BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

dokumen-dokumen yang mirip
PEMODELAN KEMATANGAN HIDROKARBON DAERAH KOTABUMI, KABUPATEN LAMPUNG UTARA, PROPINSI LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel...

BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM

BAB III ANALISIS DINAMIKA CEKUNGAN

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN MAKSUD

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu

BAB II GEOLOGI REGIONAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

I. PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang

II Kerogen II Kematangan II.2.2 Basin Modeling (Pemodelan Cekungan) II.3 Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN...

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. lapangan minyak baru di Indonesia diyakini masih tinggi walaupun semakin sulit

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Pengumpulan Data viii

BAB II TEORI DASAR 2.1 Pemodelan Geohistori Pemodelan Geohistori Burial

ANALISIS BURIAL GEOHISTORY PLATFORM MUSI, CEKUNGAN SUMATRA SELATAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

BAB IV ESTIMASI SUMBER DAYA HIDROKARBON PADA FORMASI PARIGI

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan. Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM

BAB III MODEL BURIAL GEOHISTORY DAERAH PENELITIAN

Analisis Persebaran Total Organic Carbon (TOC) pada Lapangan X Formasi Talang Akar Cekungan Sumatera Selatan menggunakan Atribut Impedansi Akustik

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan eksplorasi migas untuk mengetahui potensi sumber daya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Eksplorasi hidrokarbon memerlukan analisis geomekanika untuk. menghindari berbagai masalah yang dapat mempengaruhi kestabilan sumur

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Bab II Kerangka Geologi

BAB I PENDAHULUAN. lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

Bab IV Sejarah Pembentukan Cekungan

Bab II Geologi Regional

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Pemodelan geologi atau lebih dikenal dengan nama geomodeling adalah peta

BAB III GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

STUDI GEOKIMIA DAN PEMODELAN KEMATANGAN BATUAN INDUK FORMASI TALANGAKAR PADA BLOK TUNGKAL, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

Geokimia Minyak & Gas Bumi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lapangan YTS adalah lapangn minyak yang terletak di Cekungan Sumatra

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI

PENENTUAN SIFAT FISIK BATUAN RESERVOIR PADA SUMUR PENGEMBANGAN DI LAPANGAN RR

BAB I PENDAHULUAN. Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas

BAB II TINJAUAN LAPANGAN. Semua materi dalam Bab II ini diambil dari hasil analisa peneliti lain 8.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN... 1

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB III GEOLOGI UMUM

PEMODELAN RESERVOAR PADA FORMASI TALANG AKAR BAWAH, LAPANGAN YAPIN, CEKUNGAN SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR

HALAMAN PENGESAHAN...

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

Bab I Pendahuluan. I.1 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kebutuhan energi terutama energi fosil yang semakin

BAB IV METODE DAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PREDIKSI TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) MENGGUNAKAN REGRESI MULTILINEAR DENGAN PENDEKATAN DATA WELL LOG

BAB IV UNIT RESERVOIR

Bab III Interpretasi Data Geokimia

EVALUASI BATUAN INDUK SAMPLE BATUAN SEDIMEN FORMASI TALANG AKAR DI DAERAH LENGKITI, OGAN KOMERING ULU, SUMATERA SELATAN

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Peta Kontur Isopach

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

Dinamika Sedimentasi Formasi Prupuh dan Paciran daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan, Jawa Timur

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Pertamina EP yang berada di Jawa Barat (Gambar 1.1). Lapangan tersebut

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

memiliki hal ini bagian

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi permintaan akan energi yang terus meningkat, maka

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku

BAB V SEJARAH GEOLOGI

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. Analisa Data Litologi dan Stratigrafi Pada sumur Terbanggi 001, data litologi (Tabel 4.1) dan stratigrafi (Tabel 4.2) yang digunakan untuk melakukan pemodelan diperoleh dari analisa hasil pemboran. Data ini memperlihatkan bahwa stratigrafi sumur Terbanggi 001 tersusun atas: 1. Basemen 2. Formasi Lahat (Lemat) 3. Formasi Talang Akar 4. Formasi Baturaja 5. Formasi Gumai 6. Formasi Air Benakat 7. Formasi Kasai Tabel 4.1 Data litologi sumur Terbanggi 001 (CST = Claystone, SST= Sandstone, LST= Limestone, CARB= Carbon, TUFF= Tuff) 27

Tabel 4.2 Data stratigrafi sumur Terbanggi 001 Data litologi sumur Terbanggi 002 diperoleh dari analisa sampel permukaan sedangkan untuk data kedalaman sumur yang dibutuhkan dalam masukan data diperoleh dari kolom stratigrafi umum (Gambar 4.1). Pada kolom stratigrafi memperlihatkan bahwa daerah ini tersusun atas (Tabel 4.3): 1. Basemen 2. Formasi Kikim 3. Formasi GRM - TAF 4. Formasi TRM - TAF 5. Formasi Baturaja 6. Formasi Air Benakat 7. Formasi Kasai Tabel 4.3 Data Stratigrafi sumur Terbanggi 002 28

Gambar 4.1 Kolom stratigrafi umum daerah Kotabumi 29

4.2. Analisa Umur dan Batimetri Analisa umur dan batimetri untuk sumur Terbanggi 001 diperoleh kisaran umur dan batimetri pada masing masing formasi berdasarkan dari analisa fosil yang diperoleh dari laporan pemboran berupa kurva umur dan kisaran batimetri. Sedangkan pada sumur Terbanggi 002, data diperoleh dari hasil analisis biostratigrafi sampel lapangan. Gambar 4.2 Kurva Umur Kedalaman Gambar 4.3 Kurva Batimetri - Kedalaman Sumur Terbanggi 001 Sumur Terbanggi 001 30

TRM - TAF TRM - TAF GRM - GRM - Gambar 4.4 Kurva Umur - Kedalaman Gambar 4.5 Kurva Batimetri - Kedalaman Sumur Terbanggi 002 Sumur Terbanggi 002 Dari hasil analisa kedua sumur menunjukkan perbedaan pola kurva antara sumur Terbanggi 001 dengan sumur Terbanggi 002. Perbedaan kemungkinan terjadi karena adanya perbedaan sub cekungan tempat kedua sampel tersebut dianalisa. 4.3. Analisa Kurva Porositas, Kurva Kompaksi dan Ketebalan Tererosi Data porositas diambil dari kurva log sonik sedangkan batas formasi, umur dan jenis litologi diperoleh dari laporan pemboran. Data porositas dari kurva log porositas sonik diolah mengunakan program Compaction for widows sehingga akan diperoleh nilai porositas untuk detritus halus (gambar 4.6). Konversi nilai data dari log sonik menjadi nilai porositas menggunakan persamaan Raiga Clemencaeau (Issler, 1992). 31

φ = t 1 t ma log 1/ x φ Δtma Δtf Δtlog x = Porosity = matrix transit time = fluid transit time (189 ms/ft for fresh water) = log transit time = Acoustic formation factor SEGMEN A SEGMEN B Gambar 4.6 Kurva Porositas 32

Hasil dari pengolahan kurva porositas dilakukan koreksi untuk memperoleh garis regresi linier yang lebih sesuai dengan menggunakan program Excell (gambar 4.7 dan 4.8). Pembagian segmen berdasarkan adanya tren nilai regresi yang berubah pada kedalaman 1369 m pada batas Formasi Talangakar dengan Formasi Lahat. Kurva porositas terkoreksi tadi digunakan untuk mendapatkan persamaan kompaksi linier yang selanjutnya akan dirubah dalam persamaan kompaksi karena kurva kompaksi PowerLaw merupakan model kurva yang paling mendekati dengan model kurva kompaksi untuk cekungan di Indonesia (Gambar 4.10 dan 4.11). Persamaan yang digunakan untuk memperoleh kurva PowerLaw adalah φ z Z φ z 1 = Porositas pada kedalaman Z = Kedalaman = A + b Z b 2 A,b = Konstanta Menurut van Hinte (1978), ketebalan masing masing lapisan merupakan fungsi dari porositas sedangkan porositas adalah fungsi dari dari pemendaman. Sehingga penurunan nilai porositas akan mengikuti suatu model kurva tertentu salah satunya adalah kurva PowerLaw. Gambar 4.7 Kurva porositas dengan Excell untuk segmen A 33

Gambar 4.8 Kurva porositas dengan program Excell untuk segmen B Menurut Issler (1992), terjadi perubahan kemiringan kurva pada kedalaman 500 m. Dari hasil perhitungan tersebut akan diperoleh nilai regresi liniernya yang digunakan untuk menentukan erosi yang terjadi dan ketebalan dari erosi tersebut. Penentuan terjadinya erosi dapat ditentukan dari nilai porositas yaitu jika nilai porositas sebesar 38 % pada kedalaman lebih atau kurang dari 500 m maka terdapat adanya erosi (Gambar 4. 9). Gambar 4.9 Segmentasi kurva kompaksi akibat perbedaan kemiringan kurva 34

Gambar 4.10 Kurva PowerLaw untuk segmen A Gambar 4.11 Kurva PowerLaw untuk segmen B Berdasarkan analisa diatas maka didapatkan segmen A mengalami erosi sebesar 696 m sedangkan pada segmen B tidak dijumpai adanya erosi. 35

4.4. Analisa Geokimia Analisa geokimia pada sumur Terbanggi 001 menunjukkan bahwa nilai %RO yang diperoleh terlalu kecil ketika diperiksa dengan menggunakan model konstant heatflow dari data heatflow masa kini untuk dapat dilakukan pemodelan kematangan sehingga perlu dilakukan perhitungan koreksi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya supresi yang dicirikan dengan rendahnya nilai %RO akan tetapi memiliki nilai HI tinggi (Tabel 4.4). Supresi ini biasa terjadi pada hidrokarbon yang diendapkan pada lingkungan laut atau lakustrin (Syaifudin, (1999)) (Gambar 4.12). kedalaman HI %RO Analisis %RO koreksi 1650 692 0.46 0.969752 1995 670 0.48 1.005276 2695 267 0.52 0.659036 2775 939 0.51 1.058562 Tabel 4.4 Analisis Geokimia sumur Terbanggi 001 A Proposed Model for the Suppression of Vitrinite Reflectance 0.8 0.7 0.6 Measured VR 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 Corrected VR HI < 150 (Sumteng) HI 150-300 (Sumteng) HI 300-500 (Sumteng) HI > 500 (Sumteng) HI < 150 (Kutai) HI 150-300 (Kutai) Linear (HI 150-300 (Sumteng)) Linear (HI 300-500 (Sumteng)) Linear (HI > 500 (Sumteng)) Linear (HI < 150 (Sumteng)) Gambar 4.12 Model Supresi %RO (Syaifudin, (1999)) 36

Pada sumur Terbanggi 002 diperoleh hasil analisa yang menunjukkan bahwa tipe kerogen di daerah Kotabumi adalah kerogen tipe II dan III (Gambar 4.13). Tingkat kematangan hidrokarbon dari analisa sampel sudah memperlihatkan pada kondisi matang (Gambar 4.14). Gambar 4.13 Hidrogen Indeks - Oksigen Indeks sumur terbanggi 002 (modifikasi diagram van Krevelen) Gambar 4.14 Tmax - %Ro sumur Terbanggi 002 37

Dari hasil analisa geokimia juga diperoleh nilai %RO yang menunjukkan bahwa pada Formasi TRM - TAF telah mencapai kematangan penuh dengan nilai %RO antara 0,41 1,04 dan pada Formasi GRM - TAF menunjukkan nilai %RO 0,77 dan telah mencapai kematangan penuh (Tabel 4.5). Analisa ini juga menunjukkan bahwa kekayaan hidrokarbon yang terbentuk pada Formasi TRM - TAF pada kondisi cukup sangat bagus dengan nilai TOC 0.31-77.8 sehingga formasi ini berpotensi bagus untuk menjadi batuan induk. Kekayaan hidrokarbon pada GRM - TAF pada kondisi sangat bagus dengan nilai TOC 1,5 5,10. Formasi ini tidak berpotensi untuk menjadi batuan induk karena rendahnya nilai S2 (S2 <2mg/g) dan hidrogen (HI<100). no No kedalaman Sampel (m) %Ro 1 NJ-02.5 250 0.46 2 NJ-02.4 265 0.41 3 NJ-02.3 279 0.46 4 NJ-02.2 294 0.49 5 NJ-02.1 309 0.44 6 OGJ-2.3 324 0.77 7 NJ-04.4 338 0.98 8 SJ-02.9 353 0.95 9 SJ-02.10 368 0.94 10 SJ-02.11 382 0.94 11 SJ-02.15 397 0.91 12 NJ-04.9 412 0.96 13 SJ-02.16 426 1.00 14 SJ-02.17 441 0.98 15 SJ-01.1 456 0.87 16 SJ-01.5 471 0.96 17 SJ-01.7 485 1.02 18 SJ-01.9 500 1.04 Tabel 4.5 Nilai %RO Sumur Terbanggi - 002 38

4.5. Pemodelan Geohistori Burial 4.5.1. Sumur Terbanggi 001 Pemodelan menggunakan program Geohisto 1-D dengan memasukkan data data yang telah diolah sebelumnya. Hasil yang pertama kali adalah model dari sejarah pemendaman (Gambar 4.15). Program Geohisto juga menampilkan sejarah subsiden besarnya subsiden yang terjadi dalam bentuk kurva (Gambar 4.16). Gambar 4.15 Sejarah Pemendaman Sumur Terbanggi 001 Dari model ini dapat diketahui sejarah geologi yang terjadi pada daerah ini. Pada Oligosen Awal Miosen Awal (33 20 juta tahun yang lalu) terjadi fase tektonik yang berupa ekstensional yang mengakibatkan terjadinya penurunan cekungan dan terbentuk endapan synrift yang ditunjukkan dengan adanya laju penurunan cekungan yang besar. Kemudian disusul terjadinya fase postrift pada umur Pleistosen Awal Miosen Awal (20 4.5 juta tahun yang lalu) 39

sehingga cekungan relatif stabil dan pengendapan sedimen terjadi cukup tebal. Pada umur Pleistosen Awal Pleistosen Akhir ( 4.5 2 juta tahun yang lalu) terjadi fase ekstensional kembali dan pada umur Pleistosen Akhir Resen terjadi fase tektonik kompresi (Gambar 4.16). Gambar 4.16 Sejarah Subsiden Sumur Terbanggi 001 Hasil pemodelan geohistori burial dapat dipergunakan untuk mnghitung besarnya laju penurunan dasar cekungan pada masing masing formasi (Tabel 4.6 dan 4.7). 40

Tabel 4.6 Laju Penurunan Cekungan sumur Terbanggi 001 Tabel 4.7 Laju Sedimentasi Sumur Terbanggi 001 Laju penurunan cekungan lebih besar daripada laju sedimentasi maka ruang sisa penurunan cekungan akan dicirikan oleh adanya penambahan kedalaman batimetri, seperti terlihat pada pengendapan Formasi Talang Akar. Jika laju sedimentasi lebih besar daripada laju penurunan cekungan akan dicirikan dengan adanya pendangkalan kedalaman batimetri tetapi faktor kompaksi juga turut berperan memperkecil laju penurunan cekungan. 41

Perbedaan laju sedimentasi dengan laju penurunan cekungan dipengaruhi oleh faktor kompaksi dan tektonik. Laju sedimentasi lebih besar daripada laju penurunan cekungan terjadi karena jumlah sedimen yang akan diendapkan lebih besar daripada ruang yang tersedia untuk pengendapan. Faktor kompaksi mempengaruhi nilai laju penurunan cekungan karena semakin dalam sedimen terendapkan maka ruang antar butir akan semakin kecil akibat dari pengaruh pembebanan sedimen yang diendapkan diatasnya yang menyebabkan lapisan akan semakin kompak dan menipis ketebalannya. 4.5.2 Sumur Terbanggi 002 Sumur Terbanggi 002 diolah dengan menggunakan data dari sumur Terbanggi 001 kecuali data kedalaman sumur dan litologi (Gambar 4.17). Gambar 4.17 Sejarah Pemendaman Sumur Terbanggi - 002 42

Model sejarah pemendaman pada sumur Terbanggi 002 menunjukkan adanya tiga kali fase tektonik yaitu fase tektonik ekstensional pada umur Eosen Awal Oligosen Akhir (55 25 juta tahun yang lalu), fase postrift pada umur Oligosen Akhir Miosen Akhir (25 5 juta tahun yang lalu) dan terjadi kembali fase ekstensional pada umur Miosen Akhir Resen. Gambar 4.18 Sejarah Subsiden Sumur Terbanggi 002 Hasil pemodelan geohistori burial dapat dipergunakan untuk mnghitung besarnya laju penurunan dasar cekungan pada masing masing formasi (Tabel 4.8 dan 4.9). 43

GRM - GRM - Tabel 4.8 Laju Penurunan Cekungan sumur Terbanggi 002 GRM - TRM - TAF Tabel 4.9 Laju Penurunan Cekungan sumur Terbanggi 002 Pada sumur Terbanggi 002 laju sedimentasi lebih besar daripada laju penurunan cekungan di hampir setiap formasi kecuali Formasi Kikim yang dicirikan dengan adanya pendangkalan sedimentasi. 44

4.6. Pemodelan Geohistori Thermal 4.6.1 Sumur Terbanggi 001 Pemodelan kematangan dilakukan dari sumur ini menggunakan program Thermod dengan data pemodelan sejarah pemendaman ditambah dengan parameter parameter lainnya seperti yaitu BHT (176.25 o C) pada kedalaman 2804 m dan sebagai kalibrator model temperatur kematangan digunakan nilai %RO (Gambar 4.19). Gambar 4.19 Model Paleo Temperatur Sumur Terbanggi 001 Dari kurva temperatur masa kini diperoleh nilai gradien geotermal adalah 0,06286 ºC/100 m dengan konstan heatflow 57,7523 mw 2. Dengan menggunakan nilai %RO sebagai kalibrator (Gambar 4.20) untuk memodelkan paleo temperatur maka didapatkan bahwa heatflow tidak konstan sepanjang jaman (Gambar 4.21). 45

Gambar 4.20 Nilai %RO dan %RO koreksi dengan kurva paleo temperatur AWAL JENDELA Gambar 4.21 Model Kematangan Sumur Terbanggi 001 46

Dari model kematangan ini dapat diperoleh hasil bahwa hidrokarbon telah terbentuk pada sumur Terbanggi 001 (Tabel 4.10). Awal kematangan dimulai pada umur Oligosen Awal (28,2 jth) pada dasar formasi Lahat dan mencapai puncak Formasi Lahat pada umur Miosen Tengah (12 jth) dan hingga masa kini tidak pernah menyentuh top Formasi Talang Akar. Sejak Oligosen Awal pada dasar Formasi Lahat, tingkat kematangan mengalami kenaikan dan mencapai matang pada umur Oligosen Awal (25.3 jth) dan tidak pernah menyentuh bottom Formasi Talang Akar. Tahap kelewat matang dicapai pada umur Oligosen Awal (24 jth) dan tahap pembentukan gas utama pada umur Oligosen Awal (23 jth) yang berakhir pada umur Pliosen Awal (4jth). Laporan pemboran menunjukkan bahwa sumur Terbanggi - 001 terdapat hidrokarbon tetapi tidak terakumulasi pada reservoir. Hal ini kemungkinan terjadi karena hidrokarbon telah mengalami migrasi. Batuan induk pada sumur ini adalah Formasi Lahat yang ditunjukkan pada model kematangan bahwa pada saat hidrokarbon terbentuk pada Formasi Lahat pada umur Oligosen Akhir Oligosen Awal, batuan perangkap belum tersedimentasikan sehingga hidrokarbon yang telah terbentuk mengalami migrasi atau bahkan ekspulsi. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi adalah tektonik yang terjadi didaerah ini menyebabkan hidrokarbon yang telah terakumulasi mengalami migrasi atau ekspulsi. Awal. Jendela minyak terbentuk pada kedalaman 992 m di Formasi Lahat pada umur Oligosen Kematangan Kedalaman (m) Umur (jth) Formasi awal matang (0.50%-0.75% Ro) 992 28.2 Lahat matang (0.75%-0.95% Ro) 1675 25.3 Lahat Kelewat matang (0.95%-1.20% Ro) 1950 24 Lahat pembentukan gas utama (1.20%-2.05% Ro) 2200 23 Lahat Tabel 4.10 Tahap Kematangan Sumur Terbanggi - 001 4.6.2 Sumur Terbanggi 002 Pemodelan pada sumur Terbanggi 002 menggunakan data porositas dan kurva kompaksi PowerLaw dari sumur Terbanggi 001 sedangkan untuk data litologi dan stratigrafi menggunakan data yang diperoleh dari sampel lapangan (Gambar 4.20). 47

Gambar 4.22 Paleo Temperatur Sumur Terbanggi 002 Dari kurva temperatur masa kini diperoleh nilai gradien geotermal adalah 0,261ºC/100 m dengan heatflow 245,8 mw -2. 48

AWAL JENDELA Gambar 4.23 Nilai %RO sumur Terbanggi 002 AWAL JENDELA Gambar 4.24 Model Kematangan Sumur Terbanggi 002 49

Model kematangan pada sumur Terbanggi 002 memperlihatkan bahwa awal kematangan dimulai pada umur Oligosen Akhir (28.5 jth) pada dasar Formasi Kikim dan mencapai puncak pada umur Miosen Tengah (11.5 jth) pada Formasi TRM - TAF dan hingga kini tidak pernah mencapai top Formasi TRM - TAF. Tahap matang dimulai pada umur Miosen Awal dan mencapai puncak pada umur Miosen Tengah (11 jth) dan hingga masa kini tidak pernah menyentuh top formasi GRM - TAF. Kelewat matang dimulai pada umur Miosen Tengah (12 jth) dan hingga masa kini tidak pernah menyentuh top Formasi GRM - TAF sedangkan tahap pembentukan gas utama dimulai pada umur Miosen Tengah (11 jth). Jendela minyak terbentuk pada umur Oligosen Akhir di kedalaman 260 m pada Formasi Kikim. Kematangan Kedalaman (m) Umur Formasi awal matang (0.50%-0.75% Ro) 260 28.5 TRM - TAF GRM - matang (0.75%-0.95% Ro) 390 21 TAF Kelewat matang (0.95%-1.20% Ro) 465 12 GRM - TAF pembentukan gas utama (1.20%-2.05% Ro) 510 11 Kikim Tabel 4.11 Tahap Kematangan Sumur Terbanggi - 002 50