Analisis Kebijakan Menuju Universal Coverage 2014:

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Kebijakan Menuju Universal Coverage 2014:

Penggunaan Web untuk perbaikan kearah Evidence-Based Policy. Laksono Trisnantoro Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM

Kebutuhan penelitian kebijakan kesehatan dan kemampuan perguruan tinggi. Fasilitator: Laksono Trisnantoro

Kebijakan dan Manajemen Kesehatan. Deskripsi

BLOCK 4 CORPORATE-CLINICAL GOVERNANCE AND BUSINESS ENVIRONMENT. Koordinator: Laksono Trisnantoro

2. Find the best evidence Mencari informasi berdasarkan penelitian bukti terbaik untuk menjawab pertanyaan dari langkah pertama melalui berbagai

Diskusi Kebijakan Publik untuk RS swasta di Indonesia: Kontroversi UU RS

Professional Development

Perkembangan RS. Sektor RS dan Ideologinya di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Yogyakarta, Juni 2013

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendapatan per kapita saat itu hanya Rp. 129,615 (sekitar US$ 14) per bulan.

OPSI ALTERNATIF: PERCEPATAN CAKUPAN SEMESTA ASURANSI KESEHATAN SOSIAL DI INDONESIA*

Outlook Dalam konteks ideologi pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional

RPKPS (RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER)

swasta serta tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 1,7% (Depkes RI, 2013). Provinsi Aceh menempati ranking tertinggi dalam coverage

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS

Dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA., AAK

PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia yang ditetapkan

Perkembangan mutakhir sektor rumahsakit di Indonesia: Mengapa RS Non-Profit membutuhkan dana kemanusiaan

IMPLEMENTASI JKN DAN MEKANISME PENGAWASANNYA DALAM SISTEM KESEHATAN NASIONAL. dr. Mohammad Edison Ka.Grup Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan

Tabel 1. Perbandingan Belanja Kesehatan di Negara ASEAN

Monitoring Pelaksanaan Kebijakan BOK dan Jampersal Di DIY, Papua dan NTT. PMPK UGM dan UNFPA Laksono Trisnantoro Sigit Riyarto Tudiono

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Oleh: Laksono Trisnantoro Dwi Handono PKMK FK UGM

PELAYANAN DOKTER BERBASIS DOKTER KELUARGA DI INDONESIA

Mengapa perlu informasi satuan biaya pendidikan? Kajian politik ekonomi dalam UU Pendidikan Kedokteran. Laksono Trisnantoro Fakultas Kedokteran UGM

BAB I BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Pengantar Diskusi: Ideologi, Rasionalisme Pragmatisme dalam penetapan agenda kebijakan pembiayaan kesehatan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mempercepat pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional dan Millenium

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kebijakan memperbolehkan Tenaga kesehatan (spesialis) bangsa asing

Pada Pertemuan Forum Nasional II Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

Andreasta Meliala. Latar Belakang

MANAGED CARE. (Sistem Pelayanan Kesehatan Terkendali) DIDIK SUNARYADI,SKM, MKes

BENTUK POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

" Ideologi Jaminan Kesehatan di Indonesia: Apakah akan bertabrakan atau seiring dengan "ideologi dokter (spesialis) dan rumah sakit?

Pembahasan kasus Dr A dkk dari perspektif manajemen Rumahsakit Pendidikan

BLOCK 4 CORPORATE-CLINICAL GOVERNANCE AND BUSINESS ENVIRONMENT. Koordinator: Laksono Trisnantoro

Skenario RS menghadapi era

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adalah profesi kesehatan yang berfokus pada individu,

Pasien dan Masyarakat sebagai Mitra Menuju Rumah Sakit Berstandar Internasional

BAB I PENDAHULUAN. Analisis perencanaan..., Ayu Aprillia Paramitha Krisnayana Putri, FE UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. dan rehabilitasi dengan mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Rumah sakit

PERKEMBANGAN BPJS DAN UNIVERSAL COVERAGE DENGAN SISTEM PEMBAYARAN PROVIDER DALAM SISTEM JAMINAN KESEHATAN. Yulita Hendrartini

Pengawasan dan Perijinan Tenaga Kesehatan: Peran berbagai stakeholder dengan studi kasus di Yogyakarta Konsultan Regulasi PHP-1, Bank Dunia

BAB I PENDAHULUAN. Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib (mandatory) dan dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti

KEBIJAKAN OTONOMI DALAM MANAJEMEN RUMAH SAKIT

Kepemimpinan dan perubahan budaya organisasi menuju budaya keselamatan pasien

BAB I PENDAHULUAN. sejak tahun 2001 dengan pengentasan kemiskinan melalui pelayanan kesehatan. gratis yang dikelola oleh Departemen Kesehatan.

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL:

Good Governance dan Sistem Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan

Kebijakan Desentralisasi untuk pembangunan bangsa di sektor Kesehatan

Sesi 4 Kebijakan di Sistem Kesehatan, BPJS, dan hubungan antara unit penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Kedokteran.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan lanjutan dari Restitutie Regeling tahun Pada tahun 1985

Review Kebijakan Anggaran Kesehatan Nasional. Apakah merupakan Anggaran Yang Kurang atau Berlebih?

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan fisik maupun mental. Keadaan kesehatan seseorang akan dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KURIKULUM PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT STIKES HELVETIA MEDAN KURIKULUM MANAJEMEN PEMBANGUNAN KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Konsep dan Studi Kebijakan Publik

PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL

Modul. Blok II 1. Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM. Prinsip Ekonomi Manajerial dan Penerapannya Dalam Manajemen Rumah Sakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BETI, DALLY, DEDEH, DEVI, FITRIA, GINANJAR, JUNAEDI, LIDYA, RANI

Perkembangan Kebijakan Otonomi Rumahsakit dan Pengawasan Rumahsakit di Era Jaminan Kesehatan Nasional Laksono Trisnantoro

Visi Pendidikan Spesialis dan Subspesialis: Menjadi bagian integral dalam Sistem Pelayanan Kesehatan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007).

DALAM SISTEM. Yulita Hendrartini

Dasar-dasar Konsultan Manajemen Rumahsakit. Fasilitator: Laksono Trisnantoro

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Karyawan merupakan satu-satunya aset yang tidak dapat digandakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Kedua, distribusi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh warga Negara termasuk fakir miskin dan orang tidak mampu.

B AB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGERTIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

BPJS Kesehatan, Supply, dan Demand Terhadap Layanan Kesehatan. Oleh: Novijan Janis. Kepala Subbidang Analisis Risiko Ekonomi, Keuangan, dan Sosial

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam

Peran Program Sister Hospital NTT. Puskesmas PONED dengan RS PONEK

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta serta

: Sekretaris Daerah Kota Medan

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi produktifitas. Oleh karena itu, seluruh penduduk atau masyarakat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan

ANALISA UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL. Dr. Ahmad Jamaluddin. Dr. Muhammad Bayu Dento, SE

BAB I PENDAHULUAN. gangguan pernafasan dan prematuritas, kemudian angka kematian

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI RUANG RAWAT INAP RSUD SYEKH YUSUF KABUPATEN GOWA

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan (preventif) untuk meningkatkan kualitas hidup serta memberikan

Jaminan Kesehatan, Sebenarnya Investasi Kesehatan untuk Siapa?: Sebuah Kajian dari Segi Demand

Laporan Consultative Expert Working Group on Research and Development (CEWG on R&D): Financing and Coordination

Lustrum ke-13 FK-UGM Yogyakarta, 4 Maret 2011

Transkripsi:

Analisis Kebijakan Menuju Universal Coverage 2014: Sejarah kebijakan jaminan kesehatan, ideologi dan aktor penyusun kebijakan, serta peran perguruan tinggi sebuah Working Paper oleh Laksono Trisnantoro Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM

Isi: 1. Pengantar 2. Hasil Pengamatan: Perkembangan Kebijakan Pembiayaan Kesehatan di Indonesia 3. Pembahasan 1: Apakah penyusunan kebijakan jaminan pembiayaan dilakukan berdasarkan prinsip kebijakan berbasis bukti? 4. Pembahasan 2: Bagaimana Peran Perguruan Tinggi? 5. Pembahasan 3:Perbandingan dengan Thailand 6. Rangkuman dan Saran dengan berbasis pada model Engineering

Pengantar: Proses penyusunan kebijakan (Buse dkk 2009): Menggunakan berbagai tahap kebijakan dimulai, dikembangkan atau disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi.

tahapan heuristik. Identifikasi masalah dan isu. Perumusan kebijakan Pelaksanaan kebijakan Evaluasi Kebijakan

Prinsip-prinsip Evidence Based Policy Making Evidence Based Medicine Evidence Based Policy Sackett dkk mendefinisikan EBM sebagai: The conscientious, explicit, and judicious use of current best evidence in making decisions about the case of individual patient. (Sackett DL, Rosenberg WMC, Muir Gray JA, Haynes RB, Richardson WS. Evidence-based medicine: what it is and what it isn t. BMJ 1996: 312:71-2) Cookson memberikan definisi yang serupa, namun berfokus pada keputusan public tentang kelompok atau masyarakat, bukan sebuah keputusan tentang individu pasien (Cookson R. Evidence-based policy making in health care: what it is and what it isn t. Journal of Health Service Research Policy. Vol 10 No 2 April 2005).

Evidence Based Policy Making Sumber: Cookson, 2005 Pengalaman Bukti Anekdot Opini Bukti Ilmiah Kepercayaan Keputusan Nilai-nilai Hambatan: Politis, ekonomi, hukum, dan etika

Situasi A: Tidak Ada bukti Ilmiah. Pengalaman Bukti Anekdot Opini Tidak ada Bukti Ilmiah yang berasal dari Riset Kepercayaan Keputusan Nilai-nilai Hambatan: Politis, ekonomi, hukum, dan etika

Situasi B: Ada Bukti Ilmiah. Pengalaman Bukti Anekdot Opini Ada Bukti Ilmiah Berasal dari Riset Kepercayaan Keputusan Nilai-nilai Hambatan: Politis, ekonomi, hukum, dan etika

Dalam situasi B ini ada beberapa kemungkinan: B1. Ada Bukti Ilmiah dari riset dasar dan klinik, dan proses Evidence Based Policy dilakukan. Contohnya adalah: Program TB DOTS Program IMCI B2. Ada Bukti Ilmiah dari Riset Dasar namun Proses Evidence based Policy tidak berjalan, misalnya: Kebijakan penyemprotan DHF (fogging) Pembelian test diagnostic AIDS melalui saliva oleh Pemda DKI Pemberian makanan tambahan Kebijakan obat-obat kanker Kebijakan Obat AIDS.

ISU-ISU YANG DIANALISIS 1. Bagaimana perkembangan kebijakan jaminan kesehatan di Indonesia 2. Apakah penyusunan kebijakan jaminan pembiayaan dilakukan berdasarkan prinsip kebijakan berbasis bukti? 3. Bagaimana peran perguruan tinggi dalam proses penyusunan kebijakan pembiayaan kesehatan: Saat ini dan masa mendatang.

METODE ANALISIS Analisis ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan analisis dokumen kebijakan dan observasi. Dokumen kebijakan berada di Arsip Nasional. Observasi dilakukan secara partisipasi

Hasil

Perkembangan kebijakan jaminan kesehatan di Indonesia Kebijakan mengenai jaminan keluarga miskin sudah di mulai sejak adanya program Dana Sehat di tahun 1980an sampai dengan sistem Askeskin di tahun 2000an. Pada tahun 2006 dan 2007, program dilakukan melalui PT Askes Indonesia. Kepmenkes No 1241/Menkes/SK/XI/2004, 12 November 2004

Program Askeskin menjadi Jamkesmas Keadaan ekstrim terjadi pada tahun 2008. Terjadi keputusan yang menarik: Program Askeskin tidak lagi menggunakan mekanisme asuransi. Di awal tahun ini Departemen Kesehatan memutuskan bahwa program dilakukan melalui mekanisme langsung, dengan nama baru Jaminan Kesehatan Masyarakat. (JAMKESMAS).

Perubahan di awal tahun 2005 Model Subsidi Langsung Model Melalui mekanisme Asuransi: Asuransi Kesehatan Rumah Sakit Rumah Sakit masyarakat Pemerintah sebagai Pembayar masyarakat Pemerintah sebagai Pembayar

Perubahan di awal tahun 2005 dan 2008 Model Subsidi Langsung Model Melalui mekanisme Asuransi: Asuransi Kesehatan Rumah Sakit Rumah Sakit masyarakat Pemerintah sebagai Pembayar masyarakat Pemerintah sebagai Pembayar Rumah Sakit masyarakat Pemerintah sebagai Pembayar Di tahun 2008 kembali Model Subsidi Langsung

Pembahasan 1: Apakah penyusunan kebijakan jaminan pembiayaan dilakukan berdasarkan prinsip kebijakan berbasis bukti?

Pengamatan Program Dana Sehat tidak jelas evaluasinya Program JPKM di Klaten dekade 1990an berada dalam situasi yang berlayar sambil membangun kapal. Tertutup untuk studi. Periode Bapel JPKM,tidak banyak studi independen yang dipergunakan untuk menguji kelayakannya.

Periode Askeskin (2005-2007) dan Jamkesmas Periode perubahan dari periode Bapel JPKM ke PT Askes Indonesia pada awal tahun 2005: Kebijakan Departemen Kesehatan yang berdasarkan Bapel JPKM dengan cepat diubah menjadi berdasarkan kerjasama dengan PT Askes Indonesia, tanpa ada studi yang bersifat sebagai pilot. Pada tahun 2008 terkesan perubahan menjadi Jamkesmas dilakukan berdasarkan negosiasi, bukan berbasis bukti ilmiah.

Di tahun 2010 Jamkesmas dipertanyakan karena dinilai tidak sesuai UU SJSN Di tahun 2010, ketika terjadi pencanangan Universal Coverage di tahun 2014, pertanyaan adalah apakah pencanangan ini sudah didasari oleh penelitian yang comprehensive? Terlihat bahwa pencanangan ini bukan berdasarkan hasil penelitian.

Mengapa tidak jelas dasarnya? Pemahaman mengenai Universal Coverage sendiri masih belum jelas. Secara matematika di atas kertas, memang dapat dilihat bahwa dana yang ada dapat mengkover 76 juta manusia Indonesia yang miskin dan setengah miskin. Pertanyaannya adalah apakah Universal Coverage benarbenar dapat mencakup pelayanannya.

Gambaran Di atas kertas penduduk Kabupaten Larantuka di NTT mendapat jaminan kesehatan masyarakat untuk pelayanan kesehatan ibu. Di Larantuka tidak ada dokter spesialis obstetri, anak dan anastesi, maka ibu-ibu yang membutuhkan SC akan tidak mendapatkannya. Demikian pula ibu-ibu yang tidak ada akses PONEK di RS kabupatennya. Sementara itu peserta Jamkesmas di daerah yang mempunyai sumber daya kesehatan melimpah, akan mempunyai banyak akses ke pelayanan kesehatan ibu

Pembahasan 2: Bagaimana Peran Perguruan Tinggi? Pengalaman subyektif PMPK-UGM sebagai lembaga peneliti dan kebijakan menyiratkan penelitian memang belum dipergunakan secara penuh dalam sejarah program jaminan kesehatan di Indonesia.

Peran Perguruan Tinggi sering hanya individual Perguruan Tinggi Individu Pemerintah sebagai Penetap Kebijakan Penyandang dana Penelitian dan Pengembangan Individu dikontrak oleh pemerintah atau penyandang dana penelitian Tidak melibatkan team yang komprehensif Tidak mengatas namakan perguruan tinggi

Peran individual dari perguruan tinggi Aspek ideologi individu anggota perguruan tinggi menjadi menonjol Pembiayaan kesehatan menjadi debat ideologi Kurang adanya pembahasan ke aspek teknis yang kompleks dan membutuhkan penanganan multi profesi dan keahlian Hubungan dengan pengambil kebijakan menjadi tidak jelas dan cenderung jangka pendek Pertentangan faham antar individu perguruan tinggi dapat membingungkan pengambil kebijakan dan masyarakat.

Pembahasan 3: Perbandingan dengan Thailand Sistem jaminan kesehatan bagi seluruh Thailand dikenal dengan nama sistem 30 Baht. Sistem 30 Baht berakar dari sebuah proyek yang disebut Ayyuddhaya Project di tahun 1989. Proyek ini merupakan kolaborasi antara pemerintah Thailand dan ahli-ahli dari Belgia. Proyek ini mempunyai 3 komponen utama yaitu: (1) reformasi pembiayaan; (2) reformasi pelayanan kesehatan; dan (3) reformasi pada hubungan masyarakat dengan pemberi pelayanan.

Peran Perguruan Tinggi Dalam perjalanannya, proyek ini diperkuat oleh dua orang Doktor yaitu yaitu Dr. Viroj Tangcharoensathien dan Dr. Supasit Pannarunothai. Perkembangan selanjutnya di tahun 1993 adalah bergabungnya para ekonom dari Fakultas Ekonomi di UniversitasThammasat dan Chullalongkorn, serta akademisi dari National Economic and Social Development Board. Peranan akademisi sangat besar dalam perjalanan kebijakan 30 Baht

Pembelajaran dari Thailand (1) penggunaan ilmu pengetahuan untuk mengatasi masalah; (2) minat dan semangat masyarakat untuk membuat gerakan sosial agar masalah pelayanan kesehatan untuk semua dapat diperhatikan; dan (3) dukungan politik di dalam arena legislatif untuk menyelesaikan masalah. Dalam konteks Evidence Based Policy, program 30Baht dengan jelas telah menggunakan berbagai bukti ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan. Program 30Baht bukanlah keputusan sesaat.

Ringkasan Sejarah perkembangan kebijakan jaminan kesehatan di Indonesia menunjukkan bahwa perguruan tinggi dan lembaga penelitian belum menjadi pemain penting.

Berbagai faktor penghambat Pihak Pengambil Kebijakan belum merasa perlu untuk menggunakan penelitian. Keputusan yang diambil lebih banyak berdasarkan pertimbangan pragmatis sesaat. Prinsip Evidence Based Policy belum dipergunakan. Demikian pula pihak perusahaan asuransi kesehatan. Sementara itu di sisi lain para akademisi dan peneliti masih belum mampu memainkan peranan penting sebagai lembaga pemikir untuk sistem yang sangat kompleks. Belum ada pemikiran untuk mengembangkan sebuah think-tank ataupun sebuah konsorsium yang lengkap antar perguruan tinggi.

Bagaimana ke depannya? Apakah Proses Kebijakan untuk mencapai Universal Coverage akan tetap sama seperti ini? Bagaimana peran perguruan tinggi, khususnya para peneliti dan konsultan?

Catatan: Ada perbedaan arti antara peneliti dan konsultan Tugas Peneliti tidak terkait dengan pelaksanaan Tugas Konsultan mencakup penelitian dan pelaksanaan. Konsultan/Tenaga Ahli di perlukan oleh pengambil kebijakan yang merasakan manfaatnya Konsultan ikut bertanggung jawab pada pelaksanaan kebijakan. Catatan: Saya menggunakan pemahaman sebagai konsultan, yang tentunya mencakup penelitian.

Masukan Kebijakanuntuk UC perlu belajar dari sistem membangun gedung/konstruksi Menggunakan pendekatan engineering Membutuhkan pendekatan multi-profesi dan penelitian multi disiplin yang digunakan oleh konsultan UC

Model Engineering (1) Universal Coverage merupakan sebuah sistem riil yang dapat diukur pelaksanaannya. Siapa yang menggunakan fasilitas kesehatan apa; dapat diukur. Pengembangannya dapat menggunakan pendekatan engineering seperti yang ada di sektor konstruksi fisik, mesin, atau rekayasa sosial.

Model Engineering (2) Pengambil kebijakan mengidentifikasi masalah Tim pengembangan termasuk peneliti mengatasinya dengan menggunakan pengetahuan baru (misalnya, ketidak merataan pelayanan kesehatan yang tidak diidentifikasi terlebih dahulu dalam Universal Coverage ) yang mengarah pada perubahan kebijakan. Perubahan Kebijakan ini akan dilaksanakan Apakah pelaksanaan dapat berhasil atau tidak perlu ada monitoring dan evaluasi

Model Engineering (3) Usaha pemecahan masalah mencakup dari Blue-print kebijakan, perencanaan pelaksanaan, pelaksanaan kebijakan, sampai ke monitoring dan evaluasi kebijakan. Dalam konteks engineering: Ada konsultan perencana, para pelaksana, sampai ke konsultan pengawas dan monitoring.

Contoh: gambaran tugas konsultan Perencana: Harus memperhitungkan aspek pelaksanaan kebijakan. Kebijakan adalah untuk dilaksanakan, bukan hanya di atas kertas. Dalam konteks Universal Coverage, pelaksanaan akan mencakup: penerimaan dokter-perawat terhadap sistem Jamkesmas (kompensasi/insentif), aspek Hukum dan UU, aspek ketidak merataan geografis, aspek politik, disamping perhitungan pembiayaan.

Ada beberapa prinsip penting yang akan dipergunakan oleh konsultan perencana: Menggunakan sistem yang sudah terbukti bekerja di tempat yang mirip dengan Indonesia Kemampuan untuk memberikan masukan pada pengambil kebijakan yang mempunyai tantangan spesifik, khususnya untuk pelaksanaan Tersedianya waktu yang cukup untuk menjalankan kebijakan yang direncanakan Adanya insentif untuk semua pihak untuk menjalankan kebijakan Pelu ada suatu kegiatan monitoring agar kebijakan dapat dipertanggungjawabkan.

Siapa yang akan melakukan penelitian pengembangan dalam konteks engineering Keahlian-keahlian dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi tersebut jelas tidak ada dalam satu orang individu Hanya dapat disediakan oleh sebuah tim yang mempunyai para pakar di berbagai bidang tersebut. Tim pakar tersebut harus mempunyai kesatuan visi dan pendapat Lebih baik memisahkan pakar yang berbeda pendapat, agar masuk ke tim lain sebagai pembanding.

Pengembangan universal Coverage membutuhkan Tim Konsultan/Tenaga ahli yang mencakup antara lain: Ahli Pembiayaan (Finance) Ahli peraturan dan ahli hukum Ahli Manajemen RS-pelayanan primer dan mutu pelayanannya Ahli masalah kompensasi/pembayaran bagi tenaga kesehatan Ahli Promosi Kesehatan (jangan sampai sudah diberi jaminan malah merokok terus). Ahli komunikasi politik....

Bagaimana pengorganisasian tim untuk mencapai UCoverage? Membutuhkan kerja tim yang kuat Perlu ada dukungan penelitian di setiap tahap kebijakan. Ada kemungkinan satu perguruan tinggi tidak cukup. Mungkin diperlukan sebuah Konsorsium.

Perguruan Tinggi (sendiri) dengan Penetap Kebijakan Perguruan Tinggi Pemerintah sebagai Penetap Kebijakan

Hubungan Konsorsium dengan Penetap Kebijakan Lembaga Penelitian A Perguruan Tinggi 1 Lembaga Penelitian B Perguruan Tinggi 2 Perguruan Tinggi 3 Pemerintah sebagai Penetap Kebijakan Konsorsium

Bagaimana hubungan Konsorsium dengan Pembuat Kebijakan Konsorsium harus berani memberikan masukan dan bertanggung jawab pada hasil pelaksanaan. Pengambil kebijakan harus berani mendengarkan Harus dengan kontrak yang jelas

Konsorsium harus berani memberikan masukan dan bertanggung jawab pada hasil pelaksanaan. Masukan tidak hanya dalam konsepsual dan perencanaan. Masukan harus sampai ke teknis pelaksanaan kebijakan dan sistem Monitoring dan Evaluasinya. Masukan merupakan hal yang komprehensif dan multi keahlian, Walaupun ada ideologi yang membayangi,diharapkan konsorsium tidak terjebak dalam perdebatan ideologi Diperlukan adanya konsultan pengawasan (monev) yang independen. Catatan: Sebaiknya tidak memancing perdebatan tidak perlu (perlu ketrampilan komunikasi politik).

Pengambil kebijakan harus berani mendengarkan Masalalu: Pengalaman buruk pengambil kebijakan yang tidak mendengarkan. Pengambil kebijakan ada yang merasa sudah mampu mengatasi sendiri masalahnya (make or buy decision,...masak sendiri atau rantangan) Ketika tugas rutin menekan, penelitian/pengkajian menjadi terabaikan. Catatan: Dalam konteks mendengarkan, bukan berarti keputusan ada di tangan peneliti pengembangan/konsultan.

Kontrak yang jelas Pengalaman di masalalu: Tidak jelas hubungan kerja antara peneliti/konsultan/tenaga ahli dengan pengambil kebijakan. Lebih banyak yang berperan sebagai narasumber sesaat. Hubungan kerja antara peneliti dengan pengambil kebijakan perlu dirinci dalam kontrak yang jelas; apa peran peneliti/konsultan.

TERIMA KASIH