasil uji statistik pada jam ke-24 tidak terdapat perbedaan nyata untuk perlakuan 4 g/l, 8 g/l dan 12 g/l, namun terdapat perbedaan nyata pada perlakuan 20 g/l (P<0,05) (Lampiran 23). 80 CO2 (mg/l) 60 40 20 0-20 0 4 8 12 16 20 24 Waktu (jam) 4 g/l 8 g/l 12 g/l 20 g/l Gambar 2. Nilai CO 2 Media Transportasi Nilai suhu bervariasi dan mengalami penurunan selama perlakuan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai suhu pada jam ke-24 berkisar antara 26,5 o C hingga 21,5 o C. Nilai suhu terendah sebesar 21,5 o C pada perlakuan 20 g/l jam ke- 24, sedangkan nilai suhu tertinggi sebesar 26,5 o C pada perlakuan 4 g/l, 8 g/l, 12 g/l, dan 20 g/l jam ke-0 (Gambar 3). 15

Hasil uji statistik pada jam ke-24 tidak terdapat perbedaan nyata untuk perlakuan 4 g/l, 8 g/l dan 12 g/l, dan 20 g/l (P<0,05) (Lampiran 27). SUHU (oc) 30 20 10 0 0 4 8 12 16 20 24 Waktu (jam) Gambar 3. Nilai Suhu Media Transportasi 4 g/l 8 g/l 12 g/l 20 g/l Nilai ph mengalami penurunan selama perlakuan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai ph pada jam ke-24 berkisar antara 5,4 hingga 5,7. Nilai ph terendah sebesar 5,4 pada perlakuan 4 g/l jam ke-24, sedangkan nilai ph tertinggi sebesar 8 pada perlakuan 20 g/l jam ke-0 (Gambar 4). Hasil uji statistik pada jam ke-24 tidak terdapat perbedaan nyata untuk perlakuan 4 g/l, 8 g/l dan 12 g/l, dan 20 g/l (P<0,05) (Lampiran 28). ph 10 8 6 4 2 0 0 4 8 12 16 20 24 Waktu (jam) Gambar 4. Nilai ph Media Transportasi 4 g/l 8 g/l 12 g/l 20 g/l Nilai DO mengalami penurunan selama perlakuan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai DO pada jam ke-24 berkisar antara 2,7 mg/l hingga 3,55 mg/l. Nilai DO terendah sebesar 2,7 mg/l pada perlakuan 20 g/l jam ke-24, sedangkan nilai DO tertinggi sebesar 6,4 mg/l pada perlakuan 4 g/l jam ke-0 (Gambar 5). 16

Hasil uji statistik pada jam ke-24 tidak terdapat perbedaan nyata untuk perlakuan 4 g/l, 8 g/l dan 12 g/l, dan 20 g/l (P<0,05) (Lampiran 26). DO (mg/l) 8 6 4 2 0 0 4 8 12 16 20 24 Waktu (jam) 4 g/l 8 g/l 12 g/l 20 g/l Gambar 5. Nilai DO Media Transportasi Nilai kesadahan mengalami peningkatan selama perlakuan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai kesadahan pada jam ke-24 berkisar antara 115 mg/l hingga 149 mg/l. Nilai kesadahan terendah sebesar 60 mg/l pada perlakuan 4 g/l jam ke-0, sedangkan nilai kesadahan tertinggi sebesar 149 mg/l pada perlakuan 20 g/l jam ke-24 (Gambar 6). Hasil uji statistik pada jam ke-24 tidak terdapat perbedaan nyata untuk perlakuan 4 g/l, 8 g/l dan 12 g/l, namun terdapat perbedaan nyata pada perlakuan 20 g/l (P<0,05) (Lampiran 24). Kesadahan (mg/l) 200 150 100 50 0 0 4 8 12 16 20 24 Waktu (jam) Gambar 6. Nilai Kesadahan Media Transportasi 4 g/l 8 g/l 12 g/l 20 g/l Nilai NH 3 mengalami perubahan bervariasi selama perlakuan dari jam ke- 0 hingga jam ke-24. Nilai NH 3 pada jam ke-24 berkisar 0,03 mg/l dan 0,04 mg/l. Nilai NH 3 terendah sebesar 0,001 mg/l pada perlakuan 4 g/l jam ke-0, sedangkan nilai NH 3 tertinggi sebesar 0,03 mg/l pada perlakuan 20 g/l jam ke-0 (Gambar 7). 17

Hasil uji statistik pada jam ke-24 tidak terdapat perbedaan nyata untuk perlakuan 4 g/l, 8 g/l dan 12 g/l, dan perlakuan 20 g/l (P<0,05) (Lampiran 22). NH3 (mg/l) 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000-0,010 0 4 8 12 16 20 24 4 g/l 8 g/l 12 g/l 20 g/l Waktu (jam) Gambar 7. Nilai NH 3 Media Transportasi 3.1.2.3 Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila BEST pada Pemeliharaan Pascatransportasi Tingkat kelangsungan hidup ikan nila BEST pascatransportasi memiliki persentase hampir sama. Pada pemeliharaan hari ke-2, tingkat kelangsungan hidup ikan nila pada perlakuan 4 g/l sebesar 98,42%, 8 g/l sebesar 97,72%, 12 g/l sebesar 96,36%, dan 20 g/l sebesar 92,2%. Tingkat kelangsungan hidup ikan mengalami penurunan sampai pemeliharaan hari ke-3. Tingkat kelangsungan hidup paling tinggi hingga akhir pemeliharaan selama 20 hari adalah sebesar 98,14% pada perlakuan 4 g/l, dan terendah sebesar 90,44% pada perlakuan 20 g/l. 105 100 4 g/l SR (%) 95 90 85 80 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 8 g/l 12 g/l 20 g/l Waktu (hari) Gambar 8. Tingkat Kelangsungan Hidup Pascatransportasi 18

3.1.2.4 Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Nila BEST pada Pemeliharaan Pascatransportasi Laju pertumbuhan ikan nila BEST tertinggi sebesar 7,48% terdapat pada perlakuan 8 g/l, sedangkan terendah adalah sebesar 5,06% pada perlakuan 4 g/l (Gambar 8). Hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan nyata untuk perlakuan 4 g/l, 8 g/l dan 12 g/l, dan perlakuan 20 g/l (P<0,05) (Lampiran 29). 9 8 7 6 5 5,06 7,48 6,29 7,23 4 3 2 a a a a 1 0 A (4 g/l) B (8 g/l) C (12 g/l) D (20 g/l) Gambar 9. Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Nila BEST 3.1.2.5 Histologi Insang Histologi adalah ilmu yang mempelajari anatomi secara mikroskopis, yaitu dengan menggunakan mikroskop untuk mengamatinya. Insang merupakan alat pernafasan pada ikan. Komponen pernafasan insang terdiri dari filamen atau lamela primer dan lamela sekunder. Insang merupakan organ respirasi utama dan vital pada ikan. Epitel insang ikan merupakan bagian utama untuk pertukaran gas, keseimbangan asam basa, regulasi ion, dan ekskresi nitrogen. Gambar 10-14 berikut merupakan hasil pengamatan histologi insang pada perlakuan benih ikan nila BEST. Dari gambar dapat dilihat hasil histologi yang terjadi pada insang ikan sebelum perlakuan, setelah pengangkutan dan setelah pemeliharaan pada perlakuan dosis kadar garam 4 g/l, 8 g/l, 12 g/l, dan 20 g/l. 19

M Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (M). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm) Gambar 10. Preparat Histologi Insang sebelum Transportasi M E He 1 2 (1). Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (M) hemoragi (He). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm) pada Insang Ikan 4 g/l setelah transportasi dan 11(2). edema (E) Pewarnaan HE (Bar = 50 μm) pada Insang Ikan 4 g/l setelah pemeliharaan Gambar 11. Preparat Histologi Insang 4 g/l 20

M He E E T 1 2 (1). Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (M) hemoragi (He) edema (E). Pewarnaan HE (Bar = 50 μm) pada Insang Ikan 8 g/l setelah transportasi dan 12(2). edema (E) teleangiektasis lamela sekunder (T) Pewarnaan HE (Bar = 10 μm) pada Insang Ikan 8 g/l setelah pemeliharaan Gambar 12. Preparat Histologi Insang 8 g/l M E E H 1 2 (1). edema (E). hiperplasia (H) Pewarnaan HE (Bar = 50 μm) pada Insang Ikan 12 g/l setelah transportasi dan 13(2). edema (E) Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (M) Pewarnaan HE (Bar = 20 μm) pada Insang Ikan 12 g/l setelah pemeliharaan Gambar 13. Preparat Histologi Insang 12 g/l 21

M E He T M 1 2 (1). Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (M) edema (E) hemoragi (He). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm) pada Insang Ikan 20 g/l setelah transportasi dan 14(2). Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (M) teleangiektasis lamella sekunder (T). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm) pada Insang Ikan 20 g/l setelah pemeliharaan Gambar 14 Preparat Histologi Insang 20 g/l 22

3.1.2.6 Analisa Keuntungan Berikut ini merupakan analisa efisiensi biaya transportasi benih ikan nila BEST satu kantong dengan kepadatan 700 ekor/liter. Tabel 8. Perhitungan Pembiayaan Transportasi Benih Ikan Nila BEST Harga/satuan (Rp) Harga per packing Perlakuan 8 g/l 12 g/l (Rp) (Rp) 4 g/l (Rp) 20 g/l (Rp) Jenis Biaya Satuan Jumlah ikan nila BEST ukuran 2-3 cm Rp/ekor 700 40 28.000 28.000 28.000 28.000 oksigen murni per kantong Rp/kg 3 100 300 300 300 300 plastik packing Rp/lembar 2 164 328 328 328 328 kain kasa Rp/cm 225 1 225 225 225 225 karet Rp/buah 5 14 70 70 70 70 es batu Rp/box 1/3 2.000 667 667 667 667 transportasi per packing Rp/kg 4 375 1.500 1.500 1.500 1.500 karbon aktif Rp/gram 10 4.5 45 45 45 45 zeolit Rp/gram 20 3 60 60 60 60 garam 4, 8, 12, 20 1 4 8 12 20 Rp/gram Total Biaya 31.199 31.203 31.207 31.215 SR transportasi 99,57% 97,43% 88,07% 24,64% Jumlah ikan hidup pascatransportasi 684 666 591 173 Biaya terendah yang dikeluarkan yaitu pada perlakuan 4 g/l sebesar Rp. 31.199,- dengan kelangsungan hidup (SR) transportasi 99,57% dan tertinggi pada perlakuan 20 g/l sebesar Rp. 31.215,- dengan kelangsungan hidup (SR) transportasi 24,64%. 23

3.2 Pembahasan 3.2.1 Penelitian Pendahuluan Hasil penelitian pendahuluan yang meliputi pengukuran kemampuan ikan puasa, tingkat konsumsi oksigen (TKO), dan laju ekskresi amoniak dari benih ikan nila BEST ukuran 2-3 cm dengan bobot 0,26 g, dapat dilakukan transportasi selama 24 jam (Tabel 1-3). Tingkat kelangsungan hidup ikan pada hasil uji kemampuan puasa pada ikan menunjukkan selama 7 hari kegiatan puasa, benih ikan nila BEST dapat bertahan hidup 100%. Kemampuan puasa benih ikan nila BEST yang mampu bertahan selama 7 hari dengan SR 100% tersebut dapat digunakan untuk transportasi dengan kebutuhan waktu selama 3 hari yaitu 2 hari pemuasaan dan 1 hari transportasi. Pemuasaan yang dilakukan selama 2 hari sebelum ditransportasikan bertujuan untuk mengosongkan saluran pencernaan ikan, sehingga metabolisme ikan menurun. Sehingga hasil tersebut dapat diketahui bahwa kematian ikan selama proses transportasi 24 jam bukan dikarenakan ikan tidak diberi pakan tetapi karena faktor lain seperti menurunnya kualitas air media. Nilai uji TKO ikan nila BEST dengan ukuran 2-3 cm dengan bobot 0,26 g sebesar 0,052 mgo 2.g -1.jam -1, sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan selama 24 jam dengan kepadatan 700 ekor/l adalah sebanyak 227 mgo 2 (Lampiran 1). Jumlah konsumsi oksigen ditentukan untuk penyesuaian jumlah gas oksigen yang dimasukkan ke dalam kantong pengepakan. Oksigen yang dimasukkan ke dalam kantong pengepakan sebanyak 4-4,5 L. Apabila dilihat dari perbandingan antara oksigen yang diberikan dengan kebutuhan oksigen tiap perlakuan, oksigen yang diberikan ke dalam plastik packing cukup untuk kebutuhan oksigen ikan selama transportasi. Tingkat konsumsi oksigen suatu organisme berbeda-beda tergantung pada spesies, ukuran tubuh, aktivitas, jenis kelamin, suhu, tingkat konsumsi pakan dan konsentrasi oksigen terlarut (Boyd 1990). Ikan yang memiliki bobot lebih kecil akan membutuhkan oksigen yang lebih banyak dibandingkan ikan yang memiliki bobot lebih besar. Hal ini disebabkan karena ikan yang berukuran lebih kecil lebih banyak membutuhkan energi untuk pertumbuhan, aktivitas, dan pembentukan jaringan baru. Spotte (1970) dalam Ghozali (2007) menambahkan bahwa organisme berukuran kecil memiliki laju metabolisme tubuh lebih tinggi daripada ikan yang berukuran besar. 24

Laju ekskresi amoniak menghasilkan ekskresi amoniak sebesar 0,005 mg TAN L -1.jam -1 (Lampiran 2). Berdasarkan hasil uji tersebut, nilai TAN ikan nila BEST dengan ukuran 2-3 cm (bobot ± 0,26 gram) sebanyak 700 ekor dalam media transportasi selama 24 jam adalah 21,84 mg/l. Dalam wadah transportasi ekskresi amoniak penting diketahui karena akumulasi amoniak dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup organisme yang diangkut. Hal ini dikarenakan dalam kandungan amoniak terdapat NH 3 yang berbahaya bagi ikan. Laju ekskresi amoniak ditentukan untuk penggunaan zeolit dan karbon aktif sebagai penyerap amoniak. Menurut Setyawan (2003), 1 mg amoniak dapat diserap oleh 1 g zeolit. 3.2.2 Penelitian Utama Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian transportasi ikan nila BEST ukuran 2-3 cm dengan lama transportasi 16 jam dengan dosis zeolit (20 g/l) dan karbon aktif (10 g/l) dengan kepadatan benih ikan nila BEST yang berbeda, yaitu kepadatan benih ikan nila BEST optimum pada kepadatan 700 ekor/l menghasilkan tingkat kelangsungan hidup mencapai 79% (Lampiran 4) (Handayani 2012). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya (Handayani 2012) yaitu adanya penambahan garam pada media transportasi. Adapun dosis yang digunakan pada penelitian ini adalah zeolit (20 g/l), karbon aktif (10 g/l) dan garam (4 g/l, 8 g/l, 12 g/l, dan 20 g/l). Kepadatan tinggi benih ikan nila BEST digunakan pada penelitian ini, untuk mengetahui efisiensi penambahan garam terhadap tingkat kelangsungan hidup benih selama transportasi. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup (SR) yang terbaik adalah perlakuan 4 g/l yang mencapai 99,57%. Sedangkan kelangsungan hidup (SR) terendah terjadi pada perlakuan 20 g/l yaitu 24,64% (Tabel 6). Tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan 20 g/l yang rendah dikarenakan selama transportasi ikan melakukan berbagai aktivitas seperti respirasi dan metabolisme lainnya seperti ekskresi feses sehingga terdapat amoniak sebesar 3,21±0,06 mg/l yang dapat membahayakan fisiologi tubuh ikan. Bose et al. (1991) menambahkan beberapa hal penyebab kematian ikan dalam transportasi seperti menipisnya persediaan oksigen terlarut di media 25

Lampiran 5. Tingkat Kelangsungan Hidup (%) Ikan Nila BEST Selama Pemeliharaan Perlakuan Ulangan Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 (%) 100 99,28 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99.14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 2 (%) 100 97,56 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97.13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 Rata-rata 100,00 98,42 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 4 g/l SD 0,00 1,22 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1 (%) 100 98,83 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 2 (%) 100 96,61 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 Rata-rata 100,00 97,72 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 8 g/l SD 0,00 1,57 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1 (%) 100 95,99 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 2 (%) 100 96,72 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 Rata-rata 100,00 96,36 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95.87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 12 g/l SD 0,00 0,52 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 1 (%) 100 96,89 95,85 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 2 (%) 100 87,5 87,5 86,84 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 Rata-rata 100,00 92,20 91,68 91,09 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 20 g/l SD 0,00 6,64 5,90 6,01 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 46

transportasi, akumulasi dari gas toksik seperti amoniak, luka fisik akibat penanganan sebelum transportasi, gerakan ikan yang hiperaktif di awal transportasi, fluktuasi suhu air yang mendadak, dan penyakit. Nilai tingkat kelangsungan hidup ikan rata-rata yang baik berkisar antara 73,5-86,0%. Kelangsungan hidup ikan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya kualitas air yang meliputi suhu, kadar amoniak dan nitrit, oksigen yang terlarut, dan tingkat keasaman (ph) perairan, serta rasio antara jumlah pakan dengan kepadatan (Nugroho 2006). Penambahan bahan aktif ke dalam media transportasi mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup. Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui tingkat kelangsungan hidup ikan selama transportasi dipengaruhi oleh kualitas air di dalam media dan adanya peran penambahan bahan kedalam media yaitu zeolit, karbon aktif, dan garam. Penambahan garam sebanyak 4 g/l ke dalam media memberikan hasil tingkat kelangsungan hidup (SR) yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya yaitu sebesar 99,57%. Menurut Swann dan Lllinois (1993), penambahan bahan aditif dapat diberikan pada saat transportasi ikan. Namun, dosis yang diberikan harus optimal karena dosis yang berlebih akan mengakibatkan munculnya masalah pada saat perlakuan. Oleh sebab itu dibutuhkan pengukuran dosis yang tepat untuk setiap bahan aditif. Hasil penelitian menunjukkan penambahan dosis garam sebanyak 4 g/l merupakan dosis garam yang tepat untuk ikan nila BEST. Penambahan garam kedalam air yang digunakan sebagai media transportasi bertujuan untuk menurunkan perbedaan kadar mineral antara air dan darah ikan yang akan menurunkan efek dari ketidakseimbangan tekanan osmotik ikan air tawar yang memiliki konsentrasi mineral garam dalam tubuh yang lebih tinggi dari pada lingkungannya yang mengakibatkan ikan cenderung kehilangan mineral garam dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan Swann (1993), yaitu penambahan garam dapat meringankan stress dan menjaga keseimbangan antara konsentrasi cairan tubuh dan lingkungan. Untuk itu dibutuhkan penambahan garam dalam media air untuk meminimalisir penggunaan energi oleh ikan untuk kegiatan osmoregulasi. + Kegunaan zeolit dalam transportasi ikan adalah sebagai penukar ion NH 4 dengan Ca 2+ atau Na + atau ion-ion lainnya. Sehingga dapat menetralkan racun 26

hasil metabolisme. Penggunaan zeolit juga dapat menyerap karbondioksida namun tidak sekuat terhadap penyerapan TAN. Hal ini sesuai dengan Mumpton (1999), bahwa zeolit dapat menjerap molekul polar dengan selektifitas yang tinggi dan CO 2 merupakan salah satu molekul polar. Walaupun terdapat garam dalam media transportasi yang bermolekul NaCl dengan kandungan Na + di dalamnya juga merupakan ion positif yang dapat diserap dengan zeolit, namun zeolit lebih bersifat selektif untuk menyerap NH4 + dibanding Na +. Hal ini sesuai dengan Harjono (2004) dalam Ghozali (2007) bahwa zeolit klinoptiloit akan lebih mudah melakukan pertukaran dengan NH 4 dibanding dengan Na, Mg, dan Ca. Sehingga fungsi garam sebagai pengatur tekanan osmotik dalam perlakuan ini tetap maksimum. Penggunaan zeolit menurut Setyawan (2003) baik digunakan dalam wadah transportasi selain dapat mengurangi amoniak juga dapat mencegah terjadinya penurunan ph air yang diakibatkan oleh sisa respirasi organisme yang diangkut. Sedangkan karbon aktif memiliki sifat absorbtif terhadap suatu larutan, gas, atau uap sehingga bahan tersebut dapat digunakan sebagai penjernih larutan, penghisap gas atau racun dan penghilang warna. Sifat karbon aktif yang paling penting adalah daya serap. Banyak senyawa yang dapat diabsorpsi oleh karbon aktif, tetapi kemampuannya untuk mengabsorpsi berbeda untuk masing-masing senyawa. Ikan memerlukan air yang layak untuk mendukung kelangsungan hidupnya. Kualitas air yang paling berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan meliputi oksigen terlarut, suhu, ph air, karbondioksida, dan amoniak (Effendi 2003). Jhingran dan Pullin (1985) mengatakan, air harus memenuhi persyaratan untuk kesehatan ikan, seperti bebas dari partikel tanah, bahan organik, kontaminasi hama, parasit atau penyakit serta bahan-bahan polusi yang dapat mengganggu kesehatan dan kehidupan ikan. Kualitas air yang buruk, akan berdampak pada kematian ikan, oleh karena itu kualitas air dalam media transportasi penting untuk diperhatikan. Kualitas air yang diamati pada penelitian selama transportasi meliput i TAN, NH 3, CO 2, suhu, ph, DO, dan kesadahan. Konsentrasi Total Amoniak Nitrogen (TAN) pada penelitian menunjukkan peningkatan setiap waktunya (Tabel 7). Nilai TAN tertinggi sebesar 3,21 mg/l pada perlakuan 20 g/l jam ke-24, sedangkan nilai TAN terendah sebesar 27

0,23 mg/l pada perlakuan 4 g/l jam ke-0. Semakin tinggi garam yang digunakan, nilai amoniak semakin tinggi. Hal ini dikarenakan garam yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan racun amoniak pada media transportasi. Salah satu cara untuk mengurangi konsentrasi amoniak adalah menggunakan zeolit dan karbon aktif, karena zeolit dan karbon aktif mampu mengadsorbsi sejumlah amoniak dalam waktu tertentu (Supendi 2006). Terdapat dua bentuk amoniak di perairan, yaitu amoniak tak terionisasi (NH 3 ) dan ammonium (NH + 4 ) (Boyd 1990). Menurut Effendi (2003) bentuk kandungan NH 3 dan NH + 4 tergantung pada konsentrasi ion hidrogen pada air. Air + dengan ph rendah memiliki ion hidrogen lebih banyak sehingga bentuk NH 4 lebih dominan. Kandungan NH 3 yang tinggi tanpa di dukung oleh faktor lain seperti kandungan oksigen yang memadai dan keberadaan kation yang bermanfaat untuk ikan di dalam air akan menyebabkan kematian ikan karena bersifat toksik. Sawyer dan McCarty (1978) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar amoniak bebas yang tidak terionisasi pada air tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02 mg/l. Jika kadar amoniak lebih dari 0,02 mg/l maka air tersebut bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Hal ini terbukti dengan kematian pesat ikan pada jam ke-24 pada perlakuan kadar garam 20 g/l, dimana pada jam tersebut nilai NH 3 hasil penelitian tinggi (Gambar 7). Peningkatan suhu air selama transportasi juga dapat menjadi penyebab meningkatnya NH 3 yang bersifat toksik sehingga dapat membahayakan ikan. Muhammad (2001) menyatakan pengikatan hemoglobin terhadap amoniak lebih tinggi dibandingkan pengikatan hemoglobin terhadap oksigen, sehingga sel pada insang tidak mendapat suplai oksigen yang cukup dan mengakibatkan kematian pada benih. Konsentarasi CO 2 pada penelitian dalam media air transportasi yang berisi benih ikan sebanyak 700 ekor/l terus mengalami peningkatan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai CO 2 pada jam ke-24 berkisar antara 15,98 mg/l hingga 63,13 mg/l. Nilai CO 2 terendah sebesar 4 mg/l pada perlakuan 4 g/l jam ke-0, sedangkan nilai CO 2 tertinggi sebesar 63,13 mg/l pada perlakuan 20 g/l jam ke- 24 (Gambar 2). CO 2 bersifat racun dikarenakan gas ini menghalangi pengikatan oksigen oleh darah. Nilai CO 2 yang tinggi disebabkan kurangnya kemampuan zeolit dan karbon aktif dalam menyerap CO 2 dalam media transportasi. Sementara 28

itu menurut Berka (1986), kepadatan ikan dapat meningkatkan konsentrasi CO 2 saat transportasi, tetapi konsentrasi tersebut dapat ditoleransi jika ikan dalam keadaan tenang. Karbondioksida dalam media transportasi merupakan hasil respirasi dan dapat mengancam kelangsungan hidup ikan. Jumlah karbondioksida yang terlampau banyak akan bersifat racun bagi ikan (Jhingran dan Pullin 1985). Boyd (1992) mengatakan konsentrasi CO 2 sebesar 50-100 mg/l dapat membunuh ikan, namun CO 2 tidak berpengaruh nyata ke ikan, karena kebanyakan ikan mampu bertahan selama beberapa hari dalam air dengan konsentrasi CO 2 sebesar 60 mg/l dengan kondisi cukup oksigen terlarut. Konsentrasi CO 2 yang lebih besar dari 20 mg/l akan menghalangi pengambilan dan pengikatan oksigen dalam darah (Swann dan Illinois 1993). Berka (1986) menambahkan bahwa nilai-nilai kritis untuk karbondioksida selama transportasi sistem tertutup tergantung pada spesies, namun bervariasi antara 40 mg/l untuk spesies ikan di daerah bermusim, dan sampai dengan 140 mg/l untuk ikan tropis. Dalam hal ini ikan nila BEST termasuk ikan tropis. Suhu merupakan parameter penting dalam monitoring kualitas air karena berfungsi sebagai katalis, penekan, aktivator, pembatas, stimulator, pengontrol, pembunuh, dan faktor paling penting dalam mempengaruhi karakter kualitas air. Kriteria temperatur yang ideal untuk transportasi ikan tropis adalah 20-24 0 C (Jhigran dan Pullin 1985). Peningkatan suhu akan menurunkan konsentrasi DO (Dissolve Oxygen), meningkatkan laju metabolisme dan konsumsi oksigen ikan. Sedangkan Wedemeyer (1996) menambahkan bahwa penurunan suhu air akan menurunkan suhu tubuh, respons imun ikan, aktivitas makan dan pertumbuhan. Penurunan suhu dalam transportasi ikan hidup digunakan untuk menurunkan laju metabolisme karena ikan bersifat poikilotermal yaitu perbandingan terhadap suhu lingkungan berbanding lurus dengan metabolisme ikan. Selain itu suhu yang rendah dapat menjaga kandungan oksigen dalam air. Sehingga dibutuhkan suatu usaha untuk menurunkan suhu pada pengangkutan untuk mengatasi peningkatan laju metabolisme. Untuk mencegah tingginya suhu pada saat transportasi, maka dilakukan penambahan es batu pada kemasan box Styrofoam. Nilai suhu pada penelitian bervariasi dan mengalami penurunan selama perlakuan dari jam ke-0 29

hingga jam ke-24. Nilai suhu pada jam ke-24 berkisar antara 26,5 o C hingga 21,5 o C (Gambar 3). Nilai suhu yang diperoleh tersebut masih dikatakan wajar karena ikan nila BEST merupakan ikan tropis. Hal ini sesuai dengan Froese (1998) dalam Emu (2010) yang mengatakan bahwa ikan tropis dapat bertahan pada saat pengiriman pada suhu yang sama dengan lingkungannya yaitu sekitar 22-30 o C. Selama transportasi suhu tidak mengalami fluktuasi yang tinggi. Suhu yang fluktuasinya tinggi dapat menyebabkan kematian pada ikan (Junianto 2003). Hal ini sesuai Stickney (1979), fluktuasi suhu akan membahayakan apabila terjadi perubahan secara mendadak yakni 5 o C dalam waktu 1 jam. Nilai ph yang diperoleh selama transportasi mengalami penurunan selama perlakuan mulai jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai ph pada jam ke-24 berkisar antara 5,4 hingga 5.7. Nilai ph terendah sebesar 5,4 pada perlakuan 4 g/l jam ke- 24, sedangkan nilai ph tertinggi sebesar 8 pada perlakuan 20 g/l jam ke-0 (Gambar 4). Nilai ph semakin tinggi, dengan semakin banyaknya garam yang ditambahkan. Nilai ph sangat berkaitan dengan amoniak. Garam yang ditambahkan melebihi dosis optimum dapat menyebabkann nilai ph yang semakin tinggi, hal ini akan menyebabkan tingginya konsentrasi OH - dan menggeser kesetimbangan ke arah NH 3 sehingga menyebabkan tingginya kadar racun amoniak. Nilai ph yang diperoleh selama transportasi masih dalam kisaran toleransi, Namun ph optimum untuk transportasi ikan adalah 7-8 (Berka 1986). Suhu yang rendah merupakan pemacu tingginya ph perairan. Apabila nilai ph ditemukan berfluktuasi dalam transportasi dapat dikarenakan adanya perubahan ion H +. Ketika ph naik, terjadi perubahan kesetimbangan terhadap reaksi amoniak dalam air yaitu ion H + akan terlepas sehingga NH4 + turun sementara OH - meningkat maka NH 3 meningkat pula. Hal ini secara mekanisme pertukaran ion yang dilakukan oleh zeolit dimana mampu menyerap ion selektif yaitu NH4 + terlepas. Hal ini diduga karena goncangan atau gerakan ikan yang sudah dalam keadaan tidak tenang menyebabkan terlepasnya NH4 + dari kemampuan jerap zeolit. Pada ph rendah aktivitas dan produksi enzim pencernaan menjadi rendah. Jaringan insang merupakan target organ pertama akibat stress asam. Ketika ikan berada pada ph rendah, peningkatan lendir akan terlihat pada permukaan insang, 30

hal ini juga terjadi apabila ph tinggi, dimana insang sangat sensitif dan berbahaya bagi mata ikan (Boyd 1990). Namun hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan zeolit yang dapat berfungsi sebagai buffer ph (Boyd 1990). Kandungan oksigen selama transportasi mengalami penurunan selama perlakuan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai DO pada jam ke-24 berkisar antara 2,7 mg/l hingga 3,55 mg/l. Nilai DO terendah sebesar 2,7 mg/l pada perlakuan 20 g/l jam ke-24, sedangkan nilai DO tertinggi sebesar 6,4 mg/l pada perlakuan 4 g/l jam ke-0 (Gambar 5). Oksigen terlarut adalah salah satu parameter kualitas air yang penting, karena kurangnya oksigen terlarut merupakan penyebab utama kematian ikan secara mendadak dan dalam jumlah yang besar. Oksigen terlarut di dalam media transportasi harus lebih besar dari 7 mg/l dan lebih kecil dari tingkat jenuh. Penurunan oksigen terlarut pada media terjadi dikarenakan adanya respirasi oleh benih ikan. Nilai oksigen akhir transportasi ini masih dalam toleransi kandungan oksigen untuk transportasi ikan. Menurut Pescod (1973) nilai DO yang baik untuk transportasi ikan adalah 2 mg/l. Nilai DO yang menurun dipengaruhi faktor kualitas air lainnya. Hoar (1979) dalam Mahbub (2010) menyatakan bahwa penurunan kandungan oksigen terlarut biasanya diikuti dengan meningkatnya faktor lingkungan seperti amoniak, nitrit, dan urea yang dapat menyebabkan menurunnya pertumbuhan ikan. Konsentrasi DO yang terlalu rendah menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kesehatan ikan seperti anoreksia, stress pernafasan, hipoksia jaringan, ketidaksadaran, bahkan kematian (Wedemeyer 1996). Kematian ikan yang terjadi pada perlakuan 20 g/l dapat dikarenakan nilai konsentrasi oksigen yang lebih kecil jika dibandingkan perlakuan yang lain. Kemampuan ikan untuk mengkonsumsi oksigen di pengaruhi oleh toleransi terhadap stress, suhu, air, ph, konsentrasi CO 2, dan sisa metabolisme lain seperti amoniak (Junianto 2003). Kandungan oksigen yang tinggi pada jam ke-0 terjadi karena adanya difusi antara muka air dengan pasokan oksigen murni yang dimasukkan saat transportasi, terjadi peningkatan kandungan oksigen terlarut di dalam media angkut sehingga meningkatkan kandungan oksigen di media. Menurut Effendi (2003), difusi oksigen dapat terjadi saat pergolakan air akibat gerakan muka air. 31

pergerakan muka air ini dapat dikarenakan goncangan ataupun pergerakan ikan. Liviawaty dan Afrianto (1990), menambahkan bahwa goncangan dalam transportasi berdampak positif yakni membantu difusi oksigen ke dalam air. Nilai kesadahan yang diperoleh pada penelitian mengalami peningkatan selama perlakuan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai kesadahan pada jam ke- 24 berkisar antara 115 mg/l hingga 149 mg/l. Nilai kesadahan terendah sebesar 60 mg/l pada perlakuan 4 g/l jam ke-0, sedangkan nilai kesadahan tertinggi sebesar 149 mg/l pada perlakuan 20 g/l jam ke-24 (Gambar 6). Semakin tinggi dosis garam yang ditambahkan, semakin tinggi pula nilai kesadahan. Menurut Effendi (2003), kesadahan yang tinggi dapat menghambat sifat toksik dari logam berat karena kation-kation penyusun kesadahan (kalsium dan magnesium). Karbondioksida yang bereaksi dengan kalsium karbonat akan membentuk kalsium bikarbonat dimana di perairan tawar, ion bikarbonat berperan sebagai sistem buffer. Kalsium dan magnesium dalam media berasal dari reaksi zeolit dengan air dan karbondioksida dalam media sehingga membentuk ikatan karbonat. Histologi adalah ilmu yang mempelajari anatomi secara mikroskopis, yaitu dengan menggunakan mikroskop untuk mengamatinya. Insang merupakan alat pernafasan pada ikan. Komponen pernafasan insang terdiri dari filamen atau lamela primer dan lamela sekunder. Insang merupakan organ respirasi utama dan vital pada ikan. Epitel insang ikan merupakan bagian utama untuk pertukaran gas, keseimbangan asam basa, regulasi ion, dan ekskresi nitrogen. Affandi dan Tang (2002) mengatakan bahwa insang memiliki peranan yang sangat penting sebagai organ yang mampu dilewati air maupun mineral, serta tempat diekskresikannya sisa metabolisme. Pada insang terdapat sel khlorida yang melakukan transport aktif kelebihan Na + dan Cl - melawan gradien konsentrasi kembali ke media/lingkungan. Anggoro (1998) dalam Affandi dan Tang (2002) mengatakan bahwa baik pada mekanisme regulasi hipoosmotik maupun regulasi hiperosmotik, pertukaran elektrolit dilakukan dengan cara transport aktif melalui insang. Pada kondisi lingkungan yang hipertonik, cairan tubuh organisme bersifat hipoosmotik terhadap medianya. Dalam kondisi tersebut, organisme akan berusaha mempertahankan tekanan osmotik cairan tubuh agar tidak keluar dari selnya. Untuk itu, organisme mengekstrak air tawar dari medianya. Kelebihan elektrolit, 32

terutama Na + dan Cl -, yang diambil darah akan dikeluarkan oleh insang melalui salt secreting epithelium atau chloride secreting cell. Hasil histologi menunjukkan bahwa terjadi abnormalitas pada insang. Abnormalitas yang terjadi pada insang benih ikan nila BEST dikarenakan adanya kontraksi otot insang selama mempertahankan tekanan osmotik dalam tubuhnya. Insang memiliki sifat mudah terluka karena lokasi insang yang eksternal dan langsung kontak dengan air, yang berarti bahwa insang dapat rusak akibat material perusak apapun yang terdapat di dalam media transportasi tersebut. Gangguan eksternal yang paling sering terjadi disebabkan oleh perubahan permeabilitas. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa ikan sebelum perlakuan ditemukan adanya Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang. Myxospora merupakan parasit kulit dan insang yang paling umum menginfeksi ikan, baik air laut dan ikan air tawar. Beberapa jenis myxospora pada umumnya membentuk plasmodia di dalam lamela insang dan lainnya di filamen insang (Molnar 2002). Kemudian ditemukan adanya edema, hiperplasia, hemoragi dan teleangiektasis setelah transportasi dan setelah pemeliharaan. Pada umumnya tanda yang paling awal adalah hiperplasia dari sel lamella individual yang membesar dan meningkatkan ketebalan dari lamella sekunder individu. Hal ini sering diikuti oleh suatu peningkatan volume sekresi mukus. Apabila stimulasi irritant terjadi lebih kuat, dapat terjadi tiga respon berbeda yaitu edema lamella, hiperplasia lamella dan fusi lamella, yang perlu diperhatikan adalah apabila hasil akhirnya berupa bentuk kompleks dari ketiga respon tersebut (Laksman 2003). Hiperplasia merupakan pembesaran atau penambahan massa total suatu otot akibat peningkatan jumlah filamen aktin dan miosin dalam setiap serat otot dan terjadi sebagai respons terhadap suatu kontraksi otot yang berlangsung pada kekuatan maksimal atau hampir maksimal (Kimball 1988). Hemoragi merupakan kondisi keluarnya darah dari pembuluh darah keluar tubuh maupun keluar jaringan tubuh yang terlihat eritrosit di luar pembuluh darah. Darah keluar dari pembuluh darah karena adanya lubang pada dinding atau darah menerobos dinding yang utuh karena peningkatan porositas dari pembuluh darah tersebut. Abnormalitas seperti teleangiektasis ditemukan pada perlakuan kadar garam 8 g/l dan 20 g/l setelah pemeliharaan. Teleangiektasis ini dapat mengakibatkan dua 33

atau tiga lamela melebur (fusi), dan biasanya terjadi edema maupun deskuamasi epitel. Apabila banyak terjadi teleangiektasis lamela, maka fungsi pernapasan dapat terganggu, terutama pada temperatur-temperatur tinggi, tingkat oksigen terlarut yang rendah dan kebutuhan akan oksigen metabolik tinggi dari normal (Robert 2001). Tingkat kelangsungan hidup (SR) pada pemeliharaan pascatransportasi benih ikan nila BEST selama 20 hari, pada pemeliharaan hari ke-2, tingkat kelangsungan hidup ikan nila pada perlakuan 4 g/l sebesar 98,42%, 8 g/l sebesar 97,72%, 12 g/l sebesar 96,36%, dan 20 g/l sebesar 92,2%. Tingkat kelangsungan hidup ikan mengalami penurunan sampai pemeliharaan hari ke-3. Tingkat kelangsungan hidup paling tinggi hingga akhir pemeliharaan selama 20 hari adalah sebesar 98,14% pada perlakuan 4 g/l, dan terendah sebesar 90,44% pada perlakuan 20 g/l. Kematian ikan pada pemeliharaan pascatransportasi ratarata terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-3. Hasil ini memberikan kesimpulan bahwa dalam kondisi yang sebenarnya, kita sebagai pembeli harus melakukan perjanjian kepada pihak penjual untuk masa tenggang 3 hari setelah pascatransportasi, apabila ditemukannya kematian pascatrasnportasi merupakan tanggung jawab pihak penjual. Hal ini karena selama 3 hari pascatransportasi merupakan masa adaptasi ikan. Tingkat kelangsungan hidup yang tinggi pada pemeliharaan ini berhubungan dengan kelangsungan hidup ikan pada saat transportasi. Ikan yang pada saat perlakuan memiliki kelangsungan hidup paling kecil akan memberikan hasil kelangsungan hidup pemeliharaan yang kecil pula, hal ini berkaitan dengan daya tahan tubuh benih tersebut dan tingkat stress benih. Secara keseluruhan, SR selama pemeliharaan untuk semua perlakuan cukup baik yaitu di atas 80% sesuai SNI 01-6483.2-2000 (BSN 2000). Hal ini diduga adaptasi pemeliharaan ikan nila BEST dilakukan pergantian air secara intensif sehingga kandungan bahan-bahan saat transportasi yang masuk ke dalam perairan menjadi terlarut dan hilang. Data kegiatan produksi yang cukup penting diketahui salah satunya adalah laju pertumbuhan harian (LPH). Laju pertumbuhan harian ikan nila BEST tertinggi sebesar 7,48% terdapat pada perlakuan 8 g/l, sedangkan terendah adalah sebesar 5,06% pada perlakuan 4 g/l (Gambar 8), namun tidak terdapat perbedaan 34

nyata antara perlakuan 4 g/l, 8 g/l, 12 g/l, dan 20 g/l (P<0,05). Nilai laju pertumbuhan ini berhubungan dengan kepadatan ikan, konsumsi pakan benih, kondisi ikan pascatransportasi dan kualitas air media pemeliharaan. Sampai saat ini permintaan ikan nila relatif besar, ditunjukkan dengan hasil panen yang hampir semuanya terserap oleh pasar, baik untuk memenuhi pasar domestik maupun pasar ekspor. Ditinjau dari letak geografis, komoditas ikan nila yang dihasilkan petani jauh dari lokasi konsumen. Untuk itu perlu tambahan biaya, baik transportasi maupun perbaikan penanganan ikan selama transportasi, yang secara langsung akan dibebankan pada harga jual. Pada akhirnya, peningkatan harga jual tersebut akan dapat menurunkan daya saing bagi komoditas ikan nila. Untuk itu diperlukan perbaikan manajemen pemasaran yang didasarkan pada peningkatan mutu ikan nila serta meminimalkan biaya pascapanen dan transportasi (Armington 1969 dalam Simatupang et al. 1997). Transportasi ikan hidup adalah usaha memindahkan ikan dari suatu daerah (sentra produksi) ke daerah lain (sentra konsumsi) dengan kepadatan transportasi setinggi-tingginya dan biaya serendah-rendahnya, serta ikan yang diangkut memiliki kelangsungan hidup tinggi dan kondisi ikan sehat setelah sampai tujuan ( Effendi 2004). Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi transportasi yang mampu mengangkut ikan sebanyak mungkin dengan kematian sedikit mungkin, untuk perbaikan teknologi transportasi. Transportasi ikan nila di masyarakat umum dilakukan pada kepadatan 150 ekor/l dengan ukuran 2-3 cm. Namun, karena adanya upaya perbaikan teknologi transportasi yaitu dengan adanya penambahan bahan-bahan dalam wadah pengangkutan, dapat dilakukan pengangkutan dengan kepadatan 350-400 ekor/l. Semakin tingginya tingkat permintaan terhadap ikan nila, dalam pengiriman benih dituntut untuk melakukan pengiriman benih dengan kepadatan tinggi dan laba yang dihasilkan tinggi. Sehingga, dengan kepadatan benih ikan nila dalam wadah pengangkutan 700 ekor/l pun berhasil dilakukan. Pada penelitian yang dilakukan, yaitu dengan kepadatan 700 ekor/l benih ikan nila BEST dan penambahan bahan zeolit 20 g/l, karbon aktif 10 g/l, dan garam sebesar 4 g/l dengan lama waktu pengiriman selama 24 jam, mampu menghasilkan tingkat kelangsungan hidup sebesar 99,57%. 35

Transportasi merupakan salah satu rangkaian siklus produksi yang bersifat ekonomi yaitu dalam hal distribusi. Perhitungan biaya transportasi benih ikan nila BEST dengan perlakuan penambahan garam diperoleh efisiensi biaya yang berbeda untuk setiap perlakuan. Biaya terendah yang dikeluarkan yaitu pada perlakuan 4 g/l sebesar Rp. 31.199,- dengan kelangsungan hidup (SR) transportasi 99,57% dan tertinggi pada perlakuan 20 g/l sebesar Rp. 31.215,- dengan kelangsungan hidup (SR) transportasi 24,64% (Tabel 8). Perlakuan 4 g/l menghasilkan biaya yang paling murah dikarenakan jumlah ikan hidup yang lebih banyak daripada perlakuan lainnya. Semakin banyak benih ikan yang bertahan hidup maka semakin murah pula biaya pengiriman dan semakin banyak keuntungan yang diperoleh. 36