BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan masih sangat bergantung pada iklim kebijakan yang kuat. Di tahun 2013 terdapat sejumlah peningkatan kebijakan dan target untuk mendukung pengembangan dan penyebaran teknologi energi terbarukan di seluruh dunia. Semakin banyak jumlah negara yang mendukung energi terbarukan, tak terkecuali Indonesia. Melalui Peraturan Presiden No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), sasaran kebijakan energi nasional adalah terwujudnya bauran energi yang optimal pada tahun 2025 dimana porsi energi baru terbarukan menjadi 17% dari total pasokan energi. Peraturan pemerintah mengenai KEN terbaru tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 dimana pada tahun 2025 peran energi baru dan terbarukan paling sedikit 23% dan pada tahun 2050 paling sedikit 31% sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), rasio elektrifikasi Indonesia per September 2013 adalah 80,1% [1]. Pengembangan dan penggunaan energi terbarukan dirasa cukup potensial untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat yang belum terjangkau listrik PLN. Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai potensi energi surya yang cukup besar. Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, radiasi surya di Indonesia dapat diklasifikasikan berturut-turut sebagai 1
2 berikut: untuk kawasan barat dan timur Indonesia dengan distribusi penyinaran di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar 4,5 kwh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 10%; dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kwh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9% [2]. Oleh karena itu, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan rasio elektrifikasi Indonesia dan juga akan memberikan kontribusi dalam komitmen pencapaian bauran energi nasional pada tahun 2025. Selama lima tahun periode (2008 2012), kapasitas terpasang dari sejumlah teknologi energi terbarukan tumbuh sangat pesat, terutama di sektor tenaga listrik. Total kapasitas panel surya tumbuh dengan laju rata rata 60% per tahunnya. Kapasitas panel surya di dunia mencapai 100 GW milestone dan menjadi teknologi energi baru terbarukan ketiga terbesar setelah tenaga air dan tenaga angin. Eropa masih mendominasi pasar panel surya dengan penambahan 16,9 GW dan terhitung sekitar 57% merupakan instalasi baru, serta pada akhir tahun 2012 kapasitas panel surya yang beroperasi sebesar 70 GW. Diluar Eropa, sekitar 12,5 GW ditambahkan diseluruh dunia dengan jumlah kapasitas terpasang pada tahun 2011 diatas 8 GW. Pasar terbesar adalah China (3,5 GW), Amerika Serikat (3,3 GW), Jepang ( 1,7 GW), Australia (1 GW), dan India (hampir 1 GW) [3]. Dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (BP-PEN) 2005 2025, Indonesia sendiri menargetkan penambahan 0,87 GW kapasitas panel surya pada 2025. Dalam kurun waktu 2005 2025, pemerintah telah merencanakan menyediakan 1 juta solar home system (SHS) berkapasitas 50 Wp untuk masyarakat berpendapatan rendah serta 346,5 MWp PLTS Hibrid untuk daerah
3 terpencil [4]. Data terbaru yang dikeluarkan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi bahwa pada tahun 2013 instalasi kumulatif listrik tenaga surya baru mencapai 42,78 MW. Jumlah ini tidak mencapai target BP-PEN 2005 2025 yang seharusnya target instalasi kumulatif panel surya pada awal tahun 2013 telah mencapai 100 MW. Sementara menurut KEN terbaru (KEN 2010 2050), target share energi surya akan terus meningkat dimulai pada tahun 2025, energi surya mendapatkan porsi 0,1% untuk memasok kebutuhan energi nasional. Pada tahun 2030 porsi ini meningkat menjadi 0,3%, kemudian 1,5% pada tahun 2040 dan 1,7% pada tahun 2050. Target target ini menunjukkan potensi pasar fotovoltaik di Indonesia, sehingga untuk memaksimalkan pemanfaatan energi surya diperlukan dukungan keberadaan dari industri fotovoltaik. I.2 Perumusan Masalah Secara teknologi, industri fotovoltaik (photovoltaic PV) di Indonesia baru mampu melakukan pada tahap hilir, yaitu memproduksi panel surya dan mengintegrasikannya menjadi PLTS, sementara bahan baku sel surya masih mengandalkan impor [4]. Saat ini hanya terdapat enam industri PV di Indonesia dan keenam pabrik tersebut hanya memproduksi modul surya dengan kapasitas pabrik 10 30 MWp per tahun. Biaya investasi yang tinggi dalam mendirikan mata rantai industri fotovoltaik (PV) menjadikan para investor kurang berminat untuk terlibat dalam investasi industri PV. Pasar yang tidak berkembang
4 mengakibatkan baru terdapat industri fotovoltaik paling hilir yakni industri panel surya di Indonesia. Sementara harga panel surya dalam negeri yang kurang kompetitif dengan panel surya impor dari China juga menurunkan minat pasar dalam membeli produk panel surya dalam negeri. Disamping itu, dukungan kebijakan yang tidak pasti mempengaruhi iklim investasi di industri PV dalam negeri. Oleh karena itu akan dilakukan studi kelayakan tekno-ekonomi industri manufaktur fotovoltaik di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan melakukan observasi ke beberapa industri manufaktur fotovoltaik yang telah ada di Indonesia dan China. Dengan observasi ke China diharapkan dapat mendapatkan informasi mengenai aspek aspek yang membuat China maju dalam industri manufaktur fotovoltaik. Data data yang diperoleh kemudian digunakan untuk menganalisis jenis industri, sistem industri, maupun teknologi yang cocok dan layak secara ekonomi digunakan dalam industri manufaktur fotovoltaik di Indonesia. I.3 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai studi kelayakan tekno-ekonomi industri manufaktur fotovoltaik di Indonesia sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan oleh penulis lain.
5 I.4 Tujuan Penelitian 1. Menganalisa industri fotovoltaik di China sebagai dasar pengembangan industri fotovoltaik di Indonesia 2. Mengembangkan metode yang efektif untuk mengetahui kelayakan teknologi dan ekonomi dari industri manufaktur fotovoltaik di Indonesia I.5 Manfaat Penelitian 1. Mendapatkan informasi kelayakan teknologi dan ekonomi industri manufaktur fotovoltaik di Indonesia 2. Menjadi bahan pertimbangan untuk penentu kebijakan percepatan pembangunan industri manufaktur fotovoltaik dalam negeri 3. Menjadi bahan pertimbangan investor yang tertarik untuk menjalani bisnis di industri manufaktur fotovoltaik 4. Menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya dalam pengembangan industri manufaktur fotovoltaik