I. PENDAHULUAN. 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi

dokumen-dokumen yang mirip
VII. SIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN ENNY SRI HARTATI

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi

VII. SIMPULAN DAN SARAN

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan

STAN KEBIJAKAN FISKAL PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA. oleh: Rachmat Efendi

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pembangunan Ekonomi Indonesia Yang Berkualitas: Langkah dan Tantangan

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh

PERAN APBN-P 2014 TERHADAP DISKUSI INDEF 20 MEI 2014

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

Perekonomian Suatu Negara

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

RINGKASAN APBN TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Menurut UU No. 17 Tahun 2003, anggaran pendapatan dan belanja negara atau

BAB I PENDAHULUAN. kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.

BAB I PENDAHULUAN. dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

APBN 2013: Mendorong Peningkatan Kualitas Belanja

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

VI. SIMPULAN DAN SARAN

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pinjaman luar negeri merupakan sesuatu yang wajar untuk negaranegara

UTANG PEMERINTAH EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN FISKAL

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dua hal penting dalam perpsektif kebijakan fiskal. Pada tahun 2013,

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

CATATAN ATAS APBN-P 2015 DAN PROSPEK APBN 2016

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

1. Tinjauan Umum

Proyeksi pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RUANG FISKAL DALAM APBN

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kondisi Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Keberhasilan atau tidaknya pembangunan ekonomi di suatu negara

Pemerintah Provinsi Bali

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Selama tahun 1985-1994 pertumbuhan ekonomi rata-rata 6.8 persen, bahkan tahun 1995-1996 tumbuh 8.1 persen serta dengan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) relatif kecil, yaitu rata-rata sekitar 0.2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun ketika terjadi krisis ekonomi 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun tajam menjadi 4.70 persen, bahkan pada 1998 menjadi minus 13.13 persen. Pasca krisis ekonomi, kinerja makro ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan disertai ketidakstabilan ekonomi seperti tingginya angka inflasi, fluktuasi nilai tukar dan pengangguran. Pada tahun 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap belum mampu kembali pulih, yaitu masih berada pada kisaran 4.5 persen. Angka pengangguran terbuka sebesar 8.14 persen, setengah penganggur sebesar 15.0 persen, pekerja paruh waktu 16.36 persen dan tingkat kemiskinan masih mencapai 14.03 persen. Menginjak tahun 2010, kinerja ekonomi Indonesia mengalami sedikit kemajuan, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 6.1 persen. Namun peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berkorelasi secara signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Publikasi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan pada bulan februari 2010 jumlah penduduk miskin masih mencapai 13.06 persen dan tingkat pengangguran terbuka menurun menjadi sebesar 7.41 persen. Penurunan tingkat

2 pengangguran terbuka diikuti kenaikan pada setengah penganggur menjadi sebesar 15.27 persen dan pekerja paruh waktu naik menjadi sebesar 17.53 persen. Artinya penurunan tingkat pengangguran terbuka hanya mengalami pergeseran menjadi setengah menganggur dan bekerja paruh waktu. Dengan demikian belum terjadi peningkatan penciptaan lapangan kerja yang signifikan dalam perekonomian. Tingginya tingkat pengangguran menyebabkan penggunaan sumber daya yang tidak optimal dalam pembangunan. Akibatnya angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2010 hanya mencapai 4.5 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia lainnya rata-rata sudah diatas 7 persen, seperti Malaysia 7.2 persen, Thailand 7.9 persen, bahkan China mencapai 10.4 persen dengan tingkat pengangguran yang relatif rendah. Tingkat pengangguran di Malaysia hanya sebesar 3.4 persen, Thailand sebesar 1.0 persen dan China 4.1 persen seperti yang terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Proporsi Belanja Modal dan Kinerja Ekonomi Beberapa Negara pada Tahun 2010 (%) No Negara B. Modal thd Infrastruktur Pertumbuhan Pengangguran Pengeluaran Ranking Ekonomi 1. Malaysia 31.1 26 7.2 3.4 2. Singapura 11.6 3 14.5 2.8 3. Vietnam 28.4 90 6.8 2.7 4. Indonesia 8.4 76 6.1 7.1 5. Thailand 20.2 42 7,9 1,0 6. China 10,4 44 10,4 4,1 Sumber : Asian Development Bank dan Word Bank, 2011 Rendahnya korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia salah satu penyebabnya adalah

3 adanya ketimpangan sumber-sumber pertumbuhan. Gambar 1 menunjukkan motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mengandalkan pertumbuhan konsumsi, terutama konsumsi masyarakat yang berkontribusi mencapai 56.7 persen. Peranan investasi terhadap pembentukan PDB baru mencapai 32.2 persen. Sementara net ekspor hanya menyumbang 1.6 persen terhadap GDP. Hal ini disebabkan peningkatan kinerja ekspor juga masih diikuti besarnya volume impor. Artinya, pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada peningkatam konsumsi masyarakat. 1.400.000 1.200.000 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 * 2010 ** Konsumsi Rumah tangga Investasi Konsumsi Pemerintah Ekspor Impor Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 Gambar 1. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 2000-2010 Relatif rendahnya kontribusi investasi terhadap PDB mengindikasikan bahwa iklim investasi yang belum kondusif. Padahal investasi merupakan faktor utama pendorong pertumbuhan kapasitas produksi. Adanya pertumbuhan di sektor riil ini yang akan dapat menciptakan lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat. Beberapa faktor penyebab lambatnya minat investor

4 antara lain adalah rendahnya ketersediaan infrastruktur yang memadai dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi masih terpusat di kawasan Indonesia barat, karena rendahnya pembangunan infrastruktur di Indonesia Timur. Sumber daya alam Indonesia yang melimpah, belum secara optimal diolah karena rendahnya investasi. Tabel 1 menunjukkan pada tahun 2010 rangking infrastruktur Indonesia masih berada pada urutan 76, jauh tertinggal dari Malaysia dan Thailand yang berada pada rangking 26 dan 42. Infrastruktur merupakan salah satu barang publik, sehingga penyediaannya tidak bisa serta merta diserahkan pada swasta. Peranan stimulus fiskal Pemerintah, mestinya terimplementasi melalui pembangunan sektor infrastruktur. Melalui APBN Pemerintah semestinya mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pembangunan infrastruktur guna menstimulus perekonomian. Tabel 2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun 2005-2010 (Rp Miliar) KETERANGAN 2005 2006 2007 2008 2009 2010* A. Pendapatan Negara dan Hibah 495.2 638 707.8 981.6 848.8 992.4 I. Penerimaan DN 493.9 636.2 706.1 979.3 847.1 990.5 1. Perpajakan 347 409.2 491 658.7 619.9 743.3 Tax Ratio (% thd PDB) 12.7 12.3 12.4 13.3 11.9 11.9 2. PNBP 146.9 227 215.1 320.6 227.2 247.2 II. Hibah 1.3 1.8 1.7 2.3 1.7 1.9 B. Belanja Negara 509.6 667.1 757.6 985.7 937.4 1126.1 I. Belanja Pemerintah Pusat 361.2 440 504.6 693.4 628.8 781.5 II. Transfer ke Daerah 150.5 226.2 253.3 292.4 308.6 344.6 C.Surplus/(Defisit) Anggaran -14.4-29.1-49.8-4.1-88.6-133.7 % thd PDB -0.5-0.9-1.3-0.1-1.6-2.1 D. Pembiayaan 8.9 29.4 42.5 84.1 112.6 133.7 I. Pembiayaan Dalam Negeri 19.1 56.3 69 102.5 128.1 133.9 II. Pembiayaan Luar Negeri -10.3-26.6-26.6-18.4-15.5-0.2 Sumber : Kementerian Keuangan, 2011 Keterangan:*Data APBN-P 2010

5 Selama kurun waktu 2005-2010 APBN Indonesia telah mengalami kenaikkan lebih dari dua kali lipat, dimana jika pada tahun 2005 belanja negara baru mencapai Rp.509.6 triliun, namun pada tahun 2010 telah mencapai Rp.1 126 triliun. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini disebabkan proporsi terbesar belanja pemerintah digunakan untuk belanja rutin (sekitar 80 persen), sehingga belanja untuk infrastruktur hanya mendapatkan porsi yang sangat rendah (sekitar 8.4 persen). Anggaran belanja pemerintah setiap tahun mengalami peningkatan, seperti yang terlihat dalam Tabel 2, pada tahun 2010 total belanja pemerintah dalam APBN-P 2010 mencapai Rp.1 126 triliun atau 48.7 persen dari PDB berdasarkan harga konstan tahun 2000 atau 17.53 persen dari PDB berdasarkan harga berlaku. Namun peranan pengeluaran pemerintah dalam penciptaan PDB hanya berkisar 9.6 persen. Besarnya belanja pemerintah disatu sisi dan rendahnya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya ketidakefektifan belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pertumbuhan kinerja Investasi maupun Ekspor. Gambar 2 menunjukkan pertumbuhan belanja pemerintah justru lebih tinggi daripada pertumbuhan investasi yang di proksi dari pertumbuhan pembentukan modal domestik bruto. Peningkatan belanja pemerintah hanya sedikit yang digunakan untuk investasi melalui pembangunan infrastruktur. APBN semestinya menjadi instrumen fiskal yang berperan penting dalam menciptakan stabilisasi dan stimulus perekonomian. Apalagi kebijakan anggaran

6 pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Semestinya dengan kebijakan defisit anggaran, pengeluaran Pemerintah untuk investasi meningkatkan sehingga dapat mendorong dan mengisi kekurangan investasi swasta. Pilihan kebijakan defisit anggaran ditujukan agar terjadi ruang fiskal yang lebih ekspansif untuk mendorong perekonomian. Artinya agar terjadi peningkatan ruang gerak fiskal untuk menstimulus perekonomian. 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Pembentukan Modal Domestik Bruto Total Belanja Pemerintah Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 Gambar 2. Perbandingan Pertumbuhan Belanja Pemerintah dengan Pembentukan Modal Domestik Bruto Idealnya peningkatan pengeluaran pemerintah dibiayai dari peningkatan penerimaan negara, baik yang bersumber dari pajak maupun nonpajak. Permasalahannya, secara umum rasio pajak Indonesia terhadap PDB atau tax ratio masih rendah dimana dalam kurun waktu 2005-2010 rata-rata hanya 12.3 persen bahkan dengan pertumbuhan negatif 0.65 persen. Pertumbuhan negatif ini terlihat jelas, karena pada tahun 2006 tax ratio Indonesia dapat mencapai 13.5 persen.

7 Indikator rendahnya tax rasio dapat diukur dari perbandingan dengan negaranegara ASEAN lainnya, tax ratio Malaysia sudah mencapai 20.17 persen, Singapura sebesar 21.4 persen, demikian juga Thailand sebesar 17.28 persen. Hal tersebut mencerminkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia masih lemah, disamping kesadaran dan kepatuhan pembayar pajak yang masih rendah. Disamping rendahnya tax rasio, elastisitas pajak juga rendah dimana angka elastisitas untuk PPh di Indonesia baru sebesar 1.19 dan elastisitas untuk PPn 1.07. Artinya jika pendapatan nasional naik 1 persen maka PPh hanya naik 1.19 persen. Jika konsumsi dalam negeri naik 1 persen maka PPN akan naik 1.07 persen. Elastisitas pajak ini dapat dijadikan acuan mengenai tingkat keberhasilan atau kegagalan pemerintah dalam kebijakan perpajakan. Negara-negara lain memiliki elastisitas pajak sekitar 2, sebagai contoh Malaysia angka elastisitas pajaknya sebesar 1.9, Pakistan sebesar 2.1, Spanyol sebesar 1.8, Maroko sebesar 2.2, India sebesar 2.4 dan Honduras sebesar 2.2 (Setiyaji & Amin, 2005). Hal Ini berarti bahwa pertambahan produk domestik bruto negara lain mengakibatkan pertambahan penerimaan pajak jauh lebih cepat dibanding Indonesia. Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dikatakan berhasil jika kebijakan perpajakan ini bisa menaikkan angka elastisitas pajak mendekati angka 2. Kenaikan elastisitas pajak ini akan berjalan bersamaan dengan kenaikan rasio pajak. Adanya kenyataan bahwa penerimaan negara belum mampu membiayai peningkatan pengeluaran, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Pembiayaan defisit anggaran dilakukan melalui utang luar negeri dan utang dalam negeri. Tabel 2 menunjukkan pada tahun 2010, total pengeluaran pada APBN-P 2010 sekitar Rp 1 126.1 triliun. Sementara penerimaan negara yang

8 ditargetkan hanya sebesar Rp 992.4 triliun. Konsekuensinya, APBN mengalami defisit sebesar Rp 133.7 triliun atau 2.1 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Pemerintah harus menambah utang baru sebesar 108.3 triliun, padahal posisi utang Pemerintah pada desember 2009 sudah mencapai US$ 169.22 miliar atau ekuivalen dengan Rp. 1 590.66 triliun. Beban pembayaran bunga utang pemerintah pada APBN-P 2010 sudah mencapai Rp. 105.7 triliun, dimana Rp. 71.9 triliun merupakan pembayaran bunga dalam negeri dan 33.8 triliun untuk pembayaran bunga luar negeri. Akibatnya, porsi alokasi anggaran untuk membayar beban bunga utang mencapai 13.5 persen dari total anggaran pemerintah pusat. Sedangkan alokasi anggaran untuk belanja modal justru lebih rendah hanya mencapai Rp. 95 triliun atau 12.2 persen. Konsekuensi lainnya adalah menjadi beban pada pengeluaran pemerintah pada tahun selanjutnya. Porsi anggaran yang seharusnya dapat meningkatkan investasi menjadi berkurang karena menanggung tambahan beban bunga dan pembayaran utang. Pada akhirnya, peningkatan penerimaan pajak dari masyarakat tersedot habis untuk memenuhi kewajiban membayar beban bunga utang pemerintah. Kebijakan defisit anggaran yang dibiayai dengan utang merupakan kebijakan yang dilematis. Untuk itu diperlukan perencanaan anggaran yang matang, tepat sasaran dan jangka panjang. Jika anggaran defisit tersebut dikelola dengan menejemen anggaran yang tidak prudent dan tidak berorientasi jangka panjang maka akan mengakibatkan fungsi stimulus fiskal hilang, bahkan berpotensi mengganggu kesinambungan fiskal. Jika kondisi ini terus berlanjut maka pemerintah dapat menjadi kontributor terjadinya kebangkrutan ekonomi

9 Indonesia. Seperti halnya krisis ekonomi yang terjadi di eropa yang dipicu oleh utang pemerintah yang tidak dapat dikelola secara baik. Perdebatan mengenai efektifitas kebijakan defisit APBN yang dibiayai dengan utang pemerintah, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri mengemuka pasca krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997. Sebelumnya, pada masa orde baru, jarang sekali kalangan yang mempertentangkan terus bertambahnya utang pemerintah Indonesia. Bahkan tidak jarang, besarnya utang luar negeri pemerintah justru dianggap sebagai suatu indikator dari kepercayaan kreditur terhadap Indonesia. Alasan lainnya, aliran dana segar yang masuk dianggap mampu mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi (debt-led growth). Pada era tahun 1900-an utang luar negeri dianggap telah berperan meningkatkan pengeluaran pemerintah melalui pendanaan anggaran pembangunan. Pada masa itu, utang dianggab mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tergolong tinggi, rata-rata 7-8 persen, bahkan paling tinggi diantara negara-negara di kawasan ASEAN. Secara teoritis kebijakan defisit anggaran dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari utang merupakan pisau bermata dua, satu sisi akan menambah sumber pembiayaan pembangunan, namun disisi lain merupakan beban terhadap APBN itu sendiri melalui pembayaran cicilan dan bunga utang. Hal ini juga sudah menjadi perdebatan diantara para ahli ekonomi. Menurut faham Keynesian, kebijakan defisit fiskal jika ditujukan untuk ekspansi fiskal dapat mendorong perekonomian dalam bentuk stimulus fiskal. Keynes (1936) meyakini ekspansi fiskal melalui proses angka pengganda (multiplier effect) akan meningkatkan

10 pendapatan nasional. Preskripsi ini telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil. Paham Keynesian memandang bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal ini tidak akan memberi insentif negatif (crowding out) kepada investor. Sementara paham Neo Klasik yang diwakili oleh David Ricardo memandang bahwa defisit fiskal akan berdampak crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit fiskal dan mengurangi peran langsung pemerintah dalam perekonomian. Perdebatan teoritis tersebut seyogyanya menjadi bahan pertimbangan yang komprehensif bagi pemegang kebijakan. Hal ini dikarenakan perkembangan utang pemerintah yang tidak terkendali juga dapat menjadi salah satu sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro. Utang yang dikelola tanpa manejemen yang baik akan menjadi sumber tekanan defisit fiskal maupun tekanan atas cadangan devisa. Utang yang seharusnya menjadi debt-led growth akan mengakibatkan Indonesia masuk ke perangkap utang (debt-trap). Kekhawatiran tersebut sangat beralasan dikarenakan masih terdapat sejumlah permasalahan dalam dalam pengelolaan APBN, baik yang bersifat fundamental maupun pada tataran tehnis pelaksanaan. Beberapa permasalahan pengeloaan APBN dijabarkan dalam bab perumusan masalah. Kenyataannya, proporsi belanja pemerintah untuk belanja rutin justru semakin meningkat. Pada tahun 2010, porsi belanja rutin mencapai 61 persen dan belanja transfer daerah 30.6 persen, sementara untuk belanja modal hanya 8.4 persen. Jika dilihat dari porsi dari belanja pemerintah pusat, belanja modal pemerintah hanya mendapatkan 12.2 persen. Rendahnya porsi belanja modal ini

11 tentunya berimplikasi pada kemampuan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur mempunyai pengaruh signifikan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Sebagai perbandingan, diantara negara ASEAN proporsi anggaran belanja modal Indonesia tergolong sangat rendah. Tabel 1 memperlihatkan bahwa negara-negara yang memiliki proporsi belanja modal tinggi, seperti Malaysia (31 persen dari total pengeluaran) mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat pengangguran yang rendah. Sementara proporsi belanja modal Indonesia hanya mencapai sekitar 8.4 persen, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6.1 persen dengan tingkat pengangguran sebesar 7.1 persen. Peran stimulus fiskal pemerintah akan lebih efektif jika adanya alokasi untuk belanja modal yang cukup. Belanja modal akan dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur atau prasarana dan sarana publik. Selanjutnya akan memicu dan mendorong tumbuhnya investasi swasta. Ketersediaan infrastruktur akan mendorong pertumbuhan produksi barang dan jasa dengan lebih cepat dan efisien. Dengan demikian akan berdampak pada peningkatan kinerja sektor riil. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan mengurangi penganggguran. Hal tersebut sejalan dengan empat sasaran utama kebijakan pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) tahun 2005-2014. Dalam dokumen RPJMN 2010-2014 dan dalam setiap Rencana Kerja Pemerintah (RKP) disebutkan bahwa kebijakan Fiskal disusun guna memacu peningkatan kesejahteraan rakyat dengan bertumpu pada empar pilar strategis,

12 yaitu: (1) meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas (pro growth), (2) menciptakan dan memperluas lapangan kerja (pro job), (3) meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program jaring pengaman sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin (pro poor); dan (d) meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup (proenvironment). 1.2. Perumusan Masalah Kebijakan fiskal akan efektif jika mampu memacu pertumbuhan sektor riil sekaligus menjaga kesinambungan fiskal dan stabilitas ekonomi makro. Dengan demikian akan dapat sebagai landasan untuk menopang pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan. Permasalahannya, postur APBN yang tertuang dalam dokumen Nota Keuangan belum mencerminkan fungsinya dalam menciptakan tujuan pro growth, pro job dan pro poor. Hal ini dapat dilihat dari beberapa sisi, antara lain : pertama, postur anggaran didominasi oleh pengeluaran rutin. Struktur belanja pemerintah pusat sangat tidak ideal dimana dalam kurun waktu 6 tahun APBN dihabiskan untuk belanja rutin ketimbang menciptakan perubahan. Dalam periode 2005-2010, rata-rata belanja pusat habis dipergunakan untuk yang sifatnya rutin, terutama belanja pegawai sebesar 18.89 persen, belanja barang sebesar 12.20 persen, belanja pembayaran bunga utang sebesar 14.77 persen, subsidi sebesar 27.81 persen, belanja sosial sebesar 8.98 persen, serta belanja lain-lain sebesar 4.81 persen. Sementara belanja modal yang diharapkan dapat lebih mendorong dan menciptakan pertumbuhan sektor riil justru mendapatkan porsi yang sangat rendah. Gambar 3 menunjukkan selama tahun 2005-2010 porsi belanja modal hanya sebesar 12.52 persen.

13 Belanja Hibah; 0,08 Bantuan Sosial; 8,98 Belanja Lain-lain; 4,81 Belanja Pegawai; 18,89 Belanja Barang; 12,20 Subsidi ; 27,81 Pembayaran Bunga Utang ; 14,77 Belanja Modal; 12,52 Sumber : Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 3. Rata-Rata Proporsi Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis Pengeluaran, Tahun 2005-2010 Kedua, Alokasi subsidi yang terlalu besar dan tidak tepat sasaran. Subsidi sebelum tahun 1997/1998 hanya berkisar 4 persen dari belanja negara namun sejak krisis ekonomi 1997 kebijakan subsidi mulai mengubah struktur APBN. Pada saat krisis subsidi diperlukan untuk mengamankan gejolak inflasi yang sangat tinggi. Namun kini meski kondisi perekonomian telah membaik alokasi subsidi rata-rata tetap lebih dari 20 persen. Hasil penelitian yang dilakukan oleh The Clean Air Initiative for Asian Cities pada July 2010 menegaskan bahwa subsidi BBM di negara Indonesia termasuk sangat besar, bahkan pada 2008 mencapai 2.7 persen dari PDB, sementara pada saat yang sama Philiphina hanya sebesar 0.2 persen, Thailand sebesar 0.8 persen, bahkan Singapura sebesar 0 persen. Hal ini menegaskan bahwa subsidi di Indonesia termasuk besar dibandingkan dengan negara lain. Tabel 3 menunjukkan perkembangan belanja subsidi selama 2005-2010 yang semakin meningkat, dimana sekitar 70 persen diperuntukkan untuk subsidi energi terutama untuk subsidi BBM.

14 Tabel 3. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2010 (Rp triliun) Jenis Subsidi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Real. Real. Real. Real Real. APBNP Subsidi Energi 104.4 94.6 116,9 223 94.6 144 1. Subsidi BBM 95.6 64.2 83,8 139.1 45 88.9 2. Subsidi Listrik 8.9 30.4 33,1 83.9 49.5 55.1 Subsidi Non-Energi 16.3 12.8 33,3 52.3 43.5 57.3 1. Subsidi Pangan 6.4 5.3 6,6 12.1 13 13.9 2. Subsidi Pupuk 2.5 3.2 6,3 15.2 18.3 18.4 3. Subsidi Benih 0.1 0.1 0,5 1 1.6 2.3 4. PSO 0.9 1.8 1 1.7 1.3 1.4 5. Kredit Program 0.1 0.3 0,3 0.9 1.1 2.9 6. Subsidi Minyak Goreng - - 0 0.2 - - 7. Subsidi Kedele - - - 0.1 - - 8. Subsidi Pajak 6.2 1.9 17,1 21 8.2 18.4 9. Subsidi Lainnya - 0.3 1,5 - - - Jumlah 120.8 107.4 150.2 275.3 138.1 201.3 Sumber: Kementerian Keuangan, Tahun 2011 The Clean Air Initiative for Asian Cities juga menegaskan bahwa subsidi di Indonesia tidak tepat sasaran. Hal ini dilihat dari data tahun 2008 dimana 40 persen dari kelompok pengeluaran terkaya (high income) mendapatkan 70 persen dari subisidi BBM, sementara 40 persen kelompok pendapatan terendah hanya mendapatkan 15 persen. Temuan tersebut, juga sejalan dengan data konsumsi BBM yang dirilis oleh Kementrian Energi Sumberdaya Mineral tahun 2010. Pengguna premium terbesar adalah untuk transportasi darat, yaitu sebesar 89 persen, sementara sisanya adalah untuk transportasi air, rumah tangga, usaha kecil dan perikanan. Sementara itu, pengguna transportasi darat yaitu mobil pribadi sebesar 53 persen, mobil barang sebesar 4 persen, kendaraan umum sebesar 3 persen, serta motor roda 2 sebesar 40 persen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang menikmati subsidi BBM sebagian besar adalah kalangan menengah keatas yang memiliki mobil. Sementara masyarakat miskin dimana

15 pendapatannya hanya sebesar Rp211.726 per kapita per bulan, kecil kemungkinan dapat memiliki kendaraan bermotor. Ketiga, rendahnya ruang gerak fiskal. Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki oleh Pemerintah dalam mengalokasikan APBN bagi kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas pembangunan nasional. Dengan demikian semakin besar fiscal space yang tersedia, akan besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh Pemerintah untuk meningkatkan alokasi belanja negara pada kegiatan yang menjadi prioritas nasional seperti pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Ruang fiskal dapat diperoleh dengan mengurangi total pengeluaran belanja mengikat atau non-discretionary seperti belanja pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan pengeluaran untuk daerah. Gambar 4 menunjukkan dalam lima tahun terakhir, ruang gerak fiskal (fiscal space) dalam APBN rata-rata hanya berkisar 4-5 persen terhadap PDB. Artinya hanya terdapat sekitar 5 persen yang merupakan anggaran yang tidak mengikat. Hal ini menyebabkan pemerintah kurang memiliki fleksibilitas dalam mengalokasikan belanja untuk kegiatan yang menjadi prioritas. Pertumbuhan ruang gerak fiskal selama 2005-2010 tergolong rendah, yaitu hanya 3.16 persen. Penyebab utama rendahnya ruang fiskal adalah meningkatnya belanja mengikat, seperti belanja pegawai, subsidi dan pembayaran bunga utang. Faktor lainnya adalah adanya porsi belanja dalam jumlah tertentu sebagai akibat mandatory spending atas perintah Undang-Undang (UU). Sebagai contoh UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengamantkan porsi belanja untuk

16 Pendidikan sebesar 20 persen. Demikian juga bidang-bidang lain seperti dana perimbangan dan otonomi khusus, kesehatan, dan sebagainya. 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 19,9 18,5 17,5 17,5 15,52 13,16 12,64 12,49 4,38 5,37 4,87 5,03 2008 2009 2010 APBN-P 2011 APBN Belanja Negara Belanja Mengikat Ruang Fiskal Sumber: Kementerian Keuangan,2011 Gambar 4. Perkembangan Ruang Fiskal, Tahun 2008-2011 Keempat, tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang menumpuk di kuartal IV. Penyerapan anggaran rata-rata menumpuk pada triwulan IV. Gambar 5 menunjukkan pada tahun 2005-2010, penyerapan anggaran pada triwulan I sebesar 11.13 persen, triwulan II sebesar 21.40 persen, triwulan III sebesar 24.46 persen serta triwulan IV sebesar 43.01 persen. Bila ditelusuri lebih jauh, penyerapan anggaran belanja modal yang paling menumpuk di triwulan IV. Penyebabnya adalah permasalahan pengadaan barang dan jasa, masalah per- DIPAan dan lain sebagainya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kualitas ouput tidak terjaga karena terbatasnya waktu pekerjaan, terutama untuk pembangunan fisik. Disamping itu, banyak pekerjaan yang akhirnya tidak jadi dilakukan lelang

17 karena waktunya terlalu sempit. Hal ini tentu menyebabkan inefesiensi anggaran karena besarnya anggaran tidak sesuai dengan kualitas outputnya. % 60,00 52,96 50,00 45,45 45,11 41,31 41,59 44,03 43,01 40,00 30,00 20,00 10,00 7,36 10,63 10,23 11,02 11,94 11,32 11,13-2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata Triwulan I 7,36 10,63 10,23 11,02 11,94 11,32 11,13 Triwulan II 12,89 18,77 20,85 20,88 22,51 21,36 21,40 Triwulan III 26,79 25,15 23,81 26,79 23,96 23,29 24,46 Triwulan IV 52,96 45,45 45,11 41,31 41,59 44,03 43,01 Sumber: Kementerian Keuangan, 2010. Gambar 5. Tingkat Penyerapan Anggaran K/L per Quartal, Tahun 2005-2010 Kelima, rendahnya tingkat penyerapan anggaran. Inefesiensi juga bisa dilihat dari tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang dalam 6 tahun terakhir (2005-2010) penyerapannnya hanya 87 persen saja. Artinya terdapat rata-rata 13 persen anggaran yang tidak terserap. Padahal pada saat yang sama pemerintah membiayai anggaran tersebut melalui utang. Nilai yield yang harus dibayar pemerintah terhadap utang dalam negeri berkisar 9-10 persen per tahun. Dengan adanya berbagai permasalahan yang ada dalam pola belanja pemerintah tersebut maka dalam penelitian ini, fokus permasalahan yang akan diteliti adalah apakah jika komposisi belanja pemerintah dilakukan perubahan maka akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan.

18 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Tujuan Berdasarkan berbagai permasalahan dalam alokasi belanja Pemerintah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk 1. Menganalisis dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia. 2. Membuat simulasi alternatif komposisi belanja pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja serta pengurangan tingkat kemiskinan di Indonesia. 1.3.2. Kegunaan Penelitian 1. Mengetahui efektifitas komposisi belanja pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia. 2. Memperoleh alternatif komposisi belanja pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan di Indonesia. 1.3.3. Hipotesis Penelitian 1. Komposisi belanja pemerintah Indonesia belum berdampak maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan. 2. Komposisi belanja pemerintah Indonesia akan lebih berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan jika proporsi belanja modal ditingkatkan.

19 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini adalah mengevaluasi kebijakan penentuan komposisi belanja pemerintah dan efektifitasnya dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia, terutama dalam mewujudkan visi dan misi pemerintah dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang inklusif, yaitu pro growth, pro poor, dan pro job. Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori aggregate demand dari Keynes. Penelitian ini juga disertai deskripsi dari komposisi belanja dan dampaknya terhadap kinerja perekonomian beberapa negara lain, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan China untuk dijadikan bahan perbandingan Indonesia. 1.5. Kebaruan Penelitian Novelty atau kebaruan dari penelitian ini adalah menghasilkan sebuah temuan bahwa secara umum perubahan komposisi belanja pemerintah, melalui peningkatan belanja modal berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun terdapat beberapa temuan yang menarik antara lain adalah : 1. Semua perilaku persamaan belanja pemerintah mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan variabel lag-nya. Hal ini berarti bahwa hampir tidak ada perubahan dari pola belanja pemerintah dari tahun ke tahun. Pertimbangan penyusunan belanja hanya berdasarkan pada belanja tahun sebelumnya. 2. Adanya ketidakefektifan alokasi belanja modal. Kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah hanya sebesar 0.3, artinya setiap peningkatan belanja modal Rp1 miliar, hanya berdampak peningkatan investasi

20 pemerintah sebesar Rp 0.3 miliar. Akibatnya, ketika terjadi peningkatan belanja modal relatif tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak yang signifikan justru jika terjadi efisiensi belanja modal. 3. Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin relatif sangat rendah, yaitu hanya -0.05, artinya setiap 1 Persen peningkatan pertumbuhan ekonomi hanya berdampak pada pengurangan jumlah penduduk miskin sebesar 0.05 persen. 1.6. Keterbatasan Penelitian Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah : 1. Belum melakukan perbandingan secara komprehensif dengan komposisi belanja negara lain, sehingga belum mendapatkan benchmarking untuk menentukan komposisi belanja yang ideal untuk perekonomian Indonesia. 2. penelitian ini belum melakukan evalusi efektifitas belanja pemerintah menurut sektor maupun belanja transfer daerah, dikarenakan struktur alokasi anggaran menurut sektor dan transfer daerah sering mengalami perubahan sesuai perubahan rezim pemerintahan. 3. penelitian ini hanya fokus pada aspek kebijakan fiskal, sehingga perkembangan dan respon dari sisi moneter dianggap ceteris paribus. 4. Penelitian ini belum mengintegrasikan dengan dampak belanja pemerintah terhadap kinerja sisi penawaran agregat (aggregate supply).