BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dasar Determinasi Pasien TB

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI

Dasar Determinasi Kasus TB. EPPIT 12 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dasar Determinasi Kasus TB

Tuberkulosis Dapat Disembuhkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

S T O P T U B E R K U L O S I S

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB II. Meningkatkan Pengetahuan dan, Mirandhi Setyo Saputri, Fakultas Farmasi UMP, 2014

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

Penyebab Tuberkulosis. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang menular langsung, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB XXV. Tuberkulosis (TB) Apakah TB itu? Bagaimana TB bisa menyebar? Bagaimana mengetahui sesorang terkena TB? Bagaimana mengobati TB?

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. M. Tuberculosis merupakan kelompok bakteri

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FKUI-RS Persahabatan

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. yang akan dilakukan yaitu : Program Pemberantasan TB Paru. 3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru

TUBERKULOSIS. Fransiska Maria C. Bag. FKK-UJ

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium. mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

I. PENDAHULUAN. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis masih

KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular. langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi, yang juga dikenal sebagai communicable disease atau transmissible

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ABSTRAK EFEK SAMPING PENGOBATAN TUBERKULOSIS DENGAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS KATAGORI 1 PADA FASE INTENSIF

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bakteri Mycobacterium Tuberkulosis (KemenKes, 2014). Kuman tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control

KUESIONER PENELITIAN SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN PENDERITA TENTANG TUBERKULOSIS PARU DENGAN PERILAKU KEPATUHAN MINUM OBAT

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang bersifat aerobik, tahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) secara teratur dievaluasi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

APA ITU TB(TUBERCULOSIS)

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terdapat di negara-negara berkembang dan 75% penderita TB Paru adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Paru 2.1.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberulosis complex (PDPI, 2006). Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. TB paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. TB paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan TB aktif pada paru batuk, bersin atau bicara (Wahyuningsih, 2014). Tuberkulosis paru ( TB paru) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah lama dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adannya penemuan kerusakan tulang vertebra torak yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum (IPD Edisi V, 2009). Tuberkulosis adalah suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang disebabkan oleh Mycobaterium Tuberculosis. Penyakit ini biasannya mengenai paru, tetapi mungkin menyerang semua organ atau jaringan ditubuh (Buku Ajar Patologi Edisi 7,2012). 2.1.2 Etiologi Penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). M. tuberculosis berbentuk batang lurus tidak berspora dan juga tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4

7 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks dan terdiri dari lapisan lemak yang cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam-alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal (PDPI, 2002). Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama be berapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Jadi penularan TB tidak terjadi melalui perlengkapan makan,baju, dan perlengkapan tidur. Setelah kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya,melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular(depkes RI,2005). Mikobakteri adalah organisme berbentuk batang langsing yang tahan asam(yaitu mengandung banyak lemak kompleks dan mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen dan kemudian sulit didekolorisasi). M.tuberculosis hominis merupakan

8 penyebab sebagian besar kasus tuberkulosis. Penularan biasannya langsung melalui inhalasi organisme di udara dalam aerosol yang dihasilkan oleh ekspektorasi atau oleh pajanan ke sekresi pasien yang tercemar (Buku Ajar Patologi Edisi 7,2012). 2.1.3 Epidemiologi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 world health organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA ( Basil Tahan Asam positif ) sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. jumlah terbesar kasus TB ada di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk (PDPI, 2006). Setiap tahun didapatkan 250.000 kasus TB baru di Indonesia dan kira-kira 100.000 kematian karena TB. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor satu diantara penyakit infeksi dan menduduki tempat ketiga sebagai penyebab kematian pada semua umur setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran napas akut. Pasien TB di Indonesia terutama berusia antara 15-5 tahun, merupakan kelompok usia produktif. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun (PDPI, 2006). Di Indonesia tahun 2001 diperkirakan 582 ribu penderita baru atau 271 per 100 ribu penduduk, sedangkan yang ditemukan BTA positif sebanyak 261 ribu penduduk atau 122 per 100 ribu penduduk, dengan keberhasilan pengobatan diatas 86% dan kematian sebanyak 140 ribu. Masalah lain yang muncul dalam pengobatan TB adalah adanya resistensi dari kuman yang disebabkan oleh obat (multidrugresistent organism). Kuman yang resisten terhadap banyak obat tersebut

9 semakin meingkat. Di Amerika tahun 1997 resistensi terhadap INH mencapai 7,8 % dan resisten terhadap INH dan Rifampisin 1,4 %. Secara umum angka ini di Amerika pada median 9,9 % kuman dari penderita yang menerima obat anti TB. Kejadian resistensi ini sudah banyak ditemukan di negara pecahan Uni soviet, beberapa negara Asia, Republik Dominika, dan Argentina (Depkes RI, 2005). Di negara maju seperti Eropa Barat angka kesakitan maupun angka kematian TB paru pernah meningkat tajam. Saat awal orang Eropa berbondong-bondong bermigrasi ke Amerika Utara, kematian akibat TB pada tahun 1800 sebesar 650 per 100.000 penduduk, tahun 1860 turun menjadi 400 per 100.000 penduduk, ditahun 1920 turun lagi menjadi 100 per 100.000 penduduk, dan pada tahun 1969 turun seara drastis menjadi 4 per 100.000 penduduk (Respirologi, 2012). 2.1.4 Patogenesis Menurut buku ajar patologi edisi VII (2012), patogenesis TB dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Tuberkulosis Primer Tuberkulosis primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang belum pernah terpajan (sehingga tidak pernah tersensitisasi). Pasien berusia lanjut dan pengidap imunosupresi berat mungkin kehilangan sensititivitas mereka terhadap basil tuberkel sehingga dapat menderita tuberkulosis primer lebih dari sekali. Pada tuberkulosis primer, sumber organisme adalah eksogen. Sekitar 5% dari mereka yang baru terinfeksi kemudian memperlihatkan gejala penyakit. Dampak utama tuberkulosis primer adalah bahwa (1) penyakit ini memicu timbulnya hipersensitivitas dan resistensi; (2) fokus jaringan parut mungkin mengandung basil hidup selama bertahun-tahun, bahkan seumur hidup, sehingga menjadi nidus saat reaktivasi pada masa mendatang ketika pertahanan pejamu melemah, dan (3) meskipun jarang, penyakit dapat terus berkembang tanpa interupsi menjadi apa yang disebut sebagai tuberkulosis primer progresif. Insidensi tuberkulosis primer progresif sangat tinggi pada pasien positif-hiv dengan derajat imunosupresi lanjut.

10 imunosupresi menyebabkan pasien tidak mampu membentuk reaksi imunologik yang diperantarai oleh sel T CD4+ untuk menahan infeksi, karena hipersensitivvitas dan resistensi umumnya terjadi bersamaan, tidak adanya reaksi hipersensitivitas jaringan menyebabkan hilangnya granuloma perkijauan khas (tuberkulosis nonreaktif). 2. Tuberkulosis Sekunder Tuberkulosis sekunder (atau pascaprimer) merupakan pola penyakit yang terjadi pada pejamu yang telah tersensitisasi. Penyakit ini mungkin terjadi segera setelah tuberkulosis primer, tetapi umumnya muncul karena reaktivasi lesi primer dorman beberapa dekade setelah infeksi awal, terutama jika resistensi pejamu melemah. Penyakit ini juga dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena berkurangnya proteksi yang dihasilkan oleh penyakit primer atau karena besarnya inkulum basil hidup. Tuberkulosis paru sekunder biasanya terbatas di apeks paru satu atau kedua lobus atas. Penyebab hal ini masih belum jelas, tetapi mungkin berkaitan dengan tingginya tegangan oksigen di apeks. Karena sudah terdapat hipersensitivitas, basil memicu respons jaringan yang segera dan nyata yang cenderung membatasi fokus. 2.1.5 Klasifikasi Tuberkulosis Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2009): Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 1. TB paru TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2. TB ekstra paru TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

11 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru: 1. TB paru BTA positif a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran TB. c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2. TB paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB. c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit. 1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced ), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.tb ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

12 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya 1) Baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kambuh (Relaps) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Pengobatan setelah putus berobat (Default) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Lain-lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

13 2.1.6 Diagnosis Menurut PDPI (2006) : A. Gambaran Klinik Gejala Klinik Gejala Klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik. 1. Gejala Respiratorik Batuk 3 minggu Batuk darah Sesak nafas Nyeri dada 2. Gejala sistemik Demam Gejala sistemik lain: Malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun. B. Pemeriksaan Bakteriologik 1. Bahan Pemeriksaan Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/bal), urin, feces, dan jaringan biopsi. 2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut turut atau dengan cara: Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan) Dahak pagi (keesokan harinnya) Sewaktu/spot (saat mengantarkan dahak pagi) Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan dalam pot bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak

14 mudah pecah dan bocor. sediaan dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9 % 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. 3. Cara pemeriksaan Dahak dan bahan lain C. Pemeriksaan mikroskopik Mikroskopik biasa : Pewarnaan ziehl nielsen Pewarnaan kinyoun gabbett Mikroskopik fluoresens : Pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening) interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 2 kali positif, 1 kali negatif : mikroskopik positif 1 kali positif, 2 kali negatif : ulang BTA 3 kali 1 kali positif, 2 kali negatif : mikroskop positif Bila 3 kali negatif : mikroskop negatif Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala bronkhorst atau IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) D. Pemeriksaan Radiologik Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif: Bayangan berawan/ nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. Bayangan bercak millier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

15 Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas Kalsifikasi atau fibrotik Kompleks ranke Fibrotoraks/fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut( terutama pada kasus BTA dahak negatif) : Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak diatas hondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti. Lesi luas, bila proses lebih luas dari minimal. E. Pemeriksaan Penunjang 1. Polymerase Chain Reaction Pemeriksaan PCR dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA tuberkulosis. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif tetapi data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka data tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB. 2. Pemeriksaan serologi dengan berbagai metoda a) Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Masalah pada teknik ini adalah antibodi yang menetap dalam waktu yang cukup lama. b) Mycodot Uji ini untuk mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia

16 c) Uji peroksidase anti peroksidase. terjadi. Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi jenis serologi yang 3. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan BACTEC ini adalah metode radiometrik. sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu penegakan diagnosis. 4. Pemeriksaan cairan Pleura Uji ini perlu dilakukan pada penderita dengan efusi pleura. 5. Pemeriksaan Histopatologi Jaringan Diagnosis pasti TB didapatkan bila pemeriksaan Histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan. 6. Pemeriksaan Darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju Endap Darah (LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat diperlukan sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita. 7. Uji Tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti untuk mendeteksi Tuberkulosis dengan pravalensi Tuberkulosis rendah. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bulan.

17 2.1.7 Pengobatan Tuberkulosis Menurut PDPI (2006), Obat yang dipakai: 1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: Rifampisin INH Pirazinamid Streptomisin Etambutol 2) Kombinasi dosis tetap (fixed dose combination) terdiri dari : Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg 3) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin Kuinolon Obat lain masih dalam penelitian : makrolid, amoksilin + asam klavulanat Derivat rifampisin dan INH Dosis OAT Dosis OAT Rifampisin. 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau BB > 60 kg : 600 mg BB 40-60 kg : 450 mg BB < 40 kg : 300 mg

18 Dosis intermiten 600 mg / kali INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg/kg BB 3 x seminggu, 15 mg/kg BB 2 x semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 x semingggu, 50 mg /kg BB 2 x seminggu atau : BB > 60 kg : 1500 mg BB 40-60 kg : 1000 mg BB < 40 kg : 750 mg Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3x seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau : BB >60kg : 1500 mg BB 40-60 kg : 1000 mg BB < 40 kg : 750 mg Dosis intermiten 40 mg/ kgbb/ kali Streptomisin:15mg/kgBB atau BB >60kg : 1000mg BB 40-60 kg : 750 mg BB < 40 kg : sesuai BB Kombinasi dosis tetap Rekomendasi WHO (1999) untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan. Pada kasus

19 yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasilitas yang mampu menanganinya. Efek Samping OAT Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. 1. Isoniazid Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. 2. Rifampisin Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah: Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadangkadang diare Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan Efek samping berat tetapi jarang terjadi : Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus.

20 Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut karena proses metabolisme dan tidak berbahaya. 3. Pirazinamid Efek samping ialah hepatitis imbas obat( penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang dapat menyebabkan Arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. 4. Etambutol Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi. 5. Streptomisin Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Panduan Obat Antituberkulosis Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi : TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE/ 6HE atau 2 RHZE / 4R3H3

21 Paduan ini dianjurkan untuk a. TB paru BTA (+), kasus baru b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru) Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal. Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 6 RHE atau 2 RHZE/ 4R3H3 TB paru kasus kambuh Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. TB Paru kasus gagal pengobatan Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru TB Paru kasus putus berobat Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut : a. Berobat > 4 bulan 1) BTA saat ini negatif Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis

22 lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. 2) BTA saat ini positif Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama b. Berobat < 4 bulan 1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama 2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT. TB Paru kasus kronik - Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi Minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru

23 2.2. PMO 2.2.1. Definisi PMO Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah orang yang mengawasi secara langsung terhadap penderita tuberkulosis paru pada saat minum obat setiap harinya dengan menggunakan panduan obat jangka pendek atau seseorang yang bertugas untuk mengawasi, memberikan dorongan dan memastikan penderita tuberkulosis (TB) menelan obat anti tuberkulosis (OAT) secara teratur sampai selesai. Penderita TB perlu mendapatkan pengawasan langsung agar meminum obat secara teratur sampai sembuh. karena masa pengobatan penderita TB cukup lama sehingga membosankan penderita, dan kebanyakan penderita TB merasa sudah sehat setelah minum obat 2-3 minggu sehingga menghentikannya sebelum periode pengobatan yang biasannya 6 bulan (Informasi Dasar PMO TB, 2014). Pasien TB paru yang diawasi dengan baik oleh PMO memiliki kemungkinan untuk sembuh empat kali lebih besar daripada yang tidak diawasi dengan baik oleh PMO (Nomi, 2010). 2.2.3. Program DOTS di Indonesia Fase Sebelum Strategi DOTS (pra-1995) Fase ini dimulai sejak awal abad ke-20 dan ditandai dengan berdirinya fasilitas diagnostik dan sanatorium di kota-kota besar. Dengan dukungan dari pemerintah Belanda, diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan rontgen, diikuti dengan penanganan TB melalui hospitalisasi. Studi prevalensi TB pertama kali dilakukan pada tahun 1964 di karesidenan Malang dan Kota Yogyakarta. lima tahun kemudian (1969), program pengendalian TB nasional dengan pedoman penatalaksanaan TB secara baku dimulai di Indonesia. Pada periode 1972-1995 penanganan TB tidak lagi berbasis hospitalisasi, akan tetapi melalui diagnosis dan pelayanan TB di fasilitas kesehatan primer, yaitu di Puskesmas. Pengobatan TB menggunakan dua rejimen pengobatan menggantikan pengobatan konvensional (2HSZ/10H2S2) dan strategi penemuan kasus secara aktif secara bertahap. Pada

24 tahun 1993, the Royal Netherlands TB Association melakukan uji coba strategi DOTS di empat kabupaten di Sulawesi Tahun 1994, NTP bekerja sama dengan WHO dan KNCV melakukan uji coba implementasi DOTS di provinsi Jambi dan Jawa Timur. Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). World Health Organization (WHO) Persiapan dan Implementasi Strategi DOTS (1995-2000) Setelah keberhasilan uji coba di dua provinsi ini, akhirnya Kementerian Kesehatan mengadopsi strategi DOTS untuk diterapkan secara nasional pada tahun 1995. Pada fase 1995-2000, pedoman nasional disusun dan strategi DOTS mulai diterapkan di Puskesmas. Seperti halnya dalam implementasi sebuah strategi baru, terdapat berbagai tantangan di lapangan dalam melaksanakan kelima strategi DOTS. Untuk mendorong peningkatan cakupan strategi DOTS dan pencapaian targetnya, dalam fase ini dilakukan dua Joint External Monitoring Mission oleh tim pakar internasional. Ekspansi dan Intensifikasi DOTS (2000-2005) Rencana strategi nasional Pengendalian TB disusun pertama kali pada periode ini sebagai pedoman bagi provinsi dan kabupaten/kota untuk merencanakan dan melaksanakan program pengendalian TB. Pencapaian utama selama periode ini adalah: (1) Pengembangan rencana strategis 2002-2006; (2) Penguatan kapasitas manajerial dengan penambahan staf di tingkat pusat dan provinsi; (3) Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan sebagai bagian dari pengembangan sumberdaya manusia; (4) Kerja sama internasional dalam memberikan dukungan teknis dan pendanaan; (5) Pelatihan perencanaan dan anggaran di tingkat daerah; (6) Perbaikan supervisi dan monitoring dari tingkat pusat dan provinsi.

25 Konsolidasi dan Implementasi Inovasi dalam Strategi DOTS (2006-2010) Fase ini ditandai dengan keberhasilan dalam mencapai target global tingkat deteksi dini dan kesembuhan pada tahun 2006. Selain itu, berbagai tantangan baru dalam implementasi strategi DOTS muncul pada fase ini. Tantangan tersebut antara lain penyebaran ko-infeksi TB-HIV, peningkatan resistensi obat TB, jenis penyedia pelayanan TB yang sangat beragam, kurangnya pengendalian infeksi TB di fasilitas kesehatan, serta penatalaksanaan TB yang bervariasi. Mitra baru yang aktif berperan dalam pengendalian TB pada fase ini antara lain Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan di Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Meskipun Indonesia mengalami pemberhentian sementara dana GFATM (The Global Fund to Fight AIDS, TB, and Malaria) Round 1 dan round 5, akan tetapi kegiatan pelayanan TB (terutama di dalam gedung) tetap terlaksana karena kesiapan tenaga pelayanan dengan menggunakan dana dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta sumber pendanaan dari berbagai lembaga donor internasional lain seperti USAID, WHO, tetap dapat dipertahankan.(stranas TB, 2010) 5 komponen strategi DOTS yakni : Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk dukungan dana) Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB (Depkes, 2005) Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan

26 menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes, 2007). Untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia, strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat untuk saat ini, dan harus dilakukan secara sungguh-sungguh dimana salah satu komponen dari strategi DOTS tersebut adalah pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) (Depkes, 2005) Sejak DOTS diterapkan secara intensif terjadi penurunan angka kesakitan TB menular yaitu pada tahun 2001 sebesar 122 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2005 menjadi 107 per 100.000 penduduk. Hasil yang dicapai Indonesia dalam menanggulangi TB hingga saat ini telah meningkat. Angka penemuan kasus TB menular ditemukan pada tahun 2004 sebesar 128.981 orang (54%) meningkat menjadi 156.508 orang (67%) pada tahun 2005. Keberhasilan pengobatan TB dari 86,7% pada kelompok penderita yang ditemukan pada tahun 2003 meningkat menjadi 88,8% pada tahun 2004 (Depkes, 2004). Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR-TB (Depkes, 2007). 2.2.4. Tujuan PMO Tujuan penggunaan pengawas menelan obat (PMO) pada penderita tuberkulosis paru adalah: Untuk menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai jadwal yang ditentukan pada awal pengobatan Untuk menghindari penderita putus berobat sebelum waktunya, dan Untuk mengurangi kemunngkinan kegagalan pengobatan dan kekebalan obat anti tuberkulosis (Informasi Dasar PMO TB, 2014)

27 2.2.5 Persyaratan menjadi PMO Persyaratan penggunaan pengawas menelan obat (PMO) pada penderita tuberkulosis paru adalah: Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien Bersedia membantu pasien dengan sukarela Bersedia di latih dan atau mendapatkan penyuluhan bersama sama dengan pasien. (Informasi Dasar PMO TB, 2014) Pengawas Minum Obat (PMO) sebaiknya berumur 15 tahun ke atas atau harus disegani oleh penderita karena pada umur tersebut emosi seseorang mulai stabil dan mampu menyelesaikan masalah dan menerima tugas dengan tanggung jawab. Di samping itu, umur 15 tahun ke atas pengalaman da pengetahuannya sudah luas dan mampu menerima penyuluhan yang dilakukan petugas puskesmas (Purwanta, 2005). 2.2.6 Peran dan tugas seorang PMO Peran Seorang PMO pada penderita Tuberkulosis adalah: Mengawasi penderita tuberkulosis agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatannya Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat secara teratur Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien tuberkulosis yang mempunyai gejala gejala mencurigakan tuberkulosis untuk segera memeriksakan diri ke puskesmas atau unit pelayanan kesehatan lainnya (Informasi Dasar PMO TB, 2014).

28 Dukungan emosional keluarga/pmo pada penderita TB Paru sangat dibutuhkan karena tugas PMO adalah memberikan dorongan kepada penderita agar mau berobat secara teratur dan mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang ditentukan. Dengan kinerja PMO yang baik, pasien lebih termotivasi untuk menjalani pengobatan dengan teratur (Doanita, 2011). Tugas seorang PMO Mengetahui tanda tanda tersangka tuberkulosis paru Mengawasi penderi agar minum obat setiap hari Mengingatkan untuk pengambilan obat bagi penderita di pelayanan kesehatan Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak: - Seminggu sebelum akhir bulan ke dua pengobatan, pemeriksaan ulang dahak dilakukan untuk menentukan obat tambahan - Seminggu sebelum akhir bulan kelima pengobatan, pemeriksaan ulang dahak dilakukan untuk mengetahui kegagalan - Seminggu sebelum akhir bulan ke enam pengobatan, pemeriksaan ulang dahak dilakukan untuk mengetahui kesembuhan Memberikan penyuluhan, tidak membuang dahak/ meludah sembarangan, menutup muka bila batuk/bersin dengan saputangan atau tisu serta mencuci tangan, mengusahakan agar lingkungan rumah mendapatkan sinar matahari yang cukup, tidur terpisah dari keluarga terutama pada 2 minggu pertama pengobatan, menjemur alat tidur seara teratur pada pagi hari, menganjurkan makan makanan yang bergizi, tidak merokok maupun minum alkohol serta tidur dan istirahat yang cukup Memberitahu petugas kesehatan jika terjadi suspek pada keluarga penderita Merujuk ke puskesmas kalau ada efek samping dari penggunaan obat Dalam menjalankan tugasnya seorang PMO diharapkan memiliki umur yang cukup dewasa sehingga dalam melakukan pendampingan terhadap penderita

29 tuberkulosis, dapat menganalisa setiap permasalahan yang timbul dan memberikan solusi secara cepat dan tepat. PMO yang memiliki tingkat pendidikan yang baik akan lebih mudah untuk menyerap pengetahuan terutama tentang tugas pokok, fungsi dan perannya dalam menjalankan tugas sehingga tujuan dari kegiatan mendampingi penderita tuberkulosis dalam menjalani pengobatan dapat tercapai. Tugas seorang PMO yaitu : 1. Menyiapkan dan mengingatkan pasien saat minum obat, 2. Memotivasi pasien saat merasa bosan mengkonsumsi obat setiap hari, 3. Mengingatkan saat jadwal pengambilan obat dan periksa sputum, 4. Memberitahu pasien hal yang harus dan tidak boleh dilakukan; seperti menggunakan masker saat di rumah maupun keluar dan harus menutup mulut saat batuk ( Erlinda et al,2013) PMO harus mempunyai pengetahuan dasar tentang penyakit tuberkulosis agar dapat disampaikan kepada pasien dan keluarganya, antara lain (Informasi Dasar PMO TB, 2014): 1. Tuberkulosis disebabkan oleh kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan 2. Tuberkulosis dapat disembuhkan dengan berobat secara teratur sampai selesai 3. Cara penularan tuberkulosis, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya 4. Cara pemberian pengobatan pasien (terhadap awal dan lanjutan) 5. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur 6. Kemungkinan terjadi efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke puskesmas atau unit pelayanan kesehatan lainnya.