BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. pengalihan pembiayaan. Ditinjau dari aspek kemandirian daerah, pelaksanaan otonomi

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. undang undang ini adalah besaran alokasi dana desa yang sebelumnya hanya. cukup besar mulai Tahun 2015 yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Reformasi yang dimulai pada awal tahun 1998 di Indonesia adalah salah

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT,

BAB IV GAMBARAN UMUM

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Adanya otonomi daerah diharapkan masing-masing daerah dapat mandiri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No.

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah secara langsung dirasakan oleh pemerintah daerah (Kabupaten/Kota). Setiap daerah di tuntut untuk dapat bisa dalam mencari sumber pembiayaan untuk pembangunan daerahnya. Salah satu sumber pembiayaan untuk pembangunan daerahnya yaitu dengan adanya sumber- sumber penerimaan daerah yang meliputi pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Provinsi Jawa Barat terdiri dari 17 Kabupaten dan 9 Kota dalam menjalankan otonomi daerah dan desentralisasi dituntut untuk mampu mengelola keuangannya sendiri. Pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat dari keuangan di masing masing daerah Kab/Kota. Sesuai dengan Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 dan dilengkapi dengan Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 dan disempurnakan sehingga penerimaan pemerintah daerah dapat disimak dalam UU Nomor 32 dan 33 tahun 2004. Disebutkan dalam peraturan tersebut bahwa sumber penerimaan daerah terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan daerah.pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain- 1

2 lain pendapatan. (Muluk, Khairul M.R, 2005: 146). Tabel 1.1 menunjukan kinerja APBD provinsi di pulau jawa tahun 2012-2013. Tabel 1.1 Nilai Belanja Daerah Provinsi di Pulau Jawa tahun 2012-2013 (juta rupiah) Provinsi BD (Belanja Daerah) 2012 2013 Rata-rata Jawa Timur 16,007,745.20 17,356,564.40 17.82 Jawa Tengah 11,446,844.40 12,724,752.70 12.89 Jawa Barat 19,881,315.80 22,172,242.30 22.42 DKI Jakarta 27,875,807.60 45,576,328.20 38.21 Banten 5,317,809.20 6,052,003.60 6.05 DI Yogyakarta 2,053,825.20 2,917,271.90 2.61 Total P. Jawa 82,583,347.40 106,799,163.10 100.00 Sumber : BPS Jabar, data diolah Berdasarkan tabel 1.1 menunjukan bahwa belanja daerah masing-masing provinsi di pulau jawa selama tahun 2012-2013 terus meningkat. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah belanja daerah terbesar kedua setelah Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan provinsi dengan jumlah belanja daerah terendah yaitu DI Yogyakarta. Begitu juga dilihat berdasarkan distribusinya terhadap total belanja daerah masing-masing Provinsi di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Barat masih tetap menjadi yang terbesar kedua setelah provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 22.42 persen dan yang terendah DI Yogyakarta sebesar 2.61 persen. Melihat hal tersebut tentunya sangatlah wajar, karena Provinsi Jawa Barat berbatasan langsung dengan DKI Jakarta. karena dengan begitu Provinsi Jawa Barat harus terus membangun kualitas pembangunan yang bersifat dapat meningkatkan kualitas penduduknya.

3 Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan Belanja Daerah Kabupaten dan Kota Di Jawa Barat Tahun 2011-2013 (dalam persen) KAB/KOTA Sumber : BPS Jabar, data diolah Pertumbuhan (%) 2011 2012 2013 Kab. Bogor 21.78 16.35 16.36 Kab. Sukabumi 11.75 8.22 15.79 Kab. Cianjur 22.34 11.13 10.97 Kab. Bandung 13.58 13.60 13.18 Kab. Garut 16.8 12.88 18.49 Kab. Tasikmalaya 6.50 15.98 16.78 Kab. Ciamis 12.28 12.37 18.00 Kab. Kuningan 6.06 16.54 11.41 Kab. Cirebon 15.44 11.19 11.87 Kab. Majalengka 10.62 17.52 14.18 Kab. Sumedang 16.14 13.15 13.18 Kab. Indramayu 18.19 14.63 10.22 Kab. Subang 5.31 13.00 17.47 Kab. Purwakarta 10.11 13.54 16.14 Kab. Karawang 8.73 30.63 8.63 Kab. Bekasi 22.63 13.98 17.34 Kab. Bandung barat 18.58 11.01 8.20 Kota. Bogor 12.34 17.30 15.45 Kota. Sukabumi 9.38 13.94 10.89 Kota. Bandung 17.08 14.36 16.88 Kota. cirebon 10.37 5.05 17.49 Kota. Bekasi 26.26 22.12 12.66 Kota. Depok 16.98 17.12 21.81 Kota. Cimahi 9.81 13.26 12.89 Kota. Tasikmalaya 4.49 16.51 20.09 Kota. banjar 20.86 11.63 14.65 Total Kab/Kota 343.55 365.36 366.34 Dilihat dari tabel 1.2 laju Pertumbuhan Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat menunjukan bahwa pertumbuhan belanja daerah yang paling tinggi pada tahun 2011 yaitu Kota Bekasi sebesar 26.26 persen atau sebesar

4 2,307,065.5 dan yang paling rendah laju Pertumbuhan Belanja Daerahnya yaitu terjadi di Kota Tasikmalaya yaitu sebesar 4.49 persen atau sebesar 944,521.5 Juta. Pada tahun 2012 laju Pertumbuhan Belanja Daerah yang paling tinggi yaitu Kabupaten Karawang sebesar 30.63persen atau sebesar Rp. 2,916,390.6 Juta, dan laju Pertumbuhan Belanja Daerah paling rendah yaitu terjadi di Kota Cirebon sebesar 5.05 persen atau sebesar Rp. 904,703.7 Juta. sedangkan pada tahun 2013 laju Pertumbuhan Belanja Daerah yang paling tinggi yaitu Kota Tasikmalaya sebesar 20.09 persen atau sebesar 1,415,659.5 Juta dan yang paling rendah yaitu Kabupaten Bandung barat sebesar 8.20 persen atau sebesar 1,843,587.8 Juta. Dari tabel 1.1 memperlihatkan bahwa di masing-masing daerah memliliki kegiatan pembangunan dan perekonomian yang berbeda-beda pada setiap tahunnya. Sehingga, Belanja Daerah yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat juga berbeda-beda. (Saragih,2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misal untuk melakukan aktivitas pembangunan. Belanja Daerah di masing masing daerah sangat dipengaruhi kemampuan daerah dalam menggali sumbersumber keuangan sendiri agar dapat meningkatkan pendapatan bagi daerah. Dalam Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pendapatan daerah dapat bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD), Dana Perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. PAD merupakan salah sumber pembelanjaan daerah, Jika PAD meningkat, maka dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan lebih tinggi dan tingkat kemandirian daerah akan meningkat pula,

5 sehingga Pemerintah Daerah akan berinisiatif untuk lebih menggali potensi-potensi daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Tambunan, 2006). Dalam buku Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2013 menunjukan bahwa di masing-masing daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat memiliki pendapatan yang berbeda-beda. Ada yang memiliki pendapatan asli daerah yang paling tinggi dan ada juga daerah yang memiliki pendapatan rendah. Pada tahaun 2011 dan 2012 daerah yang memiliki pendapatan paling tinggi diantara Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor sebesar Rp. 685,121.4 juta naik sebesar 41.72 persen dari tahun sebelumnya, Rp. 1,068,548.5 juta naik sebesar 35.88 persen dari tahun sebelumnya, dan di tahun 2013 daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah paling tinggi yaitu Kota Bandung sebesar Rp. 1,442,775.2 juta, naik sebesar 30.30 persen dari tahun sebelumnya. Daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerahnya paling rendah yaitu Kota Banjar, tahun 2011 dan 2012 menduduki Pendapatan Asli Daerah paling rendah yaitu sebesar Rp. 45,952.4 juta atau naik sebesar 18.69 persen, Rp. 54,684.7 juta, naik sebesar 15.97 persen dari tahun sebelumnya. Namun pada tahun 2013 Kabupaten Tasikmalaya merupakan daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah paling rendah yaitu sebesar Rp. 70,474.2 juta, atau meningkat sebesar 13.48 persen. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel 1.2 Rahmawati (2010) Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap masing- masing daerah berbeda-beda. Daerah yang memiliki kemajuan dibidang industri dan memiliki kekayaan alam yang melimpah cenderung memiliki PAD jauh lebih besar

6 dibanding daerah lainnya, begitu juga sebaliknya. Disatu sisi ada daerah yang sangat kaya karena memiliki PAD yang tinggi dan disisi lain ada daerah yang tertinggal karena memiliki PAD yang rendah. Oleh karena itu, pemerintah daerah seharusnya lebih giat untuk meningkatkan dan menggali sumber-sumber yang dapat meningkatkan pendapatan yang sesuai dengan undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat selama melaksanakan otonomi dan desentralisasi yaitu relatif rendahnya kemandirian di bidang pembiaayaan yang bersumber dari PAD. Menurut Edison (2006) sebagai konsekuensi di dalam melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah daerah dituntut untuk mampu membiayai penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Hal ini menandakan bahwa daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat harus berusaha untuk mampu meningkatkan PAD yang merupakan tolak ukur bagi daerah dalam mewujudkan otonomi daerah. Akan tetapi kenyataannya yang terjadi di masing-masing daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tidak mampu membiayai pengeluarannya sendiri jika hanya menggandalkan dari sektor Pendapatan Asli Daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan dalam Undang-Undang No. 33 th 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. UU ini menegaskan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintahan pusat akanmentransferkan Dana Perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan tersebut terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari bagi hasil pajak pusat. Tujuan dari

7 transfer pusat yaitu untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah dan tercapainya setandar pelayanan publik. Dalam buku Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2013 menunjukan bahwa Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat memiliki tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat dalam bentuk Dana Perimbangan (DP) di masing masing daerah yang berbeda-beda. Ada yang memiliki tingkat ketergantungan yang paling tinggi ada juga yang memiliki tingkat ketergantungan yang paling rendah. Daerah yang memiliki tingkat ketergantungan paling tinggi yaitu Kabupaten Bogor rsebesar Rp. 1,781,177.9 juta, Rp. 2,048,587.8 juta, Rp. 2,310,876.7 juta atau rata-rata naik sebesar 11.30 persen. Daerah yang memiliki tingkat ketergantungan paling rendah terhadap pemerintah pusat dari tahun 2011-2013 yaitu Kota Banjar sebesar Rp. 308,268.8 juta, Rp. 362,717.5 juta, Rp. 395,528.1 juta atau rata-rata naik 11.11 persen. Besarnya nilai transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan, seharusnya menjadi penggerak agar dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan fungsinya, PAD seharusnya merupakan aspek penting dalam keberhasilan pelaksanaan otonomi. Kenyataan yang terjadi adalah dana transfer justru dijadikan sebagai sumber penerimaan utama daerah dibandingkan dengan PAD. Kondisi ini ditunjukkan dengan besarnya dana perimbangan yang diterima pemerintah daerah di masingmasing daerah kab/kota di provinsi jawa barat yang tidak sebanding dengan nilai pendapatan asli daerah (PAD) yang mampu dikumpulkan oleh daerah. Rochmansyah

8 (2010) menjelaskan bahwa sumber penerimaan daerah dalam konteks otonomi dan desentralisasi untuk saat ini masih didonminasi oleh bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana Perimbangan sedangkan proporsi PAD masih relatif kecil. Faktor lain yang mempengaruhi Belanja Daerah (BD) yaitu Jumlah Penduduk (JP). Jumlah Penduduk yang besar bagi pemerintah daerah oleh para perencana pembangunan dipandang sebagai asset modal dasar pembangunan tetapi sekaligus juga sebagai beban pembangunan. Sebagai asset apabila dapat meningkatkan kualitas maupun keahlian atau ketrampilannya sehingga akan meningkatkan produksi nasional. Jumlah Penduduk yang besar akan menjadi beban jika struktur belanja daerah rendah. Perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar akan memerlukan anggaran yang semakin besar. Sebab meningkatnya jumlah penduduk menuntut konsekuensi logis adanya peningkatan sarana dan prasarana umum, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Dalam buku Jawa Barat dalam angka Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa barat yang paling banyak selama 2011-2012 diduduki oleh kabupaten bogor sebanyak 4,922,205 jiwa, 4,989,939 jiwa, 5,111,769 jiwa. dan Jumlah Penduduk paling sedikit yaitu berada di Kota Banjar sebanyak 197,338 jiwa, 203,512 jiwa, 187,183 jiwa. Di tahun 2013 Jumlah Penduduk Kota Banjar mengalami penurunan. hal tersebut dikarenakan Kota Banjar berbatasan dengan daerah yang baru dimekarkan yaitu Kabupaten Pangandaran. Sehingga, sebagian dari Jumlah Penduduk Kota Banjar masuk ke Kabupaten Pangandaran. Dengan semakin bertambahnya

9 penduduk di masing masing daerah akan semakin besar pula belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah. Simon dalam Todaro (2006) mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk bukanlah suatu masalah. Melainkan sebaliknya justru merupakan unsur penting yang berdampak positif dan bermanfaat bagi pembangunan ekonomi suatu daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dalam melaksanakan otonomi daerah yaitu relatif rendahnya pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan lebih di dominasi oleh dana transfer dalam bentuk Dana Perimbangan, dan juga kurang mampunya memberdayakan penduduk. Jadi, pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya lebih mengutamakan Dana Perimbangan dibandingkan dengan menggali sumber daya alam yang ada dan meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang akhirnya akan menambah pendapatan bagi daerah. hal tersebut dapat mempengaruhi Belanja Daerah (BD) di masing masing daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan latar belakang, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Periode 2008-2013. 1.2 Identifikasi Masalah Dari latar belakang di atas, permasalahan yang penulis munculkan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana

10 Perimbangan (DP) dan Jumlah Penduduk (JP) terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013 secara parsial dan bersama-sama? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah: Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (DP) dan Jumlah Penduduk (JP) terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013 secara parsial dan bersama-sama. 1.4 Kegunaan Penelitian Berdasarkan penjelasan di atas, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kegunaan dan manfaat untuk berbagai pihak : 1. Kepentingan akademis, memberikan tambahan informasi dalam wacana akademik yang berkaitan dalam ilmu ekonomi khususnya ilmu ekonomi moneter sehingga dapat dijadikan masukan, referensi serta perkembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang. 2. Kepentingan Praktis, diharapkan dapat membantu pihak-pihak perumus ataupun bagi para pengambil keputusan di pemerintahan yang berhubungan dengan masalah yang ada dalam penelitian ini. 3. Untuk penulis, untuk melengkapi program perkuliahan S1, program studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan dan sebagai

11 salah satu media latih untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan sesuai disiplin ilmu yang dipelajari.