BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III TINJAUAN MENGENAI INERTIAL NAVIGATION SYSTEM

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

Transformasi Datum dan Koordinat

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB 2 STUDI REFERENSI

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Jenis Peta menurut Skala. Secara umum, dasar pembuatan peta dapat dinyatakan seperti Gambar 2.1

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS 4.2 Analisis Penggunaan TLS Untuk Pemantauan Longsoran

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kamera

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 STUDI REFERENSI. Gambar 2-1 Kamera non-metrik (Butler, Westlake, & Britton, 2011)

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

BAB I PENDAHULUAN I.1.

METODE KALIBRASI IN-FLIGHT KAMERA DIGITAL NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN CLOSE- RANGE PHOTOGRAMMETRY

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004]

BAB I PENDAHULUAN I.1.

LAPORAN PRAKTIKUM FOTOGRAMETRI I (Individu)

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

BAB 3 PEMBAHASAN START DATA KALIBRASI PENGUKURAN OFFSET GPS- KAMERA DATA OFFSET GPS- KAMERA PEMOTRETAN DATA FOTO TANPA GPS FINISH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 3. Akuisisi dan Pengolahan Data

PENGUKURAN BEDA TINGGI / SIPAT DATAR

I. BAB I PENDAHULUAN

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r)

BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

BAB I PENDAHULUAN. tujuan dan manfaat penelitian. Berikut ini uraian dari masing-masing sub bab. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB II LANDASAN TEORI

Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Letak CoM dan poros putar robot pada sumbu kartesian.

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Metode Titik Kontrol Horisontal 3.1. Metode Survei Klasik Gambar. Jaring Triangulasi

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

Membandingkan Hasil Pengukuran Beda Tinggi dari Hasil Survei GPS dan Sipat Datar

REKONSTRUKSI/RESTORASI REKONSTRUKSI/RESTORASI. Minggu 9: TAHAPAN ANALISIS CITRA. 1. Rekonstruksi (Destripe) SLC (Scan Line Corrector) off

LAPORAN PRAKTIKUM DIGITAL FOTOGRAMETRI DASAR ACARA II DIGITAL

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi Dan Pemetaan Teristris

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

terhadap gravitasi, sehingga vektor gravitasi dapat diestimasi dan didapatkan dari pengukuran. Hasil akselerasi lalu diintregasikan untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI II.1 Sistem referensi koordinat

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR. Abstract. viii BAB I PENDAHULUAN 1

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

Rancang Bangun Prototipe Alat Pemetaan Topografi Tanah Menggunakan Sensor IMU 10 DOF

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2013 /2001 TENTANG SISTEM REFERENSI GEOSPASIAL INDONESIA 2013

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di era modern ini perkembangan teknologi didunia survei dan pemetaan sangatlah pesat. Peralatan yang digunakan untuk survei terestris berkembang dari waktu ke waktu, mulai dari pita ukur, sextant, teodolit, waterpass, total station, hingga peralatan survei terbaru yang menggunakan teknologi laser scanner, salah satunya yaitu Mobile Mapping System (MMS). MMS merupakan alat pencitraan sensor aktif yang dapat merekam objek secara 3D dengan menggunakan wahana (platform) berupa mobil. MMS dapat didefinisikan sebagai integrasi dari beberapa sistem yaitu sistem wahana (platform), sistem laser scanner, sistem kamera, sistem unit kontrol, dan sistem PO (Positioning and Orientation) yang merupakan integrasi dari GPS (Global Positioning System) dengan IMU (Inertial Measurement Unit). Penggunaan MMS pada pekerjaan survei dan pemetaan, akan menghasilkan data point clouds dan foto yang saling terintegrasi. Data point clouds dan foto tersebut dapat dijadikan berbagai macam produk sesuai dengan kebutuhan contohnya produk peta geometri jalan, peta inventarisasi infrastruktur jalan raya, video modelling, dsb. Permasalahan utama dari pekerjaan pemetaan maupun rekayasa menggunakan MMS yaitu terletak pada proses pengolahan data MMS. Dibutuhkan keahlian dan pengetahuan mengenai konsep dan alur kerja dari pengolahan data hasil pengukuran MMS agar dihasilkan data point clouds dan data foto yang memenuhi standar kualitas. Standar kualitas hasil pengukuran MMS dapat dilihat dari hasil analisis ketelitian elevasi point clouds yang dihasilkan. Pada kegiatan proyek ini, MMS yang digunakan adalah MMS Leica Pegasus Two. Data yang dihasilkan pada kegiatan proyek MMS ini yaitu data GPS, data IMU, data penyiaman laser scanner, dan data perekaman kamera. Pengolahan data MMS dimulai dari pengunduhan data hasil pengukuran, ekstraksi data, georeferensi, koreksi geometri, kalibrasi, klasifikasi, dan analisis ketelitian elevasi sehingga dihasilkan point 1

2 clouds dan foto yang dapat digunakan untuk kebutuhan pekerjaan dibidang pemetaan maupun dibidang rekayasa. I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup dari kegiatan ini adalah sebagai berikut : 1. Lokasi kegiatan di jalan raya gading kirana yang teletak didaerah Kelapa Gading, Jakarta Utara, DKI Jakarta. 2. MMS yang digunakan adalah Leica Pegasus Two yang diperoleh dari PT. Almega Geosystems. 3. Data yang digunakan berupa data hasil pengukuran MMS yang terdiri dari data IMU, data GPS, data penyiaman laser scanner, dan data perekaman kamera. I.3. Tujuan Kegiatan Tujuan dari kegiatan ini adalah diperoleh data point clouds dan foto yang tergeoreferensi, terkalibrasi, dan terklasifikasi melalui pengolahan data MMS secara sistematis. I.4. Manfaat Kegiatan Manfaat dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui konsep dan alur kerja pengolahan data MMS yang merupakan teknologi terbaru didunia survei dan pemetaan. Point clouds dan foto yang telah dihasilkan dari hasil pengolahan data MMS diharapkan dapat dijadikan sebagai kerangka acuan untuk kebutuhan survei, rekayasa maupun pemetaan. I.5. Landasan Teori I.5.1. Pengertian MMS Mobile mapping system (MMS) merupakan alat pencitraan sensor aktif yang dapat merekam objek secara tiga dimensi (3D) dengan menggunakan wahana (platform) mobil. MMS dapat didefinisikan sebagai integrasi dari beberapa sistem yaitu : sistem platform, sistem laser scanner, sistem kamera, sistem unit kontrol, dan POS (Positioning and Orientation System) yang merupakan integrasi dari GPS (Global Positioning System), IMU (Inertial Measurement Unit), dan DMI (Distance

3 Measurement Unit) (Wehr dan Lohr, 1999). Integrasi antar sistem MMS diilustrasikan pada Gambar I.1. Gambar I.1. Prinsip kerja MMS (El-Sheimy, 2005) Prinsip kerja MMS bergantung pada kinerja keseluruhan sistem. Pada Gambar I.1 setiap sistem MMS melakukan perekaman data secara bersamaan sehingga hasil dari perekaman setiap sistem dapat saling terintegrasi berdasarkan waktu perekaman (time stamp). GPS merekam koordinat platform setiap detik, IMU merekam 200 sikap platform (roll, pitch, heading) setiap detik, laser scanner melakukan penyiaman terhadap objek dipermukaan bumi yang menghasilkan data sekumpulan titik (point clouds) yang memiliki koordinat tiga dimensi (3D), kamera merekam foto atau video sesuai dengan spesifikasi alat dan unit kontrol melakukan penyimpanan data hasil perekaman keseluruhan sistem MMS. MMS merupakan platform yang bergerak sehingga dibutuhkan data posisi dan orientasi hasil perekaman GPS, IMU, dan DMI untuk melakukan georeferensi point clouds dan foto yang dihasilkan dari perekaman sistem laser scanner dan sistem kamera (Williams, dkk. 2013). Berikut diagram alir dari manajemen data MMS.

4 Gambar I.2. Manajemen data MMS (Madeira, 2012) I.5.2. Komponen MMS Komponen utama MMS yang digunakan diantaranya adalah : wahana (platform), GPS, IMU, laser scanner, kamera, perangkat lunak dan perangkat keras pengontrol integrasi antar sistem. I.5.2.1 Mobile plaform. Sistem airbone LiDAR (ALS) terpasang pada pesawat survei atau helikopter sebagai platform pada kegiatan survei LiDAR sedangkan untuk MMS, platform yang biasa digunakan yaitu mobil sehingga membuat teknologi ini jauh lebih terjangkau serta tidak memerlukan ijin khusus pada saat kegiatan survei dilaksanakan (Ussyshkin, 2009). Gambar I.3. Wahana mobil untuk MMS (Williams,dkk. 2013)

5 Pada Gambar I.3 mobil yang dijadikan platform MMS merupakan jenis mobil terbuka, namun penggunaan mobil terbuka untuk dijadikan platform tidak selalu menjadi pilihan utama. Seiring berkembangnya teknologi penentuan posisi metode dinamis menggunakan GPS dan IMU, MMS dapat dipasangkan pada platform darat maupun laut seperti kereta, all terrain vehicle (ATV), kapal boat, bahkan troli dengan tujuan kegiatan aplikatif yang berbeda-beda. Penggunaan ATV dapat digunakan pada project inventasisasi pohon didaerah hutan, kapal boat dapat digunakan pada project pemetaan pesisir pantai, bahkan troli dapat digunakan pada project pemetaan model 3D bangunan didaerah perkotaan. Penggunaan platform MMS tersebut menyesuaikan dengan kemudahan dan efektifitas dalam pemakaian (Kukko, 2012). (a) (b) (c) Gambar I.4. (a) kapal boat; (b) troli; (c) all terrain vehicle (ATV) sebagai platform MMS (Kukko, 2012) I.5.2.2 Global positioning system (GPS). GPS merupakan sistem penentuan koordinat yang didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia tanpa tergantung waktu dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan (Abidin, 2006). Pada dasarnya GPS terdiri atas tiga segmen utama, yaitu segmen angkasa (space segment) yang terdiri dari satelit-satelit GPS, segmen sistem kontrol (control system segment) yang terdiri dari station-station pemonitor dan pengontrol satelit, dan segmen pemakai (user segment) yang terdiri dari pemakai GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolah sinyal data GPS. Ketiga segmen utama tersebut diilustrasikan pada Gambar I.5.

6 Gambar I.5. Tiga segmen utama penentuan posisi GPS (SNI JKH, 2002) Setiap satelit GPS secara kontinu memancarkan sinyal-sinyal gelombang pada 2 frekuensi L-band yang dinamakan L1 dan L2. Sinyal L1 berfrekuensi 1575.42 MHz dan sinyal L2 berfrekuensi 1227.60 MHz. Sinyal L1 membawa 2 buah kode biner yang dinamakan kode-p (P-code, Precise or Private code) dan kode-c/a (C/A-code, Clear Access or Coarse Acquisation), sedangkan sinyal L2 hanya membawa kode-c/a. Posisi yang diberikan oleh GPS adalah posisi tiga dimensi (X, Y, Z ataupun L, B,h) yang dinyatakan dalam datum ellipsoid WGS (World Geodetic System) 1984. Penentuan posisi GPS pada MMS dilakukan secara differensial kinematik menggunakan metode beda fase. Posisi platform selalu bergerak dan berubah-ubah dengan cepat ketika akuisisi data, maka dilakukan penentuan posisi GPS dengan metode kinematik untuk mendapatkan posisi dengan ketelitian yang tinggi. Pada metode diferensial kinematik diperlukan 2 buah receiver GPS. Satu receiver akan diletakan pada sebuah titik yang telah diketahui koordinatnya dipermukaan tanah sebagai basis atau disebut stasiun referensi, sedangkan satu buah receiver lainnya akan ditempatkan pada platform atau mobil sebagai roving receiver. Konfigurasi dari kedua receiver tersebut dapat menghasilkan koreksi diferensial pada roving receiver, sehingga posisi platform dapat diketahui secara real time dan akurat (Abidin, 2006).

7 I.5.2.3 Inertial measurement unit (IMU). Inertial measurement unit (IMU) merupakan satu kesatuan sistem dari accelerometer, gyroscope, dan seperangkat komputer yang dapat menghitung transformasi kecepatan dan beberapa mekanisme lain untuk menentukan informasi posisi, sikap dan kecepatan (Jekeli, 2001). IMU dapat mengukur perubahan sudut platform (roll, pitch,dan heading) terhadap arah navigasi seperti yang terlihat pada Gambar I.6. Gambar I.6. Sumbu orientasi pada MMS (Hauser, 2013) IMU terdiri dari 6 (enam) sumbu orientasi, yaitu tiga buah sumbu accelerometer, dan tiga buah sumbu gyroscope. Accelerometer dan gyroscope diletakkan pada posisi sedemikian rupa sehingga dapat mendeteksi perubahan arah, kecepatan, dan rotasi. Accelerometer digunakan untuk menentukan roll dan pitch, sedangkan gyroscope digunakan untuk menentukan heading (Groves, 2008). Output data IMU dapat menghasilkan posisi dan orientasi platform sekitar 200Hz 1000Hz atau setiap 0.05 detik s.d. 0.001 detik. IMU memiliki beberapa tipe gyro seperti Fibre Optic Gyro (FOG), Ring Laser Gyro (RLG), Dry Tuned Gyro (DTG) dan gyro dengan teknologi terbaru yaitu Micro Electro Mechanical System (MEMS).

8 I.5.2.4 Sensor laser scanner. Laser scanner pada MMS merupakan teknologi yang memanfaatkan aplikasi sinar laser yang digunakan untuk penyiaman suatu kenampakan objek dipermukaan bumi. Hasil dari peyiaman laser scanner yaitu sekumpulan titik (point clouds) dalam sistem koordinat tiga dimensi yang memberikan informasi tambahan berupa nilai reflektivitas. (Quintero dkk, 2008). Menurut Reshetyuk (2009), laser scanner memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan teknik survei tradisional lainnya seperti, tachimetri, GPS, dan fotogrametri, yaitu : 1. Menangkap geometrik suatu objek dalam 3D secara langsung, cepat dan detil 2. Dapat digunakan pada daerah survei atau objek yang sulit dijangkau dan berbahaya dimana teknik survei tradisional sangat sulit untuk dilakukan 3. Tidak memerlukan cahaya untuk dapat mengakuisisi data Laser scanner mempunyai suatu sistem pengukuran yang terdiri dari sistem pengukuran jarak dan sistem pengukuran sudut. Prinsip pengukuran jarak laser scanner terdiri dari dua jenis, yaitu berdasarkan prinsip pengukuran berbasis pulsa (Pulse Based) atau Time of Flying (TOF) dan berbasis fase (Phase Differenced Based). Pengukuran berbasis pulsa atau Time of Flying (TOF) yaitu pengukuran dengan berdasarkan waktu tempuh gelombang laser ketika dipancarkan hingga diterima kembali oleh penerima laser tersebut. Waktu tempuh tersebut digunakan untuk menghitung jarak antara laser scanner dengan objek. Berikut ilustrasi dan persamaan untuk menentukan jarak dari awal gelombang dipancarkan hingga diterima kembali oleh receiver pada laser scanner : Gambar I.7. Pengukuran jarak berbasis pulsa atau time of flying (Quintero, 2008)

9 Distance (R) = (C x T)/2 (I.1) Keterangan : R = jarak laser scanner ke titik objek C = kecepatan gelombang sinar laser (3 x 10 8 m/s) T = jumlah waktu sinyal pergi dan pulang Untuk mendapatkan koordinat suatu objek dengan menggunakan laser scanner, terdapat beberapa parameter yang yang harus diukur yaitu jarak (R), sudut horizontal (φ) dan sudut vertikal (θ). Konsep pengukuran sudut laser scanner dapat dilihat pada gambar 1.8. Gambar I.8. Konsep pengukuran koordinat tiga dimensi (Quintero, 2008) Keterangan : R = jarak hasil pengukuran waktu tempuh laser scanner ke objek φ = sudut horizontal antara arah bidikan laser scanner dengan sumbu x alat θ = sudut vertikal antara bidang horizontal dengan arah bidikan laser scanner ke objek Xj = Koordinat x objek dalam sistem koordinat laser scanner Yj = Koordinat y objek dalam sistem koordinat laser scanner Zj = Koordinat z objek dalam sistem koordinat laser scanner

10 Dari pengukuran tersebut diperoleh nilai koordinat suatu objek hasil penyiaman menggunakan laser scanner pada MMS. Koordinat objek diperoleh dari pengukuran sudut dan menggunakan persamaan (1.2) (Reshetyuk, 2009). Xj Yj Zj = R cos φ cos θ R sin φ cos θ R sin θ..(1.2) I.5.2.5 Sensor kamera. Sensor kamera yang terdapat pada MMS terdiri atas 3 atau lebih kamera yang saling bertampalan (overlap) sehingga menghasilkan foto stereo yang dapat menghasilkan objek 3D. Tujuan utama dari adanya sensor kamera pada MMS adalah untuk mendapatkan warna dari point clouds yang terekam oleh sensor laser scanner (Williams, dkk 2013). Point clouds yang telah mendapatkan warna dari foto stereo akan memudahkan dalam hal interpretasi dan pembuatan model tiga dimensi. Selain untuk tujuan pewarnaan point clouds, foto dari MMS juga dapat diaplikasikan untuk kebutuhan kontrol kualitas point clouds, kebutuhan inventarisasi infrastruktur, dan pengukuran dimensi berbasis foto. Berikut contoh hasil foto dari sensor kamera pada MMS. Gambar I.9. Hasil foto sensor kamera MMS (Leica, 2014)

11 Gambar I.9 menujukan hasil foto menggunakan 6 buah sensor kamera pada MMS. Hasil foto dari sensor kamera tersebut menghasilkan foto yang saling bertampalan. Hasil foto sensor kamera MMS masih memiliki distorsi, baik distorsi radial maupun distorsi tangensial sehingga perlu dilakukan kalibrasi kamera. I.5.3. Transformasi Dan Sistem Referensi Koordinat Pada penentuan posisi dan orientasi MMS membutuhkan beberapa pendefinisian sistem referensi koordinat dan transformasi antar beberapa sistem koordinat. Menurut El-Sheimy (2004) terdapat empat sistem referensi koordinat utama pada sistem posisi dan orientasi MMS yaitu sebagai berikut : 1. An Inertial Frame (i-frame) yaitu sistem referensi koordinat kartesian tigadimensi yang geosentrik dan terikat langit (space fixed). I-Frame atau disebut CIS (Conventional Inertial System) digunakan untuk mendeskripsikan posisi dan pergerekan satelit. Berikut pendefinisian sumbu dan origin i-frame : Origin : Pusat masa bumi Zi-Axis : Menunjuk pada perputaran sumbu bumi Xi-Axis : Menunjuk pada garis khatulistiwa Yi-Axis : Tegak lurus sumbu X dan Z dengan kaidah sistem tangan tangan. 2. An Earth Centered Earth Fixed (ECEF or e-frame) yaitu sistem referensi koordinat kartesian tiga-dimensi yang geosentrik dan terikat bumi (earth fixed) atau disebut sistem koordinat global. E-frame pada umumnya digunakan untuk mendeskripsikan posisi dan pergerakan titik dipermukaan bumi. Berikut pendefinisian sumbu dan origin e-frame : Origin : Pusat masa bumi Ze-Axis : Menunjuk pada perputaran sumbu bumi Xe-Axis : Menunjuk pada meridian Greenwich Ye-Axis : Tegak lurus sumbu X dan Z dengan kaidah sistem tangan tangan. 3. The Local Level Frame (LLF or l-frame) yaitu sistem referensi koordinat geodetik lokal. L-frame digunakan untuk mendeskripsikan sikap platform

12 ketika berada dipermukaan bumi. Berikut pendefinisian sumbu dan origin l-frame : Origin : Bertepatan dengan origin sensor Zl-Axis : Menunjuk arah garis tinggi ellipsoid Xl-Axis : Menunjuk arah garis timur (east) ellipsoid Yl-Axis : Menunjuk arah garis utara (north) ellipsoid Berikut tampilan ilustrasi dari sistem referensi koordinat e-frame dengan l-frame. Gambar I.10. Sistem koordinat ECEF dan LLF (El-Sheimy, 2004) 4. Body Frame (b-frame) yaitu sistem referensi koordinat platform dimana sensor MMS dipasang. B-frame bisa disebut sebagai sistem koordinat IMU karena sikap platform merupakan hasil pengukuran IMU yang berpusat origin IMU. Berikut pendefinisian sumbu dan origin b-frame : Origin : Titik origin IMU Zl-Axis : Tegak lurus sumbu X dan Y dengan kaidah sistem tangan kanan Xl-Axis : Menunjuk arah kanan kendaraan Yl-Axis : Menunjuk arah jalur kendaraan Berikut ilustrasi integrasi antara sistem koordinat platform dengan sikap IMU (roll, pitch, heading/azimuth).

13 Gambar I.11. Sikap IMU (roll,pitch,heading) pada sistem koordinat platform (El-Sheimy, 2004) I.5.4. Integrasi Antar Sensor Koordinat suatu objek dipermukaan bumi dalam sistem koordinat global maupun sistem koordinat lokal dihasilkan dari integrasi antar sensor MMS. Koordinat objek didapatkan dengan mengkombinasikan data laser scanner, data GPS, data IMU dan data parameter kalibrasi sehingga menghasilkan data point clouds yang tergeoreferensi. Berikut persamaan koordinat suatu objek dipermukaan bumi : p G l l = p GPS + R b l (R s b. p s l b ).. (I.3) Keterangan : p G l = koordinat objek dalam sistem koordinat lokal (l frame) l p GPS = koordinat sensor navigasi (GPS) dalam sistem koordinat global. R b l R s b = matriks rotasi dari sistem referensi koordinat platform (b frame) ke sistem koordinat lokal (l frame), ditunjukan oleh nilai roll, pitch dan heading. = rotasi sistem koordinat laser scanner (s frame) terhadap sistem referensi koordinat platform (b frame), ditunjukan oleh nilai boresight. p s = koordinat target objek dalam sistem koordinat laser scanner (s frame).

14 l b = jarak spasial (lever arm) dari titik pusat sistem koordinat laser scanner (s frame) ke titik pusat sistem referensi koordinat platform (b frame). Gambar I.12. Integrasi antar sensor MMS (NCHRP, 2013) Rotasi b-frame ke l-frame membutuhkan nilai ω, φ, and κ yang dihasilkan dari pengukuran sikap platform oleh IMU. Rotasi dari s-frame ke b-frame membutuhkan sudut boresight. Boresight merupakan sudut rotasi antara sistem koordinat laser scanner (s-frame) dengan sistem koordinat platform atau sistem koordinat IMU (bframe). Jarak spasial (lever arm) merupakan nilai jarak antara b-frame dengan s-frame. Sehingga persamaan dari koordinat point clouds suatu objek dapat ditulis sebagai berikut (NCHRP, 2013) : l X [ Y] Z G l X = [ Y] Z GPS b l x + R l b b (ω φ κ). (R s (dω dφ dκ). r s (ɑ d) [ l y ] ) (I.4) l z

15 Keterangan : X, Y, Z (GPS) = Koordinat GPS dalam sistem koordinat global (e-frame). ω, φ, κ = rotasi dari sensor terhadap sistem koordinat lokal (l frame), ditunjukan dengan nilai nilai roll, pitch, heading. dω, dφ, dκ = sudut rotasi antar sensor laser scanner terhadap sensor IMU. ɑ d = sudut dan jarak objek terhadap sensor laser scanner. l x, l y, l z = jarak spasial (lever arm) antara sensor laser scanner terhadap sistem IMU. Berikut ilustrasi dari lever arm antar sensor IMU terhadap sistem laser scanner. Gambar I.13. Jarak spasial (level arm) pada MMS (Hauser, 2013) I.5.5. Sistem Penentuan Posisi dan Orientasi MMS Integrasi antara data GPS dengan data IMU memberikan data posisi dan orientasi yang dibutuhkan untuk melakukan georeferensi dari sistem koordinat platform ke sistem koordinat global maupun lokal (Hauser, 2013). GPS mendapatkan posisi platform setiap 1 Hz, sedangkan IMU mendapatkan orientasi setiap 200 Hz. Pada saat GPS tidak menerima sinyal satelit (outage) selang 1 detik, IMU akan memberikan informasi perubahan posisi dan orientasi. Kesalahan posisi dan orientasi pada saat outage selang 1 detik tersebut merupakan kesalahan turunan dari pengukuran IMU yang besarnya berbanding lurus dengan waktu (Hauser, 2013). Pada Gambar I.14 dapat dilihat kesalahan penentuan posisi dan orientasi dari GPS dan IMU pada selang waktu 1 detik.

16 Gambar I.14. Kesalahan posisi selang 1 detik pada pengukuran GPS dan IMU (Hauser, 2013) Integrasi antara data GPS dengan IMU pada Gambar I.14 dilakukan secara maju (forward) menggunakan perhitungan Kalman Filter. Kalman Filter pada dasarnya merupakan persamaan matematika yang menerapkan prediktor-korektor dan estimator untuk meminimalkan kesalahan varians kovarians untuk beberapa kondisi. Proses perhitungan kalman filter dapat dilakukan secara perhitungan maju (forward) dan perhitungan mundur (backward) (Jekeli, 2001). Gambar I.15. Perhitungan kalman filter secara maju dan mundur (Hauser, 2013) Pada Gambar I.15 menunjukan ilustrasi perhitungan kalman filter secara maju dan mundur sehingga dapat meminimalkan nilai kesalahan. Perhitungan secara maju dan mundur kemudian diperhalus (smoothing) agar menghasilkan nilai posisi yang lebih baik (Hauser, 2013).

17 Integrasi antara GPS dengan IMU menghasilkan data jalur kendaraan atau disebut trajectory. Trajectory merupakan tabulasi dari data waktu, latittude, longitude, Elevasi, rotasi x (Phy), rotasi y (omega), rotasi z (kappa) setiap 0.005 detik (200Hz) (Istarno, 2014). Terdapat dua metode pada proses integrasi data GPS dengan IMU yaitu metode tighly coupled dan loosely coupled. Tighly coupled artinya proses integrasi GPS dilakukan secara bersamaan dengan data IMU, sedangkan loosely coupled pengolahan data harus dilakukan secara terpisah antara GPS dengan IMU. Berikut ilustrasi kedua metode integrasi GPS dengan IMU. Gambar I.16. Metode integrasi GPS dengan IMU (Hauser, 2013) Hasil integrasi GPS dan IMU akan menghasilkan nilai standar deviasi yang menunjukan nilai ketelitian posisi yang dihasilkan oleh IMU selang waktu 1 detik. Hasil integrasi dari metode loosely coupled memiliki ketelitian yang lebih rendah dibandingkan metode tighly coupled (Groves, 2008). I.5.6. Sumber Kesalahan MMS Airbone LiDAR maupun MMS merupakan teknologi yang modern dan canggih, namun bukan berarti alat tersebut tidak memiliki kesalahan. Setiap alat memiliki kesalahan yang tidak dapat dihilangkan.

18 Kesalahan pengukuran MMS terdapat pada setiap komponen atau sistem yang saling terhubung. Adapun kesalahan pengukuran MMS akan disebutkan dibawah ini. 1. Kesalahan Acak (Random Error) Kesalahan acak menyebabkan ketidaktepatan koordinat yang diperoleh dari hasil penyiaman laser scanner. Menurut Habib (2008), terdapat beberapa efek noise yaitu position noise, orientation noise, dan range noise pada sistem penyiaman laser scanner dalam menghasilkan point clouds. a. Position noise Pengaruh dari noise ini adalah independen terhadap jarak dan metode penyiaman. b. Orientation noise Noise ini akan lebih mempengaruhi koordinat horisontal daripada koordinat vertikal. Pengaruhnya dependen terhadap jarak dan sudut penyiaman. c. Range noise Range noise akan lebih mempengaruhi komponen vertikal. Pengaruhnya independen terhadap jarak penyiaman, tetapi dependen terhadap sudut penyiaman. 2. Kesalahan Sistematik Kesalahan sistematik dapat dipengaruhi kesalahan bias pada komponen sistem MMS dan kalibrasi untuk menghasilkan point clouds. Pengaruh dari kesalahan sistematik pada komponen sistem MMS yang dijadikan sebagai parameter kalibrasi adalah sebagai berikut. a. Lever arm offset error Kesalahan spatial offset (lever arm) antara laser scanner dan IMU sehingga akan mengakibatkan pergeseran secara konstan. b. Boresight offset error Kesalahan ini mempengaruhi koordinat horisontal dan koordinat vertikal. Kesalahan yang terjadi setelah kalibrasi pada roll dan pitch biasanya memiliki rentang 0,004 hingga 0,02. Berikut ilustrasi pengaruh kesalahan roll, pitch dan heading yang terjadi pada MMS. Kesalahan pada heading dua kali lebih

19 besar dari pada kesalahan yang terjadi pada roll dan pitch (Katzenbeisser, 2003). Gambar I.17. Ilustrasi kesalahan roll terhadap tanah (TerraSolid, 2015) Gambar I.18. Ilustrasi kesalahan roll terhadap bangunan (TerraSolid, 2015) Gambar I.19. Ilustrasi kesalahan pitch terhadap bangunan (TerraSolid, 2015)

20 Gambar I.20. Ilustrasi kesalahan heading terhadap bangunan (TerraSolid 2015) Kesalahan boresight yang mengakibatkan terjadinya kesalahan elevasi pada objek tanah diakibatkan oleh kesalahan rotasi roll, sedangkan kesalahan horizontal yang dapat diketahui melalui objek bangunan merupakan kesalahan dari rotasi rol, pitch, dan heading. Kesalahan tersebut merupakan kesalahan rotasi dari sistem IMU terhadap sistem laser scanner. c. Kesalahan pada penyangga alat penyiaman (mounting bias error) Besarnya sudut penyimpangan pada penyangga alat penyiaman biasanya kurang dari 3 (Baumker dkk, 2002). Mounting bias error dapat dianggap sebagai ketidaksejajaran antara sistem IMU dan alat penyiaman laser scanner. d. Kesalahan pada pengukuran jarak laser scanner Kesalahan ini bergantung pada kecepatan platform dan pencatat waktu interval laser scanner. Besarnya kesalahan pencatat waktu dapat dianggap konstan dan nilainya ditetapkan oleh produsen sensor laser scanner. Namun pada kenyataanya, kesalahan ini dapat dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan bertambahnya umur alat.

21 I.5.7. Koreksi Geometrik Dan Kalibrasi Point Clouds Setiap alat survei pasti memiliki kesalahan baik alat survei konvensional maupun alat survei modern termasuk MMS. Akurasi posisi point clouds dalam sistem koordinat global maupun lokal hasil pengukuran MMS bergantung pada 14 parameter untuk setiap laser scanner yang digunakan. Parameter tersebut yaitu tiga parameter posisi antenna GPS (X,Y,Z), tiga parameter sikap IMU roll, pitch, heading, tiga parameter sudut boresight, tiga parameter nilai lever arm (X,Y,Z) dan dua parameter kesalahan pengukuran laser scanner yaitu kesalahan sudut dan jarak dalam sistem koordinat laser scanner (Glennie, 2007). Koreksi geometrik dan kalibrasi point clouds hasil pengukuran MMS dilakukan untuk mengkoreksikan kesalahan posisi dan orientasi relatif tiap sensor pada MMS. I.5.7.1. Koreksi geometrik. Salah satu prosedur dari pengolahan data point clouds yaitu melakukan koreksi geometrik pada point clouds hasil pengukuran MMS. Proses ini dilakukan untuk meningkatkan akurasi keseluruhan point clouds dalam suatu project pengukuran MMS. Proses koreksi geometrik memerlukan titik kontrol hasil pengukuran GPS ataupun Total Station yang memiliki ketelitian lebih tinggi sepanjang jalan raya yang dilalui MMS. Titik kontrol tersebut harus dapat diidentifikasi pada point clouds. Point clouds hasil pengukuran MMS kemudian akan dilakukan adjusment terhadap titik kontrol hasil pengukuran GPS ataupun Total Station. I.5.7.2. Kalibrasi point clouds. Kalibrasi point clouds dilakukan untuk menghilangkan kesalahan posisi dan orientasi relatif antar sistem MMS khususnya kesalahan sudut boresight dan kesalahan lever arm. Menurut Glenie (2007) kesalahan boresight dan lever arm dapat dihilangkan dengan melakukan pengukuran MMS pada area yang diukur dua kali secara berturutturut sehingga menghasilkan point clouds yang saling tumpang tindih (overlapping). Beberapa objek pada point clouds yang saling overlapping dapat dijadikan acuan untuk melakukan kalibrasi karena objek tersebut mengidentifikasikan nilai kesalahan boresight dan lever arm. Objek yang dapat dijadikan sebagai acuan kalibrasi tersebut yaitu objek dinding, pojok bangunan, dan jalan raya.

22 I.5.8. Distorsi dan Kalibrasi Lensa Distorsi lensa tidak mengurangi kualitas ketajaman foto tetapi mengurangi kualitas geometrik dari foto yang dihasilkan. Berkurangnya kualitas geometrik foto menyebabkan posisi titik-titik pada foto mengalami perubahan dari posisi yang seharusnya, sehingga penentuan posisi pada foto tersebut menjadi tidak akurat atau mengalami kesalahan. Besarnya distorsi lensa dapat direduksi pengaruhnya dengan melakukan kalibrasi terhadap kamera yang digunakan. Distorsi lensa terjadi apabila seberkas sinar yang datang melalui lensa mengalami pembelokan arah sehingga sinar tersebut dibiaskan dengan arah yang tidak sejajar dengan arah sinar datang. Distorsi lensa dibagi menjadi dua jenis (Wolf, 2014) : 1. Distorsi radial Distorsi radial merupakan salah satu komponen yang paling dominan mempengaruhi kualitas geometrik foto. Distorsi radial adalah pergeseran linear titik-titik pada foto dalam arah radial terhadap titik utama dari posisi idealnya. Distorsi radial menyebabkan posisi gambar mengalami distorsi sepanjang garis radial dari titik utama. Berikut ilustrasi bentuk distorsi radial sebuah foto. Tanpa Distorsi Distorsi Barel Distorsi Pincushion Gambar I.21. Distorsi radial pada foto (Wolf, 2014) Distorsi radial ke arah luar dianggap positif dan distorsi radial ke arah dalam dianggap negatif. Distorsi radial positif sering disebut distorsi radial pinchushion distortion sedangkan distorsi radial negatif sering disebut distorsi radial barrel distortion seperti yang ditunjukan oleh Gambar I.21

23 Distorsi radial dideskripsikan sebagai fungsi dari polinom dari jarak radial (Δr) terhadap titik utama foto, sebagai berikut (Wolf, 2014) : Δr = k 1 r 3 + k 2 r 5 + k 3 r 7.. (I.5) Keterangan : Δr = besaran distorsi radial lensa k 1, k 2, k 3 = parameter distorsi radial r = jarak radial. Karakteristik dari distorsi radial lensa kamera dapat diketahui melalui kalibrasi kamera, jika karakteristik distorsi radial dikethui maka posisi objek pada foto dapat dikoreksi. 2. Distorsi tangensial Lensa kamera non-metrik merupakan gabungan dari beberapa lensa yang memiliki titik pusat yang berbeda. Terjadi kesalahan dalam mengatur titik pusat lensa pada gabungan lensa (sentering) menyebabkan terjadinya distorsi tangensial yang disebut juga desenteric distortion. Kesalahan sentering lensa dari gabungan lensa pada kamera non-metrik diilustrasikan pada Gambar I.22. Gambar I.22. (a) Gabungan lensa dengan sentering sempurna, (b) Gabungan lensa dengan sentering yang tidak sempurna (Wolf, 2014).

24 Untuk memperoleh posisi 3D yang akurat dari sebuah foto, parameter internal dari sebuah kamera harus diketahui. Parameter internal kamera meliputi panjang fokus lensa, panjang fokus terkalibrasi, nilai distorsi kamera (radial dan tangensial), lokasi titik utama foto, jarak antara dua fidusial yang berhadapan, sudut perpotongan garisgaris fidusial dan kerataan bidang fokal. Parameter internal ini kemudian dijadikan sebagai input orientasi dalam (Wolf, 2014). I.5.9. Klasifikasi Point Clouds Klasifikasi point clouds dilakukan berdasarkan beberapa skema klasifikasi menggunakan perangkat lunak TerraScan. Berikut beberapa kelas point clouds dengan skema klasifikasinya (TerraSolid, 2015): 1. Kelas Ground Skema klasifikasi ground ditentukan berdasarkan pembentukan model permukaan (terrain model) secara berulang-ulang (iterative). Skema klasifikasi kelas ground merupakan skema klasifikasi yang paling rentan terhadap kesalahan sehingga perlu dikoreksi secara klasifikasi manual. Parameter utama pada klasifikasi kelas ground yaitu sudut model permukaan, dan panjang model permukaan. Berikut ilustrasi parameter pada skema klasifikasi ground. Gambar I.23. Skema point clouds kelas ground (TerraSolid, 2015) Gambar I.23 menunjukan parameter dari skema klasifikasi ground. Secara keseluruhan, point clouds hasil klasifikasi ground ditunjukan oleh titik warna merah.

25 2. Kelas Low Point Skema klasifikasi kelas low point ditentukan berdasarkan perbedaan nilai ketinggian titik disekitarnya. Parameter utama dari skema klasifikasi kelas low point yaitu pendefinisian model permukaan, nilai perbedaan ketinggian, dan nilai jarak 2D dari low point lainnya. Skema dan parameter low point diilustrasikan pada Gambar I.24. Gambar I.24. Skema point clouds kelas low point (TerraSolid, 2015) Pada Gambar I.24 point clouds warna merah menunjukan model permukaan sedangkan point clouds warna biru merupakan point clouds untuk kelas low point. 3. Kelas Long Range Parameter skema klasifikasi kelas long range ditentukan berdasarkan nilai jarak 3D laser scanner terhadap suatu objek. Posisi laser scanner diidentifikasikan dengan posisi platform hasil integrasi GPS dengan IMU. Point clouds dengan kelas long range memiliki kesalahan posisi yang besar karena dipengaruhi oleh kesalahan jarak dan sudut laser scanner. 4. Kelas Low Vegetation, Medium Vegetation, High Vegetation Skema klasifikasi low vegetation, medium vegetation dan high vegetation ditentukan berdasarkan nilai jarak elevasi suatu elemen terhadap point clouds. Pada project MMS elemen yang dapat digunakan merupakan elemen dari data trajectory. 5. Kelas Default Kelas default merupakan kelas tanpa adanya skema klasifikasi.

26 I.5.10. Analisis Ketelitian Elevasi Point Clouds Ketelitian elevasi point clouds pada suatu proyek MMS sangat dibutuhkan untuk mengukur kualitas data yang dihasilkan. Ketelitian diperoleh dengan membandingkan data pengukuran MMS dengan data Total Station yang dianggap benar dan dianggap memiliki ketelitian yang lebih tinggi. Ketelitian elevasi point clouds hasil MMS ditentukan berdasarkan nilai RMSE yang diperoleh. Standar operasi yang digunakan untuk mendapatkan ketelitian elevasi point clouds adalah NSSDA (Nasional Standard for Spasial Data Accuracy) dan NMAS (National National Map Accuration Standard). Untuk melakukan analisis ketelitian elevasi point clouds diperlukan pemahaman mengenai konsep sistem tinggi pada MMS, dan interpolasi linier pada point clouds. I.5.10.1. Sistem tinggi MMS. Tinggi suatu titik dipermukaan bumi didefinisikan sebagai jarak vertikal terhadap suatu bidang referensi. Pendefinisian ketinggian suatu bidang referensi (datum) sering disebut sistem tinggi. Sistem tinggi dibidang geodesi berdasarkan bidang acuannya yang dijadikan sebagai kerangka referensi tinggi ada 2, yaitu : 1. Sistem tinggi orthometris (geoid). Tinggi orthometris suatu titik dipermukaan bumi adalah jarak yang diukur sepanjang garis unting-unting (arah gaya berat) dari geoid sampai ke titik tersebut dipermukaan bumi. Dengan kata lain bahwa tinggi orthometris suatu titik di permukaan bumi adalah ketinggian suatu titik di permukaan bumi terhadap bidang referensi berupa geoid. Geoid merupakan salah satu bidang ekuipotensial medan gaya berat bumi. Untuk keperluan praktis, pada umumnya geoid dianggap berhimpit dengan muka air laut rata-rata (mean sea level). 2. Sistem tinggi geometriks atau tinggi normal (ellipsoid). Tinggi geometriks atau tinggi normal suatu titik dipermukaan bumi adalah ketinggian titik tersebut dari permukaan bumi terhadap bidang ellipsoid sebagai bidang referensinya yang dihitung sepanjang garis normal ellipsoid. Ellipsoid lebih mudah dimodelkan secara matematis dibandingkan dengan geoid. Bidang referensi ellipsoid dan geoid umumnya tidak berhimpit, dan

27 terdapat undulasi geoid (ketinggian geoid terhadap ellipsoid). Gambar I.25 merupakan skema hubungan tinggi geometriks atau tinggi normal (ellipsoid) terhadap tinggi orthometris (geoid) dan tinggi topografi. Gambar I.25. Hubungan tinggi geoid, tinggi ellipsoid, dan permukaan bumi (Abidin, 2004) Dengan merujuk pada Gambar I.25 dapat dibentuk suatu pendekatan formula transformasi ketinggian titik diatas ellipsoid ke ketinggian titik diatas geoid sebagai berikut (Abidin, 2004) : N = h H.. (I.4) Keterangan : N : Undulasi geoid disuatu titik permukaan topografi h : Tinggi geometriks atau tinggi normal (bereferensi pada ellipsoid) H : Tinggi titik diatas geoid (bereferensi pada geoid) ɛ : sudut defleksi vertikal (tidak lebih dari 30 ) Ketinggian titik di atas ellipsoid (h) didapat dari pengukuran GPS sedangkan ketinggian titik diatas geoid (H) didapat dari pengukuran sipat datar. Apabila tidak memungkinkan dilakukan pengukuran sipat datar maka dapat digunakan model geoid global. Jika nilai ketinggian titik di atas ellipsoid (h) dan ketinggian titik di atas geoid

28 (H) diketahui maka nilai undulasi geoid di suatu titik di atas permukaan bumi dapat dihitung dengan persamaan (I.4). I.5.10.2. Interpolasi linear. Penentuan titik uji dapat dilakukan dengan cara interpolasi terhadap point clouds. Titik-titik uji hasil pengukuran Total Station akan dibandingkan dengan data hasil penyiaman laser scanner pada MMS. Dari titik-titik hasil pengukuran Total Station biasanya tidak tepat berada pada titik penyiaman laser scanner, akan tetapi berada di antara titik-titik hasil penyiaman laser scanner, sehingga perlu dilakukannya proses interpolasi linier agar titik uji Total Station dapat tepat berada pada titik point clouds. Proses interpolasi ini mengunakan model permukaan Triangulated Irregular Network (TIN) yang merupakan representasi permukaan bumi dalam bentuk kumpulan titik-titik elevasi yang terdistribusi secara acak. TIN merupakan bentuk jaring segitiga dengan unsur-unsur linier seperti breaklines dan mass point. Untuk membentuk jaring segitiga yang teliti diperlukan titik-titik yang terdistribusi rapat dan memiliki ketilitian yang tinggi sehingga model yang diperoleh dapat menggambarkan representative permukaan bumi secara teliti. Penentuan elevasi titik uji berdasarkan dari titik point clouds laser scanner yang dilakukan berdasar titik uji posisi X dan Y pada hasil pengukuran Total Station. Dengan demikian, nilai elevasi titik uji pada model TIN merupakan interpolasi linear dari ketinggian point cloud di sekitarnya. Untuk membentuk TIN yang mampu merepresentasikan model permukaan dengan kualitas bagus diperlukan data point clouds yang sangat rapat dengan ketelitian tinggi. Jika terdapat serangkaian titik (X,Y) pada bidang datar, maka nilai dari titiktitik tersebut dapat divisualisasikan sebagai ketinggian Z pada bidang tersebut. Titiktitik pembentuk bidang-bidang segitiga pada TIN model merupakan nodal yang memiliki koordinat 3D (X, Y, Z), permukaan-permukaan segitiga-segitiga tersebut menjadi bidang interpolasi titik-titik yang ada didalamnya. Misal titik A1 (X1,Y2), A2 (X2, Y2), dan A3 (X3,Y3) terdapat pada satu bidang dan merupakan nodal-nodal dari sebuah segitiga serta memiliki nilai Z1, Z2, dan Z3, dengan demikian nilai semua titik (Z) pada posisi A (X, Y) dalam sebuah bidang segitiga adalah sebagai berikut.

29 Z = ax + by + c (I.5) Persamaan (1.5) di atas merupakan persamaan dasar dari interpolasi linier. Untuk menentukan elevasi sebuah titik pada suatu bidang melalui interpolasi linier dengan teknik ini diperlukan minimal tiga buah titik agar koefisien-koefisien (a,b,c) pada persamaan (I.5) tersebut dapat didefinisikan. Dari ketiga titik tersebut dapat dibentuk persamaan linier sebagai berikut. Z1 = ax1 + by1 + c.. (I.6) Z2 = ax2 + by2 + c. (I.7) Z3 = ax3 + by3 + c. (I.8) Persamaan I.6, I.7, I.8, dapat disusun dalam bentuk matriks X = A. B, koefisien X sebagai matriks a,b,c, koefisien A sebagai matriks X,Y dan koefisien B sebagai matriks Z, maka terbentuk persamaan matrik sebagai berikut. a b c = X1 Y1 1 X2 Y2 1 X3 Y3 1 Z1 Z2 Z3 I.5.10.3. Titik uji Total Station. Daerah yang dijadikan titik uji sampel harus pada daerah yang bertampalan antar jalur kendaraan dan memiliki permukaan yang datar dan tidak boleh memiliki kemiringan terrain melebihi 20% dikarenakan jika kemiringan melebihi nilai tersebut maka kesalahan horizontal akan mempengaruhi perhitungan RMSE vertikal (FGDC, 1998). I.5.10.4. Perhitungan ketelitian elevasi. Ketelitian MMS salah satunya ditentukan oleh besarnya RMSE dari elevasi. RMSE adalah akar kuadrat dari rata-rata perbedaan data yang dikuadratkan antara nilai koordinat dataset dan nilai koordinat dari hasil survei independen dengan ketelitian yang lebih tinggi untuk titik-titik identik (FGDC, 1998). RMSE elevasi didapat dari hitungan kuadrat akar rata-rata perbedaan nilai elevasi yang didapat dari penyiaman laser scanner dengan data hasil ukuran independen yang mempunyai ketelitian lebih tinggi. Dengan rumus matematis sebagai berikut : -1... (I.9)

30 RMSE = (Zi Zn)2 n (I.10) Keterangan: Zi = elevasi data hasil pengukuran MMS Zn = elevasi hasil survei independen yang mempunyai ketelitian lebih tinggi n = jumlah titik uji