HUKUM DAN KEBIJAKAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUKUM DAN KEBIJAKAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN"

Transkripsi

1 IX HUKUM DAN KEBIJAKAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN Tujuan pembelajaran: Memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Juga, menelusuri kebijakan operasional pemerintah dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi kawasan konservasi. Ketentuan hukum dianalisis dari prinsip-prinsip global dalam bentuk konvensi maupun kode etik bersama. Ketentuan konvensi biasanya memerlukan peraturan ratifikasi pada tingkat nasional. Sedangkan ketentuan kode etik langsung dijabarkan dalam bentuk program aksi, tanpa ketentuan hukum yang mengikat (soft law). 9.1 Definisi Ada tiga terminologi penting yang sering digunakan dalam pembahasan pada bab ini, ialah: hukum, peraturan, dan kebijakan. Definisi dari ketiga istilah ini agak sulit dirumuskan karena masingmasing ahli hukum mempunyai pandangan yang berbeda. Definisi istilah tersebut pada bahasan ini dibuat melalui sintesis berbagai definisi yang berbeda dan disesuaikan dengan kepentingan konservasi. Hukum didefinisikan sebagai suatu sistem aturan atau adat dalam bidang Kawasan Konservasi Perairan, ditetapkan oleh lembaga atau instansi yang berwenang, sebagai pedoman tindakan seluruh masyarakat Indonesia, mengikat dan dikenakan sanksi jika terjadi pelanggaran sistem aturan ialah berbagai komponen peraturan yang terkait satu sama lain menjadi satu kesatuan. Peraturan didefinisikan sebagai tatanan, petunjuk, kaidah atau ketentuan yang dibuat untuk mencapai sasaran (goal) dari pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Dengan demikian, hukum tentang Kawasan Konservasi Perairan bisa dikatakan sebagai himpunan seluruh peraturan yang saling terkait satu sama lain dan mengatur tentang pengelolaan kawasan. Kebijakan ialah rangkaian konsep dan asas terkait dengan kawasan konservasi yang menjadi pedoman dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi untuk mencapai tujuan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan berbeda dari prosedur atau protokol dia menentukan apa dan mengapa suatu tindakan konservasi diperlukan. Sedangkan prosedur atau protokol mencakup keseluruhan tentang apa, siapa, bagaimana, dimana, dan kapan kegiatan dilakukan untuk mencapai sasaran (tujuan) Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan juga bisa dikatakan sebagai pernyataan kehendak, statement of intent, atau komitmen 325 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

2 untuk melakukan tidakan yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian sasaran pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. 9.2 Peraturan dan Kebijakan Dibidang Kawasan Konservasi Perairan Perkembangan hukum dan kebijakan dalam bidang Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia sangat terkait dengan keharusan atau komitmen bangsa untuk mengadopsi ketentuan hukum internasional tentang konservasi kawasan. Selain itu, pemerintah juga mengadopsi beberapa prinsip Standar Tingkah Laku Internasional (global) tanpa mengesampingkan identitas bangsa dan ketentuan hukum dan kebijakan di Indonesia. Dengan demikian, penyerasian proses hukum dan kebijakan secara internasional dilakukan karena kewajiban dan tanggung jawab negara kepada dunia global serta adopsi kode etik yang sesuai dan memungkinkan untuk dilakukan di wilayah perairan Indonesia. 9.3 Peraturan dan Kebijakan Internasional dan Regional Pada tanggal 13 Desember tahun 1957, Indonesia menyatakan secara sepihak Wilayah Perairan Nusantara yang disebut dengan Deklarasi Djuanda. Pada saat yang hampir sama, dunia membahas kepentingan usaha penangkapan ikan dan konservasi sumber daya ikan di lepas pantai. Hak Indonesia sebagai negara berdaulat atas wilayah perairan akhirnya diterima pada tahun Namun pada saat yang sama, kita juga harus bertanggung jawab untuk menyusun langkah-langkah nyata terkait dengan konservasi sumber daya ikan di lepas pantai melalui konservasi di dalam Wilayah Perairan Nasional. Secara berurutan ketentuan hukum, peraturan dan kebijakan global yang mendorong berkembangnya Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, ialah sebagai berikut: 1) Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas ) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982; 3) Agenda 21 UNCED (United Nations Convention on Environment and Development); 4) United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), 1992; 5) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), 1992; 6) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), 1995; Sedangkan beberapa ketentuan regional yang terkait, antara lain ialah: 1) Coral Triangle Initiative (CTI) on Coral Reefs, Fisheries and Food Security, 2007; 2) Arafura Timor Seas Expert Forum (ATSEF) Konvensi Jenewa, 1958 Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional tentang hukum laut (Conference on the Law of the Sea) di Jenewa Swiss. Indonesia berhasil mengirim delegasi untuk ikut dalam koferensi. Pertemuan memutuskan 3 (tiga) konvensi sebagai berikut: a) Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas, b) Convention on the Continental Shelf, dan 326 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

3 c) Convention of the High Seas. Ketiga konvensi ditanda tangani pada tanggal 29 April 1958 dan mulai berlaku efektif pada tanggal 20 Maret Indonesia, secara formal menyetujui (ratifikasi) ketiga konvensi Jenewa melalui Undang-Undang No. 19 tahun Ketentuan tentang Kawasan Konservasi Perairan terutama tercantum pada konvensi pertama, Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas, antara lain ialah: Setiap negara pantai (coastal state) mempunyai hak untuk menangkap ikan di wilayah perairan nasionalnya. Namun pada saat yang sama, setiap negara pantai berkewajiban mengadopsi atau bekerja sama dengan negara lain dalam melakukan langkah-langkah nyata terkait dengan konservasi di wilayah perairan nasionalnya untuk kepentingan konservasi sumber daya hayati di lepas pantai (high seas); Ekspresi dari konservasi sumber daya hayati lepas pantai merupakan ukuran agregat dari hasil tangkap optimal yang diperbolehkan bagi masing-masing negara pantai; Setiap negara pantai harus melaksanakan program konservasi dengan mengutamakan ketahanan pangan dan penyediaan ikan bagi konsumsi masyarakat global. Teks pada konvensi, menyebutkan kata konservasi sampai 20 kali dalam 22 pasal di dalam konvensi. Konservasi dinyatakan sebagai salah satu alat pemanfaatan sumber daya hayati laut secara berkelanjutan. Kata konservasi, di Indonesia didefinisikan melalui tiga kata kunci, ialah perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara berkelanjutan dari sumber daya atau keanekaragaman hayati. Sedangkan tingkatan konservasi dibedakan menjadi kategori: konservasi kawasan (in-situ), konservasi spesies dan konservasi genetik United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982 Draft final United Nations Convention on the Law of the Sea diselesaikan pada sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-tiga di New York, tertanggal 30 April UNCLOS ditanda tangani oleh 118 negara (termasuk Indonesia) pada tanggal 9 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Mulai saat itu, UNCLOS dinyatakan mulai berlaku dan mengikat semua negara anggota PBB. Selain ikut menjadi pelaku dalam menanda tangani perjanjian tersebut, secara resmi Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi melalui Undang-Undang No. 17 tahun Beberapa ketentuan yang mengatur konservasi di wilayah laut negara pantai ialah sebagai berikut: Setiap negara pantai (coastal state), berdasarkan informasi terbaik yang tersedia, harus melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam konservasi dan perlindungan sumber daya hayati untuk mencegah penangkapan (pengambilan) berlebih dari sumber daya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif masing-masing negara pantai; Setiap negara pantai diharuskan bekerja sama dengan organisasi internasional, baik pada tingkat subregional, regional maupun pada tingkat global dalam menjamin kelangsungan atau konservasi sumber daya hayati laut di wilayah negaranya; Setiap negara pantai yang menangkap ikan di wilayah perairannya harus mengikuti ketentuan konservasi yang berkalu. Setiap negara pantai harus menyampaikan tata waktu terkait dengan penyelesaian peraturan konservasi dan pengelolaan sumber daya di wilayah nasionalnya; Teks pada UNCLOS menyebutkan kata konservasi sampai 34 kali, sebagai alat untuk mempertahakan perikanan secara berkelanjutan. 327 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

4 9.3.3 United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), 1992 UNCBD ialah salah satu hasil konvensi pada Agenda 21 yang dicetuskan oleh PBB di Rio de Jeneiro Brasil, pada tanggal 13 Juni tahun Agenda 21 menghasilkan 40 konvensi yang tersusun dalam 4 (empat) bagian besar. Salah satu konvensi yang dihasilkan ialah UNCBD, terkait dengan kawasan konservasi (in-situ conservation). Tujuan utama dari aturan dalam teks UNCBD ialah: mencapai konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati, dan pembagian secara adil terhadap keuntungan yang timbul dari pemanfaatan sumber daya hayati. Secara keseluruhan, tujuan konvensi ialah untuk mendorong kegiatan aksi yang mengarah pada usaha pemanfaatan berkelanjutan. Beberapa ketentuan dalam konvensi tersebut ialah: Sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan azas-azas hukum internasional, setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber dayanya sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional negara tersebut. Namun setiap negara juga harus mengemban tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksi-nya atau kendalinya tidak akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasionalnya; Setiap negara, dengan kondisi dan kemampuan khususnya, wajib mengembangkan strategi, rencana atau program nasional untuk konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati atau menyesuaikan strategi, rencana atau program yang sudah ada untuk maksud tersebut, yang harus mencerminkan, diantaranya, upaya yang dirumuskan dalam konvensi ini yang berkaitan dengan kepentingan negara masing-masing; Setiap negara wajib memadukan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program dan kebijakan sektoral atau lintas sektoral yang berkaitan, sejauh yang mungkin dilakukan; Setiap negara wajib mengembangkan sistem kawasan konservasi atau kawasan yang memerlukan penanganan khusus untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati; Setiap negara wajib mengembangkan pedoman untuk penyelesaian, pendirian dan pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan-kawasan yang memerlukan upaya-upaya khusus untuk konservasi keanekaragaman hayati; Setiap negara wajib mengusahakan terciptanya kondisi yang diperlukan untuk keselarasan antara pemanfaatan kini dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara berkelanjutan komponen komponennya; United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) UNFCCC juga merupakan bagian dari Agenda 21, termasuk dalam 40 konvensi yang dihasilkan dari pertemuan tersebut. Konvensi ditanda tangani di Rio de Jeneiro pada tanggal 16 Juni 1992, oleh 178 negara, termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia memandang perlu dan meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang No. 6 tahun Teks yang tertuang dalam konvensi tidak secara khusus membahas kepentingan kawasan konservasi. Hal ini disebabkan karena materi pembahasan utama terkait dengan perubahan iklim global. Namun peran Kawasan Konservasi Perairan (MPA) selalu dibahas pada setiap pertemuan IPCC (Inter-Governmental Parties on Climate Change). 328 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

5 9.3.5 Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), 1995 Untuk mencegah terjadinya penangkapan berlebih, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menetapkan suatu kode etik perikanan yang bertanggung jawab, Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Dalam kode etik, ditentukan prinsip-prinsip standar tingkah laku internasional tentang praktek-praktek yang bertanggung jawab terkait dengan (termasuk) usaha penangkapan ikan. Walaupun bersifat sukarela, ketentuan dalam kode etik bersifat global, ditujukan bagi negara, pemerintah maupun non-pemerintah dan seluruh pihak swasta perikanan baik yang menjadi anggota maupun bukan anggota PBB. CCRF diadopsi sejak tanggal 31 Oktober 1995, dan termasuk kategori soft law. Dengan demikian Pemerintah Indonesia tidak merasa perlu untuk menetapkan peraturan khusus dalam meratifikasi CCRF. Seluruh aturan dalam CCRF ditujukan untuk membantu negara-negara pantai di dunia dalam membangun dan mengembangkan perikanan, dengan dasar pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya perikanan. CCRF menjelaskan bagaimana perikanan harus diatur secara bertanggungjawab, dan bagaimana kegiatan perikanan harus diterapkan sesuai dengan peraturan nasional masing-masing negara. Walaupun tidak menyebutkan Kawasan Konservasi Perairan secara khusus, CCRF memandang konservasi sebagai salah satu pendekatan yang sangat penting dalam pengelolaan perikanan. CCRF menyebutkan kata konservasi sampai 70 kali, dalam pendekatan pemanfaatan sumber daya perikanan berkelanjutan. Beberapa ketentuan konservasi tersebut antara lain, ialah: Para pihak dan pengguna sumber daya ikan harus melakukan tindakan konservasi terhadap ekosistem perairan (laut). Hak menangkap ikan harus diikuti dengan kewajiban untuk melakukan konservasi dan pengelolaan sumber daya perairan secara efektif Pengelolaan perikanan harus mampu mempertahankan kualitas, diversitas dan ketersediaan sumber daya ikan bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Langkah-langkah pengelolaan tidak hanya ditujukan pada konservasi ikan-ikan yang menjadi target penangkapan, tapi juga spesies lain yang menempati ekosistem yang sama dan ikan lain yang tergantung dari keberadaan ikan target; Setiap negara yang terlibat dalam penangkapan ikan di laut harus melakukan prinsip atau pendekatan kehati-hatian dalam konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya ikan sesuai dengan informasi terbaik yang tersedia saat itu. Namun kurangnya informasi ilmiah ini tidak dijadikan alasan untuk menunda langkah-langkah konservasi terhadap spesies target. Semua jenis habitat penting untuk perikanan, seperti lahan basah, bakau, terumbu karang, tempat pembesaran dan pemijahan ikan harus dilindungi dan direhabilitasi. Pengelola perikanan harus mengambil langkah-langkah yang penting untuk melindungi habitat tersebut dari perusakan, degradasi, polusi dan dampak lain yang disebabkan oleh aktifitas manusia, yang bisa menurunkan kesehatan (viabilitas) sumber daya ikan. Setiap negara, harus mengintegrasikan kepentingan perikanan tangkap, termasuk kebutuhan untuk konservasi sumber daya perikanan, dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu; Keragaman hayati pada habitat dan ekosistem perairan harus dikonservasi, ikan yang terancam punah harus dilindungi; 329 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

6 9.3.6 Coral Triangle Initiative (CTI), 2007 Pada sidang Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) tahun 2007 di Australia, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmen untuk melindungi terumbu karang di Indonesia bagi kepentingan perikanan dan ketahanan pangan. Presiden menyatakan komitmen untuk mencapai pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan secara efektif, seluas 20 juta ha pada tahun Pada saat yang sama, Presiden meminta 5 (lima) negara tetangga untuk mendukung komitmen tersebut. Gagasan ini selanjutnya dikenal dengan istilah Coral Triangle Initiative (CTI), suatu gagasan yang secara formal dicetuskan bersama oleh 6 (enam) negara, ialah: Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan kepulauan Solomon. Tujuan dan sasaran dari CTI ialah: pengelolaan wilayah bentang laut (sea scape) secara efektif, pengelolaan perikanan melalui pendekatan ekosistem, pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan atau Marine Protected Areas (MPA) secara efektif, langkah-langkah adaptasi terhadap perubahan iklim, dan peningkatan status dari spesies yang terancam mengalami kepunahan. 9.4 Analisis Hukum dan Kebijakan Internasional Tentang Kawasan Konservasi Sejak tahun 1958, Indonesia mempunyai kewajiban dan mengemban tanggung jawab untuk menerapkan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dalam usaha penangkapan ikan di wilayah perairan nasional Indonesia. Hal ini dimulai dari peran serta pemerintah dalam konvensi Jenewa yang dilanjutkan dengan penanda tanganan 3 (tiga) naskah konvensi ketika itu. Salah satu naskah konvensi ialah tentang Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. Selain itu, pemerintah juga melakukan ratifikasi terhadap ketiga naskah melalui UU No. 19 tahun Naskah konvensi mengharuskan setiap negara pantai (coastal state) untuk melakukan langkah konservasi dan pengelolaan berkelanjutan dalam operasi penangkapan ikan di wilayah perairan nasional masing-masing negara. Namun pendekatan kawasan sebagai salah satu alat ukur (tool) tidak disebutkan secara tertulis di dalam naskah konvensi Naskah konvensi Jenewa bisa dikatakan sebagai peraturan yang bersifat tidak langsung dalam perkembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Indonesia meratifikasi naskah UNCLOS melalui UU No. 17 tahun Secara strategis UNCLOS merupakan pengakuan terhadap wilayah perairan laut dari setiap negara berdaulat, termasuk Indonesia. Dengan demikian, Deklarasi Djuanda yang diumumkan sepihak oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1957 mendapat pengakuan formal setelah UNCLOS disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di dunia. Namun pada saat yang sama, Indonesia juga dikenakan tanggung jawab untuk bekerja sama dengan negara lain terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan. Konservasi ialah pendekatan penting yang harus dilakukan oleh setiap negara pantai (kata konservasi disebut 34 kali pada naskah konvensi). Namun kawasan konservasi tidak disebutkan secara tertulis sehingga UNCLOS bisa dikatakan sebagai peraturan global yang tidak langsung mempengaruhi kebijakan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Indonesia ialah peserta konperensi UNCED (United Nations Conference on Environment and Development) yang diadakan di Rio de Jeneiro Brasil pada tahun Konperensi menghasilkan 40 konvensi, salah satu diantaranya ialah tentang keanekaragaman hayati, United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD). Peraturan global ini diratifikasi oleh pemerintah melalui UU No. 5 tahun 1994 (Indonesia ialah negara ke-delapan yang menyatakan mengadopsi UNCBD dan menanda tangani naskah tersebut di Brasil pada tahun 1992). Naskah ini menyebutkan secara jelas tentang kawasan konservasi. Naskah konvensi menyatakan bahwa konservasi keanekaragaman hayati harus dilakukan dalam 3 (tiga) pendekatan, ialah: konservasi kawasan, konservasi spesies dan konservasi genetik. Konservasi kawasan termasuk dalam kategori konservasi in-situ. 330 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

7 Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dan Coral Triangle Initiative (CTI) ialah dua jenis kebijakan yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan Kawasan Konservasi Perairan. Indonesia tidak mempunyai kewajiban hukum untuk memenuhi semua ketentuan yang tertuang dalam naskah CCRF dan CTI. Naskah CCRF menyarankan setiap negara pantai untuk mengitegrasikan perencanaan pengelolaan perikanan dengan rencana pengelolaan Wilayah Pesisir. Walaupun tidak disebutkan secara tertulis, naskah CCRF mengandung inisiatif tentang Kawasan Konservasi Perairan yang terintegrasi didalam pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan CTI sudah secara tegas menyebutkan (tiga dari lima sasaran CTI) pendekatan Kawasan Konservasi Perairan. Sebagai ringkasan, Indonesia paling tidak telah mengadopsi 5 (lima) ketentuan internasional terkait dengan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, baik ketentuan yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Dari jumlah tersebut, 3 (tiga) diantaranya ialah dalam bentuk hukum internasional yang mengikat Indonesia Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas (1958), UNCLOS (1985) dan UNCBD (1992). UNCBD ialah satusatunya ketentuan internasional yang mengatur tentang kawasan konservasi (termasuk Kawasan Konservasi Perairan) dengan tujuan untuk perlindungan keanekaragaman hayati (biological diversity). CCRF dan CTI ialah dua bentuk kebijakan yang tidak mengikat terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi. CCRF menyebutkan integrasi rencana pengelolaan perikanan ke dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan CTI secara tegas menyebutkan tentang pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. 9.5 Kebijakan dan Hukum Tentang Kawasan Konservasi di Indonesia Tata urutan (hierarchical structure) dari peraturan yang berlaku di Indonesia sudah sangat jelas, dimulai dari: Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); Undang-Undang; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan/Keputusan Presiden; dan Peraturan Daerah. Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud di atas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yang lebih tinggi Tata urutan peraturan terkait dengan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia ialah sebagai berikut: Konstitusi/UUD 1945; Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN ; Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN ; UU No. 19 tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa tahun 1958; UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (diganti dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan); 331 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

8 UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (diganti dengan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup); UU No. 5 tahun 1985 tentang Perikanan; UU No. 17 tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS; UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; UU No. 24 tahun 1992 Penataan Ruang; UU No. 5 tahun 1994 tentang pengesahan UNCBD (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai keanekaragaman hayati); UU No. 6 tahun 1994 tentang UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Perubahan Iklim); UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; UU No. 23 tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup (diganti dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup); UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan; UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; UU No. 21 tahun 2004 tentang Pengesahan Protocol Cartagena; UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ; UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan; Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; PerMen Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ; Undang-Undang Dasar 1945 Sampai tahun 2002, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah mengalami beberapa kali peninjauan dan/atau perubahan. Pada perubahan ke-empat (2002), ketentuan pada Pasal 33 (4) menjadi sebagai berikut: Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas Demokrasi Ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ketentuan pada Pasal 33(4), terutama pada frase Berwawasan Lingkungan, merupakan ketentuan peraturan tertinggi dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. istilah konservasi kawasan tidak disebutkan karena naskah konstitusi pada umumnya hanya mengatur ketentuan pokok, sementara ketentuan lebih detail dibuat pada peraturan pelaksana yang lebih rendah. 332 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

9 9.5.2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN ), menyinggung aspek konservasi kawasan melalui peran lingkungan hidup sebagai berikut: Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian penting dari ekosistem yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan seluruh mahluk hidup di muka bumi diarahkan pada terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pembangunan lingkungan hidup bertujuan meningkatkan mutu, memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, merehabilitasi kerusakan lingkungan, mengendalikan pencemaran dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Sumber daya alam di darat, di laut maupun di udara dikelola dan dimanfaatkan dengan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup agar dapat mengembangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang memadai untuk memberikan manfaat bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi masa kini maupun bagi generasi masa depan; Konservasi kawasan hutan nasional termasuk flora dan faunanya serta keunikan alam terus ditingkatkan untuk melindungi keanekaragaman plasma nutfah, jenis spesies, dan ekosistem; Konservasi hutan tanah kering, hutan rawa, dan hutan perairan serta kekhasan alam, termasuk flora dan faunanya, ditingkatkan untuk melindungi plasma nutfah, keanekaragaman hayati, dan ekosistem beserta unsur-unsur, juga untuk mengembangkan cagar alam wisata. Konservasi kawasan hutan nasional termasuk flora dan faunanya serta keunikan alam terus ditingkatkan untuk melindungi keanekaragaman plasma nutfah, jenis spesies, dan ekosistem Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN ), juga menyinggung aspek konservasi kawasan melalui perannya dalam lingkungan hidup melalui beberapa pernyataan, sebagai berikut: Pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk menjaga dan meningkatkan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup agar kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan pembangunan nasional serta usaha pemanfaatan sumber daya alam termasuk air, tanah, dan udara berlangsung secara berkelanjutan; Pembangunan lingkungan hidup dilakukan melalui penataan ruang serta keterpaduan kegiatan pembangunan dalam wilayah, didukung oleh peran serta aktif masyarakat dan dunia usaha serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; Fungsi hutan lindung, hutan cadangan pangan, hutan suaka, cagar alam, taman nasional, taman hutan raya, hutan wisata, kawasan pelindung, sempadan sungai dan danau, terumbu karang, dan kawasan konservasi alam terus dilestarikan dan ditingkatkan pengelolaannya agar kelestariannya terjamin dan memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan budaya; Rehabilitasi hutan dan lahan kritis; konservasi hutan, sungai, danau, rawa, dan hutan bakau; pelestarian gua-gua alam, karang laut, flora, dan fauna langka; dan pengembangan fungsi daerah aliran sungai terus ditingkatkan dan makin disempurnakan untuk memulihkan kesuburan tanah, tata air dan kelestarian daya dukung lingkungan; Konservasi ekosistem darat, laut, dan udara terus ditingkatkan untuk melindungi fungsi ekosistem sebagai pendukung dan penyangga sistem kehidupan 333 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

10 GBHN secara jelas dan tegas menyebutkan tentang kawasan konservasi dalam berbagai kategori, seperti hutan lindung, hutan cadangan pangan, hutan suaka, cagar alam, taman nasional, taman hutan raya, hutan wisata, kawasan pelindung, sempadan sungai, sempadan danau dan terumbu karang. Namun ketentuan ini belum sampai pada tingkat implementasi karena perubahan kepemimpinan nasional sebagai dampak dari reformasi UU No. 5 tahun 1967, Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Ketentuan Pasal 3 pada UU No. 5 tahun 1967 menyebutkan pembagian Hutan Negara ke dalam bentuk: Hutan Lindung; Hutan Produksi; Hutan Suaka Alam; dan Hutan Wisata; dan Hutan Suaka Alam. Hutan Suaka Alam dibedakan berdasarkan kategori Suaka Alam dan Suaka Margasatwa. Sedangkan Hutan Wisata dibedakan berdasarkan kategori Taman Wisata dan Taman Buru. Sistem penamaan kategori hutan ini tidak konsisten dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (dibahas kemudian) UU No. 5 tahun 1990, Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Sebelum UU No. 5 tahun 1990, Pemerintah menetapkan UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Pasal 12 dari Undang-Undang ini menyebutkan bahwa ketentuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan pada Pasal 12 inilah yang mendorong Pemerintah untuk menetapkan UU No. 5 tahun UU No. 5 tahun 1990 terintegrasi dengan Peraturan Pelaksana yang ditetapkan 8 (delapan) tahun berikutnya, ialah PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Pasal 5 dari UU No. 5 tahun 1990 menyatakan: Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Untuk tujuan perlindungan, Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan (Pasal 8(1.a)). Ketentuan dalam pasal inilah yang menentukan adanya kawasan konservasi yang selanjutnya diatur pada PP No. 68 tahun Pada Pasal 11 dinyatakan bahwa: pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan melalui kegiatan: (a) pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (b) pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Selanjutnya, Pasal 12 menyebutkan bahwa: pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli. PP No. 68 tahun 1998 membagi kawasan suaka alam menjadi 2 (dua) kategori, ialah: Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM). Pasal 26 dari UU No. 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa: pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: (a) pemanfaatan kondisi lingkungan 334 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

11 kawasan pelestarian alam; (b) pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pasal ini melahirkan istilah kawasan pelestarian alam (KPA) yang selanjutnya dibahas pada PP No. 68 tahun Selanjutnya, Pasal 29 menyebutkan bahwa: Kawasan pelestarian alam terdiri darikategori: (a) Taman Nasional; (b) Taman Hutan Raya; dan (c) Taman Wisata Alam. Dari uraian di atas, UU No. 5 tahun 1990 ialah peraturan pertama di Indonesia tentang kawasan konservasi, dibedakan berdasarkan fungsinya melalui kegiatan yang boleh dilakukan di dalamnya, ialah: Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Selanjutnya, KSA dibedakan dalam bentuk Cagar Alam dan Suaka Margasatwa (SM). Sedangkan KPA dibedakan menjadi: Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA) dan Taman Wisata Alam (TWA). Semua kategori kawasan konservasi tersebut mencakup wilayah darat maupun laut. Hal ini sesuai dengan definisi kawasan suaka alam (Pasal 1(1)) ialah ialah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sedangkan kawasan pelestarian alam (Pasal 1(13)) didefinisikan sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya UU No. 31 tahun 2004, Perikanan UU No. 31 tahun 2004 harus dikaitkan dengan peraturan pelaksananya yang ditetapkan 3 (tiga) tahun kemudian, PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan. Artinya, kedua ketentuan ini ditetapkan untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan, ialah pemanfaatan secara berkelanjutan atau lestari. Pasal 13(1) dari UU No. 31 tahun 2004 menyatakan sebagai berikut: Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan. Pasal 13 ini diterjemahkan sebagai konservasi sumber daya ikan pada PP No. 60 tahun Konservasi sumber daya ikan didefinisikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dankeanekaragaman sumber daya ikan. Sedangkan konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang. Pasal 8(1) dari PP No. 60 tahun 2007 menyatakan bahwa terkait dengan konservasi ekosistem, satu atau beberapa tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan dapat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Selanjutnya, Pasal 8(2) menyatakan bahwa Kawasan Konservasi Perairan terdiri atas Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan. Undang-Undang No. 31 tahun 2004 membuat nomenklatur baru tentang kawasan konservasi yang dibuat khusus berlaku pada wilayah perairan UU No. 27 tahun 2007, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 memperkenalkan istilah baru kawasan konservasi yang berlaku untuk Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil didefinisikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan 335 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

12 kesinambungan sumber daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (Pasal 1(19)). Sedangkan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan (Pasal 1(20)). Pasal 28(4) menyatakan bahwa kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Setahun kemudian, Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan Peraturan Menteri No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 4(1) dari Peraturan Menteri ini menyatakan bahwa Kategori Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terdiri dari: Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang selanjutnya disebut KKP3K; Kawasan Konservasi Maritim, yang selanjutnya disebut KKM; Kawasan Konservasi Perairan, yang selanjutnya disebut KKP; dan Sempadan Pantai. Selanjutnya, Pasal 5 menyatakan bahwa jenis KKP3K terdiri dari kategori: Suaka pesisir; Suaka pulau kecil; Taman pesisir; dan Taman pulau kecil UU No. 32 tahun 2004, Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 18(1) menyatakan bahwa: daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Selanjutnya, Pasal 18(3) menyatakan bahwa: Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Selain satu pasal ini, UU No. 32 tahun 2004 tidak mempunyai ketentuan khusus tentang konservasi. Arti kata pengelolaan tidak disebutkan dengan jelas. Dalam tata peraturan dan kebijakan, UU No. 32 tahun 2004 mempunyai kedudukan yang sama dengan tiga undang-undang lainnya: UU No. 5 tahun 1990; UU No. 31 tahun 2004 dan UU No. 27 tahun Ketentuan pada Pasal 18 telah menimbulkan preseden dua Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia yang ditetapkan dengan menggunakan Peraturan Bupati: Peraturan Bupati Berau No. 31 tahun 2005 tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau; Peraturan Bupati Raja Ampat No. 66 tahun 2007 tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Raja Ampat; Peraturan Bupati Klungkung No. 12 tahun 209 tentang Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida. 9.6 Analisis Hukum dan Kebijakan Nasional Tentang Kawasan Konservasi Istilah konservasi secara tersirat terdapat pada semua tata urutan peraturan di Indonesia, dari konstitusi atau UUD 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Undang-Undang yang pertama kali secara tegas membahas tentang kawasan konservasi ialah UU No. 5 tahun Kawasan konservasi dibedakan berdasarkan fungsinya, ialah: perlindungan keanekaragaman hayati, pengawetan dan pemanfaatan berkelanjutan dari sumber 336 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

13 daya hayati. Kawasan konservasi dibedakan dalam 5 (lima) kategori, ialah: Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM), Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Raya (TAHURA). Kawasan konservasi pada aturan ini mencakup wilayah darat maupun wilayah perairan, termasuk di laut. Pada tahun 1999, Pemerintah menetapkan UUU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (sebagai pengganti dari UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan). Pada Undang-Undang ini, pemerintah menetapkan tiga jenis hutan, ialah: Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi). Selanjutnya, hutan konservasi dibedakan atas kategori: Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan Hutan Pelestarian Alam dan Taman Buru. Kedua istilah kawasan tersebut (Suaka Alam dan Pelestarian Alam) telah digunakan pada UU No. 5 tahun 1990 yang dilengkapi dengan PP No. 68 tahun Perbedaan antara Kawasan Suaka Alam, KSA (pada UU No. 5 tahun 1990) dengan Kawasan Hutan Suaka Alam (pada UU No. 41 tahun 1999) agak sulit untuk dijelaskan, selain kata tambahan, hutan. Pada tahun 2004, Pemerintah menetapkan UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Salah satu pendekatan dalam pengelolaan perikanan ialah melalui Kawasan Konservasi Perairan, KKP. Pengelolaan Kawasan Konservasi (perairan) pada UU No. 31 tahun 2004 lebih difokuskan pada perikanan yang berkelanjutan. Sementara pengelolaan kawasan konservasi pada UU No. 5 tahun 1990 juga mempunyai tujuan yang hampir sama: perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya hayati. Namun masing-masing peraturan menggunakan istilah yang berbeda tentang kawasan konservasi. Kategori Kawasan Konservasi Perairan terdiri dari: Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan dan Suaka Perikanan. Untuk kepentingan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pemerintah juga menetapkan UU No. 27 tahun Undang-Undang ini mengadopsi istilah baru tentang kawasan konservasi, terdiri dari: Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan Sempadan Pantai. Melalui UU No. 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola wilayah perairan laut di dalam wilayah yang menjadi jurisdiksi daerah. Pada Undang- Undang ini, konservasi tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun kewenangan ini telah dipergunakan untuk penunjukan atau penetapan kawasan konservasi dengan sebutan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Atau Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Undang-Undang No juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menetapkan Kawasan Konservasi Perairan dengan sebutan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Mereka menggunakan dasar hukum Peraturan Desa. Dari tinjauan hukum dan peraturan tentang Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia, ada beberapa pembelajaran yang bisa diambil, ialah sebagai berikut: Pengelolaan kawasan konservasi menggunakan beberapa Undang-Undang yang berbeda, namun istilah yang berbeda. UU No. 5 tahun 1990 menggunakan istilah Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Sedangkan UU No. 41 tahun 1999 menggunakan istilah Kawasan Hutan Suaka Alam (KHSA) dan Kawasan Hutan Pelestarian Alam (KHPA). Kedua jenis kawasan bisa berada pada wilayah yang sama; Kawasan konservasi di wilayah perairan juga menggunakan istilah yang berbeda. UU No. 31 tahun 2004 menggunakan istilah Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Sedangkan UU No. 27 tahun 2007 menggunakan istilah Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kategori kawasan dari kedua Undang-Undang ini juga berbeda, sementara sangat memungkinkan keduanya berada pada wilayah yang saling tumpang tindih; Kewenangan daerah dalam mengelola kawasan konservasi (khusus perairan) ditetapkan melalui Undang-Undang yang berbeda dengan peraturan konservasi. Hal ini bisa dilihat sebagai suatu kesempatan dan tanggung jawab, sehingga muncul beberapa Kawasan Konservasi Perairan baru dengan sistem penamaan yang berbeda dengan peraturan lainnya. 337 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

14 Gambar 9.1 Sistem penamaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia dengan menggunakan peraturan yang berbeda (Sumber: dianalisis dari UU No. 5 tahun 1990; UU No. 41 tahun 1999; UU No. 31 tahun 2004; UU No. 32 tahun 2004; dan UU No. 27 tahun 2007). Bahan Bacaan Utama: FAO, Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Rome, Italy. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). 41p FAO, Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, Italy. FAO: 41p Jepson, P., & R.J. Whittaker (2002). Histories of Protected Areas: Internationalisation of Conservationist Values and their Adoption in the Netherlands Indies (Indonesia). Environment and History 8( ). PP Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun Tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132. PP Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun Tentang Konservasi Sumber daya Ikan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134. Santosa, A. (Ed) 2008 Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengeloaan & Kebijakan. Bogor. POKJA kebijakan Konservasi. 14x21 cm; xi+ 50 hal UN, Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. Geneva, Switzerland. UN Treaty Series, vol. 559, p. 285; 338 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

15 UN, Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. Geneva, Switzerland. UN Treaty Series, vol. 559, p. 285; UNCBD, United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD). New York, US. UN. 28p UNCLOS, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Geneva, Switzerland. UN. 208p UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change. New York, US. UN. 24p UU, Undang Undang No. 19 Tahun Tentang : Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut. LN 1961/276; TLN NO UU, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68. UU Undang Undang No. 19 Tahun 1961 Tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut. LN 1961/276; TLN NO UU Undang-undang 5 Tahun Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. LN 1967/8; TLN NO UU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 12. UU Undang Undang No. 17 Tahun Tentang : Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut). LN 1985/76; TLN NO UU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun Tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49. UU Undang Undang No. 24 Tahun Tentang Penataan Ruang. LN 1992/115; TLN NO UU Undang Undang No. 6 Tahun Tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). LN 1994/42; TLN NO UU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41. UU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun Tentang Perairan Indonesia. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor UU Undang Undang No. 23 Tahun 1997.Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. LN 1997/68; TLN NO UU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun Tentang Kehutanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167. UU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun Tentang Pengesahan Cartagena Protocol On Biosafety To The Convention On Biological Diversity (Protokol Cartagena TentangKeamanan Hayati Atas Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati). Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

16 UU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun Tentang Perikanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor UU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun Tentang Pemerintahan Daerah. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor UU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84. UU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Ringkasan: 1. Dokumen Kode Etik Perikanan bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) memberikan indikasi atau langkah awal konservasi dan pengelolaan perikanan tangkap melalui Kawasan Konservasi Perairan. Sebutkan pernyataan di dalam teks yang mendukung hal ini; 2. Sebutkan peraturan global yang secara tegas menyatakan pendekatan konservasi kawasan dalam pengelolaan sumber daya dan keanekaragaman hayati, dan Indonesia meratifikasi peraturan global tersebut. 3. Sebutkan peraturan formal di Indonesia yang pertama kali secara jelas menunjukkan pendekatan Kawasan Konservasi Perairan sebagai alat perlindungan keanekaragaman hayati, bersama peraturan pelaksananya; 4. Zona perikanan berkelanjutan dimungkinkan untuk dibuat secara formal dalam suatu Kawasan Konservasi Perairan. Sebutkan peraturan formal yang mendukung pernyataan ini; 5. Buktikan bahwa peraturan tentang Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia saat ini mengalami tumpang tindih, terutama dalam pengelolaan kawasan; 6. Buatlah nomenklatur atau kategori kawasan konservasi di Indonesia dengan menggunakan kombinasi dasar hukum UU No. 5 tahun 1990 dengan UU No. 41 tahun 1999; 7. Buatlah nomenklatur atau kategori Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia dengan menggunakan kombinasi dasar hukum UU No. 31 tahun 2004, UU No. 27 tahun 2007 dan UU No. 32 tahun 2004; 8. Jelaskan, bagaimana pengaruh Deklarasi Djuanda terhadap perkembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia; 9. Buktikan bahwa secara nasional Indonesia sudah lebih dulu mengadopsi prinsip-prinsip perlindungan keanekaragaman hayati, sebelum penetapan UNCBD pada tahun 1992; 10. Hukum dan peraturan tentang kawasan konservasi di Indonesia cukup banyak dan bervariasi. Hal ini bisa menyebabkan saling tumpang tindih dalam kewenangan. Bagaimana menyatakan atau harmonisasi semua peraturan tersebut sehingga menjadi kekuatan yang optimal dalam mencapai tujuan konservasi kedepan? 340 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Undang Undang No. 6 Tahun 1994 Tentang : Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) Oleh : PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

A. Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia yang Berkaitan dan Mendukung Konvensi

A. Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia yang Berkaitan dan Mendukung Konvensi I. U M U M PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI KEANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kebijakan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DISAMPAIKAN OLEH Ir. Agus Dermawan, M.Si DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE

Lebih terperinci

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF 1. Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security

Lebih terperinci

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN Oleh: Rony Megawanto Kebijakan nasional kelautan dan perikanan Indonesia diawali dengan perjuangan kewilayahan pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI KEANEKARAGAMAN HAYATI) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN EVALUASI KESESUAIAN FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN Made Nanika Mawapusti Yadnya I Ketut Sudiarta Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati *

Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati * Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 19 Januari 2016; disetujui: 26 Januari 2016 Indonesia merupakan negara yang kaya

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar http://blog.unila.ac.id/janter PENGERTIAN Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar perlindungan populasi satwa untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN CARTAGENA PROTOCOL ON BIOSAFETY TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DIBIDANG PENANGKAPAN IKAN UNTUK PERAIRAN UMUM DARATAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

Kajian Hukum Penataan Ruang Berbasiskan Ekosistem dan Peluang Penerapan EU RED (EU Renewable Energy Source Directive)

Kajian Hukum Penataan Ruang Berbasiskan Ekosistem dan Peluang Penerapan EU RED (EU Renewable Energy Source Directive) Kajian Hukum Penataan Ruang Berbasiskan Ekosistem dan Peluang Penerapan EU RED (EU Renewable Energy Source Directive) Tim Kebijakan 1. Fathi Hanif, SH.MH 2. Rhino Subagyo, SH 3. Zenwen Pador, SH Tujuan

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

Nations Convention on the Law of the sea/ Konvensi Perserikatan Bangsa

Nations Convention on the Law of the sea/ Konvensi Perserikatan Bangsa PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN PULAU BERHALA SERDANG BEDAGAI SEBAGAI KAWASAN ECO MARINE TOURISM (WISATA BAHARI BERWAWASAN LINGKUNGAN) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH DAN PENATAAN FUNGSI PULAU BIAWAK, GOSONG DAN PULAU CANDIKIAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 20, 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

CORAL TRIANGLE INITIATIVE FOR CORAL REEFS, FISHERIES & FOOD SECURITIES Oleh: M. Eko Rudianto 1

CORAL TRIANGLE INITIATIVE FOR CORAL REEFS, FISHERIES & FOOD SECURITIES Oleh: M. Eko Rudianto 1 CORAL TRIANGLE INITIATIVE FOR CORAL REEFS, FISHERIES & FOOD SECURITIES Oleh: M. Eko Rudianto 1 Di dunia ini terdapat 3 kawasan di katulistiwa yang merupakan pusat kenekaragaman hayati dunia, yaitu Amazone

Lebih terperinci

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 20 TAHUN 2015

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 20 TAHUN 2015 BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 20 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN KABUPATEN KAPUAS HULU SEBAGAI KABUPATEN KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

PB 10 STRATEGI UMUM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP

PB 10 STRATEGI UMUM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP PB 10 STRATEGI UMUM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP A. Kebijakan Lingkungan Hidup dan Kependudukan 1. Perkembangan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia a. Menjelang konferensi Stockholm (5 Juni 1972)

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pada

BAB I PENDAHULUAN. alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber Daya Alam (SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pada umumnya, sumber daya alam

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DAN PENATAAN FUNGSI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA Lampiran Surat Nomor: Tanggal: RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA 2016 2019 PENANGGUNGJAWAB: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NO. SASARAN TARGET/ A. BATAS MARITIM, RUANG LAUT, DAN DIPLOMASI

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.209, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Ekosistem gambut. Perlindungan. Pengelolaan.(Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2006 TENTANG PROGRAM MENUJU INDONESIA HIJAU

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2006 TENTANG PROGRAM MENUJU INDONESIA HIJAU SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2006 TENTANG PROGRAM MENUJU INDONESIA HIJAU MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa kualitas lingkungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT (Mewujudkan Kawasan Suaka Perikanan Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya) Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 Lima prinsip dasar Pengelolaan Konservasi 1. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol 2. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman

Lebih terperinci