BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. remaja yang berkisar antara tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan

2015 PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI BERDASARKAN PROFIL

BAB III METODE PENELITIAN. A. Pendekatan, Metode dan Teknik Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Usia Sekolah Menengah Atas pada umumnya berada pada rentang usia

cxü~xåutçztç exåt}t Setiawati PPB FIP UPI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebut dengan tata tertib. Siswa dituntut untuk menaati tata tertib sekolah di

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan dan kesempatan yang ada. Tujuan pendidikan yaitu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dengan. remaja merupakan pengembangan dan perluasan kemampuan-kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja. Menurut Havighurst (dalam Syaodih : 161) mengatakan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang sangat kompleks. Banyak hal yang

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

Sahabat. Assalamu alaikum Wr. Wb Orang bijak berkata;

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II

BAB I PENDAHULUAN. menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik dan psikisnya. Karena dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman membuat manusia harus bisa beradaptasi dengan

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. suatu masyarakat karena dapat menjadi suatu rambu-rambu dalam kehidupan serta

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (dalam Kompas, 2011) menyatakan bahwa didapatkan jumlah mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

BAB II LANDASAN TEORI. dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepadaorang lain. Kemandirian dalam kamus psikologi yang disebut independence yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan Keadilan. Nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Santrock,

PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

KERANGKA TEORI. dilarang. 1 Teori labeling memiliki dua proposisi, pertama, perilaku menyimpang bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kembang remaja. Istilah remaja sendiri berasal dari bahasa latin yaitu adolescere

BAB I PENDAHULUAN. bagi perubahan besar sebuah negara. Ujung tombak sebuah negara ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. Erni Purnamasari, 2015 PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP ETIKA PADA SISWA KELAS XI MIA 4 DAN XI IIS 2 SMA NEGERI 14 KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar tahun dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak dan semakin menguat pada masa remaja.hurlock (1980:235) kesatuan membentuk apa yang disebut sebagai konsep diri.

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. Yang Maha Esa. Manusia diciptakan berbeda dari makhluk-makhluk Tuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. nasional yaitu membangun kualitas manusia yang beriman dan bertaqwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Para ahli pendidikan pada umumnya sepakat bahwa pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. biasanya seseorang menjadi mahasiswa pada kisaran usia tahun. Menurut

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah bahkan sekolah dewasa ini di bangun oleh pemerintah agar anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan salah satu komponen penting dalam perwujudan masa

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

I. PENDAHULUAN. Berbagai permasalahan yang terjadi pada bangsa kita saat ini sangatlah

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

I. PENDAHULUAN. berkembang melalui masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga. Hubungan sosial pada tingkat perkembangan remaja sangat tinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ahli psikologi. Karena permasalahan remaja merupakan masalah yang harus di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada rentang usia remaja, yaitu berkisar antara 12-15 tahun (Lytha, 2009:16). Hurlock (1980:10) mengemukakan bahwa pada masa ini individu memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi. Dalam hal ini, sangat penting bagi remaja untuk mempelajari apa yang diharapkan kelompok, kemudian membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong dan diancam hukuman, karena menurut Piaget (Hurlock, 1980:225) kemampuan kognitif remaja sudah berada pada tahap operasional formal, sehingga remaja mampu mempertimbangkan segala kemungkinan untuk menyelesaikan masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proposisi. Dengan kata lain, remaja mampu memandang masalahnya dari berbagai sudut pandang dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan. Individu yang memasuki masa remaja memiliki seperangkat tugas perkembangan. Havighurst (Willis, 1993: 8) mendefinisikan tugas perkembangan sebagai tugas yang muncul pada periode tertentu dalam kehidupan individu. Jika individu berhasil melaksanakan tugas itu, maka akan menimbulkan kebahagiaan, sebaliknya jika tugas itu gagal, maka akan menimbulkan kesulitan baginya pada 1

2 masa mendatang, yakni terjadi ketidaksesuaian dengan masyarakat dan kesulitan untuk mencapai tugas perkembangan selanjutnya. Menurut Havighurst (Yusuf, 2003:74-93) tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa remaja adalah sebagai berikut. Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya, mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita, menerima keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mencapai jaminan kemandirian ekonomi, memilih dan mempersiapkan karir, mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga, mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara, mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial, memperoleh seperangkat nilai sistem etika sebagai petunjuk atau pembimbing dalam bertingkah laku, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tugas perkembangan yang tidak terselesaikan di masa sebelum remaja merupakan penyebab utama timbulnya kelainan-kelainan tingkah laku atau permasalahan pada diri remaja. Permasalahan yang paling menonjol pada remaja adalah ketidakstabilan emosi akibat dari munculnya ketegangan atau kecemasan dalam penyesuaian diri dengan situasi diri remaja yang baru (Daradjat, 1978: 149). Penyesuaian diri biasanya diawali oleh kegoncangan emosi. Dalam proses penyesuaian ini, ada kemungkinan remaja akan gagal atau sukses. Menurut Erikson (Yusuf, 2005: 71) kegagalan remaja dalam penyesuaian diri dan mengembangkan rasa identitasnya, akan menyebabkan remaja kehilangan arah, dan dampaknya adalah berkembangnya penyimpangan perilaku, seperti perilaku malajustment (malah suai), kriminalitas, bahkan kenakalan remaja. Bentuk perilaku remaja yang menyimpang dari norma masyarakat, di antaranya yaitu maraknya tawuran antar pelajar, seks bebas, penggunaan dan

3 pengedaran narkoba, pelanggaran terhadap tata tertib, berbohong, dan penganiayaan. Tawuran antar pelajar SMP yang terjadi di Ancol-Jakarta beberapa waktu lalu (Kabar Malam TV One, Sabtu 6 Februari 2010) dan juga penganiayaan oleh beberapa pelajar SMA yang terjadi di Tasikmalaya terhadap salah seorang pelajar lain yang diduga seorang anggota geng motor dengan mengenakan jaket bertuliskan brigez (Reportase Trans TV, Rabu 13 Oktober 2009) merupakan perilaku yang saat ini dipandang sebagai suatu degradasi moral, dan menunjukkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat tidak lagi dianggap sebagai hal terpenting yang tertanam dalam diri remaja. Penyimpangan perilaku remaja diharapkan dapat dihindari dengan penanaman nilai-nilai moral sebagai pedoman yang dibutuhkan remaja dalam menumbuhkan identitas dirinya (Sarwono, 1988: 93). Menurut Pikunas (Yusuf, 2005: 72), kematangan remaja belumlah sempurna jika belum memiliki kode moral yang dapat diterima secara universal. Karena pada dasarnya tugas perkembangan remaja yang paling utama adalah memperoleh kematangan nilai moral untuk membimbing perilakunya. Dari beberapa tugas perkembangan yang telah disebutkan sebelumnya, ada tugas perkembangan yang berkaitan erat dengan moral, yaitu memperoleh seperangkat nilai sistem etika sebagai petunjuk atau pembimbing dalam bertingkah laku. Menurut Djahiri (Arismantoro, 2008:93) nilai adalah harga, makna, isi dan pesan, semangat atau jiwa yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep dan teori

4 sehingga bermakna secara fungsional. Nilai menjadi pengarah, pengendali dan penentu perilaku seseorang. Dengan kata lain, nilai merupakan indikator atau rambu-rambu dalam berperilaku. Nilai sangat erat kaitannya dengan moral dan satu sama lain tidak dapat dipisahkan, keduanya menyatu dalam diri individu. Moral merupakan aspek lingkungan yang menentukan pengembangan karakter individu. Brendt (Arismantoro, 2008:92) mengemukakan bahwa moral adalah prinsip atau dasar untuk menentukan perilaku. Prinsip ini berkaitan dengan sanksi atau hukum yang diberlakukan pada setiap individu. Yusuf (2005 : 199), menyatakan bahwa tingkat moralitas remaja sudah lebih matang bila dibandingkan dengan usia anak. Remaja sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, kesopanan, kedisiplinan, yang mereka peroleh dari pengalaman dan interaksi sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya, dan orang dewasa lainnya, dan mereka tidak begitu saja menerima kode moral dari orang tua, guru, bahkan teman-teman sebaya, melainkan ingin membentuk kode moral sendiri berdasarkan konsep tentang benar dan salah yang telah diubah dan diperbaikinya agar sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah dipelajari mereka dari orang tua dan gurunya. Beberapa remaja bahkan melengkapi kode moral mereka dengan pengetahuan yang diperoleh dari pelajaran agama. Dengan pengetahuannya itu, remaja berusaha mencapai kesadaran moral sehingga dapat menilai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta hal-hal yang etis dan tidak etis. Adanya kesatuan antara penalaran moral dengan perilaku

5 moral memberikan arti bahwa betapapun bermanfaatnya suatu perilaku moral terhadap nilai kemanusiaan, namun jika perilaku tersebut tidak disertai dan didasarkan pada penalaran moral, maka perilaku tersebut belum dapat dikatakan sebagai perilaku moral yang mengandung nilai moral. Hasil penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Kohlberg (1971) mengenai moral, menunjukkan bahwa terdapat tahapan perkembangan moral. Adapun dasar perbedaan antar tahap adalah cara seseorang dalam memberikan penalaran terhadap masalah-masalah moral atau disebut pula sebagai penalaran moral, yaitu pertimbangan yang mendahului munculnya suatu tindakan atau perilaku, dan di dalamnya terdapat tanggapan atas kesesuaian tindakan dengan adat istiadat, nilai-nilai dan tatacara kehidupan yang bisa menentukan baik buruknya perilaku, diterima atau tidaknya dalam kehidupan sosial. Pentingnya penalaran moral dalam hal ini adalah sebagai pemicu munculnya prinsip moral dalam diri seseorang, yang bukan hanya sekedar suatu aturan untuk munculnya tindakan, melainkan sekaligus merupakan alasan orang untuk bertindak. Dengan demikian, suatu perilaku moral dianggap memiliki nilai moral jika perilaku tersebut dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri dan bersumber dari pemikiran atau penalaran moral yang bersifat otonom. Selain itu, penalaran moral merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral (Kohlberg, 1982:57). Oleh karena itu, untuk menemukan perilaku moral yang sebenarnya hanya dapat ditelusuri melalui penalarannya. Artinya, pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi

6 harus melihat pada penalaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa penalaran moral menjadi salah satu prediktor tindakan moral dan kemungkinan masalah dalam penalaran moral menyebabkan penyimpangan tingkah laku moral (Kohlberg, 1976:32). Sejalan dengan hal itu, Kohlberg menunjukkan meskipun banyak faktor yang dapat menimbulkan kenakalan siswa (delinquency), tetapi tingkatan penalaran moral yang tinggi sekurang-kurangnya berfungsi sebagai penghambat tingkah laku delinquent (Duska dan Whelan, 1982:111). Menurut Piaget (Duska dan Whelan, 1982:31) penalaran moral dilandasi oleh kematangan dari segi kognitif dan sosial yang terjadi saat seseorang terlibat dalam hubungan antar manusia atau interaksi sosial. Perkembangan kognisi merupakan dasar terjadinya peningkatan tahap penalaran moral, tetapi tidak mempengaruhi perkembangan penalaran moral secara langsung. Untuk dapat mencapai tahap penalaran moral yang tertinggi, perkembangan kognitif seseorang seyogyanya telah mencapai taraf formal operasional, ketika ia telah mampu untuk berfikir secara hipotetik dan abstrak. Berfikir secara operasional formal mulai berkembang pada saat seseorang mencapai usia remaja, dengan demikian maka perkembangan menuju perkembangan moral yang matang telah mulai berlangsung pula. Dengan kemampuan ini, remaja diharapkan mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan untuk membentuk sistem nilai moral dan falsafah hidup. Dapat dikatakan bahwa penanggulangan terhadap masalah-

7 masalah moral remaja merupakan salah satu penentu masa depan mereka dan bangsanya (Mulyono, 1984). Seiring dengan perkembangan kognitifnya, perkembangan penalaran moral remaja seyogyanya telah berada pada tahap moralitas otonom, dimana pada tahap ini seseorang menyadari bahwa peraturan dan hukum dibuat oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan seseorang harus mempertimbangkan intensi pelaku selain memikirkan konsekuensinya. Tahap ini tentu saja berbeda dengan tahap penalaran moral heteronom yang menilai kebenaran atau kebaikan suatu tingkah laku dengan melihat konsekuensi dari tingkah laku tersebut, bukan dari intensi pelaku. Sebagai contoh, seseorang yang cara berfikirnya heteronom akan mengatakan bahwa memecahkan dua belas buah cangkir secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan sebuah cangkir ketika sengaja bermaksud mencuri sepotong kue. Sementara bagi mereka yang berada pada tahap moral otonom, yang benar adalah sebaliknya, yang penting adalah intensi pelaku. Seseorang yang berada pada tahap penalaran moral heteronom juga yakin bahwa peraturan tidak dapat diubah dan disampaikan oleh pihak otoritas yang sangat berkuasa, hal ini dapat dilihat dari percobaan yang dilakukan oleh Piaget (Santrock, 2003: 439), pada saat itu Piaget mencoba mengajukan peraturan baru dalam bermain kelereng kepada sekelompok anak-anak, tetapi mereka menolaknya. Sebaliknya anak-anak remaja yang berada pada tahap moral otonom menerima perubahan tersebut dan menganggap bahwa peraturan hanyalah suatu kesepakatan yang menyenangkan dan disepakati bersama-sama, dan dapat diubah bila semuanya setuju.

8 Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang memobilisasi seluruh komponen pendidikan yang mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan. Menghadapi krisis moral yang tampak di kalangan remaja (siswa), pendidikan memiliki misi untuk mengembangkan berbagai nilai yang perlu dihayati secara nyata dalam proses pembelajaran, dan bimbingan dan konseling sangat diperlukan sebagai media untuk membantu siswa dalam mengembangkan penalaran moral, sehingga siswa memiliki perilaku yang sarat dengan nilai moral dan dapat bertindak berdasarkan pertimbangan dan tanggung jawab subjektif. Guru pembimbing berperan penting untuk membimbing siswa agar dapat meningkatkan penalaran moralnya. Bimbingan yang diberikan merupakan bimbingan moral yang merupakan bagian dari bimbingan pribadi-sosial. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru pembimbing adalah membuat program bimbingan yang memuat layanan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menimbang suatu keputusan untuk menentukan tindakan yang harus dilakukannya ketika dihadapkan pada situasi tertentu berdasarkan sistem nilai yang relevan dan kemampuan siswa dalam menentukan baik atau buruknya tindakan berdasarkan tanggung jawabnya secara moral. Sebelum menyusun program dan memberikan bimbingan yang efektif terhadap siswa, guru pembimbing perlu mengetahui gambaran penalaran moral siswa. Pengukuran tahap penalaran moral siswa menjadi dasar untuk menggambarkan penalaran moral siswa Sekolah Menengah Pertama. Oleh karena itu, Profil Penalaran Moral Siswa SMP diangkat sebagai judul penelitian.

9 B. Rumusan dan Batasan Masalah 1. Rumusan Masalah Penalaran moral merupakan prediktor dari tindakan moral, dan tingkat penalaran moral yang tinggi sekurang-kurangnya berfungsi sebagai penghambat tingkah laku delinquent (Duska dan Whelan, 1982:111). Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku siswa yang menyimpang dari norma masyarakat, seperti tawuran antar pelajar, seks bebas, penggunaan dan pengedaran narkoba, pelanggaran terhadap tata tertib sekolah, menyontek, berbohong, dan penganiayaan diakibatkan oleh adanya masalah dalam penalaran moral. Berdasarkan uraian masalah tersebut diperoleh sebuah pertanyaan umum sebagai arahan perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimana profil penalaran moral siswa SMP Negeri 1 Soreang Kabupaten Bandung? 2. Batasan Masalah a. Batasan Konseptual Penelitian ini terdiri dari satu variabel, yaitu penalaran moral. Berikut adalah batasan masalah mengenai profil penalaran moral. Menurut Kohlberg (1995:69), penalaran moral merupakan kemampuan seseorang dalam bertindak berdasarkan nilai-nilai atau hal-hal yang tersangkut dalam putusan moral dan motivasi untuk bertindak secara moral sesuai dengan pertimbangan moralnya sendiri, sedangkan menurut Piaget (Dhuska dan Whelan, 1982:31), penalaran moral adalah kemampuan seseorang dalam mengambil peranan orang lain dan dalam melihat tindakan dari perspektif lain yang berbeda

10 dengan perspektifnya sendiri berdasarkan pertimbangan dan tanggung jawab subjektif. Sementara Blasi (Kurtines, 1992:93) menyebutkan bahwa pertimbangan moral atau penalaran moral merupakan arah suatu tindakan yang diproses melalui seperangkat aturan dan tanggung jawab. Fungsi dari penalaran moral itu sendiri adalah untuk menentukan arah tindakan yang baik atau tidaknya secara moral berdasarkan keputusan diri sendiri. Penalaran moral dalam situasi yang nyata berlangsung melalui dua fase. Fase pertama adalah fase pertimbangan tentang kebenaran, sedangkan fase kedua adalah fase pertimbangan pertanggungjawaban, yaitu pertimbangan tentang tanggung jawab seseorang untuk melaksanakan suatu tindakan yang benar. Piaget menyimpulkan bahwa tahap penalaran moral seseorang terbagi menjadi dua dan tergantung pada kematangan perkembangannya, yaitu moralitas heteronom (heteronomous morality) dan moralitas otonom (otonom morality) (Santrock, 2003:439). Moralitas heteronom (heteronomous morality) atau disebut juga sebagai realisme moral adalah tahap pertama dari perkembangan moral dalam teori Piaget, terjadi pada usia 4 sampai 7 tahun. Pada tahap ini, anak cenderung menerima begitu saja segala aturan yang diberikan oleh orang-orang yang dianggap kompeten untuk itu. Keadilan dan peraturan dipahami sebagai suatu properti dunia yang tidak dapat diubah, di luar kendali manusia. Moralitas otonom (otonom morality) atau disebut juga sebagai independensi moral adalah tahap kedua dari perkembangan moral dalam teori

11 Piaget, muncul pada anak-anak yang lebih tua (sekitar 10 tahun ke atas). Pada tahap ini anak sudah memiliki pemikiran akan perlunya memodifikasi aturanaturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Anak menyadari bahwa peraturan dan hukum dibuat oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan seseorang harus mempertimbangkan intensi pelaku selain memikirkan konsekuensinya. Anak-anak yang berusia 7 sampai 10 tahun ada dalam tahap transisi antara kedua tahap tersebut dan menunjukkan karakteristik dari kedua tahap tersebut. Jadi penalaran moral adalah kemampuan seseorang dalam menimbang suatu keputusan untuk menentukan tindakan yang harus dilakukannya ketika dihadapkan pada situasi yang berhubungan dengan perilaku mencuri, sembrono, berbohong, hukuman, keadilan dan otoritas berdasarkan aspek kepatuhan, kejujuran, dan keadilan. b. Batasan Operasional Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan profil penalaran moral siswa SMP adalah gambaran kemampuan siswa SMP dalam menimbang suatu keputusan untuk menentukan tindakan yang harus dilakukannya ketika dihadapkan pada situasi yang berhubungan dengan perilaku mencuri, sembrono, berbohong, hukuman, keadilan dan otoritas. Penalaran moral ditinjau dari segi kognitif berdasarkan aspek kepatuhan, kejujuran, dan keadilan untuk menentukan tahap moralitas heteronom dan moralitas otonom.

12 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan menggambarkan penalaran moral siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Soreang Tahun Ajaran 2009/2010. 2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini, baik untuk guru pembimbing, maupun peneliti selanjutnya, diantaranya sebagai berikut. a. Bagi guru pembimbing, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pemikiran dalam membuat program dan mengupayakan jenis layanan yang dapat diberikan kepada siswa, terutama layanan bimbingan pribadi-sosial yang berkenaan dengan moral, sehingga mampu menstimulasi pribadi-pribadi siswa yang dapat melindungi nilai-nilai moral, nilai-nilai sosial dan dapat memaknai hakikat dari tindakannya. b. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman untuk mengembangkan penelitian yang lebih luas dengan menambah aspek perbedaan gender, status sosial ekonomi, pola asuh keluarga. D. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis data mengenai tahap penalaran moral siswa berdasarkan perhitungan-perhitungan secara statistik yang diperoleh melalui penyebaran instrumen penalaran moral. Adapun metode yang digunakan adalah

13 metode deskriptif analitik, yaitu metode yang digunakan untuk menggambarkan tingkat penalaran moral siswa SMP berdasarkan aspek kepatuhan, kejujuran, dan keadilan. E. Asumsi Penelitian Asumsi yang mendasari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pada masa remaja muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Dalam hal ini remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi psikologis yang ditandai oleh adanya rasa puas dan penerimaan serta penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya (Yusuf, 2001:199). 2. Perkembangan kognitif remaja seyogyanya telah mencapai taraf operasional formal, dimana remaja telah mampu berfikir secara hipotetik dan abstrak, serta mampu menyelesaikan tugas perkembangan untuk membentuk sistem nilai-nilai moral dan falsafah hidup (Gunarsa & Gunarsa, 1989 dalam Diandra, 2003:3). 3. Penalaran moral yang matang berlangsung seiring dengan perkembangan kognitif (Diandra, 2003:3). 4. Perkembangan moral sebagai suatu hasil dari interaksi antara pelaksana aturan, pengikut atau pembuat aturan secara individual dengan kerangka jalinan aturan yang bersangkutan, yang mewujudkan esensi moralitas itu dan perspektif ini berfokus pada sikap, perasaan, serta kognisi dari individu itu

14 terhadap perangkat aturan yang bersangkutan (Piaget dalam Kurtines, 1984:513). 5. Komponen kognitif dari imajinasi bertalian dengan kemampuan mengantisipasi berbagai konsekuensi dalam bentuk keputusan moral yang relevan bagi dirinya maupun orang lain (Keller dalam Kurtines, 1984:234). F. Lokasi dan Subjek Penelitian Penelitian dilakukan di SMP Negeri 1 Soreang Kabupaten Bandung, dengan populasi penelitian adalah siswa kelas VIII tahun ajaran 2009/2010, sedangkan sampelnya terdiri dari 2 kelas, yaitu 1 kelas dari kelas VIII F dan 1 kelas dari kelas VIII J. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut. 1. SMP Negeri 1 Soreang berada di wilayah yang pada umumnya anak remaja di kawasan itu tidak melanjutkan sekolah, tetapi lebih memilih bekerja sebagai penarik delman dan penjahit borongan di konveksi-konveksi terdekat. Minimnya pendidikan yang mereka peroleh dan cara bergaul mereka, menghadapkan siswa pada kontradiksi antara konsep moral yang telah diterima dengan apa yang telah dialami di luar lingkungan keluarga. 2. Siswa SMP berada pada masa remaja yang telah melewati masa peralihan dari sekolah dasar (SD) yang relatif homogen ke SMP yang lebih heterogen. Yang dimaksud homogen adalah bahwa ketika di sekolah dasar, siswa memiliki kecenderungan kuat untuk memilih teman dari kelasnya sendiri di sekolah dan yang dipilih adalah teman sejenis daripada lawan jenis, sedangkan ketika menduduki bangku SMP, siswa memilih teman dari berbagai kalangan yang

15 memiliki minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, serta dapat dipercaya, baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis (Hurlock, 1980:215). Hal ini memberikan kemungkinan bagi siswa untuk menghadapi berbagai situasi pergaulan dengan berbagai macam tuntutan dan harapan teman-temannya dalam bersikap sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku.