OPTIMASI PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN KERAPU MACAN PADA KELOMPOK SEA FARMING DI PULAU PANGGANG KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

dokumen-dokumen yang mirip
kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Laut di Indonesia 2.2 Gambaran Umum Komoditas Ikan Kerapu

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN IKAN KERAPU MACAN DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

IV. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Komoditas Ikan Kerapu 2.2 Kerapu Macan dan Kerapu Bebek

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBENIHAN KERAPU KECAMATAN GEROKGAK, KABUPATEN BULELENG, BALI. Oleh: NI WAYAN NARITA SUGAMA A

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Kegiatan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan. penjemuran jaring, pencucian ikan, pemanenan, dan pemasaran.

I. PENDAHULUAN. (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Taksonomi Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutattus)

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PETERNAKAN KELINCI ASEP S RABBIT PROJECT, LEMBANG, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT. Oleh : Nandana Duta Widagdho A

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN * 2009 ** Kenaikan ratarata(%)

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KERAGAMAN DAN KEBERADAAN PENYAKIT BAKTERIAL DAN PARASITIK BENIH KERAPU MACAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

II. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat.

ANALISIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA IKAN HIAS AIR TAWAR PADA ARIFIN FISH FARM, DESA CILUAR, KECAMATAN BOGOR UTARA, KOTA BOGOR

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

ANALISIS USAHATANI PEMBENIHAN UDANG VANNAMEI DAN PENGEMBANGANYA DI CV. GELONDONGAN VANNAMEI DESA BANJARSARI KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK SKRIPSI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Oleh : DEWI HERLINA A

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN LOBSTER AIR TAWAR (Kasus K BLAT S Farm, Kec. Gunung Guruh, Kab. Sukabumi, Jawa Barat) Oleh: KAMMALA AFNI A

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. perdagangan internasional dikenal sebagai Mud Crab dan bahasa latinnya Scylla

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan kerapu macan (Ephinephelus fuscoguttatus) kelas induk pokok (Parent Stock)

RINGKASAN EKSEKUTIF DASLINA

BAB I PENDAHULUAN. laut Indonesia diperkirakan sebesar 5.8 juta km 2 dengan garis pantai terpanjang

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

I. PENDAHULUAN. 1 dan Bisnis disektro Kelautan [10 Februari 2009].

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan kerapu macan di pasaran internasional dikenal dengan nama flower

II. BAHAN DAN METODE

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lapangan kerja, memeratakan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

1. PENDAHULUAN. sangat tinggi. Jumlah penduduk Indonesia di tahun 2008 diperkirakan sebesar

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

PROSIDING ISSN: E-ISSN:

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Poduksi perikanan Indonesia (ribu ton) tahun

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui

Indonesia mempakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari. dapat pulih seperti minyak bumi dan gas mineral atau bahan tambang lainnya

EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PENDEDERAN IKAN LELE DUMBO DI KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR

I PENDAHULUAN. terhadap PDB Indonesia membuat sektor perikanan dijadikan penggerak utama (prime mover)

ANALISIS KELAYAKAN PERLUASAN USAHA PEMASOK IKAN HIAS AIR TAWAR Budi Fish Farm Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Oleh: DWIASIH AGUSTIKA A

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI BHINEKA I, DESA BLENDUNG, KABUPATEN SUBANG

Transkripsi:

OPTIMASI PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN KERAPU MACAN PADA KELOMPOK SEA FARMING DI PULAU PANGGANG KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU FANDI WINNA IKHSANI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Optimasi Pengelolaan dan Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Macan pada Kelompok Sea Farming di Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2011 Fandi Winna Ikhsani H44070016

RINGKASAN FANDI WINNA IKHSANI. Optimasi Pengelolaan dan Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Macan pada Kelompok Sea Farming di Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan NUVA. Sumberdaya perikanan merupakan salah satu asset nasional yang harus dikelola dengan baik karena memiliki peran penting sebagai penghasil devisa negara maupun sebagai penghasil protein bagi masyarakat. Dalam rangka meningkatkan produksi sumberdaya perikanan dan mengatasi kendala overfishing, salah satu program yang dapat dijadikan alternatif adalah program sea farming. Sea farming adalah pengelolaan sumberdaya serta lingkungan pesisir dan laut secara lestari termasuk didalamnya usaha budidaya ikan kerapu yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor produksi optimal dalam budidaya ikan kerapu macan guna menghasilkan keuntungan maksimum bagi anggota kelompok pembudidaya ikan sea farming di Pulau Panggang dan menganalisis kelayakan pengembangannya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei. Pendugaan fungsi produksi Cobb-Douglas didapat melalui metode ordinary least square (OLS) dengan menyertakan input atau faktor produksi yang berpengaruh adalah volume keramba, bibit, pakan rucah, tenaga kerja persiapan, tebaran bibit dan tenaga kerja pemeliharaan. Perhitungan untuk mengetahui tingkat optimal penggunaan faktor produksi menggunakan analisis nilai produk marjinal (NPM) berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas. Perhitungan kelayakan pengembangan dilakukan dengan analisis biaya manfaat dengan kriteria kelayakan Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), dan Internal Rate of Return (IRR) sedangkan untuk perhitungan analisis sensitivitas terhadap penurunan produksi dan penurunan harga jual ikan kerapu macan menggunakan analisis switching value. Fungsi produksi yang dihasilkan melalui metode OLS yaitu Y = 3,896 (X 2 ) 0,305 (X 3 ) 0,439 (X 4 ) 0,256, X 2 (bibit), X 3 (pakan rucah), dan X 4 (tenaga kerja persiapan). Tingkat penggunaan faktor produksi optimal pada usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas dengan analisis NPM adalah bibit ikan kerapu macan sebesar 7,49 kg per musim tanam atau setara 300 ekor per musim tanam, pakan rucah sebesar 1.581,1902 kg per musim tanam dan tenaga kerja persiapan sebesar 36,88 HOK per musim tanam dan akan menghasilkan produksi ikan kerapu macan yang optimal sebesar 460,032 kg per musim tanam. Keuntungan yang dihasilkan pada tingkat optimal adalah Rp 32.667.853,40. Usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu pada tingkat optimal layak dikembangkan di masa yang akan datang karena memiliki prospek yang cerah dan mendatangkan keuntungan, hal ini ditunjukkan dari nilai NPV yang didapat menghasilkan nilai positif yaitu sebesar Rp 35.591.906,85, nilai Net B/C sebesar 2,89 dan nilai IRR sebesar 71,02%. Jika dilihat dari analisis sensitivitas yang dilakukan, batas maksimal perubahan penurunan harga jual sampai usaha berada pada kondisi break even point adalah

harga turun sebesar 29,56 persen, sedangkan dari aspek penurunan produksi ikan kerapu macan adalah 29,49 persen. Kata kunci: budidaya, fungsi produksi, ikan kerapu macan, kelayakan, optimasi, sea farming

OPTIMASI PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN KERAPU MACAN PADA KELOMPOK SEA FARMING DI PULAU PANGGANG KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU FANDI WINNA IKHSANI H44070016 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

UCAPAN TERIMAKASIH Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS selaku Dosen Pembimbing Pertama dan Ibu Nuva, SP, MSc selaku Dosen Pembmbing Kedua atas bimbingan, arahan, waktu yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 2. Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku Dosen Penguji Utama dan Bapak Benny O. Nababan, S.Pi, M.Si selaku Dosen Penguji Wakil Departemen yang telah memberikan kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. 3. Ayah dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan dukungan dalam segala hal, terutama dalam kasih sayang, doa, nasehat dan bimbingannya, serta adik-adikku tersayang Finny Winna Wahdini dan Fenry Winna Muttawally yang selalu memberikan motivasi. 4. Kelompok Sea Farming Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu terutama Bapak Nawawi yang telah banyak membantu dalam memfasilitasi komunikasi langsung dan tidak langsung dengan para pembudidaya ikan kerapu di lokasi penelitian. 5. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB yang telah memberikan izin penelitian serta informasi primer dan sekunder pada penelitian ini.

6. Sahabat-sahabat saya, Bang Amril, Bang Anggi, Nanda, Julyanda, Ginda, Alfan, Yuri, Indra, Wahyu, Rini dan Kiki terimakasih banyak atas persahabatan yang terjalin selama ini. 7. Sahabat-sahabat perjuangan di ESL 44, Bahroin, Andrian, Adhit, Rioni, Suci, Aryo, Agung, Linda, Frizka, Ria, Wezia, Dina, Astrid, dan lain-lain, terimakasih atas silaturahim yang terjalin selama ini. 8. Seluruh Dosen dan tenaga kependidikan Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan. 9. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan (IMMAM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Optimasi Pengelolaan dan Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Macan pada Kelompok Sea Farming di Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Melalui skripsi ini, penulis mencoba memberikan gambaran pengelolaan budidaya ikan kerapu macan secara optimal di keramba jaring apung untuk kemungkinan pengembangan usaha budidaya ikan kerapu macan pada kelompok sea farming di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Semoga skripsi ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan dan pengembangan budidaya ikan kerapu macan. Bogor, Oktober 2011 Fandi Winna Ikhsani H44070016

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 9 1.3 Tujuan Penelitian... 12 1.4 Manfaat Penelitian... 12 1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 13 II. TINJAUAN PUSTAKA... 14 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir... 14 2.2 Sea Farming... 15 2.2.1 Sejarah Sea Farming... 15 2.2.2 Pengertian dan Tujuan Sea Farming... 17 2.3 Gambaran Umum Komoditas Kerapu... 19 2.4 Jenis-Jenis Ikan Kerapu... 21 2.5 Budidaya Ikan Kerapu... 23 2.6 Keramba Jaring Apung... 24 2.7 Teori Produksi... 26 2.8 Uji Statistik... 28 2.9 Elastisitas Produksi... 32 2.10 Skala Usaha (Return to Scale)... 33 2.11 Analisis Optimasi... 33 2.12 Analisis Kelayakan... 35 2.13 Analisis Sensitivitas... 38 III. KERANGKA PEMIKIRAN... 39 IV. METODOLOGI PENELITIAN... 42 4.1 Lokasi Penelitian... 42 4.2 Waktu Penelitian... 42 4.3 Metode Penelitian... 43 4.4 Jenis dan Sumber Data... 43 4.5 Metode Pengambilan Contoh... 44 4.6 Metode Analisis... 45 4.6.1 Metode Kuadrat Terkecil... 45 xii xiii xiv

x 4.6.2 Elastisitas Produksi... 46 4.6.3 Skala Usaha (Return to Scale)... 46 4.6.4 Analisis Optimasi... 47 4.6.5 Analisis Kelayakan... 49 4.6.6 Analisis Sensitivitas... 51 4.7 Batasan dan Pengukuran... 52 V. KEADAAN UMUM WILAYAH... 54 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang... 54 5.1.1 Luas Wilayah dan Administrasi... 54 5.1.2 Kondisi Perairan... 56 5.2 Potensi Sumberdaya Manusia... 57 5.3 Karakteristik Masyarakat Pulau Panggang... 59 5.4 Prasarana dan Sarana... 61 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN... 62 6.1 Kegiatan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan... 62 6.1.1 Pemilihan Lokasi Budidaya... 62 6.1.2 Pemasangan Wadah Pemeliharaan... 62 6.1.3 Penebaran Bibit... 63 6.1.4 Pemberian Pakan... 64 6.1.5 Perbaikan dan Pembersihan Jaring... 64 6.1.6 Pemanenan... 65 6.1.7 Pemasaran... 65 6.2 Penggunaan Faktor Produksi pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan... 66 6.2.1 Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS... 68 6.2.2 Pendugaan Fungsi Produksi dengan Enam Variabel Independen... 69 6.2.3 Pendugaan Fungsi Produksi dengan Tiga Variabel Independen... 73 6.3 Analisis Elastisitas Produksi... 78 6.4 Analisis Skala Ekonomi... 79 6.5 Analisis Optimasi... 80 6.6 Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan... 84 6.6.1 Analisis Inflow Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan... 85 6.6.2 Analisis Outflow Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan... 86 6.6.3 Kriteria Kelayakan Usaha... 89 6.7 Analisis Sensitivitas... 90

xi VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 92 7.1 Kesimpulan... 92 7.2 Saran... 93 DAFTAR PUSTAKA... 94 LAMPIRAN... 96 RIWAYAT HIDUP... 115

xii Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Produksi Perikanan Menurut Komoditas Utama Tahun 2007-2009... 5 2. Produksi Kerapu Nasional Berdasarkan Jenis Tahun 2004-2009... 7 3. Nilai Produksi Kerapu berdasarkan Jenis Tahun 2004-2009... 8 4. Nama, Luas dan Peruntukan Pulau-Pulau di Kelurahan Pulau Panggang... 56 5. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di Kelurahan Pulau Panggang... 58 6. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Tahun 2010... 60 7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2009... 60 8. Penggunaan Faktor Produksi pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan Tahun 2011... 67 9. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS (Ordinary Least Square) dengan Enam Variabel Independen... 69 10. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS (Ordinary Least Square) dengan Tiga Variabel Independen... 74 11. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi (Restriksi) dengan Metode OLS(Ordinary Least Square)... 81 12. Perbandingan Kondisi Optimal dan Aktual dengan Menggunakan Fungsi Produksi Cobb-Douglas... 83 13. Perbandingan Keuntungan pada Kondisi Optimal dan Aktual... 84 14. Manfaat Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan... 86 15. Rincian Biaya Investasi Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan... 87 16. Rincian Biaya Produksi Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan pada Kondisi Optimal... 88 17. Nilai NPV, Net B/C dan IRR Usaha Budidaya Ikan Kerapu pada Tingkat Optimal... 90

xiii DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Ikan Kerapu Bebek... 22 2. Ikan Kerapu Macan... 23 3. Alur Kerangka Pemikiran... 41 4. Grafik Model Regresi dengan Enam Variabel Independen (a) Peluang Normal dan (b) Homoskedastisitas... 72 5. Grafik Model Regresi dengan Tiga Variabel Independen (a) Peluang Normal dan (b) Homoskedastisitas... 77

xiv DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian... 97 2. Data Input dan Output dengan Enam Variabel Independen pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan di Pulau Panggang Tahun 2011... 98 3. Nilai Ln dari Setiap Variabel dengab Enam Variabel pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan di Pulau Panggang Tahun 2011... 99 4. Hasil Analisis OLS Pendugaan Fungsi Produksi dengan Enam Variabel Independen pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan di Pulau Panggang Tahun 2011... 100 5. Data Input dan Output dengan Tiga Variabel Independen pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan di Pulau Panggang Tahun 2011... 101 6. Nilai Ln dari Setiap Variabel dengan Tiga Variabel pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan di Pulau Panggang Tahun 2011... 102 7. Hasil Analisis OLS Pendugaan Fungsi Produksi dengan Tiga Variabel Independen pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan di Pulau Panggang Tahun 2011... 103 8. Nilai Ln dari Setiap Variabel dengan Tiga Variabel Independen Fungsi Restriksi pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan di Pulau Panggang Tahun 2011... 104 9. Hasil Analisis OLS Pendugaan Fungsi Produksi Restriksi dengan Tiga Variabel Independen pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan di Pulau Panggang Tahun 2011... 105 10. Hasil Perhitungan Optimasi Faktor Produksi, NPM, BKM, Produksi Optimal dan Nilai Return to Scale (RTS) pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan di Pulau Panggang Tahun 2011... 106 11. Analisis Cashflow Kelompok Sea Farming dengan Kondisi Optimal di Pulau Panggang (DF 22%) Tahun 2011... 109 12. Analisis Sensitivitas Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan pada Kelompok Sea Farming dengan Penurunan Harga Output Sebesar 29,56%... 111 13. Analisis Sensitivitas Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan pada Kelompok Sea Farming dengan Penurunan Produksi Sebesar 29,49%... 113

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional yang harus dikelola dengan baik. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan mampu mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perikanan sebagai penghasil devisa negara. Sesuai dengan sasaran yang diharapkan dalam Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan sebanyak 9,7 juta ton, nilai ekspor perikanan US$ 5 miliar, konsumsi ikan penduduk 32,29 kg per kapita per tahun, dan menyediakan kesempatan kerja kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) Pemanfaatan sumberdaya ikan di beberapa Wilayah Pengelolaan Perairan (WPP) di Indonesia saat ini dihadapkan pada persoalan kelangkaan sumberdaya ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). Fenomena penurunan produksi tangkapan telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kelangkaan sumberdaya ikan di Indonesia, yang berakibat pada menurunnya kesejahteraan nelayan. Tingkat kesejahteraan dapat dilihat dari pemenuhan atau aksesabilitas tiga kebutuhan utama yaitu sandang, pangan, dan papan. Dengan adanya kecenderungan turunnya hasil tangkapan, maka dikhawatirkan program peningkatan kesejahteraan nelayan sulit untuk tercapai. Sehingga diperlukan terobosan program yang implementatif dan aplikatif, diantaranya adalah pengembangan usaha budidaya ikan.

2 Penurunan hasil tangkapan ikan oleh nelayan yang salah satunya diakibatkan terjadinya over fishing dan meningkatnya biaya operasional penangkapan ikan menyebabkan nelayan mencoba cara lain, yaitu melakukan usaha budidaya perikanan. Seiring dengan semakin tingginya permintaan penduduk untuk berbagai jenis ikan, maka mendorong minat nelayan untuk berusaha sebagai pembudidaya ikan di perairan laut. Indonesia diperkirakan memiliki potensi perairan laut seluas 8,4 juta ha untuk budidaya perikanan laut, dengan 3,8 juta ha merupakan potensi efektif yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya laut, yang terdiri atas 775 ribu ha untuk pengembangan keramba jaring apung ikan, lobster, abalone (Gastropoda besar yang termasuk genus Haliotis); 37,2 ribu ha untuk pengembangan keramba jaring tancap ikan; 769,5 ribu ha untuk pengembangan budidaya rumput laut; 4,7 juta ha untuk budidaya kerang-kerangan; 174,6 ribu ha untuk pengembangan budidaya teripang dan 1,9 juta ha untuk pengembangan budidaya tiram mutiara. Dalam pemanfaatan perairan laut untuk usaha budidaya, sebagian provinsi baru memanfaatkan potensinya kurang dari 1%. Provinsi DKI Jakarta telah memanfaatkan potensi perairan laut untuk budidaya sebesar 23,79% (DKP, 2005). Cara-cara budidaya perairan yang ada saat ini masih dalam tingkat awal dan diharapkan timbulnya teknik-teknik pemeliharaan baru. Salah satu program budidaya yang dipandang dapat dijadikan alternatif untuk dapat meningkatkan produksi ikan laut dan mempertahankan kondisi lingkungan laut agar lebih baik adalah program sea farming. Program ini merupakan kegiatan perikanan yang lebih berwawasan lingkungan yaitu kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan, yang disebut sebagai sea farming.

3 Sea farming sudah dimulai sejak abad 17 di Jepang, Norwegia dan Amerika Serikat. Kegiatan pelepasan larva ikan yang masih mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887 dan kegiatan ini terus berlanjut sampai dengan tahun 1967. Kegiatan sea farming di Norwegia tidak diikuti dengan evaluasi keberhasilan maupun dampak kegiatan tersebut terhadap populasi ikan dan hasil tangkapan serta dampak ekologi dari aktivitas yang sudah dilakukan (PKSPL-IPB, 2004). Konsepsi sea farming di Indonesia pertama kali dikembangkan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Perikanan dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) pada tahun 2001 (Kusumastanto, komunikasi pribadi, 2011) dan telah mengalami beberapa perubahan semenjak konsep awal diterapkan, dimana kegiatan bukan saja penebaran bibit ikan tapi lebih kepada peningkatan pendapatan masyarakat dalam usaha ekonomi serta perbaikan kualitas sumberdaya dan lingkungan laut di wilayah sea farming. Kegiatan tersebut juga didukung oleh manajemen sea farming yang baik, yaitu penerapan konsep sea farming dalam upaya mengembangkan satu kawasan tertentu yang dibuat khusus dengan menggunakan jaring apung dan berbagai teknik budidaya lainnya sehingga kegiatan tersebut dapat dengan mudah dikontrol serta diikuti dengan program peningkatan kualitas sumberdaya ikan (stock enhancement) maupun perbaikan kualitas lingkungan pesisir dan laut. Salah satu daerah yang telah mengembangkan kegiatan sea farming adalah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu yang dimulai pertama kali pada tahun 2003. Kegiatan ini dilakukan atas kerjasama Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) dengan pemerintah Kabupaten

4 Administratif Kepulauan Seribu, dimana kegiatan awalnya berupa kajian-kajian yang terkait aspek teknis terhadap penerapan sea farming. Setelah dilakukan kajian teknis, maka pada tahun 2005 baru dilakukan implementasi program sea farming. Implementasi program tersebut menggunakan teknologi keramba jaring apung yang ditempatkan pada daerah perairan Gosong Pulau Semak Daun di sekitar Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu serta program pengelolaan sumberdaya maupun lingkungan pesisir dan laut. Keramba jaring apung didisain sedemikian rupa sehingga dapat bertahan dalam kondisi alam di Kepulauan Seribu. Jenis komoditi ikan yang digunakan dalam kegiatan sea farming adalah ikan kerapu baik kerapu bebek maupun kerapu macan. Jenis ikan ini sangat sesuai untuk dikembangkan karena dari segi prospek ekonomi sangat menguntungkan dimana ikan kerapu memiliki pasar ekspor yang cukup menjanjikan, diantaranya Singapura dan Hongkong. Kondisi harga kerapu hidup cukup tinggi yakni mencapai Rp 100.000 sampai dengan Rp 350.000 per kg pada tingkat nelayan. Ikan kerapu juga sangat diminati karena memiliki tekstur daging yang lembut dan nilai gizi yang tinggi. Berdasarkan data produksi perikanan menurut komoditas utama dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi ikan kerapu meningkat sebesar 9,52 %. Secara rinci produksi perikanan tersebut disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut :

5 Tabel 1. Produksi Perikanan Menurut Komoditas Utama (Ton), Tahun 2004-2008 Rincian Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 Kenaikan Rata-Rata (%) 2004-2006 2007-2008 1. Patin 23.620 32.275 31.490 36.755 52.479 23,02 42,76 2. Rumput Laut 410.570 910.636 1.374.462 1.728.475 1.944.800 52,75 12,52 3. Nila 107.116 148.249 169.390 206.904 220.900 23,96 6,76 4. Gurame 23.758 25.442 28.710 35.708 37.100 12,05 3,90 5. Bandeng 241.438 254.067 212.883 263.139 253.000 2,19-3,85 6. Lele 51.771 69.386 72.272 91.735 108.200 20,84 17,95 7. Kerapu 6.552 6.493 4.021 8.053 8.800 17,59 9,52 8. Kerang Kerangan 12.991 16.348 18.896 15.623 16.200 6,95 3,69 9. Ikan Mas 192.462 216.920 247.633 264.349 290.100 10,84 9,74 10.Udang 238.857 280.629 327.610 358.925 410.000 14,50 14,23 11.Kakap 4.663 2.935 2.183 4.418 4.200 8,69-4,93 12.Kepiting 3.015 4.583 5.525 6.631 7.750 27,36 16,88 13.Lainnya 161.955 195.411 182.321 172.668 178.200 2,96 3,09 Sumber : Statistik Kelautan dan Perikanan, 2009 Perairan Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah yang memiliki kontribusi dalam produksi ikan kerapu nasional. Kepulauan Seribu merupakan suatu wilayah khas yang terletak di wilayah Teluk Jakarta dengan berbagai potensi perikanan yang cukup beragam antara lain ikan konsumsi, ikan hias, terumbu karang, rumput laut, serta mangrove. Sebagai wilayah Kabupaten di dalam DKI Jakarta, maka Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu banyak memiliki karakteristik khas yang memerlukan pendekatan khusus dalam proses pembangunannya. Beberapa karakteristik tersebut adalah : (1) Wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu adalah wilayah kepulauan yang terdiri dari 110 buah pulau-pulau sangat kecil dan perairan yang luas; (2) Penduduk menempati hanya 11 pulau pemukiman yang terpencar dari selatan ke utara dan hampir

6 semua warga pendatang; dan (3) Alternatif kegiatan pembangunan yang relatif terbatas yaitu utamanya perikanan tangkap dan pariwisata dan lain-lain (Sudin Perikanan dan Kelautan, 2009). Kepulauan Seribu merupakan daerah yang sangat berpotensi untuk bisnis ikan kerapu karena memiliki perairan berkarang yang luas. Perairan dengan karakteristik seperti ini merupakan habitat yang paling baik bagi ikan kerapu. Menurut Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB, 2004), potensi pengusahaan ikan kerapu di Kepulauan Seribu seluas 359,49 ha yang tersebar di Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan, Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari, dan Kelurahan Pulau Panggang. Kondisi fisik di pulau-pulau tersebut sangat baik untuk bisnis ikan kerapu, terutama usaha dengan menggunakan keramba jaring apung. Pemanfaatan lahan ini diharapkan dapat menjadi alternatif mata pencaharian penduduk di Kepulauan Seribu yang mayoritas pekerjaannya adalah nelayan. Hal ini selaras dengan visi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dimana perikanan dan pariwisata bahari menjadi penggerak utama kegiatan ekonomi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Dalam mendukung program sea farming diperlukan adanya klasifikasi usaha potensial yaitu usaha budidaya ikan, hatchery, pendeder ikan, nelayan, pengumpul ikan hias, aktivitas atau pengelola kawasan wisata pulau dan pedagang ikan. Dasar dari klasifikasi ini adalah dengan melihat potensi dan karakteristik yang dimiliki Kepulauan Seribu. Usaha yang diterapkan pertama kali yaitu usaha budidaya dengan komoditas ikan kerapu, karena memiliki prospek dan peluang yang baik di masa yang akan datang. Jumlah produksi ikan kerapu secara nasional terus meningkat yakni 61.763 ton pada tahun 2009 yang terdiri dari ikan kerapu

7 macan, kerapu bebek, kerapu balong, kerapu lumpur, dan kerapu sunu, seperti terlihat pada Tabel 2 sebagai berikut. Tabel 2. Produksi Kerapu Nasional Berdasarkan Jenis (Ton), Tahun 2004-2009 Tahun Jenis Ikan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Kerapu Macan 48.400 53.743 14.392 28.577 36.094 41.461 Kerapu Bebek -- -- 5.807 6.076 4.589 6.271 Kerapu Balong -- -- 2.182 2.537 2.844 5.087 Kerapu Lumpur -- -- -- -- 1.020 1.117 Kerapu Sunu -- -- 19.162 8.666 5.642 7.827 Jumlah 48.400 53.743 41.543 45.856 50.189 61.763 Keterangan : -- (Data Tidak Tersedia) Sumber : Statistik Kelautan dan Perikanan, 2009 Dari data tersebut, produksi nasional yang terbesar adalah ikan kerapu jenis macan. Produksi ikan kerapu macan pada tahun 2009 adalah sebesar 41.461 ton diikuti dengan kerapu sunu sebesar 7.827 ton, kerapu bebek sebesar 6.271 ton, kerapu balong sebesar 5.087 ton dan kerapu lumpur sebesar 1.117 ton. Apabila ditinjau dari nilai produksinya, ikan kerapu juga menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat yakni Rp 762.473.559 pada tahun 2007 menjadi Rp 1.382.477.885 pada tahun 2009. Secara rinci nilai produksi kerapu tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

8 Tabel 3. Nilai Produksi Kerapu Berdasarkan Jenis (Rp 1.000) Tahun 2007-2009 Tahun Jenis Ikan 2007 2008 2009 Growth (%) Kerapu Macan 388.151.119 607.339.974 884.079.156 45,57 Kerapu Bebek 216.326.663 66.891.976 179.974.885 169,05 Kerapu Balong 58.010.799 59.792.670 105.085.866 75,75 Kerapu Lumpur - 9.747.039 8.252.589 (15,33) Kerapu Sunu 99.948.978 94.715.614 205.085.389 116,53 Jumlah 762.473.559 838.487.278 1.382.477.885 64,88 Keterangan : - (Data Tidak Tersedia) Sumber : Statistik Kelautan dan Perikanan, 2009 Dari data Tabel 3 tersebut, terlihat bahwa jenis ikan kerapu macan memberikan nilai yang tertinggi pada tahun 2009 yakni Rp 884.079.156.000 diikuti oleh kerapu sunu senilai Rp 205.085.389.000, kerapu bebek senilai Rp 179.974.885, kerapu balong senilai Rp 105.085.866.000 dan kerapu lumpur senilai Rp 8.252.589.000 Kegiatan sea farming yang telah dilakukan selama lebih dari lima tahun ini perlu terus dikembangkan dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Sea farming sebagai konsep baru perlu dikaji bagaimana kegiatan tersebut dapat meningkatkan pendapatan dan taraf ekonomi masyarakat pesisir melalui optimasi faktor produksi sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan alokasi faktor produksi yang optimal untuk memaksimumkan keuntungan pembudidaya ikan dan menghitung

9 kelayakan usaha budidaya ikan kerapu dengan penggunaan faktor-faktor produksi yang optimal tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Jumlah hasil tangkapan yang berasal dari laut dan penangkapan di perairan umum, pada periode 1997 sampai dengan 2007 meningkat rata-rata sebesar 2,59 % per tahun, yaitu tahun 1997 sebanyak 3.917.219 ton menjadi 5.044.737 ton pada tahun 2007 (Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2007). Besarnya tingkat konsumsi masyarakat terhadap ikan hasil tangkapan alam dapat mengakibatkan punahnya suatu komoditas tertentu, oleh sebab itu pemerintah mengalihkan kegiatan penangkapan pada kegiatan budidaya. Kondisi overfishing diartikan sebagai kondisi yang sudah kelebihan dalam kegiatan penangkapan ikan dimana tangkapan telah melebihi batas tangkap lestari. Kondisi ini dapat disebabkan karena beberapa hal antara lain disebabkan karena penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga ikan-ikan kecil juga ikut terambil, hal lain adalah dapat terjadinya kerusakan terumbu karang, mangrove dan lamun sebagai tempat ikan berkembang biak. Penurunan tangkapan dan stagnansinya menyebabkan nelayan mencoba hal baru yaitu sebagai pembudidaya ikan. Budidaya dianggap mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan perikanan tangkap. Misalnya, budidaya perairan adalah suatu cara memelihara stock, bukan memburu atau mengumpulkan, karena itu waktu dan daya upaya yang digunakan lebih efisien. Keadaan lingkungan juga dapat dikontrol dan diawasi. Dalam banyak kasus, ikan dapat dipelihara tanpa penambahan makanan yang berlebih dari apa yang tersedia

10 secara alami di lingkungannya ataupun sebagai akibat dari penyebaran pupuk. Mungkin juga permintaan pasar ikan hasil budidaya dapat ditingkatkan lebih mudah dibandingkan ikan hasil tangkapan. Melalui produksi yang terkontrol para pembudidaya ikan dapat menjamin kualitas dan kuantitas tertentu dari produksi. Para pembudidaya dapat memasarkan hasilnya ketika persediaan sedang rendah ataupun tidak tersedia dan pada beberapa kasus, pembudidaya mendayagunakan potensi untuk produksi tertentu guna memenuhi pilihan selera pada konsumen dan syarat-syarat pasar yang lain. Pengawasan seperti ini tidak mungkin ada di mayoritas kegiatan perikanan tangkap. Salah satu program yang menerapkan pembudidayaan ikan yaitu sea farming. Sea farming merupakan sebuah konsep yang awalnya diadopsi dari Jepang dan Norwegia, untuk mengatasi kelangkaan sumberdaya perikanan dengan menebar larva ikan, yang diharapkan akan dapat berkembang di suatu wilayah perairan sehingga dalam waktu tertentu dapat ditangkap oleh nelayan. Kegiatan sea farming di Kepulauan seribu merupakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan, dimana program ini diharapkan dapat mengatasi penurunan stok ikan di laut serta naiknya bahan bakar minyak (BBM) yang berakibat pada penurunan tingkat pendapatan nelayan. Kegiatan sea farming di Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki beberapa kegiatan utama yaitu budidaya ikan (pembenihan dan pembesaran), restocking sumberdaya ikan, aktivitas wisata bahari serta rehabilitasi sumberdaya dan lingkungan laut. Pada saat ini, budidaya ikan yang sudah dilakukan adalah kegiatan pembenihan dan pembesaran ikan kerapu. Kegiatan pembenihan menjadi unsur yang penting

11 dalam program sea farming karena sangat menentukan bagi ketersediaan benih ikan. Program sea farming ini juga mendapat dukungan dari pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu dikarenakan program ini akan dijadikan pilot project dalam peningkatan pendapatan nelayan di Kepulauan Seribu. Peran pemerintah diantaranya mendukung pengembangan program dalam bentuk penyediaan beberapa fasilitas fisik seperti demplot (keramba jaring apung), benih dan penyuluhan. Pembudidaya ikan yang mencoba mengembangkan program sea farming ini pada umumnya melakukan usaha budidaya ikan kerapu untuk meningkatkan pendapatannya. Hal ini dilakukan karena perikanan tangkap bersifat tidak pasti (uncertainty). Di sisi lain, wilayah Kepulauan Seribu yang dikelilingi oleh laut sangat berpotensi untuk dijadikan tempat dalam mengembangkan usaha budidaya kerapu. Pemanfaatan daerah laut untuk usaha budidaya ini menggunakan sistem keramba jaring apung. Tingkat penggunaan faktor produksi yang digunakan pembudidaya berbeda-beda dan menghasilkan produksi yang berbeda juga, maka sangat perlu mengkaji pengoptimalan faktor produksi untuk menghasilkan produksi ikan kerapu yang optimal yang dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Pengoptimalan penggunaan keramba jaring apung ini kemudian dilanjutkan dengan pengoptimalan faktor-faktor produksi lainnya seperti benih, pakan dan sebagainya, untuk menghasilkan produksi optimal bagi pembudidaya. Dengan penggunaan faktor-faktor produksi yang optimal, maka diharapkan usaha

12 budidaya ikan kerapu dapat dikembangkan. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang ingin ditelaah : 1) Berapa tingkat optimal faktor produksi yang digunakan dalam suatu usaha budidaya kerapu guna menghasilkan produksi optimal kelompok pembudidaya ikan sea farming di Pulau Panggang? 2) Bagaimana kelayakan pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dengan faktor-faktor produksi yang optimal tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1) Mengkaji faktor produksi optimal dalam budidaya ikan kerapu guna menghasilkan keuntungan maksimum bagi anggota kelompok pembudidaya ikan sea farming di Pulau Panggang. 2) Menganalisis kelayakan pengembangan usaha budidaya kerapu berdasarkan faktor-faktor produksi yang optimal pada kelompok pembudidaya ikan sea farming di Pulau Panggang. 1.4 Manfaat Penelitian 1) Bagi mahasiswa sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. 2) Bagi pemerintah daerah sebagai bahan masukan dalam melakukan kebijakan pengelolaan budidaya ikan kerapu yang tepat bagi pengembangan usaha masyarakat.

13 3) Memberikan informasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Wilayah penelitian ini adalah Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Responden dalam penelitian ini adalah para pembudidaya yang merupakan angggota kelompok sea farming. Pembudidaya ikan pada kelompok sea farming merupakan orang-orang yang bermata pencaharian sebagai pembudidaya ikan yang mempraktekkan program sea farming khususnya usaha budidaya ikan kerapu dengan menggunakan keramba jaring apung. Penelitian ini difokuskan pada optimasi faktor-faktor produksi yang dapat menghasilkan produksi optimal guna meningkatkan pendapatan masyarakat yang mengusahakan kegiatan sea farming di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Optimasi merupakan alokasi sumberdaya yang optimal untuk menghasilkan keuntungan yang maksimum dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan. Analisis kelayakan digunakan untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya kerapu dengan penggunaan faktor-faktor produksi yang optimal.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersamasama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2004). Tentu masyarakat pesisir tidak saja nelayan, melainkan juga pembudidaya ikan, pengolah ikan bahkan pedagang ikan. Berikut ini aspek penting mengenai masyarakat pesisir : a) Ciri Khas Wilayah Pesisir Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya intervensi manusia pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan, seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan air laut yang menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lain-lain. Ditinjau dari aspek kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya sering memiliki sifat terbuka (open access). Kondisi tersebut berbeda dengan sifat kepemilikan bersama (common property) seperti yang terdapat di beberapa wilayah di Indonesia seperti Ambon dengan kelembagaan Sasi, NTB dengan kelembagaan tradisional Awig-Awig dan Sangihe, Talaud dengan kelembagaan Maneeh yang pengelolaan sumberdayanya diatur secara komunal. Dengan karakteristik open access tersebut, kepemilikan tidak diatur, setiap orang bebas memanfaatkan sehingga dalam pembangunan wilayah dan pemanfaatan sumberdaya sering menimbulkan konflik kepentingan pemanfaatan ruang dan

15 sumberdaya serta peluang terjadinya degradasi lingkungan dan problem eksternalitas lebih besar karena terbatasnya pengaturan pengelolaan sumberdaya. b) Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource based), seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi laut. Penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2010 berpenduduk 21.071 jiwa, sekitar 69,36 % merupakan nelayan sedangkan sisanya terdiri dari pedagang, buruh, PNS, swasta dan lain-lain (BPS Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, 2010). Tingkat pendidikan penduduk wilayah pesisir juga tergolong rendah, dimana penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu sekitar 6.800 jiwa hanya menamatkan Sekolah Dasar (SD), 1.463 jiwa tamat SMP dan 1.076 jiwa tamat SMA dengan fasilitas pendidikan yang ada masih sangat terbatas. Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan masyarakat. 2.2 Sea Farming 2.2.1 Sejarah Sea Farming Menurut PKSPL-IPB (2004), konsep sea farming sudah dimulai sejak abad ke-17 di Jepang, Norwegia dan Amerika Serikat. Pada awal pengembangannya, teknologi sea farming merupakan teknologi yang ditujukan

16 kepada aktivitas perikanan berupa ranching, sehingga disebut sea ranching. Istilah ini didefinisikan sebagai aktivitas melepas telur, larva, juvenile atau ikan muda ke laut untuk meningkatkan populasi ikan dan meningkatkan hasil tangkapan. Di Norwegia dan Amerika Serikat, kegiatan pelepasan larva ikan yang masih mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887, dan kegiatan ini terus berlanjut sampai dengan tahun 1967. Hanya saja, di Norwegia kegiatan ini tanpa diikuti oleh evaluasi keberhasilan maupun dampak kegiatan tersebut terhadap populasi ikan ataupun hasil tangkapan sehingga tidak diketahui secara pasti dampak ekologis dari aktivitas yang sudah dilakukan. Strategi yang digunakan untuk melepas larva ke laut pada saat itu adalah dengan mensinkronkan waktu penglepasan dengan waktu dimana makanan larva di area penglepasan mencapai kepadatan yang tertinggi agar kelangsungan hidup larva dapat ditingkatkan. Strategi tersebut masih dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pemangsa, pola arus dan sangat sulit sekali menentukan waktu yang tepat (terkait dengan kelimpahan prey) untuk melepaskan larva di suatu area. Faktorfaktor ini tentu mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan di awal kehidupan larva ikan yang dilepas. Sehingga tingkat keberhasilan penglepasan larva ini diperkirakan sangat kecil sekali bahkan mendekati tingkat nol. Dari pengamatan yang dilakukan, pada umumnya kematian total larva ikan yang dilepas terjadi pada akhir stadia pertama dari perkembangan larva (ikan laut memiliki beberapa tahapan tumbuh kembang stadia pada saat larva). Berdasarkan hal diatas, maka dikembangkan suatu teknik baru agar ikan yang dilepas dapat dipertahankan kelangsungan hidupnya. Hasil dari teknologi tersebut memberikan suatu kesimpulan bahwa tingkat keberhasilan atau

17 kelangsungan hidup penglepasan juvenile lebih baik dibandingkan dengan penglepasan stadia larva. Oleh sebab itu, penglepasan ikan pada stadia juvenile atau ikan muda dijadikan landasan dalam proses kegiatan sea farming. Tentunya dibutuhkan upaya dan biaya untuk mendapatkan juvenile ikan untuk dilepas dibanding melepas ikan dalam stadia larva. Penglepasan ikan pada stadia juvenile diawali atau dipelopori oleh Jepang pada tahun 1965, yang kemudian diikuti oleh Norwegia pada tahun 1976 dan Amerika Serikat pada tahun 1979. Selanjutnya teknologi penglepasan ikan berkembang dimana metode evaluasi, hitungan ekonomis dan dampak sosialnya terus dikembangkan hingga saat ini. Sampai saat ini hanya tiga negara tersebut yang memiliki perhatian yang tinggi terhadap kegiatan sea farming, dan Jepang menjadi kiblat dari kegiatan ini. 2.2.2 Pengertian dan Tujuan Sea Farming Menurut Adrianto (2005), sea farming dalam istilah Bahasa Jepang disebut saibai gyogyou adalah salah satu kegiatan perikanan yang memegang peranan cukup penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepang. Pada dasarnya, sea farming di Jepang berfungsi sebagai penyedia stok ikan yang akan dilepas kembali ke laut sehingga sumberdaya ikan yang berkurang akibat kegiatan perikanan tangkap tetap terpelihara volume stoknya (restocking). Pada umumnya tujuan sea farming dapat dikategorikan menjadi tiga kegiatan berdasarkan tujuannya, yaitu : 1. Membangun suatu populasi atau meningkatkan populasi ikan di suatu areal

18 2. Menopang kegiatan sportfishing dan rekreasi 3. Meningkatkan hasil tangkapan nelayan Berdasarkan tujuan tersebut ternyata negara yang sudah memiliki pengalaman yang cukup tinggi dan teknologi yang sudah lanjut memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Amerika Serikat mempraktekkan penglepasan ikan ke laut untuk tujuan meningkatkan populasi ikan dan untuk menopang kegiatan rekreasi dan sport fishing. Sedangkan Jepang dan negara-negara Skandinavia (Norwegia dan Denmark) memfokuskan kegiatan penglepasan ikan ke laut untuk commercial fishery sebagai tujuan primernya, disamping penglepasan yang ditujukan untuk meningkatkan populasi ikan yang hampir punah di suatu areal. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kegiatan penangkapan ikan memegang peranan yang cukup besar baik secara sosial maupun ekonomi di Jepang. Berdasarkan arealnya maka penglepasan ikan dibagi menjadi dua macam yaitu untuk high sea fishery (200 mil laut dari garis pantai) dan coastal fishery. Pembagian areal ini tentunya akan berdampak pada jenis ikan, ukuran ikan dan daerah penglepasan. Penglepasan ikan pada daerah tertentu harus memperhatikan aspek ekologi dan ekonomi. Aspek ekologi ini dimaksudkan agar tidak mengganggu proses rantai makanan disuatu areal tertentu dimana ikan yang dilepas haruslah ikan asli daerah tersebut atau ikan yang ada pada daerah tersebut. Aspek ekonomi yang dimaksud adalah bahwa ikan yang dilepas haruslah memiliki nilai ekonomi yang penting pada suatu areal/daerah/negara tertentu.

19 Sea farming yang dapat didefinisikan sebagai sistem aktivitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata. Dengan demikian, sea farming pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu subsistem input, sub-sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output. Marikultur berfungsi sebagai penyedia sumberdaya perikanan yang dalam salah satu mata rantainya adalah kegiatan ekonomi masyarakat berbasis budidaya perikanan dan peningkatan cadangan sumberdaya ikan (stock enhancement) sebagai mata rantai penting lainnya. Oleh sebab itu, sea farming merupakan kegiatan pemanfaatan perairan laut di pesisir pantai atau laut. Tentu saja, pemanfaatan perairan tersebut harus sesuai dengan kondisi kegiatan budidaya perikanan laut maupun sumberdaya dan lingkungan pesisir dan laut. Dalam kegiatan sea farming di sekitar perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan kerapu. 2.3 Gambaran Umum Komoditas Ikan Kerapu Ikan kerapu dapat diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut (Ghufran 2001): Filum : Chordata Klas : Pisces Ordo : Perciformes Famili : Serranidae Genus : Cromileptes

20 Spesies : Cromileptes altivelis Genus : Plectropama Spesies : Plectropama maculates, P. Leopardus, dan P.oligacanthus Genus : Epinephelus Spesies : Epinepheleus suillus, E. malabaricus, E. fuscoguttatus, E. merra, dan E. maculates Ikan kerapu biasa disebut goropa atau kasai, diperkirakan terdiri atas sekitar 46 spesies yang hidup di berbagai tipe habitat (tempat hidup). Semua spesies tersebut ternyata berasal dari tujuh genus, yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Chepalopholis, Cromileptes, Plectropoma, Epinephelus, dan Varicla. Dari tujuh genus tersebut, genus Cromileptes, Plectropoma, dan Epinephelus merupakan golongan kerapu komersial bernilai ekonomi tinggi yang diusahakan melalui penangkapan di alam maupun pembudidayaan (Ghufran, 2001). Ikan kerapu merupakan jenis ikan demersal yang menyukai hidup di perairan karang, diantaranya pada celah-celah karang atau di dalam gua di dasar perairan (DKP, 2004). Secara umum, ikan kerapu memiliki kepala yang besar, mulut lebar dan tubuhnya ditutupi sisik-sisik kecil. Bagian tepi operculum, bergerigi dan terdapat duri-duri pada operculum. Letak dua sirip punggungnya terpisah. Semua jenis kerapu mempunyai tiga duri pada sirip dubur dan tiga duri pada bagian tepi operculum (Ghufran, 2001). Ikan kerapu dikenal sebagai ikan pemangsa (predator) yang memangsa jenis-jenis ikan kecil, zooplankton, udang-udangan, dan udang-udang kecil

21 lainnya. Ikan kerapu bersifat hermaphrodit protogynous (hermaprodit protogini), yang berarti setelah mencapai ukuran tertentu akan berganti kelamin (change sex) dari betina menjadi jantan. Selain itu ikan kerapu tergolong jenis ikan yang bersifat hermaphrodit synchroni, yaitu di dalam satu gonad satu individu ikan, terdapat sel seks betina dan sel seks jantan yang dapat masak dalam waktu yang sama, sehingga ikan dapat mengadakan pembuahan sendiri dan dapat pula tidak. Ikan kerapu merupakan ikan berukuran besar yang bobotnya mencapai 4,5 kg atau lebih. Jenis ikan kerapu ini terdapat di berbagai perairan di dunia antara lain di Afrika, Taiwan, Filipina, Malaysia, Australia, Indonesia, dan Papua Nugini. Sementara di Indonesia, ikan kerapu ditemukan diseluruh perairan nusantara (Ghufran, 2001) 2.4 Jenis-Jenis Ikan Kerapu 1) Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) Kerapu bebek sering juga disebut sebagai kerapu tikus, di pasaran internasional dikenal dengan nama polka-dot grouper, namun ada pula yang menyebutnya hump-backed rocked. Ikan kerapu bebek ini berbentuk pipih dan warna dasar kulit tubuhnya abu-abu dengan bintik-bintik hitam di seluruh permukaan tubuh. Kepala berukuran kecil dengan moncong agak meruncing. Kepala yang kecil mirip bebek menyebabkan jenis ikan ini popular dengan sebutan ikan kerapu bebek, namun ada pula yang menyebutnya kerapu tikus, karena bentuk moncongnya yang meruncing menyerupai moncong tikus (Gambar 1).

22 Sumber : (http://www.fishyforum.com/t1081/) Gambar 1. Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes activelis) Ikan kerapu bebek dikategorikan sebagai ikan konsumsi bila bobot tubuhnya telah mencapai 0,5 kg sampai 2 kg per ekor. Selain dijual sebagai ikan konsumsi, ikan kerapu bebek ini juga dapat dijual sebagai ikan hias dengan sebutan grace kelly. Ikan kerapu bebek memiliki bentuk sirip yang membulat. Sirip punggung tersusun dari 10 jari-jari keras dan 19 jari-jari lunak. Ikan ini bisa mencapai panjang tubuh 70 cm atau lebih, namun yang dikonsumsi umumnya ukuran 30-50 cm. Kerapu bebek tergolong ikan buas yang memangsa ikan-ikan dan hewan-hewan kecil lainnya (predator). Ikan kerapu bebek merupakan salah satu ikan laut komersial yang mulai dibududayakan baik dengan tujuan pembenihan maupun pembesaran. 2) Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Bentuk kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) mirip dengan kerapu lumpur, tetapi dengan badan yang agak lebar. Dalam masyarakat internasional dikenal dengan sebutan flower atau carpet cod (Ghufran, 2001). Kerapu macan memiliki mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke atas dan sirip ekor yang membulat (rounded). Warna dasar sawo matang, perut bagian bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik berwarna merah kecokelatan, serta terlihat pula 4-6 baris warna gelap yang melintang hingga

23 ekornya. Badan ditutupi oleh sisik kecil, mengkilat dan memiliki ciri-ciri loreng (Antoro, Sarwono, Sudjiharno, 2004). Gambar ikan kerapu macan dapat dilihat pada Gambar 2. Sumber : (http://www.fishyforum.com/t1081/) Gambar 2. Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) 2.5 Budidaya Ikan Kerapu Usaha budidaya ikan kerapu pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu pembenihan dan pembesaran. Kegiatan pembenihan adalah kegiatan produksi yang menghasilkan benih ikan ukuran 5-7 cm yang biasa disebut dengan fingerling. Kegiatan pembenihan sampai dengan fingerling berkisar antara 3-4 bulan (tergantung dari jenis ikan kerapu). Kegiatan pembenihan sampai dengan fingerling ini merupakan kegiatan yang cukup menarik, terutama untuk menghasilkan benih dari berukuran 2-3 cm menjadi berukuran 5-7 cm dalam jangka waktu yang tidak begitu lama sekitar 20-30 hari. Perbandingan harga benih yang berukuran 2-3 cm dengan yang berukuran 5-7 cm meningkat sampai sekitar 100% yang memberikan keuntungan sekitar 70 %. Kegiatan pembenihan ini dapat dilakukan di dalam tangki budidaya berkapasitas 1-2 m 3 atau dalam keramba jaring apung (dimensi 1,5 m x 1,5 m x 1,5 m dan mesh size 3-4 mm) dengan kepadatan 300-500 ekor per m 3. Pakan yang diberikan

24 sebaiknya pelet kering dengan kadar protein sebesar 40% (Nainggolan et.al, 2003). Pembesaran jenis kerapu sampai dengan ukuran konsumsi berkisar antara 7-10 bulan, tergantung dari jenis kerapu yang dibesarkan (untuk kerapu macan dibutuhkan waktu sekitar 7 bulan dan untuk kerapu bebek sekitar 10 bulan). Pembesaran kerapu untuk menjadi kerapu muda ukuran 100 g per ekor dari ukuran fingerling diperlukan waktu 3-4 bulan pada kerapu macan dan 7-10 bulan pada kerapu bebek. Pembesaran kerapu umumnya dilakukan dengan menggunakan keramba jaring apung atau di dalam tangki pembesaran dengan sistem air mengalir (Nainggolan et.al, 2003). Pakan yang diberikan dapat berupa ikan rucah atau pelet. Usaha pembesaran kerapu di lapangan cukup bervariasi. Ada yang membesarkan dari fingerling sampai dengan ukuran konsumsi, ada pula yang membesarkan dari fingerling sampai dengan ukuran 100 g per ekor (kerapu muda) dan dari kerapu muda sampai ukuran konsumsi (sekitar 500-1200 g per ekor). Pemeliharaan dari ukuran 100 g per ekor sampai dengan lebih besar dari 500 g per ekor memerlukan waktu 3-5 bulan untuk kerapu macan dan 8-10 bulan untuk kerapu bebek (Nainggolan et.al, 2003). 2.6 Keramba Jaring Apung Kata keramba jaring apung biasa digunakan untuk menamai wadah pemeliharan ikan, terbuat dari jaring yang dibentuk segi empat atau silindris dan diapungkan dalam air permukaan menggunakan pelampung dan kerangka kayu, bambu atau besi, serta sistem penjangkaran. Sesuai dengan sifatnya yang sangat

25 dipengaruhi oleh kondisi perairan, lingkungan bagi kegiatan budidaya laut dalam bentuk keramba jaring apung sangat menentukan keberhasilan usaha. Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat penting bagi usaha pemeliharaan ikan dalam keramba jaring apung. Komoditas yang dapat dipelihara dalam keramba jaring apung di laut tropis yaitu berbagai spesies ikan kerapu seperti kerapu lumpur, kerapu macan, kerapu sunu, kerapu bebek, dan kerapu lemak serta beberapa spesies lain seperti ikan baronang, kuwe, lobster, kakap merah, kakap putih, bandeng dan nila merah (Achmad et.al, 1995). Pemilihan komoditas yang akan dibudidayakan mempengaruhi konstruksi keramba jaring apung. Keramba jaring apung dengan banyak sudut seperti segi enam, segi delapan, atau segi empat cocok untuk pemeliharaan kerapu. Hal ini dikarenakan semua spesies kerapu cenderung hidup bersembunyi, berbaring di dasar perairan di bawah naungan (Achmad et.al, 1995) Konstruksi keramba jaring apung selain dipengaruhi oleh spesies yang dipelihara juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, metode budidaya, sifat bahan, dan keterampilan tenaga lokal. Secara ideal, bahan yang digunakan untuk keramba jaring apung harus kuat, ringan, tahan cuaca dan korosi, mudah dikerjakan dan diperbaiki, bebas gesekan, tekstur halus agar tidak melukai ikan. Selain itu tata letak keramba jaring apung harus diperhitungkan berdasarkan arah dan kekuatan arus karena bentuk keramba jaring apung di laut sangat dipengaruhi oleh arus (Achmad et.al, 1995).

26 2.7 Teori Produksi Teori produksi merupakan analisis mengenai bagaimana seharusnya seorang pengusaha atau produsen, dengan teknologi tertentu memilih dan mengkombinasikan berbagai macam faktor produksi untuk menghasilkan sejumlah produk tertentu, seefisien mungkin (Sudarman, 1989). Produksi adalah suatu proses pengubahan faktor produksi atau input menjadi output sehingga nilai barang tersebut bertambah. Penentuan kombinasi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi sangatlah penting agar proses produksi yang dilaksanakan dapat efisien dan hasil produksi yang didapat menjadi optimal. Input pada suatu proses produksi terdiri dari perairan, tenaga kerja, kapital dan bahan baku, jadi input adalah barang atau jasa yang digunakan sebagai masukan pada suatu proses produksi sedangkan yang dimaksud dengan output adalah barang dan jasa yang dihasilkan dari suatu proses produksi. Fungsi produksi merupakan hubungan teknis antara faktor produksi dengan hasil produksi. Fungsi produksi menunjukkan bahwa jumlah barang yang diproduksi tergantung pada jumlah faktor produksi yang digunakan. Fungsi produksi dapat dituliskan sebagai berikut : Q = f (K, L, R, T) Keterangan : Q = output K = modal (capital) L = tenaga kerja (labour) R = sumber daya (resources) T = teknologi (technology)

27 Berdasarkan persamaan tersebut berarti bahwa besar kecilnya tingkat produksi suatu barang tergantung kepada jumlah modal, jumlah tenaga kerja, jumlah kekayaan alam dan tingkat produksi yang digunakan. Jumlah produksi yang berbeda-beda tentunya memerlukan faktor produksi yang berbeda pula. Jumlah produksi yang tidak sama akan dihasilkan oleh faktor produksi yang dianggap tetap, biasanya adalah faktor produksi seperti modal, mesin, peralatannya serta bangunan perusahaan. Sedangkan faktor produksi yang mengalami perubahan adalah tenaga kerja. Berkaitan dengan periode produksi, situasi produksi dimana perusahaan tidak dapat mengubah outputnya disebut jangka waktu yang sangat pendek, sedangkan situasi produksi dimana output dapat dirubah namun demikian ada sebagian faktor produksi yang bersifat tetap atau input tetap dan sebagian lagi faktor produksinya dapat diubah atau input variabel disebut produksi jangka pendek. Produksi jangka panjang yaitu suatu produksi tidak hanya output dapat berubah tetapi mungkin semua input dapat diubah dan hanya teknologi dasar produksi yang tidak mengalami perubahan. Pendugaan hubungan antara produksi dan faktor produksi dapat dilakukan dengan model regresi. Menurut Soekartawi (1994), diantara berbagai model pendugaan hubungan tersebut salah satunya adalah fungsi produksi Cobb-Douglas, yang secara matematis model tersebut dituliskan sebagai berikut : n n e dimana : Y = Variabel dependen a = Konstanta regresi X1...,Xn = Variabel independen 1..., n = Koefisien regresi variabel independen ke 1-n e = Galat atau error

28 2.8 Uji Statistik Selanjutnya untuk mengetahui keakuratan data maka perlu dilakukan beberapa pengujian (Gujarati, 2003): a. Uji t Statistik Uji t statistik melihat hubungan atau pengaruh antara variabel independen secara individual terhadap variabel dependen. 1. Hipotesis yang digunakan : a. Jika Hipotesis positif Ho : i 0 => variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan H 1 : i > 0 => variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara positif dan signifikan b Jik Hipotesis neg tif Ho : i 0 => variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan H 1 : i < 0 => variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara negatif dan signifikan 2. Pengujian satu sisi Jika t tabel t hitung, Ho diterim ber rti v ri bel independen sec r individual tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Jika t tabel < t hitung, Ho ditolak berarti variabel independen secara individu berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. b. Uji F statistik Uji F digunakan untuk menghitung apakah model yang digunakan secara keseluruhan tepat digunakan dengan tingkat kepercayaan tertentu.

29 Adapun langkah langkah pengujian untuk uji F adalah sebagai berikut : 1. Menentukan hipotesis H 0 : 1 = 2 3 4 5 = 6 = 0 (tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel indipenden terhadap variabel dependen secara bersama sama) H 0 : 1 2 3 4 5 6 0 (ada pengaruh yang signifikan dari variabel indipenden terhadap variabel dependen secara bersama sama) 2. Perhitungan nilai F-test: F hitung = keterangan : k N = jumlah variabel = jumlah sampel = koefisien determinasi 3. Pengambilan keputusan uji F Apabila F-hitung > F-tabel, maka Ho ditolak berarti secara bersama sama variabel independen secara signifikan mempengaruhi variabel dependen. Apabila F-hitung < F-tabel maka Ho diterima yang berarti secara bersama sama variabel independen secara signifikan tidak mempengaruhi variabel dependen. c. Koefisien Determinasi (R 2 ) Koefisien determinasi digunakan untuk menghitung seberapa besar varian dari variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel independent. Nilai R 2 paling besar 1 dan paling kecil 0 (0<R 2 <1). Bila R 2 sama

30 dengan 0 maka garis regresi tidak dapat digunakan untuk membuat ramalan variabel dependen, sebab variabel-variabel yang dimasukan kedalam persamaan regresi tidak mempunyai pengaruh varian variabel dependen adalah 0. Semakin dekat R 2 dengan 1, maka semakin tepat regresi untuk meramalkan variabel dependen, dan hal ini menunjukan hasil estimasi keadaan yang sebenarnya. Pengujian asumsi klasik juga perlu dilakukan. Pengujian ini dimaksudkan untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi, multikolinearitas, dan heterokedastisitas. Apabila terjadi penyimpangan terhadap asumsi klasik tersebut uji t dan uji F yang dilakukan sebelumnya menjadi tidak valid dan secara statistik dapat mengacaukan kesimpulan (Gujarati, 2003). a. Multikolinearitas Pengujian multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana satu atau lebih variabel independen dapat dinyatakan sebagai kombinasi linear dari variabel lainnya. Salah satu cara untuk mengetahui adanya multikolinearitas adalah dengan pengujian terhadap masing-masing variabel independen untuk mengetahui seberapa jauh korelasinya (r 2 ) yang dapat kemudian dibandingkan dengan R 2 yang didapat dari hasil regresi secara bersama variabel independent dengan variabel dependen. Jika r 2 melebihi R 2 pada model regresi maka dari hasil regresi tersebut terdapat multikolinearitas, sebaliknya apabila R 2 lebih besar dari semua r 2 maka ini menunjukan tidak terdapatnya multikolinearitas pada model regresi yang diuji. b. Heteroskedastisitas Adanya heteroskedastisitas dalam model analisis mengakibatkan varian dan koefisien-koefisien OLS tidak lagi minimum dan penaksir-penaksir OLS menjadi tidak efisien meskipun penaksir OLS tetap tidak bias dan konsisten.

31 Metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas pada penelitian ini adalah pengujian White, langkah pengujiannya antara lain: a. Melakukan regresi pada persamaan berikut yang disebut regresi auxiliary b. Hipotesis nul dalam uji ini adalah tidak ada heteroskedastisitas. Uji White didasarkan pada jumlah sampel (n) dikalikan dengan R 2 yang akan mengikuti distribusi Chi-squares dengan degree of freedom sebanyak variabel independen tidak termasuk konstanta dalam regresi auxiliary. Nilai hitung statistik Chisqu res (χ 2 ) dapat dicari dengan formula sebagai berikut: n R 2 χ 2 df c. Jika nilai Chi-squares hitung (n. R 2 ) lebih bes r d ri nil i χ 2 kritis dengan derajat keperc y n tertentu (α) m k d heterosked stisit s d n seb likny jika Chi-squ res hitung lebih kecil d ri nil i χ 2 kritis menunjukkan tidak adanya heteroskedastisitas c. Autokorelasi Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antar anggota serangkaian observasi menurut waktu. Dalam konteks regresi, model linear klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi atau gangguan Ui dengan menggunakan lambang: E (Ui Uj) = 0 ; 1 J Secara sederhana dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun (Gujarati, 2003).

32 Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi digunakan Durbin Watson (D-W test), dengan hipotesa sebagai berikut: 1) Jika nilai D-W statistik < DL, atau D-W statistik > 4-DL, maka Ho ditolak yang berarti terdapat autokorelasi 2) Jika nilai DU < D-W < 4-DU, maka Ho diterima, berarti tidak terdapat autokorelasi. ) Jik DL D-W DU t u 4- DU D-W 4-DL, berarti dianggap tidak meyakinkan. 2.9 Elastisitas Produksi Elastisitas produksi digunakan untuk melihat seberapa besar perubahan produksi akibat perubahan pemakaian input (faktor produksi). Koefisien regresi (b 1 ) yang terdapat pada fungsi produksi Cobb-Douglas menunjukkan elastisitas input (X) terhadap output (Y) (Soekartawi, 2003). Elastisitas produksi (Ep) dapat dihitung dengan menjumlahkan pangkat pada fungsi produksi Cobb-Douglas. Elastisitas produksi dapat dituliskan melalui rumus sebagai berikut: Karena adalah produk marjinal (MPP), maka besarnya Ep tergantung dari besarnya MPP suatu input. Dengan demikian, elastisitas produksi merupakan perbandingan antara produk marjinal dengan produk rata-rata.

33 Berdasarkan persamaan di atas rumus elastisitas produksi dapat dituliskan sebagai berikut: 2.10 Skala Usaha (Return to Scale) Skala penerimaan (return to scale) perlu dihitung untuk mengetahui apakah kegiatan dari suatu usaha yang diteliti mengikuti kaidah increasing, constant atau decreasing return to scale. Nilai return to scale dapat diketahui dengan menjumlahkan koefisien regresi (b i ) yang terdapat pada fungsi produksi Cobb-Douglas. Secara rinci dapat dituliskan sebagai berikut: 2.11 Analisis Optimasi Optimasi merupakan pencapaian tingkat faktor produksi yang mana memaksimumkan pendapatan bersih dari penggunaan sumberdaya. Tingkat optimal dari penggunaan faktor produksi dapat dijelaskan dengan fungsi produksi. Pendapatan bersih merupakan hasil selisih dari total revenue (TR) dan total cost (TC). Hal ini tercapai pada saat nilai produk marjinal (NPM) sama dengan harga input produksi (Px), atau biaya marjinal dari tambahan input. Secara matematis, hal ini berarti keuntungan dapat dimaksimumkan bila NPM = Px, karena NPM = MPP. Py. Produk marjinal (MPP) merupakan perkalian antara elastisitas produksi (Ep) dengan produksi rata-rata (APP).

34 Koefisien regresi (b i ) yang terdapat pada fungsi produksi Cobb-Douglas menunjukkan elastisitas produksi, maka : Sehingga nilai produk marjinal (NPM) dapat dihitung dengan rumus: dimana: NPM = nilai produk marjinal input ke-i b i Y = koefisien regresi dari input ke-i = produksi = input ke-i Py = harga persatuan produksi Berdasarkan persamaan MPP dan NPM diatas, maka dapat diketahui input optimal (Xi*) dengan rumus: dimana: * = input optimal ke-i = produksi (output) rata-rata = koefisien regresi dari input ke-i

35 2.12 Analisis Kelayakan Dalam mengevaluasi sebuah usaha biasanya digunakan dua macam analisis, yaitu analisis finansial dan analisis ekonomi. Dalam analisis finansial usaha dilihat dari sudut badan usaha atau perorangan yang menanam modalnya di dalam usaha atau yang berkepentingan langsung di dalam usaha, sedangkan analisis ekonomi, usaha dilihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan. Dalam analisis ekonomi, yang diperhitungkan adalah analisis total, atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam usaha, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber yang dipakai dan siapa dalam masyarakat yang menerima hasil dari usaha tersebut. Hasil dari hal ini disebut social returns atau the economic returns (Kadariah, 2001). Menurut Gittinger (1978), analisis ekonomi atau analisis sosial adalah analisis yang digunakan untuk menghitung manfaat dan biaya dari segi pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan sebagai pihak yang berkepentingan dalam usaha. Analisis finansial atau analisis privat ditujukan untuk menghitung manfaat dan biaya usaha dari segi individu atau swasta sebagai pihak yang berkepentingan dalam usaha. Bagi pemegang kebijakan (policy makers), yang penting adalah mengarahkan pembangunan sumber-sumber yang langka kepada usaha-usaha yang dapat memberikan hasil yang paling baik bagi perekonomian, sebagai keseluruhan, yang menghasilkan social return dan economic return yang tinggi (Kadariah, 2001). Ada beberapa unsur yang berbeda penilaiannya dalam analisis finansial dan analisis ekonomi, (Kadariah 2001).

36 1) Harga Dalam analisis ekonomi selalu dipakai harga bayangan (shadow price), yaitu harga yang menggambarkan nilai sosial dan ekonomi yang sesungguhnya, sedangkan dalam analisis finansial, harga yang digunakan adalah harga privat atau harga pasar (accounting price). 2) Biaya Dalam analisis ekonomi biaya bagi input proyek adalah manfaat yang hilang (the benefit forgone) bagi perekonomian karena input itu dipakai dalam perekonomian atau the opportunity cost bagi input 3) Pembayaran Transfer a) Pajak. Dalam analisis ekonomi, pajak tidak dianggap sebagai biaya dalam proyek. Pajak merupakan bagian dari hasil netto proyek yang diserahkan kepada masyarakat. b) Subsidi. Subsidi merupakan suatu pembayaran transfer dari masyarakat kepada proyek. Dalam analisis finansial subsidi mengurangi biaya proyek. Jadi menambah manfaat bagi proyek, sedangkan dalam analisis ekonomi subsidi merupakan transfer yang dikeluarkan pemerintah yang dibebankan kepada masyarakat. c) Bunga. Dalam analisis ekonomi bunga modal tidak dipisahkan atau dikurangkan dari hasil bruto. Dalam analisis finansial dibedakan antara :

37 - Bunga yang dibayarkan pelaku usaha kepada pihak-pihak diluar usaha yang meminjamkan uangnya kepada usaha tersebut. Bunga ini dianggap biaya (cost). - Bunga atas modal usaha (inputed or paid to entity) tidak dianggap sebagai biaya, karena bunga merupakan bagian dari financial return yang diterima oleh modal usaha. Untuk mengevaluasi kelayakan sebuah usaha digunakan kriteria-kriteria sebagai berikut (Kadariah, 2001) : 1) Net Present Value (NPV) Tujuan dari kebijakan pembangunan adalah untuk mendapatkan hasil netto (net benefit) yang maksimal yang dapat tercapai dengan investasi modal atau pengorbanan sumber-sumber lain. Sebagai ukuran dalam hal ini adalah net present value dari usaha yang merupakan selisih antara NPV dari benefit dan NPV dari cost. 2) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net B/C adalah perbandingan antara present value dari net benefit yang positif dengan present value dari net benefit yang negatif (Net Cost). 3) Internal Rate of Return (IRR) Perhitungan Internal Rate of Return atau tingkat pengembalian internal adalah tingkat bunga maksimal yang dapat dibayar oleh suatu usaha untuk sumberdaya yang digunakan karena suatu usaha membutuhkan dana lagi untuk biaya-biaya operasional dan investasi dan usaha baru sampai pada tingkat pulang modal (Gittinger, 1986). Perhitungan IRR digunakan untuk mengetahui persentase keuntungan dari suatu usaha tiap tahunnya dan menunjukkan kemampuan usaha

38 dalam mengembalikan pinjaman. Jika dengan tingkat diskonto tertentu, nilai NPV menjadi sebesar nol, maka usaha yang bersangkutan berada dalam posisi pulang modal yang berarti proyek dapat mengembalikan modal dan biaya operasional yang dikeluarkan serta dapat melunasi penggunaan uang. 2.13 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas adalah suatu teknik analisis untuk menguji secara sistematis apa yang terjadi pada total penerimaan apabila terjadi perubahanperubahan yang tak terduga dan berbeda dengan perkiraan dan perencanaan. Tujuan analisis sensitivitas yaitu untuk mengetahui apakah yang akan terjadi apabila terdapat perubahan pada unsur-unsur biaya atau penerimaan, sehingga dapat diketahui apakah suatu proyek layak untuk diteruskan atau tidak (Kadariah, 2001). Selain itu, analisis sensitivitas membantu menentukan unsur yang sangat menentukan hasil usaha dan dapat membantu pengelola usaha dengan menunjukkan bagian-bagian peka yang memerlukan pengawasan yang lebih ketat untuk menjamin hasil yang diharapkan akan menguntungkan usaha.

III. KERANGKA PEMIKIRAN Kelompok sea farming yang berada di Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu merupakan kelompok usaha yang melakukan budidaya ikan kerapu pada kegiatan pembesaran. Pembentukan kelompok sea farming bertujuan untuk mempermudah pengelolaan dan pembinaan kegiatan budidaya ikan kerapu. Kelompok tersebut dibina oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) yang bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pengembangan program sea farming di kawasan Kepulauan Seribu telah berjalan sejak tahun 2005 dan telah ada reorientasi perilaku ekonomi penduduk setempat yang umumnya nelayan, yang pada awalnya mengandalkan sistem perikanan tangkap mulai mengembangkan usaha budidaya, meski penangkapan ikan masih menjadi salah satu aktivitas penting. Secara mikro, program ini telah menumbuhkan dan menggerakkan perekonomian, karena selain sistem produksi, program sea farming diharapkan dapat menjadi alternatif dalam kegiatan ekonomi. Sea farming akan berjalan dengan baik apabila konsepsi dan implementasi dalam teknik dan pengembangan dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik serta menggunakan pendekatan yang tepat dan saling mendukung antar sektor primer, sekunder dan tersier. Pembudidayaan ikan kerapu dalam kerangka program sea farming ini mempraktekkan kegiatan budidaya ikan kerapu macan dengan sistem keramba jaring apung. Tiap pembudidaya ikan kerapu di Pulau Panggang menggunakan

40 tingkat faktor produksi yang berbeda-beda dalam usaha budidayanya. Hal ini tentu menghasilkan output yang berbeda-beda juga sehingga perlu dicari berapa tingkat faktor produksi optimal yang digunakan agar dihasilkan output yang optimal. Dengan penggunaan faktor produksi yang optimal akan menghasilkan produksi ikan kerapu yang optimal yang dapat meningkatkan keuntungan pembudidaya ikan. Ditambah lagi dengan masa panen ikan kerapu yang dapat mencapai 7-10 bulan, tentunya hasil output ikan kerapu harus optimal untuk menutupi tenggang waktu tersebut dimana nelayan tidak mendapatkan pendapatan dari budidaya (belum panen). Analisis kelayakan pada usaha budidaya ikan kerapu juga harus dilakukan dalam mengukur keefektifan penggunaan jumlah faktor produksi tersebut, sehingga dalam penelitian ini dilakukan suatu kajian untuk melihat seberapa besar manfaat yang didapat dengan berbudidaya ikan kerapu. Identifikasi pada kondisi dengan proyek (usaha budidaya ikan kerapu) dilakukan penilaian manfaat yang diterima oleh anggota kelompok sea farming. Dengan demikian dapat diketahui apakah usaha budidaya ikan kerapu yang dilakukan oleh anggota kelompok sea farming di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu layak atau tidak layak. Kerangka pemikiran tersebut secara rinci disajikan pada Gambar 3, sebagai berikut.

41 Potensi Sumberdaya Kelautan Kepulauan Seribu Overfishing ( Kondisi -Penurunan stok ikan -Tingkat kesejahteraan -Lingkungan Alternatif : -Perikanan Budidaya Sea Farming Usaha Budidaya Ikan Kerapu dengan Keramba Jaring Apung Faktor-Faktor Budidaya Produksi Optimal Optimalisasi Budidaya Ikan Kerapu Analisis Kelayakan Layak Analisis Sensitivitas Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Tidak Layak --------- : Ruang Lingkup Studi Gambar 3. KerangkaPemikiran

IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan sentra dari kegiatan sea farming di Kepulauan Seribu. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data dan atau informasi dari pembudidaya di daerah Pulau Panggang serta dari instansi pemerintahan Kabupaten Administratif dan masyarakat sekitar Pulau Panggang. Peta lokasi penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. 4.2 Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama tiga bulan yakni dari Maret 2011 sampai dengan Mei 2011. Penelitian ini terbagi ke dalam beberapa tahap. Tahapan yang pertama yaitu pra penelitian. Pra penelitian merupakan proses survei lapang ke lokasi penelitian dengan tujuan untuk pengamatan karakteristik lokasi penelitian, masalah-masalah yang ada di lokasi penelitian, pengembangan kerangka berpikir, hingga penyusunan proposal. Tahapan ini dilaksanakan selama tiga bulan, dimulai pada bulan Maret hingga Mei 2011. Tahapan selanjutnya dilanjutkan dengan proses pengambilan data. Pengambilan data dilaksanakan kurang lebih selama dua minggu, yaitu pada minggu ketiga bulan Mei sampai akhir bulan Mei 2011.

43 Tahapan selanjutnya adalah proses pengolahan dan analisis data serta penyusunan skripsi. Tahapan ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada awal bulan Juni sampai akhir bulan September 2011. 4.3 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian survei. Metode penelitian survei yakni penelitian yang dilakukan pada suatu populasi, baik pada populasi besar maupun kecil, dengan sumber data yang berasal dari bagian populasi tersebut (Nazir, 1988). Dengan metode survei dapat ditemukan hubungan antar variabel, distribusi, dan kejadian-kejadian contoh populasi. 4.4 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data text dan data image. Data text adalah data yang berbentuk alphabet, sedangkan yang dimaksud dengan data image adalah data yang memberikan informasi spesifik mengenai keadaan tertentu melalui foto, tabel dan sejenisnya (Fauzi, 2001). Data text digunakan untuk melihat karakteristik pembudidaya ikan kerapu. Karakteristik lokasi penelitian seperti keadaan geografis dan topografi, jumlah penduduk, tingkat pendidikan penduduk, mata pencaharian penduduk. Karakteristik pembudidaya ikan kerapu dapat dilihat dari tingkat pendidikan, pengalaman usaha, jumlah tanggungan keluarga. Keadaan usaha pembudidaya dapat dilihat dari teknik budidaya, volume air, pemasaran, peralatan budidaya

44 yang digunakan, dan produksi yang dihasilkan. Data image yang digunakan berupa peta kelurahan, dan dokumentasi lokasi penelitian. Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan dan diolah peneliti dan langsung diperoleh dari objek yang diteliti. Pengumpulan data primer diperoleh melalui kuesioner, wawancara dengan responden, dan pengamatan langsung di lapang. Data sekunder adalah data yang pengumpulannya dilakukan oleh pihak lain seperti, Badan Pusat Statistik, Departemen-departemen dan instansi pemerintah lainnya. Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari Kementrian Kelautan dan Perikanan Jakarta, Badan Pusat Statistik Jakarta, PKSPL-IPB, Sudin Kelautan dan Perikanan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dan internet. 4.5 Metode Pengambilan Contoh Metode pengambilan contoh untuk responden pembudidaya ikan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Metode purposive sampling adalah pengambilan contoh dengan teknik anggota populasi dipilih sebagai contoh untuk memenuhi tujuan tertentu (Fauzi, 2001). Pertimbangan menggunakan metode tersebut karena pengambilan contoh memilih responden berdasarkan kebutuhan data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Responden pembudidaya ikan dipilih sebanyak 32 orang dengan kriteria : 1) Responden yang dipilih adalah anggota kelompok sea farming 2) Responden melakukan budidaya sampai memproduksi ikan kerapu ukuran konsumsi 3) Keramba jaring apung yang digunakan adalah milik pribadi

45 4.6 Metode Analisis Metode analisis data yang digunakan adalah metode kuadrat terkecil (OLS) untuk menduga fungsi produksi Cobb-Douglas, analisis nilai produk marjinal (NPM) untuk optimalisasi dan analisis kelayakan untuk menilai kemungkinan pengembangan usaha budidaya ikan kerapu. 4.6.1 Metode Kuadrat Terkecil Analisis data yang dilakukan dengan Metode Kuadrat Terkecil/OLS (ordinary least square) menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi maka dapat disusun suatu model ekonometrik sebagai berikut: b Y = b 0 X 1 b 1 X 2 b 3 b 2 X3 X 4 b 5 b 4 X5 X 6 6 e, Dalam rangka mempermudah pendugaan fungsi produksi Cobb-Douglas, maka persamaan tersebut diubah menjadi bentuk linier berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut. Bentuk fungsi Cobb-Douglas yang ditransformasikan ke dalam bentuk persamaan linier berganda adalah sebagai berikut : Ln Y = Ln b 0 + b 1 Ln X 1 + b 2 Ln X 2 + b 3 Ln X 3 + b 4 Ln X 4 + b 5 Ln X 5 + b 6 Ln X 6 + e dimana: Y = Output/hasil ikan kerapu X 1 = Volume keramba (m 3 ) X 2 = Jumlah bibit (kg) X 3 = Jumlah pakan rucah (kg) X 4 = Tenaga kerja persiapan (HOK) X 5 = Tebaran bibit (ekor/m 3 ) X 6 = Tenaga kerja pemeliharaan (HOK) = Konstanta regresi b 0 b 1-6 e = Koefisien regresi = Galat atau error

46 4.6.2 Elastisitas Produksi Elastisitas produksi digunakan untuk melihat sebrapa besar perubahan produksi akibat perubahan pemakaian input (faktor produksi). Koefisien regresi (b 1 ) yang terdapat pada fungsi produksi Cobb-Douglas menunjukkan elastisitas input (X) terhadap output (Y) (Soekartawi, 2003). Elastisitas produksi (Ep) dapat dihitung dengan menjumlahkan pangkat pada fungsi produksi Cobb-Douglas. Elastisitas produksi dapat dituliskan melalui rumus sebagai berikut: Karena adalah produk marjinal (MPP), maka besarnya Ep tergantung dari besarnya MPP suatu input. Dengan demikian, elastisitas produksi merupakan perbandingan antara produk marjinal dengan produk rata-rata. Berdasarkan persamaan di atas rumus elastisitas produksi dapat dituliskan sebagai berikut: 4.6.3 Skala Usaha (Return to Scale) Skala penerimaan (return to scale) perlu dihitung untuk mengetahui apakah kegiatan dari suatu usaha yang diteliti mengikuti kaidah increasing, constant atau decreasing return to scale. Nilai return to scale dapat diketahui

47 dengan menjumlahkan koefisien regresi (b i ) yang terdapat pada fungsi produksi Cobb-Douglas. Secara rinci dapat dituliskan sebagai berikut: 4.6.4 Analisis Optimasi Kegiatan usaha bertujuan untuk memperoleh pendapatan bersih yang maksimum, sehingga produsen (pembudidaya ikan kerapu) harus mengetahui berapa banyak input-input produksi yang digunakan. Dengan demikian, maka diperlukan informasi mengenai daya produksi dari input-input produksi yang digunakan. Apabila harga input-input produksi diketahui, dengan bantuan fungsi produksi, kombinasi-kombinasi input produksi optimum, perbandingan harga input-input produksi haruslah sama dengan produk marjinal untuk setiap input yang digunakan. Dengan kata lain, nilai produk marjinal harus disamakan dengan harga masukan. Kalau produk marjinal lebih besar dari perbandingan harga dari input-output, MPPxi > Pxi/Py, penggunaan input produksi itu haruslah dikurangi. Demikian pula, kalau produk marjinal dan perbandingan harganya sama, ini berarti efisien secara ekonomi. Dari fungsi produksi Cobb-Douglas produk marjinal penggunaan input produksi dapat dihitung melalui koefisien produksi dan produk rata-rata (APP), atau dengan membedakan fungsi produksi. Pada penelahaan ini, produk marjinal diturunkan dengan membedakan fungsi produksi terhadap input produksi yang ingin dioptimalkan, dengan variabel-variabel input lainnya yang dihitung pada rata-rata geometrisnya (sebagai lawan dari rata-rata hitungannya). Penggunaan rata-rata hitungan memberikan produk marjinal yang bias.

48 Seperti telah dibicarakan sebelumnya, pada titik kombinasi input produksi yang optimum perbandingan harga input-output pada produk marjinal haruslah sama untuk setiap input produksi yang digunakan. Secara matematis, hal ini berarti keuntungan dapat dimaksimumkan bila NPM = Px, karena NPM = MPP. Py. Produk marjinal (MPP) merupakan perkalian antara elastisitas produksi (Ep) dengan produksi rata-rata (APP). Koefisien regresi (b i ) yang terdapat pada fungsi produksi Cobb-Douglas menunjukkan elastisitas produksi, maka : dimana : MPP = produk marjinal APP = produk rata-rata Ep = elastisitas produksi Sehingga nilai produk marjinal (NPM) dapat dihitung dengan rumus: dimana: NPMxi b i Y Xi Py = nilai produk marjinal input ke-i = koefisien regresi dari input ke-i = produksi = input ke-i = harga persatuan produksi Berdasarkan persamaan MPP dan NPM diatas, maka dapat diketahui input optimal (X i *) dengan rumus:

49 dimana: Xi* b i = input optimal ke-i = produksi (output) rata-rata = koefisien regresi dari input ke-i 4.6.5 Analisis Kelayakan Analisis kelayakan digunakan untuk mengetahui kelayakan pengembangan usaha budidaya ikan kerapu, maka dilakukan perbandingan antara manfaat dan biaya. Kriteria kelayakan yang digunakan antara lain Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), dan Internal Rate of Return (IRR). 1) Net Present Value (NPV) Pengembangan usaha budidaya ikan kerapu macan bertujuan untuk mendapatkan hasil netto (net benefit) yang maksimal yang dapat tercapai dengan investasi modal atau pengorbanan sumber-sumber lain. Sebagai ukuran dalam hal ini adalah net present value dari usaha yang merupakan selisih antara NPV dari benefit dan NPV dari cost. Keterangan : NPV = Jumlah pendapatan bersih diwaktu sekarang selama n tahun Bt = Benefit usaha pada tahun ke-t (Rp) Ct = Biaya usaha pada tahun ke-t (Rp) n = Umur usaha i = Tingkat suku bunga (%)

50 apabila : 1. NPV < 0 (negatif), berarti bahwa sampai pada t tahun usaha masih merugi sehingga tidak layak dilaksanakan. 2. NPV = 0, berarti bahwa biaya sama dengan penerimaan sehingga usaha tidak mendapat keuntungan atau merugi. 3. NPV > 0 (positif), menunjukkan kondisi usaha menguntungkan, dengan semakin besarnya NPV maka semakin besar pula manfaat yang akan dicapai. 2) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net B/C adalah perbandingan antara present value dari net benefit yang positif dengan present value dari net benefit yang negatif. Secara matematis ditulis dengan rumus : Net B/C = Keterangan : Net B/C = Net Benefit-Cost Ratio Bt = Benefit pada tahun-t Ct = Biaya pada tahun-t Bt-Ct = Benefit bersih i = Tingkat suku bunga (%) n = Umur usaha t = periode atau tahun usaha ( t = 0,1,2,,n) apabila : Net B/C > 1, berarti usaha layak dilaksanakan Net B/C = 0, berarti usaha impas Net B/C < 1, berarti usaha tidak layak dilaksanakan

51 3) Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return adalah suatu tingkat diskonto yang membuat NPV usaha sama dengan nol. Internal Rate of Return merupakan arus pengembalian yang menghasilkan NPV aliran kas masuk sama dengan NPV aliran kas yang keluar. IRR secara matematis ditulis dengan rumus : [ ] Keterangan : IRR = Besarnya Internal Rate of Return dalam persen (%) = Discount rate yang menghasilkan NPV positif = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif NPV(+) = NPV positif NPV(-) = NPV negatif Apabila : IRR < tingkat diskonto : Usaha tidak layak dilaksanakan IRR = tingkat diskonto : Usaha tidak untung dan tidak rugi IRR > tingkat diskonto : Usaha layak dilaksanakan 4.6.7 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi terhadap manfaat dan biaya selama usaha berlangsung. Asumsi yang digunakan adalah penurunan harga output/penerimaan. Penentuan besarnya penurunan harga output berdasarkan fluktuasi harga yang terjadi di lokasi penelitian. Asumsi yang kedua adalah penurunan hasil produksi. Melalui analisis sensitivitas akan diketahui faktor-faktor apa saja yang paling sensitif. Dalam mengukur tingkat sensitivitas digunakan formula Switching Value (SV) yang

52 menggambarkan tingkat perubahan parameter tertentu yang menyebabkan NPV= 0. Metode switching value yang digunakan pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar persentase perubahan terhadap perubahan harga jual dan produksi ikan kerapu macan yang dihasilkan. 4.7 Batasan dan Pengukuran 1) Satu siklus produksi adalah waktu yang dibutuhkan dalam satu kali masa penebaran sampai masa panen diukur dalam satuan hari. Satu siklus produksi dalam usaha pembesaran ikan kerapu macan adalah 8-12 bulan atau setara dengan 240-360 hari. 2) Faktor produksi adalah segala sesuatu yang dapat mempengaruhi output (produksi ikan kerapu macan). Faktor produksi yang diduga dapat mempengaruhi produksi ikan kerapu macan adalah bibit (kg/musim tanam), pakan rucah (kg/musim tanam), pakan pelet (kg/musim tanam), tenaga kerja (orang/musim tanam), volume keramba jaring apung (m 3 ), tebaran bibit (ekor/m 3 ). 3) Produksi adalah berat total ikan kerapu yang dihasilkan dalam satu siklus produksi (kg). 4) Total penebaran bibit adalah jumlah bibit ikan kerapu yang ditebar dalam satu siklus produksi diukur dalam satuan kg per musim tanam, dengan ketentuan berat bibit per ekor adalah (1) ukuran 10-11 cm setara dengan 25 gram, (2) ukuran 12-13 cm setara dengan 30 gram, (3) ukuran 14-15 cm setara dengan 50 gram, dan (4) ukuran 16-18 cm setara dengan 100 gram.

53 5) Pakan adalah makanan yang dibutuhkan ikan berasal dari luar perairan dalam bentuk ikan rucah dan pelet yang diukur dalam satuan kg. 6) Tenaga Kerja adalah jumlah orang yang diperlukan dalam satu siklus produksi, diukur dalam Hari Orang Kerja (HOK). Satu HOK setara dengan 8 jam. 7) Volume keramba jaring apung adalah tempat yang digunakan untuk usaha budidaya pembesaran ikan kerapu diukur dalam satuan m 3. 8) Tebaran bibit adalah padat tebaran bibit di dalam keramba (ekor/m 3 ).

V. KEADAAN UMUM WILAYAH 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang Wilayah Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 12 pulau dan memiliki kondisi perairan yang sesuai untuk usaha budidaya. Kondisi wilayah tersebut adalah sebagai berikut: 5.1.1 Luas Wilayah dan Administrasi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dibentuk pada tahun 2002 dan terdiri dari dua kecamatan yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara terdiri dari tiga kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Harapan, Kelurahan Pulau Kelapa dan Kelurahan Pulau Panggang sedangkan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan terdiri dari Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari dan Kelurahan Pulau Untung Jawa. Pusat pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu terletak di Kelurahan Pulau Panggang tepatnya di Pulau Pramuka dan Pulau Karya. Kelurahan Pulau Panggang terdiri atas dua pulau pemukiman yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Kelurahan Pulau Panggang memiliki luas wilayah 62,10 hektar. Kelurahan ini merupakan salah satu kelurahan yang memiliki luas wilayah paling kecil dibandingkan kelurahan-kelurahan lainnya yang ada di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

55 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2001 mengenai pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, batas-batas wilayah Kelurahan Pulau Panggang adalah sebagai berikut: Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Barat Sebelah Timur : 05 o 41 41 LS 05 o 41 41 LS : 106 o 44 50 BT : 106 o 19 30 BT : 05 o 47 00 LS 05 o 45 14 LS Kondisi geografis sebagai berikut: Kondisi tinggi tanah dari permukaan laut Suhu udara rata-rata : 1 meter : 27 o C 32 o C Jarak dari Pusat Pemerintahan Kelurahan Jarak dari Pusat Kantor Kec. Kep. Seribu Utara : 9 km Jarak dari Pusat Kantor Kab. Adm. Kep. Seribu : 2 km Jarak dari Pusat Pemerintahan Prov. DKI Jakarta : 74 km Jarak antara Pulau Panggang dari pusat pemerintahan kecamatan yakni Kecamatan Kepulauan Seribu Utara kurang lebih 9 km dan jarak antara Pulau Panggang dengan kantor pusat Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang terdapat di Pulau Pramuka kurang lebih 2 km, jarak ini dapat ditempuh dengan menggunakan ojek kapal yang merupakan alat transportasi sehari-hari antara Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Sedangkan jarak ke Ibukota Provinsi DKI Jakarta sekitar 74 km yakni jarak dari Pulau Panggang ke Pelabuhan Muara Angke, Jakarta. Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 12 pulau. Dari seluruh pulau yang ada, hanya ada dua pulau yang dihuni, yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Panggang,

56 yang terdiri atas tiga rukun warga di Pulau Panggang dan dua rukun warga di Pulau Pramuka, sedangkan pulau-pulau lainnya digunakan untuk tempat peristirahatan, Penghijauan Umum (PHU), pariwisata, Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA), Tempat Pemakaman Umum (TPU) dan mercusuar. Secara rinci nama-nama pulau, luas dan peruntukannya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Nama, Luas dan Peruntukan Pulau-Pulau di Kelurahan Pulau Panggang. No Nama Pulau Luas (ha) Peruntukan 1 Pulau Opak Kecil 1.10 Peristirahatan 2 Pulau Karang 0.50 Peristirahatan 3 Pulau Kotok Kecil 1.30 PHU 4 Pulau Kotok Besar 20.75 Pariwisata 5 Pulau Gosong Pandan 0.20 Peristirahatan 6 Pulau Semak Daun 0.75 PHPA 7 Pulau Panggang 9.00 Pemukiman 8 Pulau Karya 6.00 TPU 9 Pulau Pramuka 6.00 Pemukiman 10 Pulau Gosong Sekati 0.20 Peristirahatan 11 Pulau Air 2.90 Peristirahatan 12 Pulau Peniki 3.00 Mercusuar 13 Lainnya 9.50 Sumber: Sudin Perikanan Kepulauan Seribu, 2007 5.1.2 Kondisi Perairan Secara umum, kondisi fisik, kimia dan biologi Kelurahan Pulau Panggang tidak jauh berbeda dengan kondisi di Kepulauan Seribu. Iklim di Kepulauan Seribu secara fisik berada dalam sistem musim equator yang dipengaruhi oleh variasi tekanan udara. Musim barat terjadi pada bulan Oktober April dimana tiupan angin dari arah barat laut utara sangat kuat dengan kisaran antara 7 20

57 knot atau bahkan lebih dari 20 knot pada musim barat umumnya sejalan dengan musim hujan. Musim timur terjadi pada bulan April Oktober dengan kecepatan angin 7 15 knot. Kedalaman dan arus perairan secara umum di daerah Kepulauan Seribu berkisar antara 2 35 m dan 0.06 0.25 m/detik. Kecepatan arus sangat dipengaruhi oleh lokasi dan musim. Kualitas fisika dan kimia air di Kepulauan Seribu secara umum masih dalam kisaran yang normal dimana kecerahan mencapai level 100 persen (8,5 9 meter) dan keseluruhan sebesar 30 NTU. Demikian halnya dengan peubah, nitrit, nikel, BOD 5, oksigen terlarut, COD, amoniak, masih dibawah batas ambang kecuali untuk Pulau Lancang Kecil kandungan nikel mencapai 35 persen diatas batas ambang (batas ambang unsur ini adalah 0.020 ppm). Ekosistem kawasan Pulau Seribu terdiri dari beberapa ekosistem yang berupa mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Setiap jenis ekosistem tersebut akan menjadi pembatas geografis organisme akuatik yang ada. Berdasarkan aspek fisika dan kimia, maka perairan laut Kepulauan Seribu masih memenunhi standard biological requirement untuk biota akuatik. 5.2 Potensi Sumberdaya Manusia Jumlah penduduk Kelurahan Pulau Panggang pada bulan Agustus tahun 2009 sebanyak 5.454 jiwa. Komposisi penduduknya terdiri dari 2.893 penduduk laki-laki dan 2.661 penduduk perempuan. Sehingga rasio jenis kelamin penduduk di Kelurahan Panggang ini sebesar 92 yang berarti dalam setiap 100 orang penduduk laki-laki terdapat 92 orang penduduk perempuan. Secara rinci jumlah penduduk menurut kelompok umur disajikan dalam Tabel 5.

58 Tabel 5. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2009 Jenis Kelamin No Kelompok Umur Jumlah Laki-Laki Perempuan (orang) (orang) (orang) 1 0-4 tahun 372 365 737 2 5-9 tahun 265 263 528 3 10-14 tahun 266 260 526 4 15-19 tahun 267 261 528 5 20-24 tahun 237 223 460 6 25-29 tahun 256 246 502 7 30-34 tahun 214 192 406 8 34-39 tahun 210 198 408 9 40-44 tahun 244 139 283 10 45-49 tahun 128 120 248 11 50-54 tahun 151 138 289 12 55-59 tahun 118 115 233 13 60-64 tahun 86 80 166 14 65-69 tahun 43 34 77 15 70-74 tahun 26 8 34 16 >75 tahun 10 19 29 Jumlah 2.893 2.661 5.454 Sumber: Sudin Perikanan Kepulauan Seribu, 2009 Jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 3.523 jiwa dan penduduk usia tidak produktif (0-14 tahun dan 64 tahun ke atas) sebanyak 1.931 jiwa. Sehingga angka rasio beban tanggungan penduduk Kelurahan Pulau Panggang sebesar 54,81%, yang berarti bahwa setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 55 penduduk usia tidak produktif. Apabila dibandingkan antara luas wilayah daratan (62,10 ha) dengan jumlah penduduk yang mencapai 5.454 jiwa, maka kepadatan penduduk Kelurahan Pulau Panggang

59 mencapai 87,83 jiwa per km 2. Angka ini menunjukkan bahwa Kelurahan Pulau Panggang termasuk daerah yang padat penduduknya. Keadaan ini dapat dilihat langsung pada kondisi perumahan penduduk, khususnya yang tinggal di Pulau Panggang, dimana rumah-rumah penduduk sangat rapat sehingga di pulau tersebut tidak ada tempat terbuka seperti taman atau fasilitas umum lainnya. Kondisi ini membutuhkan penataan pemukiman agar tercipta lingkungan pemukiman yang layak dan sehat untuk dihuni. 5.3 Karakteristik Masyarakat Kelurahan Pulau Panggang Penduduk Kelurahan Pulau panggang yang memiliki mata pencaharian sebanyak 2.302 orang. Jumlah tersebut sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan, yaitu sebanyak 1.536 atau 66,725 persen. Mata pencaharian lain yang cukup banyak yaitu karyawan swasta 9,644 persen, Pegawai Negeri Sipil (PNS) 8,341 persen, pembudidaya 8,080 persen dan perdagangan 4,952 persen sedangkan sisanya dibawah 1 persen. Komposisi penduduk di kelurahan pulau panggang menurut mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 6.

60 Tabel 6. Komposisi Penduduk di Kelurahan Pulau Panggang Menurut Mata Pencaharian Tahun 2010 No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%) (orang) 1 Nelayan Tangkap 1.536 66,725 2 Karyawan Swasta 222 9,644 3 PNS 192 8,341 4 Pembudidaya 186 8,080 5 Perdagangan 114 4,952 6 Jasa/Angkutan 18 0,782 7 Pensiunan/Veteran 17 0,738 8 TNI/POLRI 11 0,478 9 Veteran 6 0,261 Jumlah 2.302 100,000 Sumber: Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu 2010 Dari jumlah penduduk tersebut, 1.386 orang berpendidikan dari tamat Sekolah Dasar (SD) sampai tamat akademi, dengan rincian pada Tabel 7 sebagai berikut. Tabel 7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2009 Jenis Kelamin No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase Pria Wanita (Orang) (%) 1 Tidak Tamat SD 23 22 45 3,14 2 Tamat SD 370 318 688 48,08 3 Tamat SMP 180 130 310 21,66 4 Tamat SMA 140 145 285 19,92 5 Tamat Akademi 66 37 103 7,20 Jumlah 779 652 1431 100,00 Sumber: Sudin Perikanan Kepulauan Seribu, 2009 Berdasarkan Tabel 7 tersebut, terlihat bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Pulau Panggang hanya menamatkan pendidikan SD yaitu sebesar 48,08

61 persen diikuti dengan tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) 21,66 persen, tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) 19,92 persen dan tamat akademi 7,20 persen. 5.4 Prasarana dan Sarana Berdasarkan Laporan Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang Bulan Mei 2009, prasarana dan sarana yang terdapat di Kelurahan Pulau Panggang adalah sarana peribadatan, sarana perdagangan, sarana olah raga, sarana pendidikan, sarana kesehatan, prasarana perhubungan dan sarana pemerintahan. Sarana peribadatan terdiri atas dua buah masjid dan 10 buah mushola, sarana perdagangan terdiri atas perdagangan bakulan 15 buah, warung sembako 75 buah, dan warung makan atau warteg 17 buah. Sarana olah raga terdiri atas lapangan sepak bola dua buah, lapangan bola voli lima buah, lapangan bulu tangkis tiga buah, lapangan tenis meja lima buah, lapangan bola basket dua buah, matras gulat 75 buah, dayung kano dragon empat buah, dayung kano 12 buah, lapangan voli pantai satu buah, dan lapangan tenis pantai satu buah. Sarana kesehatan terdiri atas Puskesmas satu buah, pos kesehatan satu buah, dan BKIA (Badan Kesejahteraan Ibu dan Anak) lima buah. Sarana pendidikan terdiri atas TK empat buah, TPA dua buah, SDN tiga buah, Madrasah Ibtidaiyah (MI) satu buah, sarana pemerintahan seperti Kantor Kelurahan Pulau Panggang dan sarana transportasi berupa kapal motor. Alat transportasi yang umumnya digunakan penduduk untuk pulang pergi antar pulau yaitu ojek kapal.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Kegiatan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan Kegiatan usaha budidaya ikan kerapu macan meliputi pemilihan lokasi budidaya, pemasangan wadah pemeliharaan, penebaran bibit, pemberian pakan, penjemuran jaring, pencucian ikan, pemanenan, dan pemasaran. Kegiatan ini berlangsung secara terus menerus sampai ikan kerapu macan siap dipanen (mencapai ukuran konsumsi). 6.1.1 Pemilihan Lokasi Budidaya Lokasi budidaya yang dipilih untuk budidaya kerapu adalah perairan di sekitar karang dengan kedalaman air berkisar antara 3-7 m, memiliki kecepatan angin relatif kecil, gangguan alam seperti ombak dan angin relatif kecil. Pemilihan lokasi budidaya dilakukan agar kelangsungan ikan yang dibudidayakan dapat tumbuh dengan baik, mengingat ikan kerapu sensitif terhadap perubahan lingkungan. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-6488.4-2000), lokasi yang cocok untuk budidaya kerapu macan adalah suhu berkisar antara 25 0 C sampai dengan 32 0 C, PH berkisar antara 7-8, 5, DO > 5 ppm, kecepatan arus berkisar antara 20-25 cm per detik dan kecerahan lebih besar dari tiga meter. 6.1.2 Pembersihan Wadah Pemeliharaan Wadah pemeliharaan ikan kerapu macan dalam satu unit keramba jaring apung terdiri dari dua jaring per kotak sebagai wadah pemeliharaan atau pembesaran. Media yang digunakan adalah jaring yang terbuat dari bahan

63 polyethylene dengan ukuran jaring (mesh size) dua inci. Ukuran jaring yang digunakan adalah 3,5 x 3,5 x 3,5 meter per kotak. 6.1.3 Penebaran Bibit Penebaran bibit dilakukan pada pagi atau sore hari agar suhu perairan tidak terlalu panas. Ukuran bibit kerapu macan yang ditebar di keramba jaring apung (KJA) berkisar antara 10 cm sampai dengan 11 cm. Harga bibit pada ukuran tersebut yaitu Rp. 11.000 per ekor. Benih yang digunakan tiap pembudidaya beragam, antara 5 kg (setara dengan 200 ekor) sampai 10 kg (setara dengan 400 ekor) per unit usaha. Rata-rata padat penebaran di karamba jaring apung (KJA) sebanyak 9 ekor per m 3 atau setara dengan 0,225 kg per m 3. Responden memperoleh bibit ikan kerapu macan dari balai bibit yang terletak di perairan Semak Daun. Bibit yang diberikan tersebut bersifat pinjaman. Pengambilan bibit dapat dilakukan bila sudah mendapatkan surat izin dan tanda tangan dari ketua kelompok sea farming. Pembayaran bibit dapat dilakukan setelah responden memanen hasil budidayanya. Bibit yang diperoleh responden sebanyak 200 ekor per orang pada tahap pertama. Apabila responden berhasil menjalankan usaha pada tahap pertama tersebut dan dapat membayar pinjaman bibit pada awal usaha, responden memiliki kesempatan lagi untuk memperoleh bibit untuk usaha selanjutnya (berlaku penambahan 200 ekor benih setiap tahap pengambilan bagi yang berhasil menjalankan usahanya). Ketentuan ini sesuai dengan kesepakatan antara kelompok sea farming, pihak balai bibit ikan dan PKSPL-IPB sebagai pembina kelompok sea farming.

64 6.1.4 Pemberian Pakan Pemberian pakan rata-rata dua kali sehari, yaitu pagi dan sore hari. Pakan yang diberikan adalah ikan rucah segar yang dibeli atau didapatkan dari hasil mencari sendiri. Dosis pakan rucah yang diberikan tidak terukur dengan baik. Pembudidaya memberikan pakan berdasarkan penglihatan mereka di keramba. Apabila ikan tidak antusias dalam memakan pakan yang diberikan, maka pembudidaya akan berhenti memberikan rucah. Pembudidaya tidak membandingkan antara biomassa ikan dan jumlah pakan ikan yang diberikan sehingga jumlah pakan yang diberikan tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya. Rata-rata pemberian pakan dalam satu kali pemberian adalah 2.75 kg. Pakan yang seharusnya digunting untuk memperkecil ukurannya hanya dicincang secara kasar oleh petani ikan. Harga ikan yang dijadikan pakan rucah berkisar antara Rp 2.500,00 per kg sampai dengan Rp 3.500,00 per kg dengan harga ratarata Rp 3.000,00 per kg. Apabila pakan rucah sulit didapatkan, maka pakan alternatif yang digunakan adalah pakan pelet, harga pakan pelet cukup mahal yaitu sekitar Rp 250.000 per karung (1 karung = 25 kg). Pemberian pakan dilakukan dengan cara menebar pakan ke dalam keramba. 6.1.5 Perbaikan dan Pembersihan Jaring Perbaikan dan pembersihan jaring selama masa pemeliharaan selalu dilakukan oleh pembudidaya. Jaring kotor akibat penempelan lumpur atau biota penempel, seperti kerang, tritip dan alga. Pembersihan dan perbaikan jaring dilakukan seminggu sekali sampai ikan berumur tiga bulan dan setelah umur tiga

65 bulan sampai masa panen perbaikan dan pembersihan dilakukan satu bulan sekali. Jaring kotor dijemur terlebih dahulu kemudian disemprot dengan air sampai seluruh kotoran yang menempel terlepas dari jaring sebelum dipasang kembali jaring harus diperiksa terlebih dahulu, sehingga apabila ada yang robek dapat diperbaiki. 6.1.6 Pemanenan Ikan kerapu macan yang siap panen berukuran 5-7 ons untuk keramba jaring apung, sedangkan lama pemeliharaannya 8-12 bulan atau lama pemeliharaan rata-rata 10 bulan. Alat panen yang biasanya digunakan adalah scoop net yang terbuat dari kain kasa. Scoop net yang kasar tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan luka yang dapat menyebabkan penyakit dan stress pada ikan saat dibawa ketempat penjualan atau konsumsi. Pemanenan ikan dapat dilakukan dengan cara mengangkat jaring pemeliharaan dengan tongkat kayu. Tongkat kayu diangkat sehingga jaring terbagi menjadi dua bagian sehingga dapat memudahkan pengambilan ikan dari jaring secara selektif maupun total. 6.1.7 Pemasaran Hasil panen ikan kerapu macan di Pulau Panggang biasanya langsung dijual ke pedagang pengumpul lokal (tengkulak) yang juga berasal dari Pulau Panggang atau Pulau Pramuka. Pembudidaya ikan kerapu di Pulau Panggang tidak pernah kesulitan untuk menjual hasil panennya karena para pedagang pengumpul mampu membeli seluruh ikan hasil panen dengan harga yang berlaku di pasar. Biasanya pengumpul mendatangi lokasi budidaya pada saat panen

66 berlangsung, sehingga responden tidak perlu membawa ikan hasil panen ke pengumpul. Harga jual ikan kerapu macan untuk keramba jaring apung berukuran 5-7 ons dengan harga rata-rata Rp 135.000 per kg Pembudidaya ikan kerapu kebanyakan tidak menjual hasil panennya langsung ke Jakarta walaupun harga yang ditawarkan lebih tinggi dikarenakan biaya transportasi dan biaya packing ikan yang cukup tinggi. Selain itu resiko kematian ikan pada saat dibawa juga cukup tinggi, sedangkan pembeli atau pedagang pengumpul hanya mau membeli ikan kerapu dalam keadaan hidup. Sebagai perbandingan, harga ikan kerapu macan di Pulau Panggang berkisar Rp 135.000 per kilogram, sedangkan di Jakarta berkisar Rp 150.000 per kilogram. Dengan adanya pedagang pengumpul, secara tidak langsung hal ini menguntungkan nelayan pembudidaya karena tidak menanggung resiko kematian ikan setelah dipanen dan juga tidak mengeluarkan tambahan biaya untuk transportasi dan packing. 6.2 Penggunaan Faktor Produksi pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan Faktor atau input produksi merupakan penentu produksi sehingga penggunaannya harus efektif dan efisien baik secara jumlah, jenis dan kualitas. Produksi ikan kerapu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang digunakan dalam pendugaan fungsi produksi, sedangkan faktor eksternal tidak digunakan dalam fungsi. Faktor produksi internal yang digunakan dalam penelitian ini meliputi volume keramba (m 3 per musim tanam), bibit (kg per musim tanam), pakan rucah (kg per musim

67 tanam), tenaga kerja yang dibedakan menjadi tenaga kerja persiapan dan tenaga kerja pemeliharaan (Hari Orang Kerja/HOK per musim tanam) dan tebaran bibit (ekor per m 3 per musim tanam), sedangkan faktor eksternal antara lain cuaca, curah hujan, suhu, arus, dan gelombang tidak diperhitungkan pada penelitian ini. Penggunaan faktor produksi yang digunakan untuk menduga fungsi produksi disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat bahwa usaha budidaya ikan kerapu macan menggunakan volume keramba jaring apung dengan rentang antara 36 m 3 per musim tanam sampai dengan 162 m 3 per musim tanam dengan rata-rata penggunaan 95,509 m 3. Penggunaan bibit dengan rentang antara 5 kgsampai dengan 10 kg dengan rata-rata penggunaan bibit sebesar 6,718 kg per musim tanam. Benih yang digunakan berukuran 10-11 cm. Pakan rucah yang digunakan berkisar antara 164 kg sampai dengan 3.060 kg dengan rata-rata penggunaan 1.283,938 kg per musim tanam, pakan diberikan rata-rata dua kali sehari dengan jumlah yang berbeda-beda sesuai bobot ikan. Tabel 8. Penggunaan Faktor Produksi pada Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan Tahun 2011 (n = 32 orang) Faktor Produksi Rentang Jumlah Rata-Rata Volume Keramba (m 3 ) 36-162 3056,300 95,509 Bibit (kg) 5-10 215 6,718 Rucah (kg) 164-3.060 41.086 1.283,938 TK Persiapan (HOK) 0,0125-0,25 1,960 0,061 Tebaran Bibit (ekor/m 3 ) 3,125-17,777 282,898 8,840 TK Pemeliharaan (HOK) 6,25-150 1946 60,812 Sumber : Data Primer, Diolah Tahun 2011

68 Usaha budidaya ikan kerapu macan menggunakan tenaga kerja persiapan dan tenaga kerja pemeliharaan. Sebenarnya terdapat juga tenaga kerja pemanenan, tetapi tenaga kerja pemanenan tersebut tidak diperhitungkan dalam penelitian ini karena biasanya pedagang pengumpul langsung mendatangi lokasi budidaya pada saat pemanenan. Tenaga kerja persiapan yang dibutuhkan yaitu berkisar antara 0,0125 HOK sampai dengan 0,25 HOK dengan rata-rata penggunaan 0,061 HOK per musim tanam. Untuk tenaga kerja pemeliharaan rentang penggunaannya yaitu 6,25 HOK sampai dengan 150 HOK dengan rata-rata penggunaan 60,812 HOK per musim tanam. 6.2.1 Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS (Ordinary Least Square) Fungsi produksi merupakan hubungan antara faktor produksi dengan hasil produksi. Fungsi produksi menggambarkan jumlah hasil yang diproduksi tergantung pada jumlah faktor produksi yang digunakan. Oleh karena itu perlu diteliti fungsi produksi yang terbaik dan terakurat untuk menggambarkan kondisi usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang. Pendugaan fungsi produksi ini menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square), fungsi produksi ini yang akan digunakan untuk analisis skala usaha dan optimasi. Untuk mendapatkan pendugaan fungsi produksi yang paling baik digunakan beberapa pengujian, yaitu pengujian secara statistik dan pengujian asumsi klasik (ekonometrika). Pendugaan fungsi produksi ini terdiri dari dua langkah, yaitu (1) Pendugaan fungsi produksi dengan enam variabel independen, (2) Pendugaan fungsi produksi dengan tiga variabel independen dengan model yang tidak dibatasi dan yang dibatasi (restriksi).

69 6.2.2 Pendugaan Fungsi Produksi dengan Enam Variabel Independen Analisis pendugaan fungsi produksi menggunakan fungsi produksi Cobb- Douglas. Fungsi ini menduga hubungan faktor produksi yang terdiri dari volume keramba (X 1 ), bibit (X 2 ), pakan rucah (X 3 ), tenaga kerja persiapan atau TK-1 (X 4 ), tebaran bibit (X 5 ), tenaga kerja pemeliharaan atau TK-2 (X 6 ) dengan hasil produksi (Y) per musim tanam usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang. Data responden dalam penggunaan input dan output dengan enam variabel independen setelah pengolahan data disajikan pada Lampiran 2 dan Lampiran 3, sedangkan hasil analisis pendugaan fungsi produksi ini disajikan pada Tabel 9 dan analisis selengkapnya disajikan pada Lampiran 4. Tabel 9. Hasil Analisis PendugaanFungsi Produksi dengan Metode OLS (Ordinary Least Square) dengan Enam Variabel Independen Variabel Koefisien Standar Deviasi P (Peluang) VIF Konstanta 1,0517 0,8668 0,055 Volume Keramba (X 1 ) 0,1483 0,1060 0,174 2,0 Bibit (X 2 ) 0,7722 0,1206 0,000 1,7 Pakan Rucah (X 3 ) 0,2710 0,1010 0,013 5,3 TK-1 (X 4 ) 0,3884 0,1138 0,002 4,5 Tebaran Bibit (X 5 ) 0,03439 0,09506 0,721 1,6 TK-2 (X 6 ) 0,06936 0,08848 0,440 7,6 Sumber : Data Primer, Diolah Tahun 2011 R Square = 0,934 Adjusted R Square = 0,919 Standard Error= 0,1740 Nilai Durbin Watson = 1,61531 Berdasarkan Tabel 9, diperoleh nilai koefisien regresi dari masing-masing variabel independen yang merupakan faktor produksi yang diduga berpengaruh

70 terhadap produksi usaha budidaya ikan kerapu macan. Maka, dapat dibuat persamaan regresi linier fungsi produksi sebagai berikut : ln Y = ln 1,05 +0,148 lnx 1 +0,772 lnx 2 + 0,271 lnx 3 + 0,388 lnx 4 + 0,0344 lnx 5 + 0,0694 lnx 6.. (1) atau Y = 2,857(X 1 ) 0,148 (X 2 ) 0,772 (X 3 ) 0,271 (X 4 ) 0,388 (X 5 ) 0,0344 (X 6 ) 0,0694...(2) Fungsi produksi yang didapat tersebut harus diuji apakah sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu dalam menghasilkan fungsi produksi terbaik. Pengujian yang dilakukan yaitu pengujian secara statistik meliputi uji-t dan uji F dan pengujian asumsi klasik (ekonometrika) yang terdiri dari uji homoskedastisitas, uji multikolinieritas, dan uji autokorelasi. 1) Pengujian Statistik Berdasarkan Tabel 9 dengan selang kepercayaan (α) 0,05 atau 95%, dihasilkan koefisien regresi dari tiap variabel independen dan dapat diketahui bahwa variabel volume keramba (X 1 ) tidak signifikan, sebab P-value yang dihasilkan lebih besar daripada α = 0,05 (P-value > α) dan variabel bibit signifikan pada selang kepercayaan 100% atau α = 0,000. Variabel pakan rucah signifikan pada selang kepercayaan 100% atau α = 0,000 dan variabel TK-1 signifikan pada selang kepercayaan 100% atau α = 0,000. Variabel tebaran bibit dan TK-2 tidak signifikan pada selang kepercayaan 95 %. Berdasarkan uji-t yang dilakukan, variabel independen yang signifikan dan berpengaruh nyata terhadap produksi ikan kerapu yaitu variabel bibit (X 2 ), pakan rucah (X 3 ) dan variabel TK-1 (X 4 ), karena memiliki nilai P di bawah α = 0,05 (P < α). Berdasarkan hasil perhitungan analisis sidik ragam (ANOVA), dihasilkan nilai F signifikan = 0,000, berarti semua variabel independen (X 1-6 ) signifikan

71 pada selang kepercayaan 100%, maka semua variabel independen (X 1-6 ) secara bersama-sama berpengaruh terhadap produksi ikan kerapu macan pada selang kepercayaan 100%. Menurut hasil regresi yang disajikan pada Tabel 9, nilai koefisien determinasi (R square) yang dihasilkan sebesar 0,919, berarti 91,9% varian dari variabel dependen (Y) dapat dijelaskan oleh variasi dari keenam variabel independennya (variabel X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6 ) dan sisanya 6,6% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dijelaskan dan diperhitungkan dalam model. Nilai standard error yang dihasilkan sebesar 0,174, hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan terjadi kesalahan atau bias adalah sebesar 0,174 atau 17,4%. Pengujian statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa fungsi produksi yang dihasilkan melalui regresi di atas dikatakan baik untuk menduga fungsi produksi. (2) Pengujian Asumsi Klasik Pengujian ini dimaksudkan untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas, multikolinieritas, dan autokorelasi. Apabila terjadi penyimpangan terhadap asumsi klasik tersebut uji-t dan uji F yang dilakukan sebelumnya menjadi tidak valid dan secara statistik dapat mengacaukan kesimpulan. a) Heteroskedastisitas Adanya heteroskedastisitas dalam model mengakibatkan varian dan koefisien-koefisien variabel independen tidak lagi minimum dan menjadi tidak efisien meskipun penaksir OLS tetap tidak bias dan konsisten. Model regresi yang didapat diharapkan memenuhi asumsi homoskedastisitas. Model regresi dikatakan

Percent Regression Standardized Predicted Value 72 memenuhi asumsi homoskedastisitas jika sebaran titik-titik pada scatterplot tidak membentuk pola tertentu atau pola yang terbentuk tidak jelas, dan titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y. Kondisi model regresi pada persamaan (1) atau (2) dapat dilihat pada Gambar 4b. Berdasarkan Gambar 4b tersebut, dapat terlihat bahwa sebaran titik-titik pada scatterplot tidak membentuk pola tertentu dan menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y. Hal ini menunjukkan bahwa model regresi pada persamaan (1) atau (2) memenuhi asumsi homoskedastisitas sehingga tidak terjadi heteroskedastisitas. 99 Normal Probability Plot of the Residuals (response is y) Scatterplot Dependent Variable: VAR00001 95 3 90 80 70 60 50 40 30 20 2 1 0 10 5-1 1-3 -2-1 0 1 Standardized Residual 2 3-2 -3-2 -1 0 1 Regression Studentized Residual 2 3 Gambar 4.Grafik Model Regresi dengan EnamVariabel Independen (a) Peluang Normal dan (b) Homoskedastisitas (b) Multikolinieritas Multikolinieritas ditandai dengan adanya keadaan dimana satu atau lebih variabel independen dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel lainnya. Suatu model regresi dikatakan bebas dari multikolinieritas jika nilai VIF (variance inflation factor) lebih kecil dari angka sepuluh (VIF < 10). Bedasarkan Tabel 9 nilai VIF tiap variabel independen berturut untuk variabel volume keramba, bibit, pakan, TK-1, tebaran bibit, TK-2 adalah 2,0, 1,7, 5,3, 4,5, 1,6, 7,6.

73 Dikarenakan nilai VIF tiap variabel independen lebih kecil dari 10 (VIF<10), maka model regresi persamaan (1) atau (2) bebas dari multikolinieritas. (c) Autokorelasi Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antar anggorta serangkaian observasi menurut waktu. Model regresi yang baik adalah bebas dari autokorelasi, sehingga kesalahan prediksi (selisih antara data asli dengan data hasil regresi) bersifat bebas untuk tiap nilai X. Model regresi dapat dikatakan bebas dari autokorelasi apabila angka D-W (Durbin Watson) diantara -2 sampai +2. Angka D-W di bawah -2 menunjukkan bahwa ada autokorelasi sedangkan angka D-W di atas +2 menunjukkan ada autokorelasi positif. Dari hasil regresi diperoleh nilai D-W sebesar 1,61531. Angka tersebut terletak diantara -2 sampai dengan +2, sehingga model regresi persamaan (1) atau (2) dapat dikatakan bebas dari autokorelasi. Berdasarkan pengujian yang dilakukan, model persamaan (1) atau (2) tidak memenuhi kriteria statistik karena beberapa variabel yaitu variabel X 1 (volume keramba), variabel X 5 (tebaran bibit) dan variabel X 6 (tenaga kerja pemeliharaan) tidak berpengaruh nyata terhadap produksi ikan kerapu macan sehingga tidak disertakan di dalam model. Langkah selanjutnya adalah pendugaan fungsi produksi dengan tiga variabel independen. 6.2.3 Pendugaan Fungsi Produksi dengan Tiga Variabel Independen Analisis pendugaan fungsi produksi menggunakan fungsi produksi Cobb- Douglas. Fungsi ini menduga hubungan faktor produksi yang terdiri dari bibit (X 2 ), pakan rucah (X 3 ), tenaga kerja persiapan/ TK-1 (X 4 ) dengan hasil produksi

74 (Y) per musim tanam usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang. Data responden dalam penggunaan input dan output dengan tiga variabel independen setelah pengolahan data disajikan pada Lampiran 5 dan Lampiran 6, sedangkan hasil analisis pendugaan fungsi produksi ini disajikan pada Tabel 10 dan analisis selengkapnya pada Lampiran 7. Tabel 10. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS (Ordinary Least Square) dengan Tiga Variabel Independen Variabel Koefisien Standar Deviasi P (Peluang) Konstanta 1,7801 0,7264 0,021 VIF Bibit (X 2 ) 0,75504 0,09698 0,000 1,1 Pakan Rucah (X 3 ) 0,34974 0,07478 0,000 2,9 TK-1 (X 4 ) 0,47157 0,08990 0,000 2,8 Sumber : Data Primer, Diolah Tahun 2011 R Square = 0,927 Adjusted R Square = 0,919 Standard Error= 0,173435 Nilai Durbin Watson = 1,77875 Berdasarkan Tabel 10, diperoleh nilai koefisien regresi dari masingmasing variabel independen yang merupakan faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap produksi usaha budidaya ikan kerapu macan. Maka, dapat dibuat persamaan regresi linier fungsi produksi sebagai berikut : lny = ln 1,78 + 0,755 ln X 2 + 0,350 ln X 3 + 0,472 ln X 4...(3) atau Y = 7,929 (X 2 ) 0,755 (X 3 ) 0,350 (X 4 ) 0,4...(4) Fungsi produksi yang didapat tersebut harus diuji apakah sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu dalam menghasilkan fungsi produksi terbaik.pengujian

75 yang dilakukan yaitu pengujian secara statistik meliputi uji-t dan uji F dan pengujian asumsi klasik (ekonometrika) yang terdiri dari uji homoskedastisitas, uji multikolinieritas, dan uji autokorelasi. 1) Pengujian Statistik Berdasarkan Tabel 10 dengan selang kepercayaan (α) 0,05 atau 95%, dihasilkan koefisien regresi dari tiap variabel independen dan dapat diketahui bahwa variabel bibit signifikan pada selang kepercayaan 100% atau α = 0,000. Variabel pakan rucah signifikan pada selang kepercayaan 100% atau α = 0,000 dan variabel TK-1 signifikan pada selang kepercayaan 100% atau α = 0,000. Berdasarkan uji-t yang dilakukan, variabel independen yang signifikan dan berpengaruh nyata terhadap produksi ikan kerapu yaitu variabel bibit (X 2 ), pakan rucah (X 3 ) dan variabel TK-1 (X 4 ), karena memiliki nilai P di bawah α = 0,05 (P < α). Berdasarkan hasil perhitungan analisis sidik ragam (ANOVA), dihasilkan nilai F signifikan = 0,000, berarti semua variabel independen (X 2-4 ) signifikan pada selang kepercayaan 100%, maka semua variabel independen (X 2-4 ) secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi ikan kerapu macan pada selang kepercayaan 100%. Menurut hasil regresi yang disajikan pada Tabel 10, nilai koefisien determinasi (R square) yang dihasilkan sebesar 0,919, berarti 91,9% varian dari variabel dependen (Y) dapat dijelaskan oleh variasi dari keempat variabel independennya (variabel X 2, X 3, X 4 ) dan sisanya 7,3% dijelaskan oleh faktorfaktor lain yang tidak dijelaskan dan diperhitungkan dalam model. Nilai standard

76 error yang dihasilkan sebesar 0,173435, hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan terjadi kesalahan atau bias adalah sebesar 0,173435 atau 17,3435%. Pengujian statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa fungsi produksi yang dihasilkan melalui regresi di atas dikatakan baik untuk menduga fungsi produksi. (2) Pengujian Asumsi Klasik Pengujian ini dimaksudkan untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas, multikolinieritas, dan autokorelasi. Apabila terjadi penyimpangan terhadap asumsi klasik tersebut uji-t dan uji F yang dilakukan sebelumnya menjadi tidak valid dan secara statistik dapat mengacaukan kesimpulan. a) Heteroskedastisitas Adanya heteroskedastisitas dalam model mengakibatkan varian dan koefisien-koefisien variabel independen tidak lagi minimum dan menjadi tidak efisien meskipun penaksir OLS tetap tidak bias dan konsisten. Model regresi yang didapat diharapkan memenuhi asumsi homoskedastisitas. Model regresi dikatakan memenuhi asumsi homoskedastisitas jika sebaran titik-titik pada scatterplot tidak membentuk pola tertentu atau pola yang terbentuk tidak jelas, dan titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y. Kondisi model regresi pada persamaan (1) atau (2) dapat dilihat pada Gambar 5b. Berdasarkan Gambar 5b tersebut, dapat terlihat bahwa sebaran titik-titik pada scatterplot tidak membentuk pola tertentu dan menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y. Hal ini menunjukkan bahwa model regresi pada persamaan (1) atau (2) memenuhi asumsi homoskedastisitas sehingga tidak terjadi heteroskedastisitas.

Percent Regression Standardized Predicted Value 77 Scatterplot 99 Normal Probability Plot of the Residuals (response is y) 3 Dependent Variable: VAR00001 95 90 80 70 60 50 40 30 20 2 1 0-1 10 5 1-4 -3-2 -1 0 Standardized Residual 1 2 3-1 0 1 Regression Studentized Residual Gambar 5.Grafik Model Regresi dengan Tiga Variabel Independen (a) Peluang Normal dan (b) Homoskedastisitas -2-3 -2 2 3 (b) Multikolinieritas Multikolinieritas ditandai dengan adanya keadaan dimana satu atau lebih variabel independen dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel lainnya. Suatu model regresi dikatakan bebas dari multikolinieritas jika nilai VIF (variance inflation factor) lebih kecil dari angka sepuluh (VIF< 10). Bedasarkan Tabel 10 nilai VIF tiap variabel independen berturut untuk variabel bibit, pakan, TK-1 adalah 1.1, 2.9, 2.8. Dikarenakan nilai VIF tiap variabel independen lebih kecil dari 10 (VIF<10), maka model regresi persamaan (1) atau (2) bebas dari multikolinieritas. (c) Autokorelasi Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antar anggorta serangkaian observasi menurut waktu. Model regresi yang baik adalah bebas dari autokorelasi, sehingga kesalahan prediksi (selisih antara data asli dengan data hasil regresi) bersifat bebas untuk tiap nilai X. Model regresi dapat dikatakan

78 bebas dari autokorelasi apabila angka D-W (Durbin Watson) diantara -2 sampai +2. Angka D-W di bawah -2 menunjukkan bahwa ada autokorelasi sedangkan angka D-W di atas +2 menunjukkan ada autokorelasi positif. Dari hasil regresi diperoleh nilai D-W sebesar 1.77875. Angka tersebut terletak diantara -2 sampai dengan +2, sehingga model regresi persamaan (1) atau (2) dapat dikatakan bebas dari autokorelasi. Berdasarkan pengujian statistik dan pengujian asumsi klasik yang dilakukan, persamaan (3) atau (4) dapat dikatakan baik untuk menduga fungsi produksi ikan kerapu macan. Selanjutnya persamaan (3) atau (4) ini yang digunakan untuk menganalisis skala ekonomi usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 6.3 Analisis Elastisitas Produksi Elastisitas produksi digunakan untuk menggambarkan seberapa besar produksi akibat perubahan pemakaian faktor produksi. Pada fungsi Cobb- Douglas, elastisitas produksi dapat diketahui dari koefisien regresi (b i ) yang terdapat pada masing-masing variabel independen. Berdasarkan model regresi fungsi produksi Cobb-Douglas persamaan (3) atau (4) diperoleh nilai elastisitas produksi variabel bibit (X 2 ) sebesar 0,755, berarti dengan asumsi cateris paribus, apabila bibit ditingkatkan sebesar 10%, maka akan meningkatkan produksi kerapu macan sebesar 7,55 %. Nilai elastisitas produksi variabel pakan rucah (X 3 ) sebesar 0,350, berarti jika pakan rucah ditingkatkan sebesar 10% maka akan meningkatkan produksi ikan kerapu macan sebesar 3,5 %, cateris paribus. Nilai elastisitas produksi

79 tenaga kerja persiapan (X 4 ) sebesar 0,472, berarti dengan asumsi cateris paribus, apabila tenaga kerja persiapan ditingkatkan 10%, maka akan meningkatkan produksi ikan kerapu macan sebesar 4,72 %. Berdasarkan persamaan (3) atau (4), jumlah koefisien regresi keempat variabel independen tersebut adalah 1,577. Hal ini menunjukkan nilai total elastisitas produksi usaha budidaya ikan kerapu macan yaitu sebesar 1,577 (Ep >1), sehingga dapat dikatakan usaha tersebut berada pada daerah irasional. Usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang ini masih dapat ditingkatkan lagi sampai berada pada daerah rasional (0 Ep 1). Kondisi aktual menunjukkan kondisi produksi pada daerah irasional karena usaha yang dijalankan oleh pembudidaya masih dapat ditingkatkan lagi sehingga tidak rasional jika pembudidaya tetap bertahan pada kondisi tersebut. Daerah dengan elastisitas produksi (Ep) antara nilai 0 sampai dengan 1 disebut daerah rasional karena produksi yang dihasilkan dari suatu usaha sudah mencapai maksimum dengan keuntungan tertinggi. Setiap penambahan faktor produksi akan menyebabkan penurunan terhadap produksi dan pada akhirnya berpengaruh terhadap keuntungan. 6.4 Analisis Skala Ekonomi Skala ekonomi menunjukkan apa yang terjadi terhadap produksi jika semua input berubah secara proporsional (Debertin, 1986). Keadaan ini dapat dilihat pada sifat skala ekonomi, yaitu (1) decreasing return to scale (RTS < 1), atau proporsi pertambahan produksi lebih kecil dibandingkan dengan proporsi pertambahan input, (2) constant return to scale (RTS = 1), atau proporsi

80 pertambahan produksi sama dengan proporsi pertambahan input, (3) increasing return to scale (RTS > 1), atau proporsi pertambahan produksi lebih besar dibandingkan dengan proporsi pertambahan input. Nilai return to scale (RTS) atau skala penerimaan dapat ditentukan dari penjumlahan koefisien regresi (b i ) pada fungsi produksi Cobb-Douglas. Berdasarkan hasil penjumlahan keempat koefisien regresi variabel independen pada persamaan (3) atau (4), dihasilkan nilai return to scale (RTS) sebesar 1,577. Hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya ikan kerapu macan berada pada kondisi increasing return to scale (RTS > 1). Kondisi ini berarti apabila semua faktor produksi ditingkatkan sebesar 1%, maka produksi akan meningkat lebih besar dari 1%. Dengan demikian usaha budidaya kerapu macan masih dapat ditingkatkan untuk memperoleh keuntungan maksimum. 6.5 Analisis Optimasi Berdasarkan analisis skala ekonomi, usaha budidaya kerapu macan berada pada kondisi increasing return to scale (RTS > 1) dan tidak sesuai dengan asumsi fungsi produksi Cobb-Douglas dimana skala penerimaan suatu usaha harus berada pada kondisi constant return to scale (RTS = 1). Dengan demikian perlu dibuat fungsi pembatas atau fungsi restriksi terhadap persamaan (3) atau (4). Fungsi produksi restriksi diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil. Hasil analisis fungsi produksi restriksi disajikan pada Tabel 11 dan analisis selengkapnya pada Lampiran 8 dan Lampiran 9. Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat dibuat persamaan sebagai berikut :

81 ln Y = ln 1,36 + 0,305 ln X 2 + 0,439 ln X 3 + 0,256 ln X 4...... (5) atau Y = 3,896(X 2 ) 0,305 (X 3 ) 0,439 (X 4 ) 0,256... (6) Berdasarkan asumsi fungsi produksi Cobb-Douglas, maka persamaan yang digunakan untuk analisis optimasi adalah persamaan (5) atau (6). Tabel 11. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi (Restriksi) dengan Metode OLS (Ordinary Least Square) Variabel Koefisien Standar Deviasi P (Peluang) VIF Konstanta 1,36 0,9424 0,089 Bibit (X 2 ) 0,305* Pakan Rucah (X 3 ) 0,439 0,1019 0,000 2,9 TK-1 (X 4 ) 0,256 0,1124 0,030 2,9 Sumber : Data Primer, Diolah Tahun 2011 R Square = 0,797 Adjusted R Square = 0,783 Standard Error= 0,242390 Nilai Durbin Watson = 1,63313 * = 1-(b 3 -b 4 ) Optimasi merupakan penggunaan tingkat faktor produksi yang dapat memaksimumkan keuntungan dari penggunaan sumberdaya. Tingkat optimal dari penggunaan faktor produksi dapat dijelaskan melalui fungsi produksi. Hal ini tercapai pada saat nilai produk marjinal (NPM) sama dengan harga input produksi (Px), atau biaya marjinal dari tambahan input. Nilai produk marjinal dapat dicari dengan rumus sebagai berikut : Nilai Produk Marjinal (NPM) diperoleh dari hasil perkalian antara produk marjinal dengan harga output. Asumsi dalam fungsi produksi Cobb-Douglas, bi adalah nilai koefisien regresi. Py adalah harga output, Y adalah jumlah output,

82 Xi adalah jumlah input i yang digunakan, dan Pxi adalah harga persatuan input i atau disebut biaya korbanan marjinal (BKM). Penggunaan input dikatakan optimal jika NPMxi / BKMxi sama dengan satu. Apabila nilai perbandingan NPMxi / BKMxi lebih besar dari satu, maka penggunaan input belum optimal, sehingga perlu ditingkatkan. Apabila nilai perbandingan NPMxi / BKMxi lebih kecil dari satu, maka penggunaan input belum optimal, sehingga perlu dikurangi. Produksi optimal diperoleh dengan memasukkan masing-masing faktor produksi optimal ke persamaan (6). Kondisi optimal dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12, diperoleh harga ikan kerapu macan Rp 135.000, harga bibit (X 2 ) Rp 440.000/kg, harga pakan rucah (X 3 ) Rp 3.000/kg, dan harga tenaga kerja persiapan (X 4 ) sebesar Rp 75.000/HOK. Dengan menggunakan rumus nilai produk marjinal (NPM), diperoleh NPM untuk bibit sebesar Rp 490.569,664, untuk pakan rucah sebesar Rp 3.694,548, dan untuk tenaga kerja persiapan (TK persiapan) sebesar Rp 45.162.161,63. Nilai perbandingan NPM/BKM untuk bibit 1,115, untuk pakan rucah 1,231 dan untuk tenaga kerja persiapan 602,162. Hal ini menunjukkan penggunaan ketiga faktor produksi tersebut belum optimal (NPM / BKM >1), sehingga perlu ditambah untuk meningkatkan produksi dan keuntungan. Jumlah rata-rata bibit yang digunakan pada kondisi aktual sebesar 6,718 kg atau setara dengan 269 ekor per musim tanam. Penggunaan input bibit belum optimal, sehingga perlu ditingkatkan menjadi 7,490 kg atau setara 300 ekor per musim tanam. Jumlah rata-rata pakan rucah yang digunakan pada kondisi aktual 1.283,938 kg per musim tanam.penggunaan pakan rucah yang diberikan belum

83 optimal, sehingga perlu ditingkatkan menjadi 1.581,190 kg per musim tanam. Rata-rata penggunaan TK persiapan yang digunakan adalah 0,061 HOK per musim tanam. Penggunaan TK persiapan belum optimal sehingga perlu ditingkatkan menjadi 36,880 HOK per musim tanam. Produksi rata-rata ikan kerapu macan yang dihasilkan pada kondisi aktual sebesar 80,040 kg per musim tanam, apabila faktor produksi yang digunakan berada pada tingkat optimal maka akan menghasilkan produksi optimal sebesar 460,032 kg per musim tanam. Dengan demikian, keuntungan maksimum dapat diperoleh apabila semua faktor produksi diubah ke dalam kondisi optimal. Tabel 12. Perbandingan Kondisi Optimal dan Aktual dengan Menggunakan Fungsi Produksi Cobb-Douglas Variabel Bi BKM (Rp) NPM (Rp) Optimal Aktual Output (kg) - 135.000 460,032 80,040 Bibit (kg) 0,305 440.000 490.569,664 7,490 6,718 Pakan Rucah (kg) 0,439 3.000 3.694,548 1581,190 1283,938 TK-1 (HOK) 0,256 75.000 45.162.161,630 36,880 0,061 Sumber : Data Primer, Diolah Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 12, dapat diketahui perbandingan antara keuntungan pada kondisi aktual dan kondisi optimal. Keuntungan merupakan selisih dari total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan. Penerimaan total diperoleh dari hasil perkalian jumlah output yang dihasilkan dengan harga per satuan output tersebut. Biaya total dihasilkan dari penjumlahan seluruh biaya yang dikeluarkan dalam suatu siklus produksi. Perbandingan antara keuntungan pada kondisi aktual dengan kondisi optimal ditunjukkan pada Tabel 13.

84 Tabel 13. Perbandingan Keuntungan pada Kondisi Aktual dengan Optimal Budidaya Ikan Kerapu Macan Tahun 2011 Komponen Aktual Kondisi Optimal Perubahan Biaya Total (Rp) 6.812.327,75 10.805.170,60 3.992.842,85 Penerimaan Total (Rp) 10.805.400,00 43.473.024,00 32.667.624,00 Keuntungan (Rp) 3.993.072,25 32.667.853,40 39.480.181,15 Sumber : Data Primer, Diolah Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 13, diperoleh total penerimaan pada kondisi aktual sebesar Rp 10.805.400 dan biaya total sebesar Rp 6.812.327,75, sehingga diperoleh keuntungan pada kondisi aktual sebesar Rp 3.993.072,25 per musim tanam. Penerimaan total pada kondisi optimal sebesar Rp 43.473.024,00 dan biaya total sebesar Rp 10.805.170,60, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp 32.667.853,40 per musim tanam. Berdasarkan hasil perhitungan yang secara lengkap disajikan pada Lampiran 9, dapat diketahui bahwa keuntungan pada kondisi optimal jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan pada kondisi aktual. Keuntungan yang didapat dari hasil produksi optimal tersebut merupakan keuntungan dengan asumsi nilai survival rate (SR) ikan kerapu macan yang diproduksi pembudidaya di Pulau Panggang adalah sebesar 70%. 6.6 Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan Penelitian ini melakukan analisis kelayakan finansial untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya ikan kerapu macan dan potensi pengembangannya. Analisis kelayakan digunakan untuk mengetahui apakah dengan tingkat faktor produksi dan tingkat produksi yang optimal, usaha budidaya ikan kerapu layak

85 dilanjutkan dan dikembangkan. Kelayakan usaha ikan kerapu macan akan dilihat dari kriteria kelayakan yang meliputi NPV, Net B/C dan IRR. 6.6.1 Analisis Inflow Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan Arus penerimaan pada usaha budidaya ikan kerapu macan ini terdiri dari dua, yaitu penjualan ikan kerapu dan nilai sisa (salvage value) dari alat-alat investasi Pembudidaya ikan kerapu macan melakukan panen sebanyak satu kali dalam setahun, dengan mengatur sistem pola tanam untuk mendapatkan hasil panen sesuai kebutuhan yang diinginkan.pada tingkat optimal, hasil panen kerapu yang dihasilkan dalam satu tahun sebesar 460,032 kg. Pada analisis kelayakan usaha budidaya ikan kerapu macan ini digunakan survival rate (SR) yang berbeda-beda setiap tahunnya. Pembudidaya ikan kerapu macan umumnya pada tahun pertama merupakan tahap pembelajaran dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan nilai SR yang kecil pada tahun pertama dan meningkat ke tahun berikutnya. SR untuk tahun pertama sampai tahun kelima berturut-turut adalah 40%, 76% dan 87,5% untuk tahun ketiga sampai tahun kelima. Alat-alat investasi seperti kapal dan keramba jaring apung masih memiliki nilai sisa (salvage value) pada saat umur usaha selama lima tahun berakhir. Nilai sisa untuk komponen kapal yaitu sebesar Rp 4.000.000,00 dan nilai sisa untuk komponen keramba jaring apung yaitu senilai Rp 2.000.000,00. Jumlah produksi per tahun, nilai penjualan ikan kerapu dan total nilai sisa (salvage value) komponen investasi disajikan pada Tabel 14.

86 Tabel 14. Manfaat Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan Tahun Uraian Satuan Jumlah Harga Satuan (Rp) Total Nilai (Rp) 1 2 3 4 5 Penjualan Ikan Kerapu Macan Penjualan Ikan Kerapu Macan Penjualan Ikan Kerapu Macan Penjualan Ikan Kerapu Macan Penjualan Ikan Kerapu Macan Kg 184,013 135.000,00 24.841.728,00 Kg 349,624 135.000,00 47.199.283,20 Kg 402,528 135.000,00 54.341.280,00 Kg 402,528 135.000,00 54.341.280,00 Kg 402,528 135.000,00 54.341.280,00 6 Nilai Sisa 6.000.000,00 Sumber: Data Primer, DiolahTahun 2011 6.6.2 Analisis Outflow Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan Arus pengeluaran pada usaha ikan kerapu macan terdiri dari pengeluaran untuk biaya investasi, biaya variabel, biaya tetap. Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan diawal untuk memperoleh barang-barang fisik yang akan digunakan dalam jangka waktu yang lama (umumnya lebih dari satu tahun). Biaya investasi terdiri atas biaya konstruksi keramba jaring apung, dan biaya pembelian peralatan. Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi ikan kerapu macan. Komponen biaya variabel terdiri atas pembelian bibit, pakan rucah, upah tenaga kerja persiapan dan tenaga kerja pemeliharaan.

87 1. Biaya Investasi Pada usaha budidaya ikan kerapu macan, biaya investasi yang dikeluarkan sebesar Rp 18.830.000. Pengeluaran terbesar adalah biaya pembelian kapal mesin yaitu sebesar Rp 10.000.000, dan biaya terendah adalah biaya pembelian peralatan budidaya yang terdiri dari serokan jaring, ember, box, jerigen, gunting dan pisau sebesar Rp 285.000. Rataan pengeluaran biaya investasi usaha budidaya ikan kerapu macan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Rincian Biaya Investasi Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan No Uraian Satuan Jumlah Harga Satuan (Rp) Total Nilai (Rp) Umur Teknis 1 Kapal Unit 1 10.000.000,00 10.000.000,00 5 2 Keramba Unit 6 1.424.166,67 8.545.000,00 4 3 Serokan Unit 2 60.000,00 120.000,00 1 4 Ember Unit 1 25.000,00 25.000,00 2 5 Box Unit 2 20.000,00 40.000,00 1 6 Jerigen Unit 2 15.000,00 30.000,00 2 7 Gunting Unit 2 15.000,00 30.000,00 2 8 Pisau Unit 2 20.000,00 40.000,00 2 Total 18.830.000,00 Sumber: Data Primer, Diolah Tahun 2011 2. Biaya Variabel Biaya variabel adalah biaya yang berkaitan dengan faktor produksi dan produksi. Biaya akan semakin besar apabila terdapat penambahan faktor produksi untuk meningkatkan produksi, demikian juga sebaliknya. Komponen biaya variabel usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang adalah biaya pembelian bibit, pakan rucah, pakan pelet, upah tenaga kerja persiapan, upah tenaga kerja pemeliharaan, dan air tawar untuk pencucian jaring pada keramba.

88 Biaya variabel yang dikeluarkan untuk produksi ikan kerapu macan pada tingkat optimal adalah sebesar Rp 18.326.308,10. Biaya terbesar dikeluarkan untuk pembelian pakan rucah. Harga pakan rucah di Pulau Panggang adalah Rp 3.000/kg. Ikan rucah adalah pakan alami yang paling sering digunakan oleh pembudidaya karena ketersediaan yang banyak di perairan sekitar Pulau Panggang. Pakan pelet digunakan pada saat pakan rucah sulit didapat. Harga pakan pelet adalah Rp 250.000 per satu karung (25 kg). Harga bibit ikan kerapu macan Rp 11.000 per ekor. Tabel 16. Rincian Biaya Produksi Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan Pada Kondisi Optimal No Uraian Satuan Jumlah Harga Satuan (Rp) Total Nilai (Rp) 1 Bibit Ekor 300 11.000,00 3.300.000,00 2 Pakan Rucah Kg 1.581,1902 3.000,00 4.743.570,60 3 Pakan Pelet Karung 0,9032 250.000,00 225.800,00 4 TK Persiapan HOK 36,88 75.000,00 2.766.000,00 5 TK Pemeliharaan HOK 60,8125 75.000,00 4.560.937,50 6 Air Tawar Jerigen 40 12.000,00 480.000,00 7 TK Panen Orang 3 500.000 1.500.000,00 8 Solar Liter 150 5000 750.000,00 Total Biaya 18.336.308,10 Sumber: Data Primer, Diolah Tahun 2011 Besarnya upah tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah besaran upah yang pekerja yang berlaku di Pulau Panggang yaitu Rp 75.000 per HOK. Berbeda dengan upah panen, pembudidaya umumnya langsung menetapkan harga sebesar Rp 500.000 per orang untuk satu kali panen, dan

89 membutuhkan tiga orang pekerja dalam satu kali panen, maka besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membayar upah panen sebesar Rp 1.500.000. 3. Biaya Tetap Biaya tetap merupakan biaya yang besarnya tidak berubah walaupun produksi berubah. Komponen biaya tetap pada penelitian ini terdiri dari iuran anggota dan biaya penyusutan alat-alat investasi. Iuran anggota kelompok Sea Farming terdiri dari iuran administrasi sebesar Rp 2.000 per orang per bulan dan iuran panen sebesar 5% dari total panen yang dihasilkan. Perhitungan biaya penyusutan pada penelitian ini menggunakan metode penyusutan komponen-komponen investasi. Penyusutan yang dihitung adalah penyusutan kapal nelayan dan keramba jaring apung, ember, jerigen, gunting dan pisau, sedangkan komponen lain yang memiliki umur teknis selama satu tahun tidak diperhitungkan pada analisis cash flow karena selalu di reinvestasi selama umur usaha dan mencegah perhitungan ganda (double counting). Penyusutan kapal adalah sebesar Rp 2.000.000 per tahun dan penysustan keramba adalah Rp 2.136.250 per tahun. 6.6.3 Kriteria Kelayakan Usaha Kriteria kelayakan finansial yang digunakan adalah NPV (Net Present Value), Net B/C dan IRR (Internal Rate of Return) sehingga kita dapat menilai apakah pada kondisi optimal usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang layak dikembangkan. Nilai NPV didapatkan dari total inflow dikurangi total outflow yang telah dikalikan dengan tingkat diskonto. Tingkat diskonto yang digunakan adalah 22% berdasarkan tingkat suku bunga kredit usaha rakyat (KUR)

90 yang ditetapkan oleh BANK Jabar-Banten. Pengolahan data menggunakan analisis cashflow yang dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 11 dan hasilnya disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. NPV,Net B/C dan IRR Usaha Budidaya Ikan Kerapu Pada Tingkat Optimal Keterangan Hasil Net Present Value (NPV) Rp 35.591.906,85 Net B/C 2,89 IRR 71,02% Nilai NPV yang positif menunjukkan bahwa usaha budidaya ikan kerapu macan memberikan tambahan manfaat dari nilai sekarang (Present Value). Net B/C yang didapatkan sebesar 2,89, yang berarti setiap pengeluaran usaha sebesar Rp 1.000 akan menghasilkan manfaat sebesar Rp 2.890. Nilai ini didapatkan dari nilai total inflow dibagi nilai total outflow yang telah dikalikan dengan tingkat diskonto. Nilai IRR sebesar 71,02% juga menunjukkan bahwa usaha ini layak untuk dijalankan karena nilainya lebih besar dari diskonto sebesar 22%. Nilai IRR ini menunjukkan bahwa usaha ini akan memberikan tingkat pengembalian modal yang ditanamkan sebesar 71,02%. Dari nilai NPV, Net B/C, dan IRR yang didapat, usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang layak dikembangkan. 6.7 Analisis Sensitivitas Analisis nilai pengganti (switching value) merupakan perhitungan untuk mengukur sensitivitas perubahan maksimum yang dapat menyebabkan usaha budidaya ikan kerapu macan masih tetap layak untuk dijalankan. Analisis ini

91 mengacu pada beberapa besar perubahan terjadi sampai mengakibatkan nilai NPV = 0. Nilai NPV = 0 akan membuat nilai net B/C menjadi sama dengan 1. Variabel yang akan dianalisis sensitivitasnya adalah penurunan harga jual ikan kerapu macan dan penurunan produksi ikan kerapu macan. Pengolahan data untuk menganalisis sensitivitas usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang terhadap penurunan harga output dan penurunan produksi dapat dilihat pada Lampiran 12 dan Lampiran 13. Dilihat dari perubahan terhadap penurunan harga jual ikan kerapu macan, batas maksimal perubahan penurunan harga jual sampai usaha berada pada kondisi break even point adalah harga turun sebesar 29,56 persen, sedangkan dari aspek penurunan produksi ikan kerapu macan batas maksimal perubahan penurunan produksi ikan kerapu macan adalah 29,49 persen.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1. Variabel faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang adalah variabel X 2 (bibit), X 3 (pakan rucah) dan X 4 (TK-1 atau tenaga kerja persiapan). Penggunaan faktor produksi pada kondisi aktual untuk benih sebesar 6,718 kg atau setara dengan 269 ekor per musim tanam, pakan rucah sebesar 1.283,938 kg per musim tanam dan tenaga kerja persiapan 0,06125 HOK per musim tanam serta produksi ikan kerapu macan yang dihasilkan sebesar 80,04 kg per musim tanam. 2. Faktor produksi yang digunakan dalam usaha budidaya ikan kerapu macan oleh Kelompok Sea Farming di Pulau Panggang belum optimal, sehingga keuntungan yang diperoleh belum maksimal. Kombinasi penggunaan faktor produksi yang optimal adalah benih sebesar 7,490 kg atau setara dengan 300 ekor, pakan rucah sebesar 1.581,190 kg, tenaga kerja persiapan sebesar 36,880 HOK per musim tanam. Produksi optimal ikan kerapu yang dihasilkan adalah sebesar 460,032 kg. 3. Keuntungan yang diperoleh dari usaha budidaya ikan kerapu macan pada kondisi aktual adalah sebesar Rp 3.993.072,25 per musim tanam, sedangkan keuntungan yang diperoleh pada kondisi optimal adalah sebesar Rp 32.667.853,40 per musim tanam. Keuntungan yang diperoleh pada kondisi optimal tersebut adalah keuntungan dengan survival rate (SR) sebesar 70%.

93 4. Usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang pada kondisi optimal layak untuk dikembangkan di masa depan karena mendatangkan keuntungan. Hal ini dilihat dari hasil analisis kelayakan ekonomi yang menunjukkan bahwa NPV (Net Present Value) yang bernilai sebesar Rp 35.591.906,85. Begitu pula dengan nilai Net B/C yang lebih besar dari 1 yaitu sebesar 2,89 dan nilai IRR sebesar 71,02 %. 5. Jika dilihat dari analisis switching value yang dilakukan, batas maksimal perubahan penurunan harga jual dan penurunan produksi ikan kerapu macan adalah sebesar 29,56 persen dan 29,49 persen. 7.2 Saran 1. Usaha budidaya ikan kerapu macan yang dijalankan oleh kelompok Sea Farming belum mencapai kondisi optimal, sehingga belum memperoleh keuntungan yang maksimum. Berdasarkan kondisi tersebut, sebaiknya pembudidaya ikan kerapu macan meningkatkan skala usahanya sampai berada pada kondisi optimal agar keuntungan maksimum dapat tercapai. 2. Dalam rangka memenuhi kebutuhan benih ikan kerapu macan, diperlukan hatchery lokal yang dapat menyediakan kebutuhan benih berkualitas secara kontinyu. 3. Kualitas benih perlu ditingkatkan dan dikontrol secara ketat, misalnya ketahanan terhadap penyakit sehingga dapat meningkatkan Survival Rate.

DAFTAR PUSTAKA Achmad T, A Rukyani, A Wijono. 1995. Teknik Budidaya Laut dengan Keramba Jaring Apung. Di dalam : Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring Apung bagi Budidaya Laut. [Prosiding Workshop]; Jakarta 12-13 April 1995. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerja sama dengan Forum Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Agribisnis (FKPPA). Hlm 69-73. Antoro S, Sarwono HA, Sudjiharno. 2004. Biologi Kerapu. Di Dalam: Balai Budidaya Laut Lampung. Pembenihan Ikan Kerapu. Balai Budidaya Laut. Lampung Badan Pusat Statistika. 2009. Statistika Kelautan 2009. Jakarta : BPS. -------------------------. Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. 2010. Sensus Penduduk 2010. Jakarta : BPS Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science. Oxford. Departemen Kelautan dan Perikanan 2004. Akuakultur Masa Depan Perikanan Indonesia (Kinerja Pembangunan Akuakultur 2000-2003). Departemen Kelautan Perikanan. Jakarta. -------------------------------------------. 2005. Revitalisasi Perikanan Budidaya 2006-2009. Departemen Kelautan Perikanan. Jakarta. Fauzi A. 2001. Prinsip-Prinsip Penelitian Sosial Ekonomi. Paper (Tidak Dipublikasikan). Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Ghufran M. 2001. Pembesaran Kerapu Bebek di Keramba Jaring Apung. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. Gittinger, J. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Universitas Indonesia. Gujarati, D. 1998. Ekonometrika Dasar. Erlangga. Edisi Kelima. Jakarta. Http://www.fishyforum.com/t1081/. [15 Mei 2011]. Jolly C, H Clonts. 1993. Economics of Aquaculture. The Haworth Press. New York Kadariah. 2001. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Kedua. Universitas Indonesia. LPFE. Jakarta. Nainggolan C, S Putro, J Haluan. 2003. Pedoman Investasi Komoditas Kerapu di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

95 Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. PKSPL-IPB. 2002. Evaluasi Pembangunan Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. PKSPL-IPB. 2006. Konsep Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Satria, A. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press. Bogor. Soebagio. 2004. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang dan Pesisir dan Laut Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Melalui Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata. Disertasi (Tidak Dipublikasikan). IPB. Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi : Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sudarman, A. 1998. Teori Ekonomi Mikro. BPFE. Yogyakarta. Suprihatin, D. 2008. Analisis Pendapatan Pengusaha Ayam Potong (Studi Kasus Kota Jakarta Selatan). Skripsi. Jurusan Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi. Universitas Islam Indonesia. Tajerin dan M. Noor. 2002. Analisis Efisiensi Teknis Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Kerapu dalam Keramba Jaring Apung di Perairan Teluk Lampung : Produktivitas, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dan Implikasi Kebijakan Pengembangan Budidaya. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 10 No. 1 April 2005: 95-105.

LAMPIRAN

97 Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian