BAB I PENDAHULUAN. 1 Pandangan lain, reformasi telah memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses yang terintgrasi dan komprehensif

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses untuk

BAB I PENDAHULUAN. kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu daerah dalam jangka panjang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap wilayah umumnya mempunyai masalah di dalam proses. pembangunannya, masalah yang paling sering muncul di dalam wilayah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai proses kenaikan output

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan daerah, dan kurang melibatkannya stakeholder di daerah. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. nasional dan internasional dengan pemerataan dan pertumbuhan yang diinginkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Dampak alokasi belanja langsung terhadap ketimpangan ekonomi wilayah (Studi kasus Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Jambi, dan Provinsi Bengkulu)

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang. Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah ke dalam program-program yang tidak lain demi terciptanya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang lebih demokratik, dan diharapkan lebih berkeadilan sosial.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan reformasi yang mengemuka setelah era Orde Baru, salah

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

PENGARUH ALOKASI DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN EKONOMI REGIONAL DI PROVINSI JAMBI

I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah. Sumber daya alam nantinya dapat digunakan sebagai pendukung

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia mengalami kemunduran saat terjadi krisis ekonomi dan politik tahun 1997/1998 yang akhirnya melahirkan gerakan reformasi yang membawa perubahan besar dan mendasar terhadap sistem tatakelola pemerintahan. Dalam pandangan Mardiasmo (2004:3) peristiwa tersebut telah memberi berkah tersembunyi (blessing in disguised) bagi upaya peningkatan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia dimasa mendatang. Karena krisis yang dialami telah membuka jalan bergulirnya reformasi total diseluruh aspek kehidupan. Tema sentral reformasi tersebut adalah mewujudkan masyarakat madani, terciptanya good governance, dan mengembangkan model pembangunan yang berkeadilan 1. Sistem pemerintahan yang semula sentralistik berubah menjadi otonomi (desentralisasi) dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besar dalam mengurus pemerintahan dan mengelola pembangunan di daerahnya. Hal ini dilakukan untuk lebih mendorong dan meningkatkan aktivitas pembangunan di seluruh daerah sesuai dengan potensi dan permasalahan daerah bersangkutan serta aspirasi dan keinginan masyarakat setempat (Sjafrizal, 2012:272). Ditetapkannya dua kebijakan tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan antithesis atas diterapkannya sistem pemerintahan sentralistis di bawah pemerintahan Orde Baru. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan prinsip otonomi daerah yang dimaknai 1 Pandangan lain, reformasi telah memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaruan paradigma diberbagai bidang kehidupan. 1

sebagai pelimpahan berbagai kewenangan kepada pemerintah daerah dan setting-up proses-proses politik di daerah. Berikutnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (direvisi menjadi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan prinsip desentralisasi fiskal. Inti desentralisasi fiskal adalah dukungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah untuk menjamin ketersediaan sumber-sumber fiskal bagi pemerintah daerah dalam bentuk Dana Perimbangan (block grant). Daerah juga diberi kewenangan untuk menambah sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku (Sjafrizal, 2012:272). Kedua kebijakan publik tersebut merupakan perwujudan dari kebijakan pemerintah pusat untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan masyarakat di daerah dalam rangka membangun perekonomian daerah, serta memiliki makna yang sangat penting karena adanya pelimpahan urusan dan sumber pembiayaan yang sebelumnya merupakan tanggungjawab pemerintah pusat. Substansi lain Undang-Undang tersebut yang efektif berlaku sejak Januari 2001 berfokus pada desentralisasi administrasi dan politik termasuk referensi pedoman pendelegasian wewenang pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah. Dalam kaitan ini, Bank Dunia (2003) memberikan istilah The Indonesia s 2001 Big Bang Decentralization karena hanya dalam semalam Indonesia berubah dari negara yang sangat sentralistik menjadi negara yang sangat desentralistik 2. Prinsip dasar desentralisasi fiskal adalah money follows functions (uang mengikuti kewenangan). Artinya, jika kewenangan dilimpahkan ke daerah maka uang untuk mengelola kewenanganpun harus dilimpahkan ke daerah. Dalam pengertian lain money follows function menurut Yudhaningsih (2010), yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada daerah. Sedangkan tujuan awal desentralisasi fiskal adalah mengurangi 2 Rochana, 2013. Jurnal Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah pada Era Otonomi Daerah di Indonesia, hal 2. 2

kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan kesenjangan fiskal antar daerah (horizontal fiscal imbalance). Berkaitan dengan aspek keuangan (financial) terdapat empat komponen utama dari desentralisasi fiskal, yaitu (1) tugas pengeluaran (expenditure assignment), (2) tugas pendapatan (revenue assignment), (3) sistem dana perimbangan (intergovernmental system), dan (4) penganggaran dan monitoring keuangan (budgeting and fiscal monitoring). Saat ini hampir semua negara-negara di dunia ketiga menganut sistem ekonomi campuran (mixed economic system) yaitu suatu sistem dimana sektor pemerintah dan sektor swasta sama-sama berpartisipasi dalam kepemilikan dan penggunaan sumber-sumber daya (Todaro dan Smitih, 2004:51). Untuk itu, ditetapkannya kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong kemajuan pembangunan ekonomi sekaligus mengurangi ketimpangan antar wilayah. Perhatian terhadap desentralisasi tidak hanya dihubungkan dengan gagalnya perencanaan terpusat dan populerrnya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equality), tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat (Kuncoro, 2004). Ketidakmampuan daerah dalam mengalokasikan dana secara efektif dan efisien yang tidak didukung oleh sistem administratif yang baik dan rendahnya kekuatan redistribusi sumber daya antar daerah maka akan menghambat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah dan dapat meningkatkan ketimpangan regional 3. Rochana (2013) 4 mengatakan bahwa dibalik otonomi daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga berpotensi meningkatkan disparitas pendapatan regional jika tidak dikelola dengan baik (Prud homme, 1995; Lessmann, 2006; Shah, 2006). Hal ini karena dalam sistem desentralisasi, setiap pemerintah daerah mengelola anggaran dengan hanya mempertimbangkan 3 Kurniawan dan Sugiyanto (2013) dalam http://ejournal-s1. Undip.ac/index.php/jme. 4 Op.cit, hal 2. 3

kesejahteraan warganya tanpa berkewajiban memperhatikan warga diluar wilayahnya. Berdasarkan hasil penelitiannya menemukan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia membawa efek samping disparitas pendapatan antar wilayah. Perbedaan penerimaan anggaran yang semakin besar akan berdampak pada perbedaan pengeluaran. Selanjutnya, perbedaan pengeluaran dapat menyebabkan perbedaan output antar daerah. Hal ini karena pengeluaran pemerintah merupakan salah satu variabel penentu output. Untuk melihat keragaman anggaran dalam APBD di wilayah Provinsi Banten, penulis menghitung indeks ketimpangan regional berdasarkan Indeks Williamson komponen penerimaan dan belanja pembangunan per kapita selama tahun 2001-2013, seperti yang disajikan pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Ketimpangan Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Belanja Pembangunan (Indeks Williamson) Total Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2001-2013 Tahun Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Perimbangan Belanja Pembangunan (1) (2) (3) (4) 2001 0,637 0,229 0,310 2002 0,694 0,276 0,532 2003 0,688 0,320 0,440 2004 0,678 0,222 0,353 2005 0,674 0,288 0,394 2006 0,648 0,326 0,367 2007 0,476 0,306 0,396 2008 0,444 0,345 0,455 2009 0,699 0,365 0,406 2010 0,558 0,255 0,347 2011 0,554 0,259 0,228 2012 0,572 0,260 0,254 2013 0,512 0,269 0,232 Sumber : BPS Provinsi Banten/Kabupaten/Kota dan DJPK Kemenkeu RI (Data Diolah) 4

Indeks Williamson Pendapatan Asli Daerah (PAD) menunjukkan variasi ketimpangan yang cukup tinggi bergerak berfluktuasi pada kisaran 0,637-0,512, sedangkan Dana Perimbangan bergerak pada kisaran 0,229-0,269 namun termasuk pada tingkat ketimpangan rendah. Sama halnya dengan ketimpangan belanja pembangunan yang memperlihatkan fluktuasi dari tahun ke tahun dan berada pada tingkat ketimpangan relatif rendah sampai sedang dengan titik awal pada nilai 0,310 tahun 2001 dan tertinggi sebesar 0,532 pada tahun 2002, akan tetapi sejak tahun 2008 terjadi penurunan yang konsisten dari 0,455 menjadi 0,232 pada tahun 2013. Artinya sejak tahun 2008 sampai 2013 porsi belanja pembangunan antar kabupaten/kota relatif semakin merata. Belanja pembangunan untuk pengadaan infrastruktur fisik maupun non fisik peranannya sangat penting karena merupakan instrumen untuk menggerakan perekonomian daerah. Insfrastruktur menjadi penentu kelancaran dan akselerasi pembangunan. Semakin cepat dan besar pembangunan ekonomi yang hendak digerakan semakin banyak fasilitas infrastruktur yang diperlukan. Menurut Basri dan Munandar (2009:129) infrastruktur memiliki sifat eksternalitas positif yang tinggi, artinya pengadaan suatu infrastruktur akan sangat mempengaruhi secara positif perkembangan berbagai sektor ekonomi lainnya. Sebaliknya, keterbatasan infrastruktur mengakibatkan pemanfaatan potensi dan sumber daya ekonomi menjadi tidak optimal bahkan sulit berkembang hingga ke taraf yang diharapkan. Di negara manapun di dunia, infrastruktur merupakan tanggungjawab pemerintah sehingga besar kecilnya anggaran infrastruktur yang dikeluarkan dapat langsung menunjukan seberapa banyak kemajuan yang akan diciptakan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Propinsi Banten mampu memberi dampak terhadap peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto, yaitu dengan laju pertumbuhan ekonomi yang selalu tumbuh positif meskipun mengalami fluktuasi tiap tahunnya pada kisaran 3,95 persen sampai 6,38 persen selama periode tahun 2001-2013, seperti disajikan pada gambar 1.1. 5

Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten (LPE) dan Ketimpangan Pendapatan Regional (IW) antar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2001-2013 Indeks Williamson umumnya digunakan untuk melihat ukuran ketimpangan pendapatan regional. Indeks ini berada pada kisaran 0 dan 1, dengan pengertian bila indeks mendekati 1 (satu) dikatakan sangat timpang dan bila mendekati 0 (nol) berarti semakin merata 5. Perhitungan Indeks Williamson menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita atau untuk tingkat regional digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita atas dasar harga konstan. Indeks Williamson memperlihatkan ketimpangan pendapatan regional di wilayah Provinsi Banten selama periode tahun 2001-2013 tergolong tinggi, yaitu pada kisaran angka rata-rata 0,744. Pada tahun 2001-2006 nilai indeks bergerak naik dari 0,738 menjadi 0,768, tetapi relatif menurun menjadi 0,731 pada tahun 2013. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal tidak serta merta menjadikan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten mengalami peningkatan laju pertumbuhan PDRB secara merata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain perbedaaan kepemilikan sumber daya alam atau faktor endowments, 5 Klasifikasi tingkat ketimpangan berdasarkan Indeks Williamson (IW) 0,39 ketimpangan rendah; 0,40-0,69 ketimpangan sedang; 0,70 ketimpangan tinggi. 6

letak geografis dan kebijakan pemerintah daerah. Kondisi endowments factor setiap daerah yang bervariasi berdampak terhadap perbedaan akselerasi pertumbuhan ekonomi daerah. Terjadinya migrasi tenaga kerja dan pergerakan modal kearah core, serta tidak berjalannya mekanisme trickle down effect akan berdampak meningkatkan ketimpangan pendapatan antar daerah (Hirschman, 1970 dalam Siagian, 2010). Ketimpangan pendapatan regional (regional income inequality) timbul karena tidak adanya pemerataan dalam pembangunan ekonomi. Ketimpangan berarti suatu gambaran terhadap kondisi yang tidak homogen. Hal ini terlihat dengan adanya wilayah yang maju dan wilayah terbelakang. Ketimpangan memiliki dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari ketimpangan dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya guna meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan dampak negatif dari ketimpangan yang ekstrim menyebabkan inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta pada umumnya dipandang tidak adil (Todaro dan Smith, 2004:235). Dalam konteks ketatanegaraan, ketimpangan akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang kemudian akan mengancam stabilitas sosial dan politik suatu negara. Maka dari itu, ketimpangan harus diatasi oleh pemerintah dengan mendorong daerah yang terbelakang untuk mampu mengejar ketertinggalan perekonomiannya terhadap daerah yang sudah maju. Myrdal dalam Jhingan (2008:212-213) menyebutkan ketimpangan wilayah juga berkaitan dengan sistem ekonomi kapitalis yang dikendalikan oleh motif laba. Motif laba inilah yang mendorong berkembangnya pembangunan terpusat di wilayah-wilayah yang memiliki harapan laba tinggi, sementara wilayah-wilayah lainnya tetap terlantar. Penyebab gejala ini adalah peranan bebas kekuatan pasar yang cenderung memperlebar kesenjangan regional. Ketidakmerataan pembangunan yang mengakibatkan kesenjangan ini disebabkan karena adanya dampak hisap atau dampak balik (backwash effect) yang lebih besar dibandingkan dengan dampak sebarnya (spread effect). 7

Kemampuan pemerintah daerah dalam membangun masing-masing daerahnya tentu berbeda-beda mengingat potensi yang dimiliki setiap daerah berbeda. Daerah yang memiliki potensi ekonomi besar cenderung memiliki pendapatan daerah dan PDRB per kapita yang besar, dan sebaliknya. Gambaran perbedaan ini dapat diamati seperti yang direpresentasikan di Provinsi Banten seperti dapat lihat pada gambar 2.1. Sumber : BPS Provinsi Banten. *) Kota Serang data tahun 2007-2013 **) Kota Tangsel (Tangerang Selatan) data tahun 2008-2013 Gambar 1.2 Rata-rata PDRB Riil per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2001-2013 (Juta Rupiah) Kota Cilegon dan Kota Tangerang memiliki pendapatan per kapita yang jauh lebih tinggi dibanding kabupaten/kota lain. PDRB per kapita Kota Cilegon mencapai 42,46 juta rupiah per tahun disusul Kota Tangerang 15,30 juta rupiah. Kedua daerah tersebut nilai tambah brutonya dominan disumbang oleh aktivitas sektor industri pengolahan. Sebaliknya Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang memiliki PDRB per kapita yang lebih rendah, yaitu 3,10 juta rupiah dan 3,41 juta rupiah. Bahkan nilai PDRB per kapita kedua kabupaten tersebut lebih rendah dibandingkan dua daerah kota yang baru terbentuk, yaitu Kota Serang (terbentuk tahun 2007) yang besarnya 5,22 juta rupiah dan Kota 8

Tangerang Selatan (terbentuk tahun 2008) mampu mencatatkan sebesar 4,26 juta rupiah. Kedua kota ini dilihat dari struktur PDRB-nya dominan disumbang oleh sektor perdagangan dan jasa-jasa. Sedangkan Kabupaten Lebak dan Pandeglang dominan bersumber dari sektor pertanian dan perdagangan. Tingginya pendapatan per kapita Kota Cilegon dapat menjadi indikasi memberi pengaruh positif meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun disisi lain memberi dampak terhadap tingginya ketimpangan pendapatan regional. Kebijakan desentralisasi fiskal dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi alokasi sumber daya dan mengurangi ketimpangan pendapatan regional. Hal ini karena pemerintah daerah lebih mengenal potensi keuangan daerahnya dibandingkan pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan masyarakatnya sehingga diharapkan dapat memberikan pelayanan dan penyediaan barang-barang publik secara optimal. Esensi hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal setidaknya mempunyai tiga pertimbangan. Pertama, pertumbuhan dilihat sebagai sesuatu yang objektif dari desentralisasi fiskal dan efisiensi dalam alokasi sumberdaya sektor publik. Kedua, secara eksplisit pemerintah berusaha mengadopsi berbagai kebijakan untuk mendorong peningkatan pendapatan per kapita. Ketiga, pertumbuhan pendapatan per kapita relatif lebih mudah untuk diukur dan diinterpretasikan dibanding indikatorindikator lainnya (Suparno, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Akai-Sakata (2005) dan Lessmann (2006) menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketimpangan pendapatan regional diantaranya pertumbuhan ekonomi, aglomerasi, dan jumlah orang yang bekerja. Aglomerasi merupakan suatu pengelompokan kegiatan ekonomi yang umumnya bersifat homogen disuatu tempat. Menurut Marshall, aglomerasi muncul ketika sebuah industri memilih lokasi untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh keuntungan apabila mengikuti tindakan mendirikan usaha disekitar lokasi tersebut (Kuncoro, 2004). 9

Aglomerasi atau konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu daerah akan menyebabkan daerah tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan cepat. Sebaliknya bagi daerah yang memiliki tingkat aglomerasi rendah akan menjadi semakin terbelakang. Konsentrasi kegiatan ekonomi bagi suatu industri akan mampu memacu pembangunan di suatu daerah melalui mekanisme penciptaan lapangan kerja dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Hal inilah yang menurut Williamson (1965) dalam Delis (2009) disebabkan karena pertumbuhan tidak selalu terjadi secara merata pada semua wilayah. Pada tahap awal, proses pembangunan cenderung terkosentrasi dan terpolarisasi pada area pusat suatu negara atau wilayah. Penyebaran ke wilayah pinggiran dan sektor-sektor yang relatif lemah hanya terjadi secara subsequen. Konsekuensi dari keberadaan dua bentuk kecepatan pembangunan yang berbeda tersebut adalah melebarnya jurang ketimpangan wilayah pada fase awal pembangunan ekonomi, namun kemudian akan berkurang ketika pendapatan nasional atau wilayah mencapai tingkat tertentu. Heterogenitas karateristik potensi ekonomi suatu wilayah dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan antar daerah atau antar sektor ekonomi di suatu daerah. Ketimpangan antar daerah penting untuk diperhatikan karena gravitasi aktivitas ekonomi secara geografis cenderung terkonsentrasi pada kawasan perkotaan dan daerah yang sudah maju. Hal ini mencerminkan adanya trend meningkatnya pergerakan konsentrasi spasial kegiatan ekonomi (agglomeration ecomomic) pada daerah-daerah tertentu. Keberhasilan pencapaian tujuan kebijakan desentralisasi fiskal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan pendapatan regional sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi makro daerah. Mengingat pentingnya pertumbuhan ekonomi daerah dan permasalahan ketimpangan pendapatan regional maka penyusun mengajukan judul penelitian sebagai berikut: Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Regional di Provinsi Banten. 10

1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang dijelaskan terdapatnya perbedaan potensi ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Banten. Perbedaan tersebut antara lain mengenai potensi sumber daya alam, aktivitas perekonomian, sumber daya manusia, dan kekuatan anggaran yang dimiliki. Perbedaan potensi daerah dapat menyebabkan tidak meratanya pertumbuhan ekonomi dan tingginya ketimpangan pendapatan regional (antar kabupaten/kota). Padahal esensi pembangunan adalah bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan hasil-hasilnya. Perpaduan dari kedua arah kebijakan ini dalam kajian ekonomi disebut konsep growth with distribution strategy. Strategi pembangunan untuk pertumbuhan tanpa memperhatikan pemerataan akan mengarah pada kepincangan. Sebaliknya, pemerataan tanpa pertumbuhan akan mengakibatkan kelambatan atau ketertinggalan (Abidin, 2012:67). Adanya ketimpangan menunjukan derajat permasalahan pembangunan daerah dalam suatu negara. Ketimpangan antar daerah tidak selalu sama sepanjang waktu, tetapi berubah mengikuti suatu trend yang dipengaruhi oleh kebijakankebijakan pembangunan nasional dan daerah dalam suatu negara (Abidin, 2012:123). Berdasarkan uraian latar belakang dapat diidentifikasikan masalah yang berkaitan dengan fenomena pembangunan, yaitu : 1. Masih rendah dan belum meratanya pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/ kota di Provinsi Banten. 2. Tingginya Ketimpangan Pendapatan regional di Provinsi Banten. 1.3. Batasan Masalah Pembatasan masalah adalah upaya untuk menetapkan batasan-batasan dari masalah penelitian yang berguna untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana saja yang akan dimasukan ke dalam lingkup masalah penelitian. Dengan demikian, pembatasan akan membuat masalah penelitian menjadi lebih fokus dan jelas sehingga rumusan masalah dapat dibuat dengan jelas pula. 11

Berdasarkan masalah yang teridentifikasi maka penelitian ini dibatasi pada dua variabel yang diteliti sebagai masalah utama yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan regional di Provinsi Banten sebagai dampak kebijakan desentralisasi fiskal. Pembatasan ruang lingkup penelitian ditetapkan agar dalam penelitian ini lebih fokus pada pokok permasalahan yang ada beserta pembahasannya sehingga tujuan penelitian tidak menyimpang dari sasaran. Menyadari kemungkinan tidak fokusnya dalam pelaksanaan penelitian yang dikarenakan melebarnya pembahasan masalah maka ditetapkan batasan, yaitu : 1. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten pada periode tahun 2001-2013. 2. Ketimpangan pendapatan regional di Provinsi Banten pada periode tahun 2001-2013. 1.4. Rumusan Masalah Desentralisasi fiskal merupakan suatu produk kebijakan pemerintah sebagai bentuk pengalihan kewenangan pengelolaan sektor fiskal daerah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri melalui pengelolaan sumbersumber penerimaan yang dimilikinya serta memenuhi kebutuhan belanja dan pembiayaan. Untuk memenuhi kebutuhan daerahnya, pemerintah daerah memiliki sumber-sumber penerimaan yang dapat digunakan yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum(DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dengan keadaan di atas maka dapat dirumuskan masalah utama yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah: 1. Dengan kebijakan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki sumbersumber penerimaan daerah. Melalui belanja daerah yang bersumber dari penerimaan daerah seharusnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Terkait hal ini maka muncul pertanyaan penelitian apakah dampak kebijakan desentralisasi fiskal secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten pada periode Tahun 2001 2013?. 12

2. Terkait dengan kebijakan desentralisasi fiskal muncul fenomena dimana pertumbuhan ekonomi yang selalu meningkat setiap tahunnya namun di sisi lain terjadi ketimpangan pendapatan regional. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian yang muncul adalah apakah kebijakan desentralisasi fiskal secara signifikan mempengaruhi ketimpangan pendapatan regional di Provinsi Banten pada periode Tahun 2001-2013?. 1.5. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten. 2. Menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pendapatan regional di Provinsi Banten. 1.6. Manfaat Penelitian 1. Manfaat akademis adalah memberikan sumbangan pemikiran untuk kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan teori dan aplikasi ilmu administrasi publik, kebijakan desentralisasi fiskal dan ekonomi publik. 2. Manfaat Praktis adalah sebagai informasi dan masukan kepada pemerintah Provinsi Banten untuk bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan menyangkut pembangunan ekonomi, pengembangan wilayah, dan pemerataan pendapatan regional. 13