V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
LAMPIRAN. Lateks Segar. Bahan baku Brown Crepe (Compo) Lump mangkok Lump busa Scraps Serpihan sisa pengolahan RSS (Slab Basah) Penerimaan.

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi penting dan terbesar

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang

KAJIAN PELUANG IMPLEMENTASI PRODUKSI BERSIH DI INDUSTRI PENGOLAHAN KARET (Studi Kasus di PT CONDONG GARUT) SKRIPSI PRAMITA UMI HAPSARI F

TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya prakoagulasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

BAB 3 METODE PENELITIAN. Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

I. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III PENCEMARAN SUNGAI YANG DIAKIBATKAN OLEH LIMBAH INDUSTRI RUMAH TANGGA. A. Penyebab dan Akibat Terjadinya Pencemaran Sungai yang diakibatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet

SNI Standar Nasional Indonesia. Bahan olah karet ICS. Badan Standardisasi Nasional

Gambar. Diagram tahapan pengolahan kakao

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

PENENTUAN PLASTISITAS AWAL DAN PLASTISITAS RETENSI INDEKS KARET. Rudi Munzirwan Siregar

BAB I PENDAHULUAN. bumi ini yang tidak membutuhkan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS

SIH Standar Industri Hijau

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENERAPAN IPTEKS PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS. Oleh Rudi Munzirwan Siregar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL

BAB I PENDAHULUAN. industri berat maupun yang berupa industri ringan (Sugiharto, 2008). Sragen

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan ternak, dan diolah menjadi tepung

BAB III METODE PENELITIAN

DOK.KTI 721. Proceeding of. Second Added Value Of Energy Resources. 2 nd AvoER Palembang, Juli 2009

PETANI DI BABEL MASIH MENGGUNAKAN TAWAS SEBAGAI KOAGULAN LATEKS

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Produksi Karet Indonesia Berdasarkan Kepemilikan Lahan pada Tahun Produksi (Ton)

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

OPTIMASI PROSES PIROLISIS ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA DAN APLIKASINYA SEBAGAI KOAGULAN LATEKS

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. dari proses soaking, liming, deliming, bating, pickling, tanning, dyeing,

TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN SAMPAH ANORGANIK

II. TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tiga, yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN)

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua

BAB III METODE PENELITIAN

PENGOLAHAN LIMBAH PEWARNAAN KONVEKSI DENGAN BANTUAN ADSORBEN AMPAS TEBU DAN ACTIVATED SLUDGE

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran yang melampui daya dukungnya. Pencemaran yang. mengakibatkan penurunan kualitas air berasal dari limbah terpusat (point

PEMANFAATAN ASAP CAIR SERBUK KAYU SEBAGAI KOAGULAN BOKAR THE UTILIZATION OF LIQUID SMOKE FROM SAWDUST AS BOKAR COAGULANT. Abstrak

Arang Tempurung Kelapa

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam kegiatan seperti mandi, mencuci, dan minum. Tingkat. dimana saja karena bersih, praktis, dan aman.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Minyak dan lemak merupakan komponen utama bahan makanan yang juga

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kehidupan dan kesehatan manusia (Sunu, 2001). seperti Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat,

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam terbesar dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota

METODE PENELITIAN. Pengolahan Hasil Perkebunan STIPAP Medan. Waktu penelitian dilakukan pada

BAB 3 ALAT DAN BAHAN. 1. Gelas ukur 25mL Pyrex. 2. Gelas ukur 100mL Pyrex. 3. Pipet volume 10mL Pyrex. 4. Pipet volume 5mL Pyrex. 5.

RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR. Oleh DEDY BAHAR 5960

BAB I PENDAHULUAN. berdampak positif, keberadaan industri juga dapat menyebabkan dampak

BAB I PENDAHULUAN. industri kelapa sawit. Pada saat ini perkembangan industri kelapa sawit tumbuh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 2010

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI SIRUP, KECAP DAN SAOS

Analisis Zat Padat (TDS,TSS,FDS,VDS,VSS,FSS)

PENGARUH WAKTU TERHADAP KESTABILAN INTENSITAS BERKAS CAHAYA PADA LATEKS

II. DESKRIPSI PROSES

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS

Teknologi Pengolahan Bokar Bersih

KELAYAKAN PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAHU PADA INDUSTRI KECIL DI DUSUN CURAH REJO DESA CANGKRING KECAMATAN JENGGAWAH KABUPATEN JEMBER

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

I. PENDAHULUAN. Limbah berbahaya adalah limbah yang mempunyai sifat-sifat antara lain

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. fisika dan daya tahan karet dipakai untuk produksi-produksi pabrik yang

PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN SAMPAH ORGANIK MENJADI BRIKET ARANG DAN ASAP CAIR

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

BAB I PENDAHULUAN. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditi pertanian

Pengeringan Untuk Pengawetan

BAB I PENDAHULUAN. air limbah. Air limbah domestik ini mengandung kotoran manusia, bahan sisa

PENGOLAHAN LIMBAH PABRIK MIE INSTAN

PEMANFAATAN ASAP CAIR SERBUK KAYU SEBAGAI KOAGULAN BOKAR THE UTILIZATION OF LIQUID SMOKE FROM SAWDUST AS BOKAR COAQULANT

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Ketaatan Terhadap Kewajiban Mengolahan Limbah Cair Rumah Sakit dengan IPAL

BAB I PENDAHULUAN. Industrialisasi menempati posisi sentral dalam ekonomi masyarakat

II. PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK GEDUNG SOPHIE PARIS INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III PROSES PRODUKSI kg kering per hari adalah sebagai berikut :

Sewage Treatment Plant

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Produksi Ribbed Smoked Sheet dan Estate Brown Crepe Lateks hasil sadapan dari kebun diangkut ke tiap afdeling. Lateks dikumpulkan disebuah bak yang ada tiap afdeling yang sebelumnya dilakukan penyaringan untuk membuang kotorankotoran yang terbawa saat penyadapan. Kemudian lateks yang sudah terkumpul tersebut diukur volumenya dan dimasukkan ke dalam tangki dan dibawa ke pabrik. Setibanya di pabrik, dilakukan pengukuran volume dan selalu terjadi pengurangan volume karena selama di perjalanan terjadi goncangan yang menyebabkan lateks berbusa. Lateks kebun yang memiliki nilai Kadar Karet Kering (KKK) 25-0 % dilakukan pengenceran. Pengenceran tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan nilai KKK hingga mencapai 14% agar warna lateks yang dihasilkan lebih cerah. Pengenceran dengan cara menambahkan air tersebut, bertujuan untuk memudahkan penghilangan gelembung udara atau gas yang terdapat di dalam lateks, serta dapat melunakkan bekuan lateks sehingga mengurangi tenaga yang diperlukan untuk proses penggilingan. Selama proses pencampuran di tahap ini menghasilkan limbah, limbah terbentuk pada saat penyaringan lateks ke dalam bak pencampuran. Limbah yang dihasilkan berupa lump busa yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan estate brown crape. Pada proses pembekuan, lateks yang telah diencerkan, dicampurkan dengan larutan asam format. Banyaknya asam format yang digunakan pada tahap ini, sangat tergantung dari jumlah campuran lateks yang akan dibekukan. Semakin tinggi jumlah lateks yang akan dibekukan semakin tinggi pula larutan asam format yang dibutuhkan untuk membantu mempercepat proses pembekuan. Pada proses ini juga dihasilkan limbah berupa lump busa ketika dilakukan proses pengadukan saat menghomogenkan lateks dan asam format. Proses penggilingan yang bertujuan untuk menipiskan bekuan serta mengeluarkan sisa bahan kimia dan air yang masih terkandung dalam bekuan, dilakukan dengan bantuan dua operator untuk menarik bekuan menuju mesin sheeter. Dalam proses ini memperlihatkan adanya penggunaan air dalam jumlah besar yang bertujuan untuk memudahkan bekuan untuk mengapung, sehingga meringankan tenaga operator dalam menarik bekuan. dialirkan melalui talang air menuju bak pembekuan kemudian bekuan diambil dari bak dan dialirkan menuju mesin penggilingan. Proses penggilingan dengan sheeter menghasilkan limbah cair berwarna putih pekat. limbah langsung dialirkan menuju kolam IPAL, dimana limbah tersebut terdiri dari air yang digunakan untuk mengapungkan bekuan dan air ataupun bahan kimia yang keluar dari bekuan setelah diberi tekanan oleh sheeter. Sheet tersebut kemudian dimasukkan dalam rumah asap selama 4-6 hari. Dimana suhu dalam rumah asap selalu dikontrol oleh petugas agar proses pengeringan sheet dapat sempurna. Selama di dalam rumah asap sheet akan mengalami penurunan bobot, akibat proses pematangan yang menghilangkan kandungan air yang terkandung dalam sheet. Pada proses produksi estate brown crepe dimulai dari proses pencucian yang dimaksudkan untuk menyingkirkan benda selain bahan baku, misalnya daun, plastik, ranting kayu serta benda dan kotoran lainnya yang terikut dalam tumpukan lump. Pada proses ini lump direndam dalam bak penampungan. Selain itu pada tahap ini lump dikelompokkan, dimana lump yang sudah jelek yang berwarna coklat kehitaman dipisahkan dengan lump yang masih segar yang berwarna putih. Limbah yang dihasilkan berupa limbah cair dari air sisa pencucian dan limbah padat. Limbah cair tersebut langsung dibuang ke saluran IPAL yang berada di samping pabrik. Lump 15

yang telah dicuci dan disortasi kemudian dilakukan pencacahan oleh mesin pencacah. Pencacahan ini bertujuan untuk menghancurkan padatan dan menghancurkan kotoran dan lendir yang tidak terambil ketika pencucian di awal. Pada proses ini air harus selalu dialirkan sebagai pendingin dan untuk membersihkan kotoran. Pada proses ini dihasilkan limbah berupa limbah cair dan limbah berupa kotoran. Pada proses pembentukan, lump yang berbentuk bongkahan-bongkahan dibentuk lembaran kasar dengan ketebalan 5 cm dengan menggunakan cairan H 2 SO 4 (asam sulfat) untuk membentuk lembaran crepe yang mantap. Pada proses ini air juga harus terus dialirkan sebagai pendingin agar karet tidak panas dan lengket. Limbah yang dihasilkan adalah limbah cair yang mengandung asam sulfat.. Proses ini membentuk lembaran-lembaran krep yang memiliki ketebalan 5 cm digiling hingga memiliki ketebalan 1-2 cm. Pada proses ini tidak lepas dari penggunaan air untuk menghindari panas yang disebabkan oleh mesin. Oleh karena itu dihasilkan juga limbah cair yang tidak sedikit. Selain limbah cair yang dihasilkan dari mesin, pekerja juga terkadang menyemprotkan air ke lantai untuk mencegah timbulnya bau dan mengeringnya lateks dilantai. Hal ini menyebakan banyak air menggenang di lantai. Crepe yang telah selesai digiling kemudian ditimbang dan dilakukan proses pengeringan. Pengeringan dilakukan secara alami dengan bantuan matahari selama 0-45 hari. B. Neraca Massa Analisis penerapan produksi bersih bertujuan untuk mengetahui potensi penerapan produksi bersih di PT Condong Garut. Sebelum melakukan analisis, neraca massa harus dihitung dan dikaji terlebih dahulu. Neraca massa dapat membantu untuk mengetahui sumber limbah dan dapat membantu dalam analisis untuk menetukan pilihan produksi bersih yang tepat untuk meminimalkan bahan baku, energi, dan limbah yang terbuang. Perhitungan neraca massa ini dilakukan berdasarkan penelitian dari Samuel Saortua Manullang (2006) dan dari pengamatan di lapangan. a. Ribbed Smoked Sheet 1. Stasiun Penerimaan Lateks Kebun 9000 kg Penerimaan Lateks Bersih 8820 kg Lump Busa (±2% dari lateks kebun) 180 kg Gambar 5. Neraca massa proses penerimaan lateks 16

2. Stasiun Pengenceran Lateks Kebun 8820 kg 7560 kg Pengenceran Campuran Lateks 16216,4 kg Limbah (±1% dari input) 16,8kg Gambar 6. Neraca massa proses pengenceran lateks. Stasiun Pembekuan Campuran Lateks 16216,4 kg Asam Format 2,40 kg Pembekuan Bekuan 16086,1 kg Lump Busa (± 1% dari input) 162,49 kg Gambar 7. Neraca massa proses pembekuan lateks 4. Stasiun Penggilingan Bekuan tebal 16086,1 kg 45670,58 kg Sheeter Bekuan tipis 802,6 kg Limbah 5688,5 kg Lump Basah 45 kg Gambar 8. Neraca massa proses penggilingan sheet 5. Stasiun Pengasapan Bekuan tipis 802,6 kg Ruang Pengasapan RSS 209,5 kg Uap 4814,01 kg Gambar 9. Neraca massa proses pengasapan sheet 17

b. Estate Brown Crepe 1. Pencucian dan Sortasi Lump Mangkok,lump busa, scraps dan slab basah 1000 kg 850 Kg Pencucian Dan Sortasi Lump bersih 950 kg Limbah cair 850 kg Kotoran 50 kg Gambar 10. Neraca massa proses pencucian dan sortasi bokar 2. Pencacahan Lump bersih 950 kg 480 kg Pencacahan Lump cacah 910 kg Limbah cair 520 kg Gambar 11. Neraca massa proses pencacahan bokar. Pembentukan Lump cacah 910 kg 550 kg H 2 SO 4,5 L Pembentukan Crepe tebal 728 kg Limbah cair 72 kg Gambar 12. Neraca massa proses pembentukan crepe 18

4. Finishing Crepe tebal 728 kg 480 kg Finishing Crepe tipis 52 kg Limbah cair 676 kg Gambar 1. Neraca massa proses finishing 5. Pengeringan Crepe tipis 52 kg Pengeringan Estate Brown Crepe 17 kg Uap air 52 Gambar 14. Neraca massa proses pengeringan Tabel 2. Sistem Kesetimbangan Massa Proses Produksi Karet Proses Input Produk Limbah A. RSS Penerimaan lateks Lateks kebun Lateks bersih Lump busa Sumber Data 2 Pilihan Produksi Bersih Bahan baku EBC Pengenceran Pembekuan Penggilingan Pengeringan Lateks bersih dan air Camp. Lateks dan asam format Bekuan tebal dan Bekuan tipis Camp Lateks Bekuan tebal Bekuan tipis RSS Lump busa Lump busa Slabs basah dan air Uap air 1 Bahan baku EBC Bahan baku EBC Bahan baku EBC IPAL B. Estate Brown Crepe Pencucian dan Sortasi Pencacahan Lump, scrap dan slab basah Lump bersih Lump bersih Lump cacah dan kotoran 2 IPAL IPAL Pembentukan Finishing Pengeringan Lump cacah dan asam sulfat Crepe tebal dan asam sulfat Crepe tipis Crepe tebal Crepe tipis Estate brown crepe Uap IPAL IPAL IPAL Keterangan 1. Pengukuran langsung 2. Informasi dari lapangan. Studi pustaka 19

C. Penanganan Limbah yang Diterapkan Penanganan limbah PT Condong Garut sudah menggunakan Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL). Semua limbah cair dari proses produksi akhirnya akan masuk ke IPAL. Limbah cair tersebut diolah sedemikan rupa hingga tidak mencemari sungai ketika dibuang. Proses pengolahan limbah cair yang dihasilkan dari produksi RSS dan estate brown crape menggunakan sistem pengolahan biologi yang terdiri dari kolam rubber trap, kolam aerasi, kolam pengendapan dan kolam testimoni. Kolam rubber trap digunakan untuk memisahkan padatan dari limbah cair yaitu partikel-partikel karet yang tidak menggumpal pada proses koagulasi. Pengolahan biologi merupakan suatu teknik untuk pengolahan limbah cair yang mengandung senyawa organik dengan memanfaatkan kemampuan purifikasi alamiah oleh mikroba. Sistem proses biologi merupakan cara yang paling luas digunakan untuk mengolah limbah cair yang mengandung senyawa organik dan untuk meningkatkan efektivitas pengolahan limbah (Metcalf dan Eddy, 1991). Pengolahan biologi yang dilakukan oleh PT Condong Garut dengan menggunakan sistem lumpur aktif. Proses lumpur aktif adalah suatu sistem yang menguraikan senyawa organik dengan menggunakan bakteri atau mikroba pengurai yang bersifat aerob dengan perbandingan keduanya dikontrol agar selalu tetap. Dalam proses penguraian senyawa organik dengan lumpur aktif dibuat bersinggungan dengan waktu yang memadai sambil diberikan pasokan oksigen (udara) sehingga senyawa organik dalam limbah akan terurai. Pada sistem lumpur aktif, berbagai macam bakteri, fungi, protozoa, dan metazoa hidup dalam kumpulan didalamnya dan membentuk struktur piramida rantai makanan. Sistem lumpur aktif terdiri dari kolam aerasi yaitu tempat lumpur aktif (kumpulan dari mikroba dan bakteri aerob) dan limbah cair bercampur sambil diberi udara (oksigen). Di kolam ini senyawa organik (BOD, COD) diuraikan oleh mikroba aerob. Setelah penguraian senyawa organik di dalam kolam aerasi telah selesai, campuran lumpur dan air dialirkan ke kolam pengendapan untuk dilakukan pemisahan air dan lumpur. yang terpisah yang kandungan BODdan COD sudah berkurang dialirkan keluar ke kolam testimoni sedangkan lumpurnya dialirkan kembali ke kolam aerasi. Dari pengolahan limbah cair karet dengan sistem lumpur aktif dihasilkan lumpur berlebih yang berasal dari kolam pengendapan akhir dan padatan terapung (scum). Scum merupakan hasil endapan melayang dari proses penguraian oleh bakteri. Scum tersebut dikeringkan dan diaplikasikan di sekitar tanaman kelapa sawit karena dapat untuk memperbaiki sifat fisik-kimia tanah. D. Prinsip Produksi Bersih yang Sudah Diterapkan Bahan baku berupa lateks kebun hasil sadapan yang diterima oleh pabrik, sebelum dikirim ke pabrik untuk diolah telah mengalami penyaringan di stasiun penerimaan lateks yang berada di areal perkebunan karet. Penyaringan tersebut menyebabkan lateks yang diterima oleh pabrik, telah bebas dari limbah padat berupa ranting, daun ataupun bahan padat lain yang tercampur dalam lateks. Usaha penyaringan lateks di stasiun dapat mengurangi beban limbah yang akan ditangani oleh IPAL pabrik. Selain itu usaha produksi bersih dilakukan dengan cara menggunakan kembali lump mangkok, scraps dan serpihan sisa pengolahan RSS (slab basah) untuk bahan baku pembuatan estate brown crape. Selain itu menggunakan kembali lump busa untuk diolah dan digunakan sebagai pelapis RSS jenis cutting. Selain itu, tata letak di PT Condong Garut sudah sesuai urutan proses produksi sehingga proses produksinya efisien dan lantai produksi juga sudah berupa keramik sehingga keadaan ruangan produksi terlihat bersih. 20

Tabel. Karakteristik Limbah Hasil Pengolahan IPAL Komponen Satuan Maksimum Sebelum IPAL Setelah IPAL ph BOD COD N-Nitrat NH -N TSS mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l 6-9 100 250 25 15 100 6,27 1778 2970 2,24 5,45 600 7,19 12 19,8,6 2,21 18 E. Strategi Produksi Bersih yang Dapat Diterapkan Produksi bersih dapat meningkatkan efisiensi produksi dan memberikan manfaat positif bagi lingkungan. Pada dasarnya PT Condong Garut sudah mengetahui pilihan-pilihan yang dapat memperbaiki produksi karet. Namun hal ini belum dapat dilakukan karena berbagai alasan. Pilihan produksi bersih yang dapat diterapkan oleh PT Condong Garut antara lain penerapan good housekeeping yang meliputi penghematan air dengan adanya pemantauan air dan membuat bak penampungan bahan baku bokar untuk meningkatkan kualitas produk estate brown crepe yang dihasilkan. Produksi bersih juga dilakukan dengan penggantian bahan penggumpal yang alami yakni asap cair yang berasal dari pirolisis cangkang kelapa sawit dan pemanfaatan partikel karet yang terdapat pada kolam rubber trap untuk bahan baku alas kaki. F. Analisis Alternatif Penerapan Produksi Bersih secara Kajian di Lapangan Analisis alternatif penerapan produksi bersih didasarkan pada peninjauan secara langsung terhadap industri pengolahan karet di PT Condong Garut. Analisis ini ditinjau dari beberapa aspek yakni aspek teknis, aspek lingkungan dan aspek ekonomi. Aspek teknis artinya meninjau dari kemudahan dalam penerapan teknologi dari pilihan yang diberikan. Aspek lingkungan artinya meninjau dampak yang diakibatkan terhadap lingkungan, sedangkan aspek ekonomi adalah meninjau penambahan pemasukan atau penghematan yang diberikan dari penerapan pilihan produksi bersih tersebut. 1. Penerapan Good housekeeping Terdapat beberapa macam pilihan dalam hal penerapan good housekeeping ini, antara lain pemantauan pemakaian air ketika proses produksi berlangsung. Meskipun sumber air yang digunakan berasal dari mata air pegunungan yang sangat melimpah, namun dengan melakukan good housekeeping ini penggunaan air dapat terkendali. Pembuatan bak penampung bokar juga dapat dilakukan untuk menjaga mutu bokar. Selama ini, bokar yang diangkut dari kebun hanya diletakkan di lantai produksi yang tergenang air. Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan mutu bokar dan menyebabkan bau tidak yang tidak enak. Oleh karena itu, perlu adanya penampungan bokar sebelum bokar di cuci. Dari segi teknis, penerapan good housekeeping tersebut mudah dilakukan karena hanya membutuhkan tambahan peralatan yang sederhana dan dibutuhkan pengontrolan produksi yang baik. Penerapan good housekeeping ini akan berdampak pada jumlah limbah cair yang ditangani oleh IPAL akan berkurang, mutu produk akan terjamin, dan kebersihan tempat produksi akan terjaga. Aspek Ekonomi a. Biaya pembelian bak penampung dari aluminium dengan volume 2 m dengan asumsi biaya = Rp 400.000,00 (sumber harga dari PT Condong Garut) 21

b. Asumsi dengan adanya bak penampung bokar akan terjadi peningkatan mutu untuk estate brown crepe I sebesar 5% (PT Condong Garut). Peningkatan mutu ini diartikan bokar lebih terjaga kebersihannya sehingga tidak terjadi kontaminasi dengan mikroba yang menyebabkan penurunan mutu berupa bau dan kerusakan partikel karet di dalam bokar. Pada tahun 2011 PT Condong Garut rata-rata menghasilkan 20.000 kg estate brown crepe/bulan dengan komposisi 17% mutu I, 51% mutu II, 25% mutu III dan 7% mutu cutting. Peningkatan mutu dari mutu II menjadi mutu I (5%X51%) X 20.000kg/bulan = 510 kg/bulan Keuntungan : 510 kg/bulan X Rp 000,00 (selisih harga mutu I dan II, PT Condong Garut) = Rp 1.50.000/bulan Paybackperiod= = = 0,26 bulan 2. Penggantian Bahan Penggumpal yang Anti Bakteri Proses penggumpalan RSS di PT Condong Garut dilakukan dengan menggunakan zat kimia berupa asam format. Penggunaan asam format tersebut bisa digantikan dengan menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan yakni asap cair atau Deorub. Deorub adalah cairan berwarna cokelat dengan ph sekitar 2,5 yang diproduksi melalui proses pirolisis tempurung kelapa sawit dalam suatu reaktor tertutup pada suhu 00-400 0 C selama 8-10 jam (Solichin, 2007). Asam asetat yang terdapat di dalam asap cair dapat digunakan sebagai penggumpal lateks kebun (Solichin, 200), sedangkan senyawa-senyawa fenolik terbukti sebagai anti oksidan, anti bakteri, dan anti jamur (Darmadji dan Rahardjo, 2002). Sifat anti oksidan yang akan melindungi molekul karet dari oksidasi pada suhu tinggi sehingga nilai PRI akan tetap tinggi. Sifat anti bakteri tidak hanya mencegah pertumbuhan bakteri tetapi juga membunuh bakteri, di dalam lateks atau koagulum, sehingga mencegah terjadinya bau busuk dari koagulum yang diberi koagulum, sementara sifat anti jamur mencegah pertumbuhan jamur pada sheet kering dan senyawa karbonil akan memberikan warna cokelat yang seragam pada sheet kering. Penggantian bahan penggumpal ini cukup memungkinkan diterapkan di industri pengolahan karet PT Condong Garut. Dari segi teknis proses penggantian ini mudah dilakukan karena prosesnya tidak jauh berbeda dengan penggunaan asam format. Penggunaan asap cair ini juga dapat dilakukan untuk mengurangi bau busuk bokar pada saat pengolahan estate brown crepe. Asap cair tersebut hanya disemprotkan saja ke tumpukan bokar. Cairan tersebut dapat mengurangi bau busuk pada bokar karena dapat mengurangi pertumbuhan mikroba dan bakteri yang hidup di bokar. Perbedaan mutu sheet yang dihasilkan antara asam format dan asap cair dapat dilihat pada Tabel. Penentuan nilai Plasticity Retention Index (PRI) adalah ukuran dari besarnya sifat keliatan (plastisitas) karet mentah sebelum (Po) dan sesudah (Pa) pengusangan pada suhu 140 0 C selama 0 menit. Nilai PRI yang tinggi menunjukan ketahanan yang tinggi terhadap degradasi oleh oksidasi serta tingkat kekuatan produk. Dengan mengetahui nilai PRI dapat diperkirakan mudah atau tidaknya karet menjadi lengket selama penyimpanan atau jika dipanaskan. Viscositas Rubber (VR) ) merupakan panjangnya rantai molekul karet atau BM serta derajat pengikatan silang rantai molekulnya. Semakin tinggi BM hidrokarbon karet 22

semakin panjang rantai molekul dan semakin tinggi tahanan terhadap aliran, dengan kata lain karetnya semakin viskos dan keras. Tabel 4. Perbedaan mutu sheet yang dihasilkan antara asam format dan asap cair No Parameter Asam format Asap cair 1 2 4 5 6 7 8 9 Dosis Kecepatan beku Warna bekuan Bau Serum Mutu Po Pa PRI VR Sumber : Balai Penelitian Sumbawa, 2005 55 ml larutan 2% 12 menit Putih Bau busuk Putih 46 40 85 75 80 ml larutan 5% 16 menit Coklat krem Bau asap Coklat jernih 49 4 89 80 Aspek Ekonomi Keunggulan asap cair untuk penggumpalan lateks pada pengolahan RSS dibandingkan dengan menggunakan asam format adalah dapat mengurangi waktu pengeringan dari 120 144 jam atau 5 6 hari menjadi 6 48 jam atau 1,5 2 hari (Solichin, 2007). Penghematan waktu disebabkan karena dengan menggunakan koagulan asap cair maka waktu pengasapan yang berfungsi sebagai proses pengawetan dapat dihilangkan. Proses pengawetan tersebut terjadi pada saat pembekuan sehingga pengasapan hanya berfungsi sebagai pengering sheet saja. Dengan demikian jumlah kayu karet yang digunakan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan asap dan panas dapat dikurangi. Perbandingan biaya pengolahan tersebut adalah seperti dipaparkan pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan biaya penggunaan koagulan asap cair dan asam format pada pengolahan RSS untuk produksi empat ton karet kering di PT Condong Garut menggunakan formula perhitungan menurut Solichin (2007) Uraian Biaya per kg karet kering (Rp) Asap cair Asam format Asam format 6 ml/kg karet kering Rp - 288.000 12.000/liter Asap cair 75 ml/kg karet kering Rp 4.200/liter 1.260.000 - Kebutuhan kayu karet untuk 6 hari - 2.080.000 pengeringan (4m /ton karet kering harga Rp 10.000/m ) Kebutuhan kayu karet untuk 2 hari 691.600 - pengeringan (1,m /ton karet kering harga Rp 10.000/m ) Jumlah biaya 1.951.600 2.68.000 Penghematan biaya/kg karet kering Rp (%) 410.400 (17,6%) 2

. Pemanfaatan Partikel Partikel Karet pada Kolam Rubber Trap Proses pengolahan limbah cair di IPAL, pada kolam rubber trap masih terkandung partikel-partikel karet yang masih dapat digunakan sebagai bahan baku alas kaki (Utomo, 2006). Partikel-partikel karet tersebut akan terapung di permukaan kolam dan apabila sudah menumpuk, partikel tersebut dapat diambil dan dimasukkan ke dalam wadah dan kemudian dijual ke industri alas kaki. Dari segi teknis pemanfaatan partikel ini mudah dilakukan karena hanya mengambil partikel yang terapung tanpa ada perlakuan yang sulit. Industri yang akan memanfaatkan partikel karet ini akan mendapatkan bahan baku yang lebih bersih karena ada penampungan awal untuk mengumpulkan partikel sehingga terhindar dari kotoran seperti tanah. Penggunaan kembali atau daur ulang partikel karet di kolam rubber trap penting dilakukan karena dengan daur ulang ini akan mengurangi kandungan karet yang terkandung dalam air limbah buangan sehingga bahaya terhadap lingkungan dapat diminimalkan. Aspek Ekonomi a. Biaya pembelian alat pengutip limbah = Rp 110.000,- (sumber dari alatcleaning.com) b. Biaya pembuatan bak penampung dengan volume 1,5 m dengan asumsi biaya pemasangan batu bata sebesar Rp 100.000/m. Jadi biaya pembuatan bak sebesar 1,5 m X Rp 100.000/m. = Rp 150.000,00 (sumber dari narasumber di PT Condong Garut) Total biaya investasi = Rp 260.000,00 c. Biaya pembelian karung = Rp 1000/karung X 8 karung/bulan = Rp 8.000,00 (dengan asumsi seminggu sekali pengambilan limbah dan banyaknya limbah 50 kg dengan ukuran karung 25 kg, harga bersumber dari tokopedia.com) Biaya penjualan limbah partikel karet = Rp 5000/kg X 50 kg/minggu X 4 minggu/bulan = Rp 800.000/bulan (harga bersumber dari narasumber di Pusat Penelitian Bogor) Net profit: Rp 800.000 Rp 8.000 = Rp 792.000 Paybackperiod = = = 0, bulan 4. Pemberian insentif kepada industri yang menerapkan produksi bersih Insentif adalah suatu penghargaan dalam bentuk material atau non material yang diberikan oleh pihak pimpinan organisasi perusahaan kepada karyawan agar mereka bekerja dengan motivasi yang tinggi dan berprestasi dalam mencapai tujuan-tujuan perusahaan. Pelaksanaan insentif dimaksudkan untuk meningkatkan produktifitas pelaku industri. Insentif adalah dorongan agar seseorang agar mau bekerja dengan baik dan agar dapat mencapai produktivitas yang tinggi sehingga dapat membangkitkan gairah kerja dan motivasi yang tinggi (Romadoni, 2011) Pemberian insentif bertujuan agar pelaku industri lebih terpacu untuk menerapkan produksi ke arah yang lebih baik. Pemberian insentif bisa berasal dari berbagai pihak. Dukungan dari pemerintah melalui penetapan kebijakan hukum, serta pemberian penghargaan yang tepat terhadap industri yang melakukan pengendalian limbah dan dari tiga opsi produksi bersih di atas. 24

G. Analisis Alternatif Penerapan Produksi Bersih secara Kualitatif Analisis alternatif penerapan produksi bersih secara kualitatif ini dilakukan menggunakan proses hirarki analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagian dan tertata dalam suatu hierarkhi (Marimin dan Maghfiroh, 2010). Struktur hirarkhi penerapan produksi bersih yang diambil dari industri pengolahan karet dapat dilihat pada Gambar 15. Pada Gambar 15. menunjukkan struktur hirarki dari kasus permasalahan yang ingin diteliti yakni pemilihan alternatif produksi bersih pada industri pengolahan karet yang berdasarkan tiga faktor yakni lingkungan, ekonomi, dan teknik. Garis garis yang menghubungkan kotak kotak antar level merupakan hubungan yang perlu diukur dengan perbandingan berpasangan dengan arah ke level yang lebih tinggi. Tujuan yang ingin dicapai adalah penerapan produksi bersih pada pengolahan karet dengan faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap persoalan tersebut yakni lingkungan, teknis dan ekonomi. Aktor yang berpengaruh antara lain pelaku industri, litbang, dan lembaga pemerintahan. Strategi yang ditawarkan antara lain penerapan good housekeeping yang meliputi pemantauan pemakaian air dan pembuatan bak penampung untuk bokar. Selain itu penggantian bahan penggumpal yang anti bakteri, pemanfaatan partikel-partikel karet yang masih terdapat pada rubber trap, dan pemberian insentif kepada pelaku industri yang menerapkan produksi bersih. Penerapan Produksi Bersih Pada Pengolahan Karet Ekonomi Lingkungan Teknis Pelaku Industri Litbang Lembaga pemerintahan Penerapan Good Housekeeping Penggunaan koagulan yang mengandung anti bakteri Pemanfaatan partikel karet dalam rubber trap Pemberian Insentif bagi pelaku industri yang menerapkan produksi bersih Gambar 15. Struktur Hirarki dengan Analitycal Hierachy Process (AHP) Penerapan Produksi Bersih pada Pengolahan Karet Hasil pengolahan pendapat pakar dipaparkan pada Gambar 16, dimana dapat diketahui bahwa dari tiga faktor yang mempengaruhi upaya penerapan produksi bersih, faktor lingkungan merupakan faktor terpenting dengan bobot 0,655, kemudian faktor teknis (0,206) dan ekonomi (0,19). Hal ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan mempunyai peranan penting dalam penerapan produksi bersih dalam pengolahan karet. Diharapkan dengan penerapan produksi bersih perbaikan lingkungan dapat dilakukan. Aktor yang berpengaruh dengan nilai bobot terbesar sampai terkecil adalah pelaku industri (0.68), lembaga pemerintahan (0.218), dan litbang (0.142). 25

Hal ini menunjukan bahwa pelaku industri memegang peranan penting untuk menunjang terlaksananya produksi bersih pada pengolahan karet. Pelaku industri sebagai pelaksana komitmen, kepemilikan modal, dan yang mengaplikasikan strategi yang ditawarkan. Kepemilikan modal saja tentu tidak akan cukup jika tidak didukung dari segi pengembangan teknologi atau informasi lain terkait penerapan produksi bersih pada pengolahan karet. Sementara itu, lembaga pemerintahan menempati posisi kedua sebagai aktor yang berpengaruh karena menurut pendapat pakar, dukungan yang diberikan pemerintah juga mempengaruhi dalam menjalankan penerapan produksi melalui penilaian terhadap penanganan limbah pada industri. Gambar 16. Hasil perhitungan bobot faktor dan aktor dengan AHP Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2000), pelaksanaan produksi bersih lebih mengarahkan pada pengaturan diri sendiri (self regulation), daripada pengaturan secara command and control. Jadi pelaksanaan program produksi bersih ini tidak hanya mengandalkan peraturan pemerintah saja, tetapi lebih didasarkan pada kesadaran untuk merubah sikap, cara pandang, dan tingkah laku. Synthesis with respect to: Goal: Penerapan produksi bersih pada pengolahan karet Overall Inconsistency =,05 penerapan good housekeeping,277 pemanfaatan partikel karet,272 penggunaan koagulan antibakteria,258 pemberian insentif,194 Gambar 17. Hasil perhitungan bobot alternatif strategi produksi bersih dengan AHP Dari pengolahan data menggunakan Expert Choice 2000, Gambar 17 dapat dilihat sttrategi penerapan good housekeeping menempati posisi pertama dengan bobot 0,277. Dilanjutkan dengan strategi pemanfaatan partikel karet sebesar 0,272, kemudian strategi penggantian koagulan antibakteria sebesar 0,258 dan pemberian insentif bagi pelaku industri sebesar 0,194. Hal ini berarti untuk penerapan produksi bersih dalam pengolahan karet, alternatif strategi yang diprioritaskan terlebih dahulu adalah penerapan good housekeeping. Hasil AHP dikatakan sudah konsisten jika memiliki nilai ratio konsistensi maksimal 10%. Jika lebih dari 10% maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki. Dari pengolahan data menggunakan expert choice 2000, diperoleh nilai inkonsistensi sebesar 0,05. Hal ini berarti hasil 26

yang diperoleh dapat dikatakan sudah konsisten dan cukup akurat karena masih dalam batas rasio konsistensi 10%. H. Implementasi Produksi Bersih Implementasi produksi bersih berupaya memadukan strategi produksi bersih untuk mencapai tujuan yaitu penerapan produksi bersih pada industri pengolahan karet. Setelah menganalisis pilihan produksi bersih dari aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi maka dapat dilakukan penentuan skala prioritas. Penentuan skala prioritas ini dilakukan dengan pemberian penilaian terhadap masing-masing pilihan. Tabel 5 dipaparkan mengenai urutan prioritas masingmasing pilihan. Tabel 6. Pembobotan pilihan penerapan produksi bersih Pilihan Penerapan Penilaian Produksi bersih Teknis Lingkungan Ekonomi Total Good Housekeeping ( 9 Pemantauan penggunaan air dan pembuatan bak penampungan bokar) Penggantian bahan koagulan 2 8 anti bakteri Pemanfaatan partikel karet 2 2 7 yang terdapat dalam kolam rubber trap Pemberian insentif kepada 2 2 2 6 industri yang menerapkan produksi bersih Prioritas 1 2 4 Apabila pilihan produksi bersih penerapan good housekeeping dan pemanfaatan partkel karet dalam kolam rubber trap dilaksanakan maka dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut : a. Total biaya investasi kedua pilihan tersebut = Rp 660.000,- b. Keuntungan perbulan dari pilihan good housekeeping = Rp 1.50.000,- c. Net saving pemanfaatan partikel karet dalam kolam rubber trap = Rp 792.000,- PBP = = 0,28 bulan Strategi untuk penerapan produksi bersih pada industri pengolahan karet dengan implementasi produksi bersih diwujudkan dari penggabungan hasil kajian di lapangan yang dikaji secara teknis, ekonomi, dan lingkungan serta dari analisis kualitatif dengan AHP. Dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan hasil analisis penerapan produksi bersih secara kajian di lapangan dan secara kualitatif. Secara kajian di lapangan, strategi yang menempati prioritas pertama adalah penerapan good housekeeping begitu juga dengan hasil dengan analisis dengan kualitatif. Namun perbedaan terdapat pada opsi kedua yakni pada kajian di lapangan penggantian bahan koagulan anti bakteri sementara secara kualitatif adalah pemanfaatan partikel partikel karet dalam kolam rubber trap. Strategi penerapan good housekeeping dan penggantian bahan koagulan anti bakteri tersebut memperlihatkan kesamaan dalam hal tujuan yakni untuk menghemat penggunaan sumber daya yang digunakan serta untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Apabila penerapan good housekeeping dilaksanakan akan terjadi penghematan penggunaan sumber daya air karena dilakukan pemantauan pemakaian air dan akan ada peningkatan pendapatan karena 27

terdapat perbaikan mutu estate brown crepe. Apabila strategi penggantian koagulan anti bakteri dilakukan maka akan terjadi penghematan penggunaan sumber daya kayu yang digunakan untuk proses pengasapan sementara mutu produk RSS yang dihasilkan juga sedikit lebih baik dibandingkan dengan menggunakan koagulan asam format. 28