Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali

dokumen-dokumen yang mirip
Pengaruh Sistem Catur Wangsa terhadap Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Hindu di Bali: Kasus Kota Karangasem

BAB VIII PENUTUP Kesimpulan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang -1-

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D

Sangamandala Oleh: I Made Pande Artadi, S. Sn., M. Sn

AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT MUSLIM DESA PEGAYAMAN BULELENG BALI. L. Edhi Prasetya

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. besar dari sejak awalnya berdirinya desa (kurang lebih 150 tahun yg lalu)

Konservasi Nilai-nilai Hunian Bali Aga (Bali Kuno) dalam Wisata Budaya di desa Penglipuran, Bangli

BAB I PENDAHULUAN. tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan.

Identifikasi Perubahan Tatanan Spasial Karang di Desa Taro Kelod Gianyar Bali

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 2, (2015) ISSN: ( Print) D-95

DESA ADAT LEGIAN DITINJAU DARI POLA DESA TRADISIONAL BALI

Bali. Pola Tata Ruang Tradisional

sampai sasaran keempat. Berikut ini merupakan kesimpulan dari konsep Konservasi; 1. Konsep pada kondisi tetap: Konsep Preservasi jaringan jalan (pola

IDENTIFIKASI PEMANFAATAN ALUN-ALUN MALANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater : Clifford Geertz : Isnan Amaludin : 08/275209/PSA/1973

BAB VI KESIMPULAN. Dari uraian pada bab-bab terdahulu, dapat dikemukakan. beberapa temuan sebagai kesimpulan dalam penelitian ini.

BAB I PENDAHULUAN. Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang. merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara

STUDI KOMPARATIF POLA MORFOLOGI KOTA GRESIK DAN KOTA DEMAK SEBAGAI KOTA PERDAGANGAN DAN KOTA PUSAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM TUGAS AKHIR

KAJIAN POLA STRUKTUR RUANG KOTA LASEM DITINJAU DARI SEJARAHNYA SEBAGAI KOTA PANTAI TUGAS AKHIR. Oleh: M Anwar Hidayat L2D

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan

APLIKASI LANGGAM ARSITEKTUR MELAYU SEBAGAI IDENTITAS KAWASAN MENUJU KOTA BERKELANJUTAN

VERNAKULAR-TA.428-SEMESTER GENAP-2007/2008 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR-S1 FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METAMORFOSA HUNIAN MASYARAKAT BALI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. gb Peta Kawasan Wisata Pantai Lebih Gianyar Bali Sumber. Brosur Kabupaten Gianyar

MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan yang mewakili daerahnya masing-masing. Setiap Kebudayaan

Hubungan Karakteristik Penduduk dengan Pemilihan Ruang Publik di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

Lebih Dekat dengan Masjid Agung Kauman, Semarang

I Kadek Merta Wijaya, S.T., M.Sc. Dosen Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Warmadewa

IDENTITAS KAWASAN CAKRANEGARA LOMBOK DAN RUMUSAN BENTUK YANG SESUAI DENGAN IDENTITAS PADA ELEMEN FISIK KAWASAN Disertai contoh aplikasi penerapannya 1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Cukup Sehari Menjelajahi Pulau LOMBOK. Dikutip dari Koran SURYA terbit Sabtu, 5 Oktober 2013, halaman 14.

STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR

Keselarasan dan Keragaman Keruangan Permukiman Masyarakat Bali di Desa Wia-Wia, Kec. Poli-Polia, Kab. Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara

MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG

RUMAH TRADISIONAL BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tipomorfologi Fasade Bangunan Pertokoan di Sepanjang Ruas Jalan Malioboro, Yogyakarta

KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR

Perkuatan Struktur pada Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya Kasus Studi: Toko Dynasti, Jalan AM Sangaji Yogyakarta

PENGARUH KERAJAAN ISLAM TERHADAP POLA BENTUK KOTA PASURUAN

Gubahan Bentuk Taman dan Bentuk Ruang Taman Kiriman; Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar.

HASIL Hasil rekomendasi rekonstruksi perletakan/layout bangunan yang. PENDAHULUAN Arsitektur Bali Aga di Desa Bungaya memiliki keunikan-keunikan

Lampiran A Foto Bangunan Objek Penelitian di Jl.Cilaki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Bali yang terkenal sebagai pulau Dewata merupakan salah satu

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG

BAB V ARAHAN PELESTARIAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI AGA DAN REKOMENDASI

Pengaruh Hindu pada Atap Masjid Agung Demak

Akulturasi Langgam Arsitektur pada Elemen Pintu Gerbang Masjid Agung Yogyakarta

BAB III METODE PENELITIAN. Nggela. Bentuk permukiman adat di Desa Nggela yang berbentuk linear namun,

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

Gambar 2.12 Tata letak Pura dengan sistem zoning tri mandala Sumber: Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Udayana.

Bagian II Pelaksanaan Kegiatan Program IAI Daerah Bali (Periode )

LINGKUNGAN PERMUKIMAN MASYARAKAT KOTA DEPOK LAMA (Kajian Permukiman Kota)

BAB I PENDAHULUAN. dunia, hal ini disebabkakan oleh kehidupan dan kebudayaan masyarakat Bali yang

SILABUS. I. Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini membahas mengenai perkembangan kebudayaan di nusantara pada periode Hindu-Budha.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

POLA PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN DESA TENGANAN BALI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

BAB III METODE PENELITIAN. Bab Metode Penelitian ini terdiri atas delapan pokok bahasan. Pokok

GUNA DAN FUNGSI PADA ARSITEKTUR BALE BANJAR ADAT DI DENPASAR, BALI

Perkembangan Kawasan Cakranegara-Lombok

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

Kreativitas Busana Pengantin Agung Ningrat Buleleng Modifikasi

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak Sapi Bali di Kabupaten Tabanan 1

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 I d e n t i f i k a s i P e r u b a h a n R u m a h T r a d i s i o n a l D e s a K u r a u, K e c. K o b a

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

DAERAH RAWAN BENCANA ANGIN KENCANG DI BALI. Oleh. Komang Arthawa Lila, MS

BAB I PENDAHULUAN. sejak berabad-abad silam dan beberapa diantaranya sekarang sudah menjadi aset

BAB III METODE PENELITIAN

Arsitektur Hijau pada Morfologi Permukiman Tepi Sungai Tallo

EKSPRESI KERUANGAN BUDAYA LOKAL: Tinjauan Diakronik Spasial Permukiman Desa Adat Kesiman, Denpasar Bali

BAB I PENDAHULUAN. Perancangan Marina Central Place di Jakarta Utara (Sebagai Lokasi Sentral Bisnis dan Wisata Berbasis Mixed Use Area)

KARAKTERISTIK BANGUNAN BALE METEN, SERTA PROSES PEMBANGUNANNYA

kita bisa mengetahui dan memperoleh informasi mengenai destinasi pariwisata yang ada dan baru ada di Bali. Mengenai banyaknya jumlah biro perjalanan

BAB I PENDAHULUAN SEMINAR TUGAS AKHIR

DAFTAR ISI. Halaman. PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii. ABSTRAK...iii. ABSTRACT... iv. PERNYATAAN... v. KATA PENGANTAR vi. DAFTAR ISI...

BAB III GEDUNG PERTUNJUKAN MUSIK ROCK DI DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, sebuah

PENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

Pelestarian Permukiman Tradisional di Desa Adat Sukawana Kecamatan Kintamani, Kabupanten Bangli, Provinsi Bali

Pengertian Kota. Pengertian Kota (kamus)

1 BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur rumah tradisional yang tersebar hingga ke pelosok Nusantara

87 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Moses, 2014 Keraton Ismahayana Landak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB V LAHAN DAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Puri Agung Peliatan Ubud sebagai Destinasi Wisata Budaya

Transkripsi:

SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 PENELITIAN Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali I Gusti Ngurah Wiras Hardy ngurahwiras@gmail.com Arsitektur dan Perencanaan Kota, Peneliti Mandiri. Abstrak Kota Karangasem merupakan kota peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali yang memiliki tata spasial kota yang spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tata spasial Kota Karangasem dan pelbagai faktor yang melatarbelakangi. Penelitian ini menerapkan metode kualitatif dengan teknik analisis induktif-kualitatif, untuk menganalisis data dari hasil observasi, wawancara, dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perwujudan tata spasial Kota Karangasem, yaitu: (1) faktor kegiatan politik dan pemerintahan; (2) faktor pembagian kelompok hunian masyarakat; dan (3) faktor filosofis dan fungsional. Kata-kunci: faktor, Karangasem, kerajaan, kota, spasial Pendahuluan Kota dapat dipahami sebagai wadah kegiatan manusia yang terdiri dari beragam komponen. Komponen-komponen tersebut ditata menurut pelbagai pertimbangan yang disesuaikan dengan perkembangan hidup masyarakat. Hal ini menyebabkan kota memiliki tata spasial yang beragam, sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu tata spasial setiap kota memiliki perwujudan yang spesifik, akibat pengaruh dari pelbagai faktor dan perkembangan hidup masyarakat. Pulau Bali sebagai salah satu pulau di Indonesia, menjadi tempat berkembangnya kota-kota tradisional menjadi kota-kota modern dengan pelbagai faktor yang mempengaruhinya. Kota-kota modern di Bali pada masa sekarang, merupakan kota-kota peninggalan Kerajaan Hindu yang telah berkembang sejak masa Bali Pertengahan (sekitar abad XVII). Menurut Runa (2008), tata spasial kota-kota peninggalan tersebut pada umumnya mengadaptasi konsep catuspatha dari Keraton Majapahit. Catuspatha pada awalnya diterapkan di Kota Kerajaan Samprangan dan dalam perkembangannya diterapkan pula di kota-kota kerajaan lainnya di Bali (Geertz, 1980). Catuspatha atau pempatan agung dipahami sebagai simpang empat sakral beserta pelbagai fungsi ruang yang terdapat di sekitarnya. Fungsi-fungsi ruang tersebut, diantaranya: (1) puri sebagai kediaman raja dan pusat pemerintahan; (2) taman budaya atau wantilan sebagai tempat kegiatan sosial dan budaya, (3) peken atau pasar tradisional sebagai tempat kegiatan ekonomi; dan (4) ruang terbuka hijau (Budihardjo, 1986; Putra, 2005). Pada masa sekarang, beberapa fungsi ruang tersebut telah mengalami pelbagai dinamika, namun keberadaan catuspatha masih tetap bertahan sebagai penanda pusat kota dan pusat kegiatan masyarakat. Kota Karangasem merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Hindu di Bali yang masih mempertahankan keberadaan catuspatha dan tata spasial kota yang spesifik. Secara historis, tata spasial Kota Karangasem telah terbentuk sejak berdirinya Kerajaan Karangasem. Tata spasial kota Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 17

Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali tersebut masih dapat diamati hingga sekarang dan tetap dimanfaatkan sebagai wadah kegiatan masyarakat. Hal ini yang menyebabkan Kota Karangasem menarik untuk ditelusuri lebih mendalam, terutama mengenai perwujudan tata spasial kota dan pelbagai faktor yang melatarbelakangi. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khasanah keilmuan, terutama dalam bidang arsitektur dan perencanaan kota. Selain itu, hasil temuan ini dapat pula dimanfaatkan sebagai masukan atau pendekatan untuk menata dan mengembangkan Kota Karangasem dan kota-kota peninggalan Kerajaan Hindu lainnya di Pulau Bali. Dengan demikian, keberadaan kota-kota di Bali dengan pelbagai karakteristiknya, dapat dioptimalkan sebagai wadah kehidupan dan memberi kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Metode Penelitian Penelitian ini menerapkan metode penelitian kualitatif untuk mengidentifikasi perwujudan tata spasial Kota Karangasem dan pelbagai faktor yang melatarbelakangi. Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu: (1) observasi lapangan untuk memperoleh data primer mengenai kondisi Kota Karangasem dan masyarakat Kota Karangasem; (2) wawancara mendalam terhadap narasumber yang relevan, dengan teknik purposive sampling yaitu sampel menurut kriteria tertentu, untuk memperdalam dan melengkapi data yang telah diperoleh melalui observasi lapangan; dan (3) studi literatur dengan menelusuri data primer berupa catatan orang pertama atau data sekunder yang relevan dengan objek penelitian. Data dianalisis dengan menggunakan teknik induktif-kualitatif, yaitu dengan mengidentifikasi tata spasial Kota Karangasem berdasarkan data yang diperoleh melalui ketiga teknik pengumpulan data. Tahapan penelitian diawali dengan menelusuri kondisi Kota Karangasem dan masyarakat Kota Karangasem melalui observasi lapangan dan wawancara mendalam. Data yang telah diperoleh, selanjutnya dikategorisasi dan didialogkan dengan hasil studi literatur mengenai tata spasial Kotakota Kerajaan Hindu di Bali, Kota Karangasem, dan masyarakat Kota Karangasem. Hasil dialog tersebut berupa identifikasi mengenai tata spasial Kota Karangasem dan pelbagai faktor yang melatarbelakangi. Hasil temuan penelitian disajikan dalam bentuk deskripsi tekstual dan gambargambar yang mendukung hasil temuan. Kajian Pustaka Kota dipahami sebagai pusat pelbagai aktivitas dan kehidupan manusia. Hal ini menyebabkan kota menjadi pusat konsentrasi manusia untuk melakukan pelbagai aktivitas dan memenuhi kebutuhan hidup. Menurut Hansen (2006), kota merupakan tempat konsentrasi manusia dengan jumlah minimal mencapai ribuan orang. Kota dipahami pula sebagai human settlements yang mencerminkan upaya manusia untuk mengelola alam beserta seluruh isinya untuk mewadahi pelbagai aktivitas dan memenuhi seluruh kebutuhan manusia. Menurut Doxiadis (1968), human settlement mencakup pelbagai skala ruang kehidupan, sehingga kota merupakan salah satu wujud dari human settlements. Menurut Rossi (1986), kota merupakan salah satu wujud karya arsitektur sebagai hasil kreasi manusia untuk mewadahi pelbagai aktivitas manusia. Kota tidak hanya ditata untuk mengoptimalkan fungsinya sebagai wadah aktivitas, namun ditata dengan memperhatikan nilai-nilai estetika. Menurut Sitte (1901 dalam Moughtin, dkk, 1999: 3), kota memiliki ornamen sebagai salah satu perwujudan nilai keindahan (estetika), seperti: jalan-jalan, taman-taman, dan bangunan-bangunan. Dalam hal ini, pelbagai ornamen tersebut merupakan bagian dari ruang kota sebagai wadah manusia melakukan pelbagai aktivitas. Ruang kota merupakan ruang fisik sebagai wadah aktivitas manusia yang dipahami pula sebagai ruang eksternal yang secara fisik dibatasi oleh dinding dan lantai kota. Menurut Hillier (1989), 18 Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

I Gusti Ngurah Wiras Hardy ruang kota hanya menyentuh aktivitas manusia di permukaan, sehingga dalam memahami kota secara keseluruhan diperlukan pemahaman mengenai spasial kota. Pemahaman spasial kota menyangkut hubungan antara ruang kota secara fisik dengan kondisi manusia atau masyarakat yang menempatinya, seperti: kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Menurut Hillier dan Hanson (1984), hubungan antara ruang kota dengan kondisi masyarakat akan memperlihatkan perwujudan tata spasial kota. Dengan demikian, pemahaman mengenai kondisi masyarakat menjadi penting dalam upaya memahami tata spasial kota secara menyeluruh. Contoh pengaruh kondisi masyarakat terhadap perwujudan tata spasial kota, dapat diamati di kotakota lama di Indonesia. Kota-kota lama di Indonesia relatif berbeda dengan kota-kota di negara barat yang dipandang sebagai penanda batas-batas spasial secara fisik. Menurut Nas (1990a, dalam Nas dan Boender, 2002: 207), kota-kota lama di Indonesia memiliki peran utama sebagai penanda kekuasaan atas hubungan-hubungan sosial, sehingga memiliki batas yang kurang jelas. Tata spasial kota-kota lama di Indonesia dipahami sebagai cerminan dari struktur sosial masyarakatnya. Pada kawasan pusat sebuah kota ditempati oleh penguasa, yang dikelilingi oleh pemimpin agama, pemimpin duniawi, pelayan, prajurit, dan pengrajin, pedagang asing, dan petani yang berada di luar kota, sehingga membentuk lingkaran konsentris sebuah kota (Nas dan Boender, 2002). Pusat lingkaran konsentris kota-kota lama di Jawa pada umumnya disebut dengan kuta, yang dipahami sebagai wilayah permukiman yang dikelilingi oleh dinding pembatas (Wiryomartono, 1995). Kuta dapat pula disetarakan dengan keraton sebagai kediaman penguasa atau raja (dalem) yang dikelilingi oleh dinding pembatas. Wilayah kuta pada umumnya berbeda dengan wilayah desa yang ada di sekitarnya. Kuta dipandang pula sebagai awal mula pertumbuhan permukiman urban yang kini dikenal sebagai wilayah kota. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kota-kota lama berperan penting sebagai pusat kekuasaan dan pemerintahan yang ditandai dengan keberadaan keraton sebagai kediaman penguasa. Dalam perkembangannya, pusat kekuasan dan pemerintahan tersebut berkembang menjadi permukiman urban, yang menandai awal mula terbentuknya kota-kota modern di Indonesia. Hasil dan Pembahasan Kondisi Kota Karangasem Kota Karangasem merupakan ibukota dan pusat pemerintahan Kerajaan Karangasem yang berdiri sekitar abad XVII. Menurut Parimartha (2013), pada abad XVIII, Kerajaan Karangasem telah berkembang menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar di Pulau Bali. Kerajaan Karangasem memiliki wilayah kekuasaan yang luas, mencakup sebagian wilayah Bali bagian timur dan utara, hingga wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hal ini yang menyebabkan Kerajaan Karangasem menjadi salah satu Kerajaan Hindu yang disegani di wilayah Bali dan Lombok pada masa tersebut. Secara geografis, Kerajaan Karangasem terdiri dari wilayah dataran tinggi di bagian tengah dan wilayah dataran rendah di bagian utara, timur dan selatan. Sementara itu, batas-batas wilayah kekuasaan Kerajaan Karangasem di Bali, meliputi: (1) Kerajaan Buleleng dan Laut Bali di sebelah utara; (2) Selat Lombok di sebelah timur; (3) Samudera Indonesia/Hindia di sebelah selatan; dan (4) Kerajaan Klungkung dan Kerajaan Bangli di sebelah barat (Putra Agung, 2009: 40). Hal ini menjadikan Kerajaan Karangasem memiliki wilayah pegunungan yang subur dan wilayah pesisir pantai yang dimanfaatkan sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan. Pada masa sekarang, Kota Karangasem dikenal sebagai Kota Amlapura yang merupakan ibukota Kabupaten Karangasem. Menurut Putra Agung (2009: 189-192), batas-batas Kota Karangasem telah ditetapkan sejak tahun 1925, yaitu: (1) batas sebelah utara, dimulai dari Tukad Pati ke arah timur sampai di Bedugul, kemudian ke arah timur mengikuti selokan Sampuhan sampai di Jalan Anyar, lalu Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 19

Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali ke arah utara sampai di simpang empat Susuan, diteruskan ke timur sampai di Tukad Nyuling; (2) batas sebelah timur, dimulai dari Songan (Tukad Nyuling) ke arah selatan sampai di Penyampuhan; (3) batas sebelah selatan, dimulai dari Penyampuhan menuju ke arah barat sepanjang Tukad Janga sampai di sebelah selatan Desa Bukit, diteruskan ke arah barat sampai Tukad Pati; dan (4) batas sebelah barat, dibatasi Tukad Pati. Hingga sekarang, batas-batas wilayah kota berupa aliran sungai tersebut masih dapat diidentifikasi dan digunakan sebagai batas fisik Kota Karangasem. Gambar 1. Lokasi dan kondisi Kota Karangasem pada masa sekarang (sumber: dikonstruksi dari hasil observasi lapangan dan wawancara, 2014; modifikasi dari Hardy, dkk, 2017) Beberapa peninggalan Kota Karangasem sejak masa kerajaan hingga sekarang masih dapat diamati dan tetap dimanfaatkan oleh masyarakat Karangasem. Beberapa peninggalan tersebut, antara lain: catuspatha atau pempatan agung, bangunan puri, pura, geria, jero, pasar, lapangan (alun-alun), dan taman kerajaan. Menurut Munandar (2005: 29), saat ini hanya sedikit peninggalan kerajaankerajaan di Bali yang masih bertahan dan terawat dengan baik, diantaranya adalah peninggalan Puri Gede Karangasem dan Puri Agung Karangasem yang terdapat di Kota Karangasem. Oleh karena itu, Kota Karangasem menjadi salah satu kota di Bali yang relevan sebagai objek atau pendekatan, dalam mengidentifikasi tata spasial kota-kota peninggalan Kerajaan Hindu di Bali dan di Indonesia. Tata Spasial Kota Karangasem dan Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Wilayah Karangasem dibagi menjadi dua wilayah menurut sistem politik dan pemerintahan, yaitu: (1) kuta negara atau jero negara merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Karangasem; (2) jaba negara merupakan wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan lain yang berada di Pulau Bali; dan (3) dura desa/negara merupakan wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan lain yang berada di luar Pulau Bali (Putra Agung, 2009: 102-108). Pada masa sekarang, kuta negara dikenal sebagai wilayah 20 Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

I Gusti Ngurah Wiras Hardy Kabupaten Karangasem dan jaba negara dikenal sebagai wilayah kabupaten lain yang berada di Pulau Bali. Sementara itu, dura desa/negara merupakan wilayah luar Pulau Bali dan luar negeri. Gambar 2. Kondisi pempatan agung, puri, dan lapangan di Kota Karangasem pada masa sekarang (Sumber: dokumentasi, 2015; Hardy, dkk, 2017) Menurut fungsinya, kuta negara dibagi menjadi dua wilayah utama, yaitu: (1) wilayah dalam kota sebagai pusat pemerintahan yang disebut dengan jero kuta; dan (2) wilayah luar kota atau wilayah kepunggawaan yang disebut dengan jaba kuta. Jero kuta dikenal pula dengan wilayah ibukota Kabupaten Karangasem, sedangkan jaba kuta merupakan wilayah desa-desa yang terdapat di luar wilayah ibukota. Kedua wilayah tersebut dibatasi oleh keberadaan hunian masyarakat yang berada di pinggiran jero kuta. Pada masa kerajaan, batas ini berfungsi pula sebagai sistem pertahanan jero kuta, sedangkan pada masa sekarang, wilayah tersebut berkembang menjadi banjar-banjar pakraman dan perkampungan. Secara fisik, jero kuta ditandai dengan keberadaan puri sebagai pusat pemerintahan dan tempat kediaman penguasa. Gambar 3. Pembagian wilayah kuta (jero) negara, jaba negara, dan dura desa/negara (Sumber: dikonstruksi dari hasil eksplorasi dan wawancara, 2015 dalam Hardy, dkk, 2017; Putra Agung, 2009) Pelbagai fungsi ruang, hunian, dan kegiatan masyarakat membentuk tata spasial Kota Karangasem dengan karakteristik yang spesifik. Kegiatan politik dan pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya, merupakan pelbagai kegiatan masyarakat yang mempengaruhi perwujudan tata spasial Kota Karangasem. Kegiatan-kegiatan tersebut tetap dilakukan oleh masyarakat hingga sekarang, meskipun dengan pelbagai dinamika yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 21

Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali masyarakat. Hal ini yang menyebabkan perwujudan tata spasial Kota Karangasem dengan pelbagai komponennya masih tetap bertahan sebagai wadah kegiatan masyarakat Kota Karangasem. Berdasarkan luas cakupannya, tata spasial Kota Karangasem dibagi menjadi tiga skala, yaitu: (1) tata spasial kota dalam skala negara (wilayah kerajaan); (2) tata spasial kota dalam skala kuta (wilayah kota); dan (3) tata spasial kota dalam skala karang (wilayah pusat kota). Tata spasial kota dalam skala negara, membagi wilayah Karangasem menjadi dua wilayah, yaitu: (1) jero kuta adalah wilayah dalam kota atau ibukota Karangasem yang berfungsi sebagai pusat kegiatan politik dan pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya; dan (2) jaba kuta adalah wilayah luar Kota Karangasem yang merupakan wilayah desa-desa di sekitarnya. Berdasarkan pembagian tersebut, dapat dipahami bahwa tata spasial Kota Karangasem dalam skala negara dibentuk oleh pertimbangan kegiatan politik dan pemerintahan. Gambar 4. Tata spasial Kota Karangasem dalam skala negara (kiri) dan kuta (kanan) (Sumber: dikonstruksi dari hasil eksplorasi dan wawancara, 2015 dalam Hardy, dkk, 2017) Tata spasial kota dalam skala kuta dibentuk oleh kelompok-kelompok hunian masyarakat berdasarkan jenis hunian dan strata sosial masyarakat. Jenis-jenis hunian tersebut, yaitu: (1) puri adalah hunian dengan tingkatan utama sebagai hunian golongan ksatrya (raja dan keluarganya); (2) jero adalah hunian dengan tingkatan madya sebagai hunian golongan ksatrya (punggawa dan keluarganya) dan golongan wesya (bangsawan, saudagar, dan keluarganya); (3) geria adalah hunian dengan tingkatan madya sebagai hunian golongan brahmana (Pendeta Hindu dan keluarganya); dan (4) umah dan rumah dengan tingkatan nista sebagai hunian golongan sudra/kaula (pekerja dan masyarakat umum). Kelompok-kelompok hunian tersebut membentuk 22 Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

I Gusti Ngurah Wiras Hardy lingkaran konsentris yang membagi wilayah Karangasem menjadi tiga wilayah, yaitu: (1) wilayah puri di lapisan paling dalam atau pusat kota dengan tingkatan utama; (2) wilayah jero dan geria di lapisan tengah atau sekitar pusat kota dengan tingkatan madya; dan (3) wilayah umah-banjar pakraman dan rumah-kampung di lapisan luar atau pinggiran kota dengan tingkatan nista. Gambar 5. Tata spasial Kota Karangasem dalam skala karang (kiri) dan fungsi-fungsi ruang sekitar pempatan agung (kanan) (Sumber: dikonstruksi dari hasil eksplorasi dan wawancara, 2015 dalam Hardy, dkk, 2017) Tata spasial Kota Karangasem dalam skala karang dibentuk oleh pola catuspatha atau pempatan agung yang diadaptasi dari Keraton Majapahit. Dalam hal ini, pempatan agung merupakan persilangan dua jalan utama atau simpang empat yang dipahami sebagai simbol pusat alam semesta dan berperan penting sebagai pusat kota dan pusat pelbagai aktivitas masyarakat. Pempatan agung Kota Karangasem terletak di sebelah kelod kauh (dalam konteks ini berarti barat daya) Puri Kanginan, yang ditandai oleh beberapa fungsi ruang utama, yaitu: (1) Puri Kanginan di areal sebelah kaja kangin (timur laut) pempatan agung yang berfungsi sebagai kediaman keluarga raja (ksatrya); (2) Pura Puseh Meru dan Bale Agung di areal sebelah kelod kangin (tenggara) pempatan agung yang berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan bagi Umat Hindu; (3) peken (pasar tradisional) dan pertokoan di sebelah kelod kauh (barat daya) pempatan agung yang berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan; dan (4) Puri Kelodan atau Amlaraja di areal sebelah kaja kauh (barat laut) pempatan agung yang berfungsi sebagai kediaman keluarga raja (ksatrya). Hal ini memperlihatkan bahwa pada masa sekarang, catuspatha atau pempatan agung beserta pelbagai fungsi ruangnya memiliki fungsi penting yaitu sebagai penanda pusat kota, pusat kegiatan keagamaan, sosial, budaya, dan ekonomi bagi masyarakat Kota Karangasem. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, dapat dipahami bahwa tata spasial Kota Karangasem terbagi menjadi tiga skala, yaitu: (1) skala negara membagi wilayah menjadi jero kuta Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 23

Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali dan jaba kuta; (2) skala kuta membagi wilayah menjadi wilayah puri, jero dan geria, umah-banjar pakraman dan rumah-kampung; dan (3) skala karang yang dibentuk oleh pempatan agung beserta pelbagai fungsi ruangnya. Dengan demikian, perwujudan tata spasial Kota Karangasem dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (1) faktor kegiatan politik dan pemerintahan yang mempengaruhi perwujudan tata spasial kota dalam skala negara; (2) faktor pembagian kelompok hunian masyarakat yang mempengaruhi perwujudan tata spasial kota dalam skala kuta; dan (3) faktor filosofis dan fungsional yang mempengaruhi perwujudan tata spasial kota dalam skala karang, berupa catuspatha (simpang empat sakral) yang dipahami sebagai pusat alam semesta dan pusat kegiatan keagamaan, sosial, budaya, dan ekonomi. Hingga sekarang, faktor-faktor tersebut tetap mempengaruhi perwujudan tata spasial Kota Karangasem. Dengan demikian, hasil temuan ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk menata dan mengembangkan spasial Kota Karangasem, sesuai dengan pelbagai faktor yang mempengaruhi perwujudannya. Daftar Pustaka Budihardjo, E. (1986). Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Doxiadis, C. A. (1968). Ekistics: an Introduction to the Science of Human Settlements. London: Hutchinson and Co. Ltd. Geertz, C. (1980). Negara, The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton University Press. Hansen, M.H. (2006). Polis: an Introduction to the Ancient Greek City-State. Oxford University Press. Hardy, I G.N.W. Setiawan, B. & Prayitno, B. (2017). Tata Spasial Kota Kerajaan Karangasem. Disertasi belum dipublikasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Hillier, B. (1989). The Architecture of the Urban Object. Dalam Ekistics: The Problems and Science of Human Settlements. 334/335, January/February-March/April 1989. Hillier, B. & Hanson, J. (1984). The Social Logic of Space. New York and Melbourne: Cambridge University Press. Moughtin, C., Oc, T., dan Tiesdell, S. 1999. Urban Design: Ornament and Decoration. Second edition. Architectural Press. Munandar, A.A. (2005). Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri Bali Abad ke 14-19. Depok: Komunitas Bambu. Nas, P.J.M. & Boender, W. (2002). Kota Indonesia Dalam Teori Perkotaan (terjemahan). Dalam Nas, P. J. M. 2007. Kota-kota Indonesia: Bunga Rampai (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Parimartha, I G. dkk. (2013). Sejarah Bali Pertengahan Abad XIV-XVIII, dalam Ardika, I W., dkk. 2013. Sejarah Bali, Dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press. Putra, I G.M. (2005). Catuspatha, Konsep, Transformasi, dan Perubahan. Jurnal Permukiman Natah Universitas Udayana, Vol. 3 No. 2 Agustus 2005 : 62 101. Putra Agung, A.A.G. (2009). Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rossi, A. (1986). The Architecture of the City. Cambridge, Massachusetts, and London: Oppositions Books and The MIT Press. Runa, I W. (2008). Sejarah Arsitektur Tradisional Bali, dalam Sueca, Ngakan P. (ed). 2008. Pustaka Arsitektur Bali. Denpasar: Ikatan Arsitek Indonesia, Daerah Bali. Wiryomartono, A.B.P. (1995). Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia: Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Budha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 24 Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017