ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Potency Analysis of Feeders Beef Cattle at Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) SUMADI, WARTOMO HARDJOSUBROTO dan NONO NGADIYONO Fakultas Peternakan,Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta ABSTRACT This Reaserch was conducted to potency analysis af feeders beef cattle of Daerah Istimewa Yogyakarta. This research using survey method, in four destricts (Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, and Sleman), including 1 farmers as respondents. This research was done from June to September 200. The variables observed were composition, reproduction and mortality of the animals. The results showed that composition of calfs 27,16 ±,0%: youngs 20,2 ± 7,76 % and adults 52,2 ± 9,27%. The average age at first mating of heifers and first calving were 22,67 ± 0,76% and 2,9 ± 1,29 months. The weaning age, period of first mating after calving and calving interval were 5,96 ± 0,6;,0 ± 0,5 and,17 ± 0,70 months. S/C were 2,06 ± 0,. The calving rate was 61,9 ± 1,60 % from adult females or 26,20 ± 5,16% from total population. Sex ratio was 52,5 ± 12,0% and 7,7 ± 12,0%. The dams were kept up to 9,6 ± 1,6 years or until 6,7 ± 0,7 time calvings. The mortality rate population 0,0 ± 0,9%. Natural increase 25,1 ± 51,9%; Net replacemant rate 197,19 ± 91,29% and composition of feeders beef cattle 12,62% (7,2% males and 5,05 females) and adult cattles (culling) 12,6% (6,17% males and,6 females) with out put total 25,25% from population. Key words: Beef cattle feeders, DIY ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi sapi potong bakalan di wilayah Propinsi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang akan dihitung melalui teori pemuliaan ternak. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, meliputi empat kabupaten (Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul dan Sleman), mencakup 1 peternak sebagai responden. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni September 200. Variabel yang diamati meliputi komposisi, reproduksi dan kematian sapi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komposisi sapi potong pedet 27,16 ±,0%; muda 20,2 ± 7,76% dan dewasa 52,2 ± 9,27%. Umur sapi betina pertama dikawinkan dan induk pertama adalah 22,67 ± 0,76 bulan dan 2,9 ± 1,29 bulan. Ratarata umur penyapihan, perkawinan setelah beranak dan jarak beranak adalah 5,96 ± 0,6 bulan;,0 ± 0,5 bulan dan,71 ± 0,70 bulan. S/C sebesar 2,06 ± 0,. Tingkat kelahiran adalah 61,9 ± 1,60% dari populasi. Perbandingan pedet jantan dan betina sebesar 52,5 ± 12,0% dan 7,7 ± 12,0%. Induk dipelihara sampi umur 9,6 ± 1,6 tahun atau sampai beranak 6,7 ± 0,7 kali. Kematian terhadap populasi sebesar 0,0 ± 0,9%. Natural Increase 25,1 ± 51,9%, Net Replacemen rate 197,19 ± 91,29% dan komposisi potensi sapi potong,sapi muda 12,62 % dan sapi tua afkir 12,6% dari populasi. Potensi sapi potong bakalan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 200, sapi muda 12,62 % (7,2% jantan dan 5,0% betina) dan sapi tua fakir 12,6 %(6,17% jantan dan 6,6 betina) dengan total keluran 25,25% dari populasi. Kata kunci: Sapi potong bakalan, DIY PENDAHULUAN Sapi potong merupakan ternak ruminansia besar yang menjadi salah satu aset nasional di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang cukup besar potensinya untuk dikembangkan. Disamping itu sapi potong mempunyai fungsi sosial yang penting di masyarakat dan sebagai penghasil daging peringkat tertinggi sehingga merupakan potensi yang sangat penting untuk dikembangkan. 10
Potensi atau out put dari masingmasing wilayah penghasil sapi potong di Indonesia, itu penting karena dapat diketahui kemampuan riel dalam menyediakan sapi potong sesuai kebutuhan pasar. Disamping itu juga dapat dibuat peta potensi wilayah sapi potong di Indonesia dan dapat digunakan sebagai dasar peningkatan produktivitasnya. Produktivitas seekor ternak merupakan gabungan sifat produksi dan reproduksi dari ternak tersebut dalam kurun waktu tertentu, serta dipengaruhi oleh genetik, lingkungan dan interaksi genetik dan lingkungan (LASELY, 197 dan HARDJOSUBROTO, 199). TAMASZERWSKA et al. (199) menyatakan bahwa aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak yang bersangkutan, dan tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi. Sifatsifat reproduksi pada sapi potong yang mempunyai nilai ekonomi penting antara lain: umur pubertas dan perkawinan pertama, siklus estrus, S/C, jarak beranak, perkawinan pertama setelah beranak, lama digunakan dalam breeding dan umur penyapihan pedet (LASLEY, 191; HARDJOSUBROTO, 199). TRIKESEWO et al. (199) menyatakan bahwa yang termasuk dalam komponen produktivitas sapi potong adalah jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop), boboy setahunan (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan. Produktivitas sapi potong dari suatu wilayah dapat dinyatakan sebagai output atau potensi suatu wilayah yang terdiri atas jantan dan betina afkir ditmbah jantan dan betina muda sisa pengganti. Potensi wilayah dalam menghasilkan sapi potong dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi ternaknya dan ketersediaan pakannya. Berdasakan ternaknya yang terpenting adalah sifat reproduksinya. Disamping itu tinjauan potensi wilayah dari segi pemuliaan yang utama adalah berapa lama sapi potong digunakan dalam pembiakan. Hal ini menjadi penting Karena fakta tersebut secara langsung mempengaruhi jumlah ternak pengganti (Replacemant Stock) yang dibutuhakan untuk mengganti populasi ternak yang dikeluarkan dan kelebihan ternak pengganti tersebut dapat digunakan sebagai bakalan untuk bibit maupun digemukan. Sapi tua (afkir) yang dikeluarkan dari breeding dapat juga digemukkan tetapi kwalitasnya tidak sebaik sapi muda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi potensi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menghasilkan sapi potong, baik berupa ternak potong bibit, bakalan maupun sapi afkir yang dihitung melalui pendekatan teori pemuliaan (breeding teori). Dengan pengamatan ini diharapkan: (1) Dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat program peningkatan produktivitas, khususnya potensi sapi potong bakalan di Daerah Istimewa Yogyakarta; (2) sebagai dasar pengendalian pengeluaran sapi potong di Daearah Istimewa Yogyakarta; dan () sebagai indikator untuk melihat perkembangan populasi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi dan waktu MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di kabupaten yakni Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul dan Sleman di Propinsi DIY. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni September 200, terhadap peternak yang memiliki sapi potong sebagai responden beserta ternaknya. Data sekunder dari instansi terkait. Metode Penelitian ini menggunakan metode survei dengan dibantu kuesioner dan observasi. Setiap kabupaten sampel diplih kecamatan dan desa yang sesuai dengan kegiatan penelitian, dengan total responden sebanyak 1 orang (dipilih secara quota sampling). Pengamatan meliputi identitas ternak dan peternaknya. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif, kualitatif dan kuantitatif. Pola pemuliaan sapi potong digunakan untuk mengestimasi kebutuhan ternak pengganti (replacement stock) dan komposisi ternak disurvei. Natural Increase (NI) dihitung dari selisih jumlah kelahiran dan kematian sapi per tahun dan hasil pengurangan NI dengan kebutuhan ternak pengganti merupakan potensi wilayah atau keluaran (out put) berupa sapi hidup yang terdiri atas sapi jantan tua, betina tua dan sisa pengganti yang dapat digunakan sebagai bakalan (jantan dan betina). HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Identitas responden Identitas responden pada tahun 200 dari empat kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, bahwa ratarata umur peternak masih dalam kisaran umur produktif (51,69 ± 1,9 tahun) dan pengalaman beternak cukup lama (19,2 ± 2, tahun). Tingkat pendidikan peternak masih relatif rendah yaitu tidak sekolah (7,67 ± 1,5%) dan SD (56,7 ± 5,52%). Pekerjaan utama peternak umumnya petani (65,22 ± 11,57%) dan tujuan utama pemeliharaan untuk menghasilkan keturunan 70,52 ± 2,59% dan untuk tabungan 25,7 ± 2,1%. Komposisi sapi potong Komposisi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 200 dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 menunjukan bahwa jumlah pedet 27,16 ±,0%, sapi muda 20,2 Tabel 1. Identitas responden Peubah Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman Umur peternak (th) 9,02 5,62 52,1 51,79 51,69 ± 1,9 Pengalaman beternak (th) 22,27 21,0 16,27 17,55 19,2 ± 2, Pendidikan (%): Tidak sekolah SD SLTP SMU PT 6,66 55 21,67 1,67 5, 21,10 1,90 6,67 65 9 16 2 16,0 5,0 16,17 11 7,67 ± 6,5 56,7 ± 5,52 16,9 ± 5,,2 ±,27, ± 2,29 Pekerjaan utama (%): Petani Wiraswasta PNS Pensiunan Buruh TNI/POLRI 71,67 20 5, 72,22 6,67 6,67 12,22 2,22 10 7 1 69 10,5 1,5 65,22 ± 11,57 10,17 ± 7,0 6,5 ± 2,6 1,22 ± 1,5 16,06 ±,1 0,1 ± 1,05 Tujuan utama pemeliharaan (%): Keturunan (breeding) Tabungan 100 2,22 55,56 70 19 69, 2,57 70,52 ± 2,59 25,7 ± 2,1 Penggemukan 2,22 9 1,59,2 ±,9 Pupuk Tenaga kerja Luas lahan (m 2 ): Tegalan Pekarangan Sawah 69,6 55 76,9 1227,69 1110 2 200,50 2579,0 ± 95,06,75 ± 775,0 16,0 ± 1001,79 Lahan hijauan yang 60,77 69,69 272,50 ditanami rumput 7,70 ± 26,0 x ± s 12
± 7,76% dan sapi dewasa 52,2 ± 9,27%. Perbandingan sapi jantan dan betina sebesar 0,7 ±,65% dan 69,6 ±,65%. Populasi betina dewasa cukup tinggi (5,12 ± 5,7%), hal ini sesuai dengan tujuan pemeliharaan untuk menghasilkan keturunan. jantan dewasa relatif rendah, sebab sapi jantan yang dipelihara untuk digemukkan bukan untuk sapi pejantan, karena perkawinan sapi sebagian besar menggunakan Inseminasi Buatan (IB). Sleman dan Gunung Kidul total jantan relatif tinggi dibanding kabupaten lain, hal ini diduga disebabkan banyaknya penggemukan sapi rakyat. Ratarata kepemilikan sapi potong Rata rata kepemilikan sapi potong per responden di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 200, dapat dilihat pada Tabel. Pada Tabel menunjukan pemilikan sapi potong per peternak di Daerah Istimewa Yogyakarta ratarata 2,90 ± 0,96 ekor atau 2,09 ± 0,61 UT. Hal ini artinya peternak memiliki sapi potong setara 2 ekor dewasa. yang relatif kecil ini diduga disebabkan terbatasnya lahan untuk mencari rumput (pakan), terbatasnya tenaga kerja keluarga disamping keterbatasan modal. Ratarata pemilikan per responden di Sleman dan Kulonprogo relatif tinggi dibanding kabupaten lainnya, hal ini diduga disebabkan daya dukung lahan, modal dan sosial ekonomi masyarakat yang berbeda. Pengelolaan dan biologi reproduksi Pengelolaan dan biologi reproduksi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 200 dapat dilihat pada Tabel. Pada Tabel menunjukan bahwa para peternak mengawinkan sapi pertama kali pada jantan dan betina pada umur 2,2 ± 0,1 bulan dan 22,67 ± 0,76 bulan. Cara kawin sebesar 79,5 ± 19,70% dengan IB, dan pengenalan tandatanda birahi sebesar 62,67 ± 21,% baik sekali. Batas umur pemeliharaan pada sapi jantan, ± 1,10 tahun dan betina 9,6 ± 1,60 tahun dan selama dipelihara betina (induk) ratarata beranak 6,7 ± 0,7 kali serta ratarata umur sapih 5,96 ± 0,6 bulan. Pada kabupaten Sleman 100% IB, hal ini disebabkan sarana dan prasarana yang memadai dan kesadaran masyarakat yang tinggi tentang IB. Tabel 2. Komposisi sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 200 Komposisi Pedet (%) Muda (%) Dewasa (%) Total (%) Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman x ± s 1,1, 2,7 1,25 1,1 1, 2,20 7,95 0,,59 66,1 1,7 7,5 22,26 2,0,07 17,7,22 52,05 60,27 25,5 7,65,2 1, 0,07 9,7 10, 19,52 5,6,92 50, 0,06 69,9 12,0 12,2 27,5 6,96 6, 1,29 1,29 5,7 5,6 2,7 67,5 1,7 ± 1,7 1, ±,92 27,16 ±,0 9,25 ± 6,66 11,17 ±,1 20,2 ± 7,76 7,29 ±,69 5,12 ± 5,76 52,2 ± 9,27 0,7 ±,65 69,9 ±,65 Pedet 0 10 bulan; Muda >10 2; Dewasa >2 bulan atau sudah kawin dan beranak 1
Tabel. Kepemilikan sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 200 Komposisi Pedet : (ek) : (ek) Muda : (ek) : (ek) Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman x ± s 1 9 2 12 2,00 ± 11,2,5 10,75 9,75 7 2,00 ± 2,2 12 22 7 109 27,25 ± 12,5 5,5 9,5 9,25 27,25 6,1 ±,1 25 7 2 16 72 1,0 ±,7,2 1, 9,6,2 10, ± 5,02 1 26 10 25,75 ± 1, 02 6 26,,6 9 57 1,25 ± 9,0 Dewasa : (ek) : (ek) 52 52 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 105 105 72 72 2 2 1,0 ± 12,19 1,0 ± 12,19 106,1 ± 1,29 106,0 ± 1,29 : (ek) : (ek) Total: (ek) Responden Kepemilikan ternak/responden (ek) 6 22,5 2 61 7,95 21 1,5 77, 179 10,1 75 7,6 6 12,25 272 17,20 65 50,25 10,0 ± 1,72 6, ± 10,5,75 ± 57,21 127,06 ± 50,29 12 292 256 21 907 226,75 ± 70,,5 222,5 17,25 170,5 655,5 16,6 ± 5,29 60 90 100 6 1 2,90 ± 0, 69 2,1,2 2,56,67 11,60 2,90 ± 0,69 1,9 1,7 1,7 2,71,6 2,09 ± 0,61 Pedet = 0,25 UT Muda = 0,6 UT Dewasa = 1 UT Umur induk beranak pertama 2,9 ± 1,29 bulan, perkawinan pertama setelah beranak,0 ± 0,5 bulan dan S/C sebesar 2,06. Lama induk digunakan sebagai bibit 7,19 ± 1,66 tahun dan jarak beranak,71 ± 0,70 bulan, tingkat kelahiran terhadap jumlah induk dan jumlah populasi sebesar 61,9 ± 1,60% dan 26,20 ± 5,16% dan perbandingan kelahiran pedet jantan dan betina sebesar 52,5 ± 12,0% dan 7,7 ± 12,0%. Secara umum pengelola dan biologi reproduksi sapi potong di DIY relatif baik serta pada semua kabupaten relatif sama. 1
Tabel. Pengelolan dan biologi reproduksi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 200 Peubah Pengelolaan reproduksi: Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman Umur pertama kali dikawinkan (bulan): 2,60 22,21 2,2 2,1 2,2 22,7 29,0 22,0 2,2 ± 0,1 22,67 ± 0,76 Cara kawin (%): IB Alami Campuran 5 52, 2,6 2,6 0,2 16, 100 79,5 ± 19,70 6,70 ± 11,7 1,5 ± 9,9 Pengenalan tanda birahi (%): Kurang Sedang Baik Baik sekali, 6,67 11,67 7, 6,67 52,22 2,11 7 6 7,1, 7,7,25 1,6 ± 1, 6,0 ± 0,9 29,0 ± 2,95 62,67 ± 21, Batas umur pemeliharaan (tahun):,0 9,70 7,0, 10, 6,22 5,1 10,5 6,56,1 7,1 6,00,59 ± 0,2 9,6 ± 1,60 6,7 ± 0,7 Frekuensi beranak (kali) Umur penyapihan (bulan) 6,5 5,6 6,2 5,57 5,96 ± 0,6 Biologi reproduksi: Umur induk beranak pertama 1,0,69,12 2, 2,9 ± 1,29 (bulan) Perkawinan pertama setelah,22 5,10,6 5,20,0 ± 0,5 beranak (bulan) S/C 2,06 2,02 2,27 1,90 2,06 ± 0, Jarak beranak (bulan),71,65 1, 16,60,71 ± 0,70 Lama induk digunakan sebagai 7,5,0,1,71 7,19 ± 1,66 bibit (tahun) Tingkat kelahiran (%): Terhadap jumlah induk 56,00 55,1 2,5 5,17 61,9 ± 1,60 sampel Terhadap jumlah populasi sampel 2,6 25,97,5 21,5 26,20 ± 5,16 Kelahiran pedet (%): 0, 59,52 70,11 29,9 5,06 5,52 6, 5,52 x ± s 52,5 ± 12,0 7,7 ± 12,0 Mutasi sapi potong Mutasi sapi potong diwilayah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 200 dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5 menunjukan bahwa ratarata jumlah sapi yang masuk terhadap sampel populasi 5,59 ± 5,56% dan yang keluar 26,70 ± 1,10%. Alasan pengeluaran sapi tersebut sebesar 79, ± 11,9% adalah dijual. Berdasarkan hal ini di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta banyak sapi yang keluar daripada masuk, dengan
selisih 21,11%. Sapi yang keluar di Gunung Kidul 2,% dan Sleman,%, hal ini relatif tinggi dibandingkan kabupaten lainnya dan diduga disebabkan relatif tinggi kegiatan bisnis sapi potong di dua kabupaten tersebut. Pemeliharaan sapi potong Sistem pemeliharaan sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan, kebersihan ternak dan penggunaan pupuk kandang, relatif sudah baik dan bervariasi pada setiap kabupaten sesuai dengan kondisi lahan, sistem usahatani dan sosial ekonomi masyarakat. Natural increase (NI) dan net replacement rate (NRR) Perhitungan NI dan NRR di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 200 dapat dilihat pada Tabel 7. Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa ratarata NI sebesar 25,1 ± 5,9% yang berasal dari persentase kelahiran terhadap sampel populasi dikurangi persentase kematian ternak terhadap sampel populasi. Selanjutnya berdasarkan nilai NI dan dengan menggunakan teori pemuliaan diperoleh NRR sebesar 197,19 ± 91,29%. Hal ini berarti pada tahun 200, di DIY tersedia ternak pengganti sebesar 197,19% dari kebutuhan. NRR pada kabupaten bervariasi, hal ini tergantung jumlah kelahiran, kematian dan perbandingan jantan dan betina pedet yang lahir. Tabel 5. Mutasi sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 200 Keterangan Masuk (ekor): Pedet : Muda : Dewasa: Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman 2 6 1 1 x ± s 2,00 ± 1, 0,50 ± 1,00 1,75 ± 1,50 1,50 ±,00 1,50 ±,00 2,00 ± 2,0 19 6 9,50 ± 6,66 sapi masuk terhadap sampel populasi (%) 1,7 2,05,52 2,90 5,59 ± 5,56 Keluar (ekor): Pedet : Muda : Dewasa: 10 1 21 2 7 5 1 7 6 1 9 6 5 5 1,00 ± 5,5 7,75 ± 2,6 5,25 ± 2,22,25 ± 2,22,00 ±,0 9,00 ±,2 5 5 6,00 ± 6,7 sapi masuk terhadap sample populasi (%) 2, 1,7 17,5, 26,70 ± 1,10 Alasan (%) Mati Jual Beli Potong Digaduhkan Adat 1,2 6,6 27,27 7,27,67 6,1,16 2,0 7 19 92 2,6 ±,0 79, ± 11,9 1,10 ± 12,,61 ±,1 0,51 ± 1,02 16
Tabel 6. Pemeliharaan sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 200 Keterangan Sistem pemeliharaan sapi (%) Dikandang saja Dikandang dan dilepas Frekuensi pemberian pakan (kali/hari) Pedet Muda Dewasa Frekuensi pemberian minum (kali/hari) Pedet Muda Dewasa Kebersihan ternak (kali/hari) Memandikan ternak Kebersihan kandang Penanganan kotoran (%) Diolah Tidak diolah Penggunaan pupuk (%) Digunakan sendiri Dijual Campuran Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman, 11,67 2,20 1,7 1,7 1,9 1,9 1,9 1,00 1,00 100 100 5,56 6, 1,9 1,9 1,9 1,00 1,0 10 90 96,67 1,11 2,22 19 1 1,9 1,9 1,9 1,00 1,0 12 59 26 52,50 7,50 2,06 2,06 2,06 1,26 1,26 1,26 0, 0,1 1,5 1,5 60,2 25, 1, x ± s,5 51, 2,0 ± 0,1 1,95 ± 0,0 1,95 ± 0,0 1,0 ± 0,6 1,0 ± 0,6 1,0 ± 0,6 0, ± 0, 0,0 ± 0, 50, ± 6,67 9,12 ± 6,67 79,00 ± 22, 10,6 ± 12,09 10,6 ± 12,02 Jenis pakan yang diberikan terdiri dari: rumput potong, rumput lapangan, leugeuminosa, limbah pertanian (jerami padi, bekatul, dedak) dan limbah industri (ampas tahu) Tabel 7. Perhitungan NI dan NRR di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 200 Keterangan Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman sampel (ekor) 17 292 256 21 92 dewasa (%) 7,95 52,05,92 5,57 5,12 ± 5,76 Kelahiran pedet (%) Terhadap induk 56 55,1 25,97 2,5,5 5,17 21,5 61,9 ± 1,60 26,20 ± 5,16 Terhadap sampel 2,6 Kematian ternak (%) 1,6 0 0 1,7 0,0 ± 0,9 NI umur 1 tahun (%) 22,0 25,97,5 19,0 25,1 ± 5,9 Ramalan anak betina hidup umur 2 1,1 7,76,70 10,62 11,76 ±, tahun (%) tua yang dikeluarkan dari, 6, 5,5,2 6,1 ± 1,7 breeding per tahun (%) Kebutuhan sapi betina pengganti,90 6, 5,5,97 6,6 ± 1,79 per tahun/umur 2 tahun) NRR 26,16 120,50 2,91 116,17 197,19 ± 91,29 x ± s 17
Tabel. Perhitungan komposisi potensi sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta Keterangan Natural increase umur 2 tahun (%) Kebutuhan ternak pengganti (%) Sisa sapi muda (%) Komposisi potensi sapi potong (%) Sapi muda: Sapi dewasa/tua (afkir) Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman DIY,9 1, 1,,90 7,61 1,76 7,61,2 1,,90 7,76,2 6,,2 1,96 1,96 1,2,2 6, 17,75,70 16,0 5,5 6, 10,17 16, 10,17 16, 1,60 9,05 10,2 7,55,97 1,50 1,5 1,50 1,5 7,55,97 1,9 ± 5,19 11,76 ±, 25,25,67 ± 7,9 6,6 ± 1,79 10,1 9,1 ± 6,62 5,0 ±,5,11 9,1 ± 6,62 5,0 ±,5,11 1,6 ± 2,9 6,6 ± 1,79 10,1,9 1,1 7,76 17,75,70 9,05 10,2 1,9 ± 5,19 11,76 ±, 25,25 Total 22,0 25,96,5 19,7 25,25 Komposisi potensi sapi potong Estimasi komposisi potensi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 200, dapat dilihat pada Tabel. Tabel menunjukkan bahwa potensi atau output sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 25,25% dari populasi yang terdiri dari sapi muda sisa pengganti umur 2 tahun sebesar 9,1% jantan dan 5,0% betina, serta sapi tua (afkir) jantan,6% dan betina 6,6%. Potensi berdasarkan kabupaten, adalah Bantul,5%; Kulonprogo 25,96%; Gunung Kidul 22,0% dan Sleman 19,7%. Perbedaan potensi ini diduga disebabkan perbedaan ketersediaan pakan, tatalaksana pemeliharaan, iklim dan sosial ekonomi masyarakatnya. Disamping itu Gunung Kidul dan Sleman merupakan daerah penggemukan sapi potong rakyat. KESIMPULAN Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dapat menghasilkan sapi muda (umur 2 tahun), jantan 9,1% dari populasi yang dapat digunakan sebagai bakalan untuk digunakan, sapi muda (umur 2 tahun) betina 5,0% dari populasi yang dapat digunakan sebagai bibit, sapi dewasa (,1 tahun) jantan,6% dari populasi untuk dipotong dan sapi betina tua (afkir) 6,6% dari populasi untuk dipotong. Total output (potensi) sapi potong di wilayah DIY sebesar 25,25% dari populasi. 1
DAFTAR PUSTAKA HARDJOSUBROTO, W. 199. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. LASLEY, J.F. 191. Beef Cattle Production. Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J. 0762. TRIKESOWO, N., SUMADI dan SUYADI. 199. Kebijakan riset di bidang pengembangan dan perbaikan mutu sapi potong dengan teknik ladang ternak dan feedlot. Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Peternakan, Yogyakarta. 19