BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Mahi (2001)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

SKRIPSI. Oleh : PURNOMO NIM: B

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, pembangunan dan

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan yang sangat berarti. Melalui Undang-Undang No. 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Otonomi. daerah merupakan suatu langkah awal menuju pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang rendah dan cenderung mengalami tekanan fiskal yang lebih kuat,

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. perimbangan keuangan pusat dan daerah (Suprapto, 2006). organisasi dan manajemennya (Christy dan Adi, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. perubahan regulasi dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PEMERINTAHAN KOTA DEPOK TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sejak timbulnya krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter pertengahan 1997, pembangunan di Indonesia terhenti karena ketidakmampuan pemerintah dalam membiayai proyek-proyek pembangunan yang disebabkan pendapatan pemerintah berkurang, khususnya dari sektor pajak dan retribusi. Krisis ekonomi telah berhasil memunculkan kepermukaan beberapa kelemahan perekonomian nasional. Berbagai distorsi yang terjadi pada masa lalu telah melemahkan ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi krisis, menimbulkan berbagai bentuk kesenjangan sosial dan menghambat kemampuan untuk mengatasi krisis dengan cepat. Kurang meratanya penyebaran pelaksanaan pembangunan membuat kesenjangan pertumbuhan antar daerah, antar perkotaan dan pedesaan, antar kawasan seperti kawasan barat dan kawasan timur Indonesia, maupun antar golongan masyarakat sehingga gejolak sosial menjadi sangat mudah terjadi. Penerapan otonomi daerah diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2001 membawa implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang yang semula bersifat sentralistik kini telah berubah dalam suatu pola hubungan yang bersifat desentralisasi. Kebijakan terkait yang tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang PerimbanganKeuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang - Undang ini dalamperkembangannya diperbaharui dengan dikeluarkannya UU No.32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004. Menurut Mahi (2001), Diberlakukannya undang-undang ini memberikan peluangbagi daerah untuk menggali potensi lokal dan meningkatkan kinerja keuangannyadalam rangka mewujudkan kemandirian daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun2004 berintikan pembagian kewenangan dan fungsi (power sharing) antarapemerintah pusat dan daerah.sementara Undang-Undang No. 33 Tahun

2004mengatur pembagian sumber-sumber daya keuangan (financial sharing). Hubungan antarapusat-daerah ini didesain dengan menggunakan prinsip money follow function atau uang mengikuti kewenangan. Artinya, penyerahan kewenangan daerah juga dibarengi dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya masih dipegang oleh pemerintah pusat. Dengan adanya reformasi ini, pemerintah daerah mempunyai kebebasan dalam mengatur rumah tangga daerahnya sendiri sehingga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Mardiasmo (2002:25) menyatakan : Pemberian desentralisasi fiskal diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerahnya melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan pelaksanaan desentralisasi fiskal tersebut, yaitu : 1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah 2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat 3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal terdapat kegiatan yang membedakan dengan sistem sentralisasi pada periode dahulu yaitu dengan diterapkannya aturan keuangan pusat dan daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal pada satu sisi mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, di sisi lain untuk memfasilitasi proses otonomi daerah, tetapi hampir semua daerah persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) relatif kecil. Pada umumnya APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) suatu daerah didominasi oleh transfer pemerintah pusat dan transfer lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini menyebabkan daerah sangat tergantung kepada pemerintah pusat, sehingga kemampuan daerah untuk mengembangkan sumber daya yang mereka miliki menjadi sangat terbatas. Dalam UU No 33 tahun 2004 penerimaan pendapatan daerah terdiri dari: 1) Pendapatan Asli Daerah (yang terdiri dari pajak dan retribusi daerah)

dalam jutaan 3 2) Dana Perimbangan (Transfer yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil) 3) Lain lain Pendapatan yang sah. Menurut Koswara (2000) ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerahnya. Artinya daerah otonomi harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan pada bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin,sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan pembagian keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar sistem pemerintahan negara. Hal senada juga dengan Halim (2001), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yangberarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri untuk membiayai penyelenggaraaan pemerintahan; (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan transfer keuangan pusat dan daerah. Dalam Gambar 1.1 terlihat kondisi PAD,belanja, dan transfer provinsi Jawa Barat. PAD Provinsi Jawa Barat dalam beberapa tahun terlihat mengalami defisit. Gambar 1.1 Kondisi PAD, Belanja, dan Transfer Provinsi Jawa Barat Rp10.000.000 Rp8.000.000 Rp6.000.000 Rp4.000.000 Rp2.000.000 Rp- 2006 2007 2008 2009 2010 PAD Rp3.748. Rp4.221. Rp5.275. Rp5.520. Rp7.252. Belanja Rp4.907. Rp2.821. Rp6.110. Rp8.193. Rp6.955. Transfer Rp1.298. Rp1.756. Rp1.903. Rp2.197. Rp2.451. Sumber :www.djpk.depkeu.go.id, (2012) data diolah

Terlihat bahwa dana transfer dari pusat ke daerah meningkat pada periode 2006-2010. Hal ini terkesan sangat bertolak belakang dengan diberlakukannya otonomi daerah yang seharusnya justru menunjukan peningkatan peranan pemerintah daerah yang semakin kuat setelah desentralisasi diberlakukan. Pada tahun 2006,2008,dan 2009 peningkatan transfer dari pemerintah pusat ini dikarenakan adanya defisit, belanja daerah yang semakin tinggi namun tidak diikuti oleh tingginya PAD, sehingga pemerintah pusat harus berperan untuk menutupi belanja yang tinggi.pada era desentralisasi Kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada(machfud, 2002). Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Marwanto Harjowiryono menyatakan bahwa diberlakukannya desentralisasi fiskal sebenarnya dilakukan dengan kesepakatan bahwa uang transfer digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini mengidentifikasikan jika dana transfer terus meningkat maka daerah belum bisa memenuhi kebutuhan rakyat dari PAD yang dihasilkan(www.kompas.com, 2010). Menurut Halim (2012) dalam penciptaan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus beradaptasi dan berupaya meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber PAD.Tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah.dalam upaya peningkatan kemandirian daerah pemerintah daerah juga dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang dimiliki dan salah satunya memberikan proporsi belanja modal yang lebih besar untuk pembangunan pada sektor-sektor yang produktif di daerah. Dalam penelitian Hamzah (2008) tingkat kemandirian suatu daerah dan pengelolaan keuangan yang baik (ekonomis, efektif dan efisien) akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Hal tersebut dikarenakan kurang atau tidak adanya intervensi dari pemerintah pusat dalam hal kebijakan terkait dengan pengelolaan daerah tersebut, karena pada umumnya yang mengetahui potensi dan apa yang terbaik bagi suatu daerah adalah daerah itu

5 sendiri sehingga aparatur daerah dapat secara inisiatif dan kreatif mengelola potensi yang dimiliki daerah untuk mendorong pertumbuhan daerah. Namun saat ini kemampuan beberapa pemerintah daerah masih sangat tergantung pada penerimaaan yang berasal dari pemerintah pusat.oleh karenaitu bersamaan dengan semakin sulitnya keuangan negara dan pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri, maka setiap daerah dituntut harus dapat membiayaidiri melalui sumber sumber keuangan yang dikuasainya. Peranan pemerintah daerah dalam menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah sebagaisumber penerimaan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di daerah. Dalam penelitian Setyawan dan Priyo Hari (2008)menyatakan : Desentralisasi fiskal menuntut daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Seiring dengan peningkatan kemandirian, daerah diharapkan mampu melepaskan (atau paling mengurangi) ketergantungan terhadap pemeerintah pusat.dalam era ini, PAD idealnya menjadi komponen utama pembiayaan daerah. Meningkatnya PAD memberi indikasi yang baik bagi kemampuan keuangan daerah dalam mengatur rumah tangganya terutama dalam pelaksanaan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, serta peningkatan pembangunan. Peningkatan cakupan PAD dapat pula dilakukan dengan meningkatkan jumlah obyek dan subyek pajak dan atau retribusi. Menurut Purnomo (2009) kemampuan keuangan adalah keadaan atau kondisi yang menggambarkan keuangan daerah yang dalam hal ini ditinjau dari desentralisasi fiskal, kapasitas fiskal, kebutuhan fiskal, dan upaya fiskal.dari keuangan pemerintah kota tersebut.sedangkan menurut Halim (2001) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan yang dimaksud kemandirian daerah adalah kemampuan pendapatan daerah dalam membiayai pengeluaran pemerintah daerah.sehingga ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi yang lebih kecil, dan pendapatan asli daerah harus menjadi bagian yang terbesar dalam

memobilisasi penyelenggaraan pemerintahan, oleh karenaitu PAD dijadikan sebagai tolak ukur kemandirian dalam menjalankan otonomi daerah (Purnomo, 2009). Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh mengenai desentralisasi dan otonomi daerah di Provinsi Jawa Barat serta menganalisis kemampuan keuangan dari Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat itu sendiri terhadap pertumbuhan ekonomi dan bermaksud menuangkannya kedalam skripsi yang berjudul Pengaruh Kemampuan Keuangan dan Kemandirian Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era Desentralisasi Fiskal. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut: 1) Seberapa besar kemampuan keuangan berdasarkan rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat di era desentralisasi 2) Seberapa besar kemampuan keuangan berdasarkan rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat di era desentralisasi 3) Seberapa besar tingkat kemandirian daerah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat di era desentralisasi 4) Seberapa besar pertumbuhan ekonomi Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat di era desentralisasi 5) Seberapa besar pengaruh parsial antara kemampuan keuangan berdasarkan rasio Pendapatan asli Daerah (PAD), kemampuan keuangan berdasarkan rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) dan tingkat kemandirian daerah terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Baratdi era desentralisasi

7 6) Seberapa besar pengaruh simultan antara kemampuan keuangan berdasarkan rasio Pendapatan asli Daerah (PAD), kemampuan keuangan berdasarkan rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) dan tingkat kemandirian daerah terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat di era desentralisasi 1.3 Maksud dan tujuan penelitian Maksud dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang pelaksanaan APBD di Kabupaten/kota Jawa Barat dan memberikan gambaran tentang bagaimana kemandirian Pemerintah Daerah Jawa Barat terhadap Pemerintah pusat. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah : 1) Untuk mendapatkan bukti empiris mengenai kemampuan keuangan berdasarkan rasio Pendapatan asli Daerah (PAD) Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat di era desentralisasi 2) Untuk mendapatkan bukti empiris mengenai kemampuan keuangan berdasarkan rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat di era desentralisasi fiskal tahun 2006-2010. 3) Untuk mendapatkan bukti empiris mengenai tingkat kemandirian daerah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat di era desentralisasi 4) Untuk mendapatkan bukti empiris mengenai pertumbuhan ekonomi Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Baratdi era desentralisasi fiskal tahun 2006-2010. 5) Untuk mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh parsial antarakemampuan keuangan berdasarkan rasio Pendapatan asli Daerah (PAD), kemampuan keuangan berdasarkan rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), dan kemandiriandaerah terhadap pertumbuhan

ekonomi Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Baratdi era desentralisasi 6) Untuk mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh simultan antarakemampuan keuangan berdasarkan rasio Pendapatan asli Daerah (PAD), kemampuan keuangan berdasarkan rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), dan kemandirian daerah terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat di era desentralisasi 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian yang penulis lakukan diharapkan akan mempunyai kegunaan antara lain: a. Kegunaan akademis 1) Bagi peneliti Sebagai pembelajaran awal dalam melakukan penelitian, juga menambah pengetahuan dan pemahaman tentang keuangan Pemerintah Daerah Jawa Barat serta melatih kemampuan teknis dalam membandingkan ilmu pengetahuan teori dengan pelaksanaan sebenarnya. 2) Bagi Peneliti Lain Dapat memberi kegunaan dokumentasi guna melengkapi sarana yang dibutuhkan dalam penyediaan bahan studi bagi pihak yang membutuhkan dan menjadi sumber informasi dan referensi dalam penelitian sejenis. 3) Bagi Mahasiswa atau akademisi Menambah pembendaharaan kepustakaan. Tugas Akhir skripsi ini akan memperkaya jumlah literatur yang dapat digunakan oleh kalangan akademisi.

9 b. Kegunaan praktisi Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pengevaluasian oleh pemerintah daerah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 1.5 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dimana data diperoleh dari dokumen Laporan Realisasi APBD yang diperoleh dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, dan situs Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah (www.djpk.depkeu.go.id).waktu penelitian dimulai pada bulan September 2012 sampai dengan penelitian selesai.