Pembangunan perekonomian seperti digariskan Garis-garis Besar Haluan. Negara adalah mengembangkan perekonomian yang berorientasi global

dokumen-dokumen yang mirip
KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Wilayah pesisir Kecamatan Mentok masih memiliki lahan yang sesuai

I. PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut

BAB I PENDAHULUAN Tujuan Penulisan Laporan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, persaingan yang kuat di pusat kota, terutama di kawasan yang paling

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI MALUKU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU

DAMPAK AKTIVITAS PELABUHAN DAN SEBARAN PENCEMARAN LINGKUNGAN PELABUHAN TANJUNG EMAS SEMARANG DAN KAWASAN SEKITARNYA

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2002 KAWASAN INDUSTRI PERIKANAN TERPADU DI TELUK KELABAT B U P A T I B A N G K A,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

BUPATI KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG POLA PENGEMBANGAN TRANSPORTASI WILAYAH

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. (PAD) yang dapat membantu meningkatakan kualitas daerah tersebut. Maka

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 PRAKIRAAN PENCAPAIAN TAHUN 2010 RENCANA TAHUN 2010

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

PENDAHULUAN. silang antara dua buah Samudera -Pasifik dan Hindia- dan diapit oleh dua

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

I. PENDAHULUAN. Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

I. PENDAHULUAN. Wilayah pesisir kota Bandar Lampung merupakan suatu wilayah yang mempunyai

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO

PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan perekonomian seperti digariskan Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004 adalah mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan telcnologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris, sesuai kompetensi dan produk unggulan setiap daerah. Pembangunan maritim mengandung arti bahwa pengembangan perekonomian yang akan dituju adalah peningkatan kapasitas produksi bangsa agar dapat berperan sebagai negara maritim dengan potensi kelautannya yang bertumpu pada kapasitas investasi kelautan & daerah. Hal ini memerlukan pendekatan pembangunan kelautan yang tidak perlu homogen melainkan pendekatan yang Qsesuaikan dengan potensi masing-masing wilayah (Dahuri 2000). Selanj utnya dalarn Undang-Undang Nomor 2211999 (tentang Pemerintahan Daerah) dan Undang-Undang Nomor 2511999 (tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah), serta Peraturan Pemerintah Nomor 2512000 (tentang Kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom), ditegaskan bahwa sampai 12 mil dari garis pantai merupakan kewenangan daerah. Hal ini berarti daerah memiliki batas adrninistrasi atau kewenangan atas penataan ruang laut dan pengelolaan sumberdaya laut yang terintegrasi dengan sekitarnya. Lahirnya peraturan perunciangan ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pengembangan daerah.

Sebagai dampak meningkatnya tingkat pendidikan dan tumbuhnya rasa keadilan masyarakat adalah tuntutan untuk pemenuhan hak-hak individunya secara lebih baik. Keinginan untuk melaksanakan proses otonomi masyarakatfindividu secara luas yang dapat diartikan pula sebagai keinginan untuk melaksanakan desentralisasi. Desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan dalam setiap jenis bidang kehidupan masyarakat terutarna yang berkaitan dengan pelayanan publik yang makin berkualitas dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Sebagai salah satu sumberdaya pembangunan yang penting, maka pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan dituntut untuk memberikan kontribusi yang nyata dalam perkembangan perekonomian yang berintikan peningkatan daya saing. Untuk pembangunan ekonomi dibutuhkan modal penggerak yang terdiri dari sumberdaya manusia dan sumberdaya alarn. Potensi sumberdaya pesisir dan lautan beserta kegiatan lainnya yang terkait merupakan modal dasar dari kapasitas produksi yang mampu mengatur dan mengendalikan produksi aktual sesuai dengan kebutuhan dalam negeri dan ekspor, termasuk kemampuan menyangga unsur resiko ketidakpastian (Purwaka 2000). Dalam ha1 ini, maka upaya meningkatkan investasi di bidang kelautan baik investasi barang modal, manusia maupun iptek merupakan titik masuk penting untuk meningkatkan peran pesisir dan kelautan dalam pembangunan ekonomi. Apabila demikian halnya, maka tidak dapat dipungkm lagi bahwa kapasitas melakukan koordinasi investasi oleh instansi pengelola pesisir dan lautan, di pusat maupun daerah, dapat dijadikan ukuran penting clan sekaligus sebagai langkah awal dalam meningkatkan kapasitas pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.

Keterpaduan dalam memanfaatkan sumberdaya kelautan tersebut pada dasarnya adalah keterpaduan dalam mengembangkan investasi industri maritirn yang bukan saja dilaksanakan berdasarkan prinsip ekonomi, namun juga keseimbangan ekologi dan sosial mutlak diperlukan. Menurut Sugandhy (1999) kemajuan pesat yang telah dicapai dalam pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ternyata diiringi oleh kemunduran kemampuan sumberdaya alam seperti air, tanah, dan hutan serta terkurasnya sumberdaya alam seperti perikanan, bahan tarnbang dan mineral lainnya seperti air tanah. Pelaksanaan pembangunan yang semakin beragam juga menghasilkan produk sampingan seperti lirnbah, sampah, dan buangan, baik dalam wujud padat, cair, gas, maupun tekanan kebisingan. Perlu dijaga agar hasil-hasil sampingan tersebut tidak melampaui ambang batas dan daya tampung lingkungannya, dalam ha1 ini kemampuan lingkungan menerima dan daya dukung bahan-bahan yang mencemari lingkungan dalam batas yang belurn membahayakan ekosistemnya dan makhluk hidup. Jika daya tampung lingkungan dilampaui, struktur clan fungsi dasar ekosistem penunjang kehidupan akan mak dan kehrlanjutan fimgsi lingkungan terganggu. Keadaan itu akan menjadi beban lingkungan dan sosial yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintahlah yang hams menanggung beban pemulihannya. Masalah liigkungan hidup yang dihadapi semakin berkembang dan kompleks. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan meningkatnya permintaan akan ruang wilayah serta sumberdaya alam dan lahan, yang pada gilirannya bila tidak dikendalikan secara bijaksana dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya alam dan mengganggu keseimbangan lingkungan. Di samping itu, tuntutan masyarakat

4 akan mutu lingkungan hidup yang lebii baik juga semakin meningkat dengan makin membaiknya tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Hal-ha1 ketersediaan ruang dan surnberdaya alam di atas merupakan tantangan yang hams dihadapi dalam upaya pembangunan kawasan industri maritim sekaligus pengelolaan lingkungan hidup. Oleh karena itu, untuk membangunan kawasan industri maritirn yang berwawasan lingkul7gan dan berkelanjutan diperlukan ketersediaan data dan informasi yang lengkap, tepat waktu, dan berkualitas. Sehubungan dengan ha1 tersebut pemetaan dan pengelolaan data pesisir dan lautan merupakan momentum penting untuk membuka pesisir seluas-luasnya tidak hanya bagi kepentingan penelitian namu juga bagi pengembangan pemanfaatannya. Selain itu peningkatan kemampuan dan peran serta sumberdaya manusia pesisir dan lautan yang mengalami stagnasi dalam beberapa waktu terakhir ini perlu didorong. Tanpa keterlibatan masyarakat secara luas tidak akan turnbuh budaya bahari yang seyogyanya hams berkembang dari meningkatnya kapasitas pendidikan dan pelatihan sumberdaya pesisir dan lautan tersebut. Apabila data dan pengembangan sumberdaya manusia pesisir dan lautan merupakan prasyarat utama berkembangnya industri maritim, maka syarat selmjutnya adalah pilihan prioritas investasi dalam pengembangan industri maritim. Mengingat pengembangan industri maritim menuntut keakuratan data sumberdaya alam dan mar~usia serta sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangka yang disusun berdasarkan potensi dan kendala pengembangan wilayah juga mengacu pada Pola Dasar Pembangunan Daerah, maka ditetapkan kawasan industri maritim akan diarahkan ke wilayah Kecamatan Mentok.

Perurnusan Masalah Kecamatan Mentok merupakan wilayah bagian barat Kabupaten Bangka, memiliki luas 50.409,730 ha dan jumlah penduduk 32.307 jiwa. Aktifitas di wilayah pesisir Mentok terdiri dari perikanan tangkap dan pengolahan hasil perikanan, pemukiman, pelabuhan transportasi laut (barang dan penurnpang), pariwisata, industri peleburan tima\ dan pemdaatan sumberdaya alam pesisir lainnya (Ali 2000). Meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi disadari akan menhgkatkan kebutuhan ruang, sementara ruang yang ada terbatas. Sebagai konsekuensinya maka akan timbul persaingan dan konflik dalam penggunaan ruang. Peran swasta dan masyarakat dalam pembangunan semakin meningkat, sementara pihak pemerintah daerah perlu segera mengantisipasi arus pembangunan tersebut sesuai dengan dinamika yang terjadi. Dalam mengantisipasi ha1 tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka merencanakan kawasan industri maritim, yang berfungsi 1mtuk memacu laju pembangunan kawasan tersebut, khususnya kegiatan industri perkapalan dan penunjangnya, serta industri pariwisata. Rencana kawasan industri maritim merupakan langkah strategis yang perlu kajian mendalam agar tidak terjadi permasalahan. Perencanaan kawasan tersebut diharapkan dapat mengantisipasi kemungkinan tekanan terhadap sumberdaya pesisir dan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan. Kebutuhan kawasan industri maritim di wilayah pesisir Mentok merupakan antisipasi strategis untuk menyongsong otonomi daerah. Realisasi rencana tersebut adalah berupa penataan ruang, dimana satu sisi, ruang yang ada merupakan tempat

berbagai pihak melaksanakan kegiatamya, dan di sisi lain ruang memiliki daya dukung dari sumberdaya alamnya yang terbatas. Berkaitan dengan ha1 tersebut, pertanyaan yang perlu dicari jawabannya adalah bagaimana merencanakan Kawasan Industri Maritirn Mentok yang sesuai dengan daya dukung ruang pesisir dan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan. C. Maksud, Tujuan dan Manfaat Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk: (i) mengidentifikasi kesesuaian lahan untuk pemanfaatan Kawasan Industri Maritim Mentok, (ii) merencanakan lokasi Kawasan Industri Maritim Mentok, (iii) mengetahui persepsi pemerintah, swasta dm masyarakat berkaitan dengan penentuan prioritas penggunaan lahan pada Kawasan Industri Maritim Mentok, dan (iv) mendelinasikan zona-zona yang sesuai bagi peruntukan industri, pariwisata, pelabuhan dan pemukiman dalam Kawasan Industri Maritim Mentok. Tujuan penelitian adalah membuat keserasian dan keseimbangan kewasan perencanaan guna menciptakan iingkungan yang sehat, teratur, aman dan efisien. Selain itu dapat memberikan fasilitzs dan pelayanm yang memadai, tepat dan memenuhi persyaratan. Selanjutnya menciptakan keharmonisan spasial untuk mendukung pengelolaan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfhat sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka dalam pertimbangan pengambilan keputusan untuk penentuan kebijakan penataan ruang wilayah pesisir yang berkelanjutan.