PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERINTEGRASI DI INDONESIA. Dirhamsyah 1)

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... iii I. PENDAHULUAN... 1 II. KONSEP PENGELOLAAN... 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

Pengelolaan Kawasan Pesisir Dan Kelautan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

PB 10 STRATEGI UMUM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

KERANGKA HUKUM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERDASARKAN KONSEP INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT DALAM RANGKA PEMBANGUNAN KELAUTAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN Tujuan Penulisan Laporan

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perlindungan Terhadap Biodiversitas

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya merupakan perairan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

PERJALANAN PANJANG PERKEMBANGAN KONSEPSI PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMANFAATAN SURVAI DAN PEMETAAN LAUT DALAM RANGKA MENGOPTIMALISASIKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT INDONESIA

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

LAMUN: KEHIDUPAN, PEMANFAATAN DAN PELESTARIANNYA

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

MODUL SISTEM EKONOMI INDONESIA (2 SKS) PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (SUSTAINABLE DEVELOPMENT) & HAMBATAN PEMBANGUNAN

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENEGAKAN HUKUM LAUT DI INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Hukum Laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB II PENGATURAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM HUKUM NASIONAL. D. Pengertian Pengelolaan Terumbu Karang dan Lingkungan Hidup

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN KOMITMEN GLOBAL INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

7. SIMPULAN DAN SARAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. PBB tentang lingkungan hidup pada bulan Juni Pemerintah Indonesia

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perencanaan

SUSTAINABLE DEVELOPMENT : Paradigma baru metode Memadukan Pembangunan Ekonomi Dan Lingkungan. Oleh Dewi Triwahyuni

HUKUM DAN KEBIJAKAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (PB) Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY 2008

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Puji dan syukur di panjatkan kehadirat Allh swt, yang telah memberikan rachmat dan hidayah-

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

Oseana, Volume XXXI, Nomor 1, Tahun 2006 : 21-26 ISSN 0216-1877 PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERINTEGRASI DI INDONESIA Oleh Dirhamsyah 1) ABSTRACT INTEGRATED COASTAL ZONE MANAGEMENT (ICZM). The concept of ICZM is one of approaches of the management of coastal and marine areas that has been used by many coastal nations in the world. This concept has been introduced since few decades ago. The use and implementation of ICZM concept has been suggested by most of international conferences and conventions on the management of coastal and ocean in the world. As a country member of international conferences and conventions, it is necessary for Indonesia to use and implement the concept of ICZM in managing the activities in its marine sector. PENDAHULUAN Diberlakukannya secara efektif Konvensi Hukum Laut Internasional (The Law of the Sea Convention) pada tahun 1994 menetapkan Indonesia, sebagai suatu negara kepulauan yang terbesar di dunia, secara hukum internasional. Indonesia memiliki 17.506 pulau besar dan kecil. Dengan total garis pantai yang diperkirakan sepanjang 81.000 km, Indonesia juga ditetapkan sebagai suatu negara yang memiliki panjang garis pantai terpanjang nomor 2 di dunia, di bawah Kanada. Wilayah laut dan pesisir adalah kawasan yang sangat penting bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Hampir 60% dari total penduduk Indonesia, tinggal dan beraktivitas di kawasan laut dan pesisir (DAHURI, 1995). Lebih dari 14 juta penduduk atau ± 7,5% dari total penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya pada kegiatan yang ada di kawasan ini (DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN, 2003). Sekitar 26% dari total Produk Domestik Bruto (Gross National Product / GDP) Indonesia disumbangkan dari kegiatan dan sumberdaya laut dan pesisir (DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN, 2003). Wilayah laut dan pesisir Indonesia juga merupakan kawasan yang penting untuk lingkungan hidup di dunia. Indonesia diakui sebagai pusat keragaman hayati dunia untuk biota-biota laut dan pesisir, termasuk terumbu karang, ikan karang, moluska dan mangrove (TOMASCIK et al., 1997). Laut dan pesisir Indonesia adalah habitat bagi 47 jenis mangrove (KANTOR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, 2004), hampir 30% dari hutan mangrove di dunia atau sekitar 4,25 juta hektar berada di Indonesia (HINRICHSEN, 1) Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI, Jakarta. 21

1998). Diperkirakan 75.000 km² atau 14% dari luas terumbu karang yang ada di dunia hidup di perairan Indonesia (CESAR, 1996). Seluruh dari 15 suku karang yang ada dunia juga hidup di perairan Kepulauan Nusantara, dengan total sekitar 80 marga dan 452 jenis yang sudah diidentifikasi sampai saat ini (PET-SOEDE et al, 2002). Wilayah laut dan pesisir Indonesia juga ditumbuhi oleh kurang lebih 15 dari 52 jenis lamun (seagrass) yang ada di dunia (KURIANDEWA, 2003). Luas padang lamun di perairan Indonesia diperkirakan sebanyak 3 juta hektare (KURIANDEWA, 2003). Namun sayangnya, pengelolaan yang kurang bijaksana telah menyebabkan banyak ekosistem laut dan biota-biota laut tertentu mengalami penurunan kualitas dan jumlah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 2000, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI melaporkan bahwa lebih dari 70% terumbu karang di Indonesia dalam kondisi buruk dan sedang, hanya sekitar 29% dari total seluruh karang di Indonesia dalam kondisi baik dan sangat baik (NONTJI, 2000). Eksploitasi yang tak terkendali juga telah menyebabkan kerusakan hampir 40% dari total hutan mangrove yang dimiliki oleh Indonesia (HINRICHSEN, 1998). Beberapa pakar kelautan berpendapat bahwa penurunan kualitas ekosistem laut dan biota di dalamnya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: lemahnya penegakan hukum; lemahnya koordinasi antar instansi pemerintah; tingginya tekanan ekonomi kepada para nelayan yang menyebabkan tekanan terhadap ekosistem laut juga semakin tinggi; ketiadaan kebijakan nasional dalam pembangunan kelautan; rendahnya kesadaran masyarakat tentang manfaat dari ekosistem laut untuk kepentingan umat manusia; dan kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan ekosistem laut yang terintegrasi, bijaksana dan berkesinambungan (integrated coastal zone management) (DAHURI, 1995; NONTJI, 2000; DIRHAMSYAH, 2005). Tulisan ini bertujuan untuk ikut membantu memecahkan masalah rendahnya pengetahuan terhadap pengelolaan ekosistem laut yang terintegrasi, bijaksana dan berkesinambungan. Beragamnya aspek yang perlu dibahas dalam ICZM mengharuskan tulisan ini disajikan dalam beberapa seri bahasan. Seri pertama ini akan membahas beberapa aspek dalam ICZM yaitu: definisi wilayah laut dan pesisir; konsep ICZM; sejarah dan perkembangan ICZM di tingkat internasional. DEFINISI KAWASAN PESISIR DAN LAUT Menetapkan definisi dan batasan dari kawasan pesisir dan laut adalah sesuatu yang sangat penting sebelum pembahasan rinci arti dan tujuan dari konsep ICZM dilaksanakan. Eratnya hubungan antar ekosistem-ekosistem pesisir, menyebabkan sulit untuk menetapkan definisi dan batasan area dari kawasan pesisir secara pasti. Banyak definisi tentang arti dan batas wilayah pesisir telah dibuat oleh pakarpakar ilmu kelautan dan pesisir didunia. Diantaranya yang terkenal yaitu SORENSEN and MCCREARY. Dalamnya yang berjudul Institutional Arrangement for Managing Coastal Resources and Environments, SORENSEN & MC CREARY (1990) mendefinisikan kawasan pesisir adalah: perbatasan atau ruang tempat berubahnya dua lingkungan utama, yaitu laut dan daratan. Lebih lanjut dalam kenyataannya, juga terdapat beberapa definisi kawasan pesisir yang dipergunakan oleh beberapa negara kelautan yang ada di dunia. 22

KAY & ALDER (1999) menyatakan bahwa terdapat 4 cara untuk menetapkan kawasan pesisir. 1. Fixed distance definitions Penentuan kawasan pesisir dihitung dari batas antara daratan dan air laut, biasanya penghitungan dilakukan dari batas teritorial pemerintahan, contoh dihitung dari batas territorial laut. 2. Variable distance definitions Penentuan batas kawasan pesisir ditetapkan berdasarkan beberapa perhitungan/ ukuran yang ada di kawasan pesisir, seperti diukur dari batas air tertinggi. Namun batas kawasan tidak ditetapkan secara pasti, tetapi juga tergantung kepada variabel-variabel tertentu yang ada di kawasan tersebut, antara lain: konstruksi tapal batas, tanda-tanda alam baik berupa fisik maupun biologi, dan batas administratif. 3. Definition according to use Penetapan kawasan pesisir ditetapkan berdasarkan definisi apa yang akan dipakai. Kadang-kadang suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan pesisir berdasarkan masalah/ issue apa yang akan dipecahkan. Cara ini biasanya dipergunakan oleh negara besar atau lembaga internasional tertentu. 4. Hybrid definition Tehnik ini mengadopsi lebih dari satu definisi atau mencampurkan lebih dari dua tipe definisi dari kawasan pesisir. Konsep ini umum dipergunakan oleh pemerintahan, contoh, Pemerintah Amerika Serikat dan Australia mengadopsi cara ini. Beberapa Negara Bagian di Australia mengukur kawasan pesisirnya 3 mil dari garis pantai, sedangkan beberapa negara bagian lainnya menetapkan kawasan pesisirnya termasuk kawasan yang berada di darat. Kompleksnya proses dan rentannya kawasan pesisir yang disebabkan adanya interaksi antara manusia dan alam membutuhkan perencanaan dan penanganan yang menyeluruh untuk memecahkan tekanantekanan yang ada di kawasan pesisir. Perencana dan pengambil keputusan dalam pengelolaan kawasan pesisir tidak boleh hanya melihat permasalahan yang ada hanya dari satu sisi saja, namun harus melihatnya secara keseluruhan. KONSEP ICZM Pengelolaan Kawasan Pesisir secara terintegrasi (Integrated Coastal Zone Management/ICZM), adalah suatu pendekatan yang menyeluruh yang dikenal dalam pengelolaan kawasan pesisir. Metodologi dari ICZM ini telah dikembangkan secara hati-hati sejak beberapa dekade yang lalu. Beberapa definisi dari ICZM ini telah diperkenalkan oleh beberapa pakar kelautan dan pesisir yang ada didunia. Satu diantara definisi yang cocok diberikan oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation Development / OECD): ICZM adalah suatu kesatuan sistem yang terintegrasi yang memiliki hubungan terhadap tujuan lokal, regional, nasional dan internasional. ICZM ini memfokuskan diri kepada interaksi antar berbagai kegiatan dan pengelolaan sumberdaya yang ada didalam kawasan pesisir dan antar kegiatan-kegiatan yang berada di suatu kawasan pesisir dengan kegiatankegiatan lainnya yang berada di daerah lain (OECD, 1993). Konsep ini membutuhkan kemampuan kelembagaan untuk menangani masalahmasalah inter sektoral seperti, lintas disiplin 23

ilmu, kewenangan-kewenangan dari lembaga pemerintah dan batas-batas kelembagaan (HINRICHSEN, 1998). SEJARAH PERKEMBANGAN ICZM DI DUNIA INTERNASIONAL Konsep ICZM ini telah muncul di beberapa konvensi dan konferensi internasional, seperti Konvensi Hukum Laut Internasional; Konferensi Bangsa-bangsa untuk Lingkungan Hidup dan Manusia (the United Nations Conference on the Human Environment) yang diselenggarakan pada tahun 1972 di Stockholm; Konferensi Bangsabangsa untuk Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environment and Development / UNCED) yang diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, yang disebut juga dengan Konferensi Bumi (Earth Summit); dan pertemuan dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (the World Summit for Sustainable Development) yang diselenggarakan pada tahun 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan. Konvensi Hukum Laut Internasional memberikan suatu dasar-dasar pengelolaan laut di dunia. Konvensi ini tidak hanya mengatur hak dari negara-negara pantai, tetapi juga mengatur kewajiban dan tugas-tugas dari negara-negara anggota dalam hal pengelolaan lautnya (CICIN-SAIN & KNECHT, 1998). Secara khusus Hukum Laut International mengamanatkan perlunya kawasan laut dan pesisir dikelola secara terintegrasi. Seperti yang tercantum dalam pembukaan (preamble) dari Konvensi Hukum Laut Internasional: bahwa masalah-masalah yang terjadi di laut mempunyai hubungan yang sangat erat satu sama lainnya, oleh karena itu membutuhkan pertimbangan secara menyeluruh dalam setiap pemecahan permasalahannya. Konferensi Bangsa-Bangsa untuk Lingkungan Hidup dan Manusia tahun 1972 berfokus kepada hubungan antara pembangunan ekonomi dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Salah satu hasil yang signifikan dari konferensi tersebut adalah pembentukan suatu lembaga internasional baru yang bertugas mengkoordinir kegiatankegiatan lingkungan hidup dalam sistem Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), yang dikenal dengan Program Lingkungan Hidup PBB (the United Nations Environment Programme / UNEP). UNEP dibentuk secara formal oleh Sidang Umum PBB yang ke 1972. Tujuan utama dari Earth Summit adalah mendapatkan pengertian tentang pembangunan yang dapat memberikan bantuan kepada pembangunan ekonomi, mencegah penurunan kualitas lingkungan, dan mengembangkan suatu fondasi untuk kerjasama global antara negara-negara berkembang dengan negara-negara industri (EARTH SUMMIT, 2003). Satu dari rekomendasi dasar yang dikeluarkan dari UNCED yaitu perlunya pengelolaan nasional pesisir dan laut, termasuk Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) secara terintegrasi di dalam perencanaan dan implementasinya di lapangan (CICIN-SAIN & KNECHT, 1998). Agenda 21 adalah salah satu output yang dihasilkan dalam Konferensi Bumi yang diselenggarakan di Rio de Janeiro. Bagian (Chapter) 17 dari Agenda 21 adalah bagian khusus dari Agenda 21 yang mengatur secara khusus pengelolaan lingkungan hidup laut. Terdapat tujuh program utama yang termasuk dalam Chapter 17 dari Agenda 21. Ketujuh program tersebut adalah: (a) Kawasan laut dan pesisir, termasuk ZEE harus dikelola secara terpadu dan berkelanjutan; (b) Perlindungan lingkungan hidup laut; (c) Sumberdaya dan biota laut yang berada di laut bebas (highseas) harus dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan; (d) Sumberdaya dan biota laut yang berada di perairan nasional (national jurisdiction) harus dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan; (e) Memecahkan 24

masalah ketidakpastian dalam pengelolaan lingkungan hidup laut dan perubahan iklim; (f) Memperkuat kerjasama internasional, termasuk kerjasama dan koordinasi regional; dan (g) Pulau-pulau kecil harus dibangun secara berkelanjutan (UNDSD, 2003). Dokumen UNCED secara khusus meminta agar kebijakan, proses pengambilan keputusan dan kelembagaan dalam pengelolaan kawasan laut dan pesisir dapat dilaksanakan secara terpadu. Seperti yang dinyatakan pada Sub-bagian 17.5 dari Agenda 21: Negara-negara pantai komit untuk melakukan pengelolaan kawasan laut dan pantainya serta lingkungan laut yang berada dalam jurisdiksi nasionalnya secara berkelanjutan dan terintegrasi. Pada akhirnya, itu suatu keharusan bagi negara-negara pantai untuk menjalankan kebijakan dan proses pengambilan keputusan secara terintegrasi, termasuk semua sektor yang terlibat untuk meningkatkan kecocokan dan kesimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya.. (UNDSD, 2003). Oleh karena itu, adalah suatu keharusan bagi sebuah negara pantai untuk mendefinisikan dan mengoperasionalkan konsep-konsep kunci dan memerinci secara spesifik langkah-langkah bagi pemerintah nasional atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menterjemahkan konvensikonvensi dunia dalam ICZM. Sebagai negara anggota dari beberapa konvensi dan konferensi dunia tentang pengelolaan kelautan wajar bagi Indonesia untuk ikut juga memepergunakan dan menerapkan konsep ICZM ini dalam pengelolaan sektor kelautannya. PENUTUP Tulisan kali ini ditutup dengan kesimpulan bahwa konsep ICZM adalah salah satu pendekatan yang telah diambil oleh banyak negara pantai di dunia. Konsep ICZM sudah dikenal di forum internasional sejak tahun 1992. Hampir di sebagian besar konvensi internasional tentang pengelolaan laut dan lingkungan menyarankan penggunaan konsep ICZM ini di dalam pengelolaan sumberdaya laut dan aktivitas-aktivitas kelautan lainnya. Telah banyak keberhasilan yang telah dicapai oleh negara-negara pantai di dunia dalam menerapkan konsep ICZM. Oleh karena itu layak bagi Indonesia untuk menerapkan konsep ICZM ini sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah yang dihadapinya dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir serta aktivitas-aktivitas lainnya di sektor kelautan. DAFTAR PUSTAKA CESAR, H. 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs, the World Bank, Environment Department., pp. 9. CICIN-SAIN, B. and R. KNECHT 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices, Island Press, Washington, D.C., 517 pp. DAHURI, R. 1995. Indonesia: National Status and Approaches to Coastal Management, in Hotta, K and Dutton, I.M. Coastal Management in the Asia- Pacific Region: Issues and Approaches, Tokyo, JIMSTEF DIRHAMSYAH 2005. Indonesian Legislative Framework for Coastal and Coral Reef Resources Management: A Critical Review and Recommendation. Ocean and Coastal Management Journal No. 2409. 25

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2003. Urgensi RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil. http://www.dkp.org (akses pada tanggal 20 Juli 2003). EARTH SUMMIT 2003. UN Conference on Environment and Development (1992), in United Nations websites: http:// www.un.org/geninfo/bp/enviro.html (akses pada tanggal 28 Maret 2004). HINRICHSEN, D. 1998. Coastal Waters of the World: Trends, Threats, and Strategies, Island Press, Washington, D.C., 275 pp. KANTOR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP 2004. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia; KAY, R. and J. ALDER 1999. Coastal Planning and Management, London: E & FN SPON., 375 pp. NONTJI, A. 2000. Coral Reefs of Indonesia: Past, present and future. In Proceedings of International Coral Reef Symposium. Bali, 23-27, 2000, pp.17-27. 2002. Integrated Marine Management Concessions A New Approach to An Old Problem. Dalam Bengen, D.G., Arthana, I.W., Dutton, I.M., Tahir, A., and Burhanuddin (eds.) Prosiding Konperensi Nasional III 2002., pp. v- 35-v-48. SORENSEN, J.C. and S.T. MCCREARY 1990. Institutional Arrangement for Managing Coastal Resources and Environments, 2 nd edn, National Park Service, U.S. Department of the Interior and U.S. Agency for International Development., 194 pp. TOMASCIK, T.; A.J. MAH; A. NONTJI & M.K. MOOSA 1997. The Ecology of Indonesian Seas. (2 volumes). Hong Kong, Periplus Edition. UNITED NATIONS DIVISION FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT / UNDSD 2003. Agenda 21, in UNDSD website: http://www.un.org/esa/ sustdev/agenda21/english/ agenda21chapter17.htm (akses pada tanggal 2 Maret 2004). PET-SOEDE, L.; A. MERKL.; J. CLAUSSEN.; H. THOMPSON.; and D. WHEELES 26