BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dokumen anggaran daerah disebut juga

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi. menjadi suatu fenomena yang umumnya sering terjadi.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pusat kegiatan perekonomian, agar kegiatan sektor riil meningkat

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. oleh rakyat (Halim dan Mujib 2009, 25). Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Wilayah negara Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo,2002:2).

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya

BAB I PENDAHULUAN. karena entitas ini bekerja berdasarkan sebuah anggaran dan realisasi anggaran

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada suatu perubahan adalah reformasi hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, yang lebih dikenal dengan otonomi daerah. Otonomi daerah saat ini dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemberlakuan kedua undang-undang ini berkonsekuensi pada perubahan pola pertanggungjawaban daerah atas dana yang dialokasikan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dengan mengacu pada undang-undang yang berlaku. Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada 1

2 Pemerintah Daerah (Pemda) secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, pemanfaatan dan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Otonomi daerah menuntut Pemda untuk dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Salah satu bentuk pelayanan tersebut adalah memberikan informasi yang transparan dan akuntabel. Dalam implementasinya, pelaksanaan otonomi daerah menemui beberapa kelemahan dan masalah. Kelemahan implementasi otonomi daerah disebabkan karena semua urusan (kecuali yang menjadi urusan Pemerintah Pusat) diserahkan kepada daerah tanpa mempertimbangkan kemampuan daerah. Akibatnya terjadi penumpukkan beban di daerah dan berdampak pada pelayanan publik. Beberapa daerah juga kurang terfokus dalam mengembangkan ekonomi di daerah. Azwar (dalam Abdul, 2004:175) mengemukakan bahwa, Hampir seluruh daerah kabupaten/kota di Indonesia menghadapi masalah terbatasnya kemampuan pemerintah daerah untuk mendanai kegiatan pembangunan di daerahnya. Hal ini disebabkan minimnya dana dan sumbersumber dana di daerah yang dapat membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Daerah-daerah yang berkembang dan maju adalah daerah yang mempunyai Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, mandiri dan Sumber Daya Alam (SDA) yang dikelola dengan baik. Masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah adanya keterbatasan kemampuan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak bersendikan pada kelestarian sehingga berakibat pada kerusakan

3 lingkungan hidup. Serta merosotnya kemampuan daerah dalam pemberian pelayanan dasar kepada masyarakat (pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar). Untuk mengatasi kelemahan dan masalah dalam penyelenggaraan otonomi daerah, maka perlu ditingkatkan akuntabilitas dan transparansi melalui penguatan kapasitas manajemen. Sebagai konsekuensi di dalam melaksanakan otonomi daerah, Pemda dituntut untuk mampu mengatur penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangannya. Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemda. Sebagai instrumen kebijakan, APBD menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemda. Perubahan paradigma baru yang merubah konsep dan kewenangan daerah yang semula ditujukan atas dasar porsi kebijakan pusat yang lebih dominan dalam pembagian kewenangan pusat dan daerah selanjutnya diarahkan menjadi kemandirian daerah dalam mengelola daerahnya, termasuk kebijakan-kebijakan pembangunan di daerah. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan program yang memerlukan keterlibatan segenap unsur dan lapisan masyarakat. Armayani (dalam Abdul, 2004:237) menyatakan bahwa peran pemerintah dalam pembangunan adalah sebagai katalisator dan fasilitator, karena pihak pemerintahlah yang lebih mengetahui sasaran tujuan pembangunan yang akan dicapai. Sebagai

4 pihak katalisator dan fasilitator maka Pemda membutuhkan berbagai sarana dan fasilitas pendukung yang direalisasikan melalui Belanja Modal guna meningkatkan pelayanan publik. Belanja Modal dilakukan oleh Pemda untuk pengadaan aset daerah sebagai investasi dalam rangka membiayai pelaksanaan otonomi daerah yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Alokasi Belanja Modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Dengan melakukan Belanja Modal akan menimbulkan konsekuensi berupa penambahan biaya yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Berkaitan dengan pelayanan publik, alokasi Belanja Modal merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan karena akan meningkatkan produktivitas perekonomian daerah. Semakin banyak Belanja Modal maka semakin tinggi pula produktivitas perekonomian karena Belanja Modal berupa pembangunan infrastruktur jelas berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Diungkapkan dalam Jurnal SNA X 2007 oleh Wong (dalam David et al, 2007:3) bahwa: Pembangunan infrastruktur industri mempunyai dampak yang nyata terhadap kenaikan pajak daerah. Dengan terpenuhinya fasilitas publik maka masyarakat merasa nyaman dan dapat menjalankan usahanya dengan efisien dan efektif sehingga pada akhirnya akan meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan. Senada dengan hal tersebut, dalam Jurnal SNA X 2007 juga dijelaskan bahwa, dalam upaya peningkatan kemandirian daerah pemerintah daerah juga dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang dimiliki dan salah satunya

5 memberikan proporsi Belanja Modal yang lebih besar untuk pembangunan pada sektor-sektor yang produktif di daerah. (David et al, 2007:2) Akan tetapi dengan melihat fenomena yang terjadi, sepertinya alokasi Belanja Modal belum sepenuhnya dapat terlaksana bagi pemenuhan kesejahteraan publik sebab pengelolaan Belanja Daerah terutama Belanja Modal masih belum terorientasi pada publik. Seperti diungkapkan oleh Keefer dan Khemani et al (dalam Abdul et al, 2006:18) pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran belanja proyek pembangunan atau Belanja Modal (capital expenditure) merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis. Anggaran ini sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan publik akan sarana dan prasarana legislatif yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan alokasi Belanja Modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan permasalahan di masyarakat. Padahal menurut UU No. 33 Tahun 2004 Pasal 66 menyatakan bahwa: Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat. UU tersebut mengisyaratkan kepada Pemda untuk mengelola keuangan daerah terutama Belanja Modal secara efektif, efisien, dan ekonomis dengan tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Kota Bandung merupakan ibu kota Jawa Barat. Sebagai ibu kota, tentunya Kota Bandung merupakan pusat kegiatan perekonomian masyarakat. Agar kegiatan perekonomian masyarakat lancar dan meningkat, maka sudah seharusnya alokasi untuk pembangunan infrastruktur dianggarkan lebih besar. Alokasi untuk kegiatan

6 pembangunan daerah dianggarkan dalam Belanja Modal. Belanja Modal merupakan salah satu jenis dari Belanja Langsung dan memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun. Belanja modal merupakan bentuk investasi Pemda untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan. Berikut ini adalah gambaran mengenai porsi Belanja Modal pada Belanja Daerah APBD Kota Bandung tahun anggaran 2001 sampai 2006: Tabel 1.1 Porsi Belanja Modal pada Belanja Daerah pada Pemerintah Kota Bandung Tahun Belanja Modal Belanja Daerah Persentase (Rupiah) (Rupiah) (%) 2001 197.289.789.722,29 759.557.958.354,86 25,97 2002 186.606.247.998,54 833.196.596.278,54 22,40 2003 40.673.993.488 945.824.122.537,58 4,30 2004 51.153.747.667 975.023.708.152,70 5,25 2005 106.350.309.401 1.096.592.281.568,30 9,70 2006 106.350.309.401 1.266.047.202.038,00 8,40 Rata-rata 12,67 Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Bandung, Laporan Pertanggungjawaban Walikota Bandung Tahun Anggaran 2001-2006 (diolah) Dari tabel 1.1 dapat dikatakan bahwa porsi Belanja Modal di Kota Bandung masih terhitung rendah, terutama pada tahun anggaran 2003-2006. Priyo et al (2009:2) mengemukakan bahwa, Dalam upaya untuk meningkatkan kontribusi publik terhadap penerimaan daerah, alokasi belanja modal hendaknya lebih ditingkatkan. Belanja Modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah diantaranya pembangunan dan perbaikan sektor pendidikan, kesehatan, transportasi, sehingga masyarakat juga menikmati

7 manfaat dari pembangunan daerah. Oleh karena itu, anggaran belanja daerah akan tidak logis jika proporsi anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin. Berdasarkan pendapat tersebut, seharusnya transfer dana dari Pemerintah Pusat (Dana Alokasi Umum) dan pendapatan yang berasal dari daerah (Pendapatan Asli Daerah) digunakan Pemkot Bandung untuk melakukan pembangunan infrastruktur daerah dengan porsi yang lebih besar, sehingga perekonomian masyarakat mengalami peningkatan. Peningkatan perekonomian masyarakat pada akhirnya akan menambah jumlah Pendapatan Asli Daerah melalui penarikan pajak, retribusi, dan lain-lain. Semakin banyak pendapatan yang dihasilkan oleh daerah baik dari PAD maupun DAU, daerah akan mampu memenuhi dan membiayai semua keperluan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penelitian mengenai PAD, DAU dan Belanja Modal telah banyak dilakukan. David et al (2007) meneliti mengenai hubungan antara DAU, Belanja Modal, PAD dan Pendapatan per Kapita di Jawa dan Bali. Penelitian tersebut telah diseminarkan dalam Simposium Nasional Akuntansi (SNA) X 2007 Makassar. Dalam hal ini, peneliti mencoba untuk meneliti hubungan antara PAD, DAU dan Belanja Modal di Kota Bandung. Berdasarkan paparan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2001-2009.

8 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung TA. 2001 sampai 2009 2. Bagaimana hubungan Pendapatan Asli Daerah dengan Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung TA. 2001 sampai 2009 3. Bagaimana hubungan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung TA. 2001 sampai 2009 4. Bagaimana hubungan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung TA. 2001 sampai 2009 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data, mempelajari, menganalisis serta menyimpulkan data yang berhubungan dengan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung dalam rangka mengembangkan penelitian sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui gambaran Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung TA. 2001 sampai 2009

9 2. Untuk mengetahui hubungan Pendapatan Asli Daerah dengan Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung TA. 2001 sampai 2009 3. Untuk mengetahui hubungan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung TA. 2001 sampai 2009 4. Untuk mengetahui hubungan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung TA. 2001 sampai 2009 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Belanja Modal pada Pemkot Bandung. Serta menjadi pengembangan pengetahuan dalam disiplin ilmu Akuntansi Sektor Publik dalam hal ini yaitu ilmu pemerintahan mengenai pengelolaan keuangan di Kota Bandung. 2. Manfaat praktis Sebagai bahan referensi dan pertimbangan bagi Pemda selaku pengelola keuangan daerah dalam menentukan alokasi Belanja Modal di masa yang akan datang yang disesuaikan dengan PAD dan DAU yang diterima daerah. Sehingga Pemda dapat lebih efektif dalam mengalokasikan belanjanya dan pelayanan kepada masyarakat dapat ditingkatkan.