V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA"

Transkripsi

1 V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal Indonesia. Komposisi APBN menunjukkan arah, kebijakan dan politik anggaran yang diambil oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Idealnya komposisi APBN disusun berdasarkan permasalahan dan tujuan prioritas pembangunan yang sedang dihadapi. Dengan demikian kebijakan anggaran mampu berperan optimal dalam menstimulus perekonomian. Struktur APBN Indonesia mengalami perubahan mendasar sejak tahun Sebelum tahun 2001, struktur dan format APBN dibuat dalam bentuk scrontro yaitu sisi pendapatan negara diletakkan berdampingan dengan sisi belanja negara. Bentuk ini dikenal dengan istilah T-Account. Mulai tahun anggaran 2001 struktur dan format APBN dibuat dalam bentuk staffel, yaitu komponen pendapatan negara dan belanja di satukan dalam satu kolom. Komponen pendapatan di bagian atas, sedangkan komponen bagian belanja ditempatkan di bawahnya. Selain itu juga terdapat komponen pembiayaan sehingga dengan format ini dapat terlihat adanya surplus atau defisit anggaran, serta sumber pembiayaannya dari dalam negeri maupun luar negeri. Bentuk ini dikenal dengan istilah I-Account. Dalam format baru tersebut juga dilakukan pengelompokan kembali (reklasifikasi) terhadap pos-pos pendapatan dan belanja negara sehingga sesuai dengan struktur dan format Goverment Finance Statistics (GFS). Dengan demikian struktur dan format APBN telah disesuaikan dan

2 106 mengarah kepada standar internasional dalam statistik keuangan Pemerintah. Demikian juga periode tahun anggaran disesuaikan yang semula menggunakan tahun anggaran (April-Maret) menjadi tahun kalender (Januari Desember). Selain perubahan struktur APBN dari T-Account menjadi I-Account, mulai APBN tahun anggaran 2005 dilakukan perubahan format APBN yaitu perubahan substansial terhadap format belanja negara khususnya format anggaran belanja pemerintah pusat. Perubahan tersebut intinya mencakup 2 (dua) hal yaitu : 1. Penerapan sistem penganggran secara terpadu (unified budget), melalui penyatuan anggaran rutin dan anggaran belanja pembangunan yang sebelumnya dipisahkan. 2. Reklasifikasi rincian belanja negara menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja, yang sebelumnya dirinci menurut sektor dan jenis belanja. Penerapan sistem penganggaran secara terpadu pertama kali digunakan pada APBN tahun anggran Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja negara secara terpadu yaitu: (1) dalam format dan struktur I-Account yang baru, belanja negara tetap dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja ke daerah, karena pos belanja ke daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (2) semua pengeluaran negara yang sifatnya bantuan/subsidi dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi, (3) semua pengeluaran negara yang selama ini mengandung nama lain-lain yang tersebar di hampir semua pos belanja negara, dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai belanja lain-lain.

3 107 Tabel 20. Konversi APBN dalam I-Account Format Lama A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak II. Penerimaan Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat 1. Pengeluaran Rutin a. Belanja Pegawai b. Belanja Barang c. Pembayaran Bunga Utang d. Subsidi e. Pengeluaran Rutin Lainnya 2. Pengeluaran Pembangunan II. Belanja Ke Daerah 1. Dana Perimbangan 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian C. Keseimbangan Primer D. Surplus/Defisit Anggaran E. Pembiayaan Sumber : Sekretariat Jendral DPR RI, 2010 Format Baru A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak II. Penerimaan Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Bunga Utang 5. Subsidi 6. Belanja Hibah 7. Bantuan Sosial 8. Belanja Lainnya II. Belanja Ke Daerah 1. Dana Perimbangan 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian C. Keseimbangan Primer D. Surplus/Defisit Anggaran E. Pembiayaan Perubahan format anggaran belanja negara yang mendasar dimaksud untuk mencapai 2 (dua) sasaran. Pertama, untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan belanja negara, melalui : (1) minimalisasi duplikasi rencana kerja dan penganggaran dalam belanja negara, dan (2) meningkatkan antara keterkaitan antara keluaran (output) dan hasil (outcomes) yang dicapai dengan penganggaran organisasi atau yang disebut anggaran berbasis kinerja (performance based budget). Kedua, untuk menyesuaikan dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional.

4 108 Perubahan struktur anggaran diharapkan mampu mengoptimalkan peran kebijakan fiskal dalam memberikan stimulus perekonomian, terutama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan. Dalam bab ini akan dideskripsikan mengenai perkembangan komposisi APBN Indonesia antar periode waktu, yaitu periode sebelum krisis ekonomi 1997 dan periode setelah krisis ekonomi Disamping profil belanja pemerintah, juga akan diulas kinerja perekonomian dalam periode waktu yang sama. Dengan demikian akan mendapatkan gambaran dan perbandingan antara kebijakan komposisi belanja pemerintah dengan kinerja pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan antara periode sebelum krisis ekonomi dan periode setelah krisis ekonomi Periode Sebelum Krisis Ekonomi, Tahun 1969/ /1997 Pada periode sebelum krisis ekonomi 1997, dimulai sejak periode pemerintahan orde baru. Pada masa pemerintahan orde baru kebijakan pembangunan ekonomi dilaksanakan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah-Panjang (RPJM/RPJP). Target pencapaian RPJM dan RPJP dilaksanakan secara periodik melalui Pembangunan Lima Tahun (). Pembangunan Jangka Panjang Pertama, dimulai dari I sampai dengan V, dimana I (1969/ /1974), II (1974/ /1979) III (1979/ /1984), IV (1984/ /1989), V (1989/ /1995). Pembangunan Jangka Panjang kedua mustinya dimulai dari VI (1995/ /1997). Namun, VI belum tuntas dilaksanakan, karena terjadinya krisis ekonomi 1997 yang menyebabkan

5 109 pergantian rezim pemerintahan yang diikuti perubahan kebijakan pembangunan ekonomi. Dokumen RPJM yang dijadikan acuan perencanaan dan pentahapan pembangunan dalam setiap. Pada masa orde baru masing-masing memiliki prioritas pembangunan yang akan dicapai melalui tahapan perencanaan pembangunan selama 5 tahun. I menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri yang mendukung sektor pertanian serta stabilisasi ekonomi dengan melakukan pengendalian inflasi dan penyediaan kebutuhan pangan dan sandang. Prioritas II menitik beratkan pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Sasaran yang hendak dicapai adalah peningkatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana) melalui upaya peningkatan ketersediaan lapangan kerja. Fokus III adalah pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Kebijakan yang diambil pada masa ini melalui program Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang diikuti stabilisasi dan pemerataan. Pada masa itu dilakukan berbagai upaya untuk memperlancar proses transisi ekonomi dari sektor pertanian ke industri. Selanjutnya pada pelita IV, menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Kebijakan ini diiringi dengan peningkatan kemampuan ekonomi dalam negeri dengan mengurangi ketergantungan pada sektor ekspor migas dan mendorong ekspor non-migas. Selanjutnya pada V, pemerintah lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapkan swasembada pangan dan

6 110 meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Periodisasi kebijakan pembangunan ekonomi pada masa orde baru tersebut seharusnya diiring dengan kebijakan fiskal pemerintah, yang tercermin dalam kebijakan anggaran pemerintah. Prioritas pembangunan pada masing-masing periode tersebut seharusnya terealisasi dalam dokumen Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini dikarenakan APBN merupakan acuan bagi pelaksanaan program-program pemerintah dalam mewujudkan sasaran dan prioritas yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan Realisasi Penerimaan Negara Pada periode I, porsi terbesar penerimaan pemerintah berasal dari pajak, yaitu sebesar Rp 513 miliar atau sekitar 60 persen. Kontributor utama adalah pajak dalam negeri yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) dan PPN- BM. Sedangkan proporsi pajak perdagangan internasional sebesar persen atau sekitar Rp miliar, terbesar berasal dari pajak bea masuk sebesar Rp85,14 miliar. Pada II, terjadi pergeseran penerimaan negara, dimana penerimaan dari pajak turun persen atau Rp2.9 triliun. Penerimaan bukan pajak meningkat menjadi persen. Peningkatan penerimaan bukan pajak bersumber dari pendapatan migas yang mencapai Rp 1.6 triliun. Perkembangan realisasi penerimaan Pemerintah selama periode orde baru atau sebelum krisis ditunjukkan dalam Gambar 20.

7 111 Pada III penerimaan masih didominasi oleh penerimaan bukan pajak sekitar persen yang berasal dari Penerimaan Migas. Pada periode ini terjadi momentum booming oil, dimana harga minyak dunia tinggi dan posisi Indonesia sebagai negara eksportir migas sehingga mendongkrak penerimaan pemerintah. Penerimaan dari sektor migas mencapai Rp7.8 triliun atau meningkat hampir 7 kali lipat dari periode II. Tingginya penerimaan migas masih berlanjut sampai awal pelita IV. Namun secara keseluruhan, pada pelita IV penerimaan pajak dan bukan pajak cenderung berimbang. Penerimaan dari pajak sekitar persen dan persen berasal dari penerimaan bukan pajak. Penerimaan negara bukan pajak selain bersumber dari penerimaan migas, juga bersumber dari laba BUMN yang meningkat hampir 4 kali lipat dari pelita III , , , , , , , , , ,00 - I II III IV V VI Penerimaan Perpajakan Penerimaan Bukan Pajak Sumber : Nota Keuangan RI, Periode 1969/ /1997 Gambar 20. Komposisi Penerimaan Negara selama Periode Sebelum Krisis Pada V, terjadi pergeseran sumber penerimaan negara, dimana penerimaan kembali didominasi oleh penerimaan pajak sebesar persen, karena turunnya penerimaan migas. Penerimaan negara bukan pajak yang

8 112 bersumber dari laba BUMN meningkat hampir 3 kali lipat dibandingkan pelita dari periode sebelumnya. Sementara itu, proporsi penerimaan pajak dalam negeri terhadap total penerimaan negara meningkat dari pelita IV. Kontributor terbesar penerimaan pajak dalam negeri adalah Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 10,2 triliun (39,31 persen), diikuti oleh PPN dan PPN-BM sebesar Rp 9,6 triliun (36,94 persen). Sedangkan penerimaan dari Bea Masuk mengalami peningkatan yang cukup besar menjadi Rp 2,8 triliun pada V. Tabel 21. Komposisi Penerimaan Negara pada Masa Sebelum Krisis, Tahun 1969/ /1997 (%) Penerimaan I II III IV V VI Penerimaan Dalam Negeri Penerimaan Perpajakan a. Penerimaan Pajak DN i. Pajak Penghasilan (PPh) ii. PPN dan PPn-BM iii. PBB dan BPHTB iv. Cukai v. Pajak Lainnya b. Pajak Perdag. Internsonal i. Bea Masuk ii. Pajak Ekspor Penerimaan Bukan Pajak a. Migas b. PBPB Lainnya c. LBM Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/ /1997 Pada periode VI, penerimaan negara mencapai Rp triliun, dimana persen bersumber dari pajak. Proporsi penerimaan migas semakin menurun. Kontributor terbesar penerimaan pajak bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp triliun (45.27 persen), diikuti oleh PPN dan PPN-BM sebesar Rp triliun (36.09 persen). Sedangkan proporsi pajak

9 113 perdagangan internasional mengalami penurunan dari periode sebelumnya yaitu sebesar 4.13 persen (Rp3.07 triliun). Penerimaan negara dari Bea Masuk hanya mengalami peningkatan kecil, dari Rp 2.8 triliun pada V menjadi Rp 2.9 triliun pada VI Realisasi Belanja Negara Komposisi belanja Pemerintah selama periode sebelum krisis ditunjukkan Gambar 21. Pada I, proporsi anggaran untuk belanja pembangunan relatif seimbang dengan belanja rutin. Proporsi pengeluaran rutin sekitar 683 persen dan pengeluaran pembangunan sebesar 31.7 persen. Belanja pembangunan dalam II rata-rata sebesar Rp 1.83 triliun dan belanja rutin sebesar Rp 1.49 triliun. Pada III belanja pembangunan meningkat mencapai Rp 7.03 triliun (47.47 persen) sedangkan belanja rutin sebesar Rp 6.35 triliun (52.53 persen). Pada pelita IV, belanja pembangunan mulai mengalami penurunan dibandingkan III I II III IV V VI Belanja Rutin Belanja Pembangunan Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/ /1997 Gambar 21. Komposisi Belanja Rutin dan Pembangunan selama Periode Sebelum Krisis

10 114 Belanja pembangunan dalam III mencapai Rp 10,25 triliun (40 persen) sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp triliun (60 persen). Pada pelita V, proporsi anggaran untuk belanja pembangunan sedikit meningkat dibandingkan proporsi pada pelita IV. Belanja pembangunan mencapai Rp triliun (41 persen) sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp triliun (59 persen). Pada VI proporsi anggaran untuk belanja pembangunan menurun cukup signifikan. Belanja pembangunan pada VI hanya mencapai Rp 31.8 triliun (37 persen) sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp triliun (63 persen). Komposisi detail belanja Pemerintah ditunjukkan Tabel Belanja Pegawai Pengeluaran anggaran rutin terbesar pada pelita I adalah untuk belanja pegawai sebesar 29.7 persen. Proporsi ini semakin meningkat pada II, belanja pegawai menjadi persen. Seiring dengan peningkatan penerimaan dari Migas, total belanja pemerintah meningkat cukup signifikan, sehingga proporsi belanja pegawai menurun menjadi sekitar persen. Penurunan proporsi ini tidak berarti terjadi penurunan belanja pegawai, namun lebih disebabkan oleh peningkatan belanja subsidi BBM yang meningkat karena tingginya harga minyak dunia. Selanjutnya sejak IV, proporsi untuk belanja pegawai kembali relatif stabil sekitar 45 persen Belanja Barang Pengeluaran pemerintah untuk belanja barang pada I dan II relatif cukup tinggi yaitu sebesar 33.4 persen dan persen. Belanja barang terutama dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan peralatan operasional dan

11 115 pemeliharaan peralatan. Seiring dengan meningkatnya investasi pemerintah pada barang-barang modal maka belanja pemeliharaan juga meningkat. Disamping itu, dengan adanya inflasi yang cukup tinggi pada pelita I dan II menyebabkan belanja peralatan juga meningkat. Namun karena meningkatnya belanja subsidi BBM maupun subsidi Non BBM pada pelita III dan IV, maka porsi belanja barang menurun cukup drastis. Padahal belanja barang penting untuk mendukung kegiatan operasional birokrasi. Belanja barang dapat dialokasikan dengan pembelian peralatan-peralatan yang mengikuti perkembangan tehnologi. Dengan tehnologi yang modern, maka fungsi pelayanan dari pemerintah akan lebih cepat, mudah, murah dan efisien. Tabel 22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Sebelum Krisis, Tahun 1969/ /1997 (%) Jenis Belanja I II III IV V VI 1. Belanja Pegawai Belanja Barang Bunga Utang i. Dalam negeri ii. Luar Negeri Subsidi i. BBM ii. Non-BBM Lainnya Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/ / Belanja Subsidi Porsi belanja subsidi pada I hanya untuk subsidi non BBM, yaitu subsidi pangan sebesar 1.7 persen. Pada pelita II mulai muncul subsidi BBM sebesar Rp miliar. Subsidi beras dan gandum mencapai tingkat tertinggi dalam tahun anggaran 1980/1981 yaitu sebesar Rp miliar. Tingginya subsidi

12 116 pangan dalam tahun anggaran 1980/1981 terutama disebabkan oleh kenaikan harga beras di luar negeri dan meningkatnya impor beras karena terbatasnya produksi di dalam negeri. Seiring tercapainya swasembada beras dan semakin meningkatnya daya beli masyarakat, maka sejak 1983/1984, alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi pangan tidak disediakan lagi. Namun disisi lain terjadi peningkatan pada subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Subsidi BBM diberikan karena BBM merupakan sumber energi yang cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional, mengingat peningkatan harga BBM mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi. Subsidi BBM diberikan sejak tahun anggaran 1977/1978, kebutuhan subsidi BBM yang cukup besar mulai dirasakan sejak awal III, sehubungan dengan harga rninyak mentah yang terus meningkat dengan cukup cepat. Subsidi BBM merupakan selisih antara hasil penjualan BBM di dalam negeri dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan BBM. Oleh karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat ditentukan oleh hasil penjualan BBM dalam negeri yang besarnya tergantung kepada harga penjualan dan jumlah konsumsi BBM di dalam negeri. Selain itu, subsidi BBM juga ditentukan oleh biaya pengadaan BBM, yang basarnya dipengaruhi oleh biaya pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya distribusi BBM. Mengingat biaya pembelian rninyak mentah merupakan komponen terbesar dalam pengadaan BBM, maka subsidi BBM yang diberikan sering kali berbeda dengan perhitungan semula karena pengaruh gejolak harga minyak mentah di pasar intemasional yang sulit diduga arahnya.

13 117 IV beban subsidi BBM mengalami penurunan yang cukup drastis, dari Rp 1.3 triliun (24.81 persen) pada III menjadi Rp 288 miliar (3.05 persen) pada IV. Penurunan proporsi ini selain karena terjadi penurunan subsidi BBM akibat penurunan harga rninyak mentah dunia, juga lebih disebabkan adanya peningkatan yang cukup besar pada pembayaran bunga utang. Bahkan dalam tahun anggaran 1986/1987, dimana harga minyak mentah jauh lebih rendah dari harga yang ditetapkan dalam APBN, diperoleh Laba Bersih Minyak (LBM) sebesar Rp miliar. Subsidi BBM terbesar diberikan dalam tahun anggaran 1990/1991 yang mencapai Rp miliar. Besarnya subsidi BBM tersebut selain disebabkan oleh peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional akibat terjadinya krisis teluk, juga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri yang cukup tinggi. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, penghematan pemakaian devisa negara, serta mencegah pemborosan penggunaan energi dan mendukung kebijaksanaan diversifikasi energi, maka secara berkala telah diupayakan pengurangan subsidi BBM melalui penyesuaian harga jual BBM di dalam negeri pada tingkat yang wajar. Penyesuaian harga jual BBM selama V telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam tahun 1990, 1991, dan Dengan berbagai upaya tersebut dan dengan adanya kecenderungan penurunan harga minyak mentah pada rakhir pelita V, maka realisasi subsidi BBM dalam tahun mengalami penurunan. Dalam tahun anggaran 1995/1996 diperoleh LBM sebesar Rp miliar. Sementara itu dalam APBN 1996/1997 alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi BBM tidak disediakan oleh karena diperkirakan akan masih diterima laba bersih minyak. Perkembangan

14 118 subsidi pangan dan subsidi BBM sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/ Belanja Pembayaran Bunga Utang Pada I pembayaran untuk bunga utang masih relatif sangat kecil hanya sekitar 2.5 persen. Pada II. pemerintah sudah mulai mengeluarkan anggaran untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 91.5 miliar. Komposisi belanja antara pengeluaran rutin dan pembangunan sampai III relatif proporsional. Namun seiiring berakhirnya era boom oil. Indonesia mulai tergantung pada pembiayaan yang bersumber utang luar negeri. Alhasil pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga dan cicilan pokok meningkat. Sebagai konsekuensinya porsi anggaran pembayaran bunga utang meningkat cukup tajam. Sementara pada pelita IV. peningkatan belanja rutin disebabkan terjadi peningkatan beban bunga utang mencapai puncaknya yaitu meningkat hampir 5 kali lipat. dari Rp 582 miliar (10.97persen) pada III menjadi Rp 2.8 triliun (30persen) pada IV Belanja Pembangunan Pada periode ini ada penambahan program pembangunan di daerah berupa Inpres Kesehatan/Puskesmas sebesar Rp miliar, Inpres Pasar Rp 520 juta. dan Inpres Penghijauan/Reboisasi Rp 15.3 miliar. Pada III ada penambahan program pembangunan di daerah berupa Inpres Penunjang Jalan sebesar Rp 37.6 miliar. Selain itu, anggaran pembangunan berupa Inpres SD juga mengalami peningkatan signifikan menjadi Rp miliar. Pada pelita IV, peningkatan signifikan pada belanja pembangunan terjadi pada karena Inpres Penunjang Jalan yakni sebesar Rp 120 miliar. Pada VI tidak ada lagi alokasi anggaran

15 119 berupa Inpres Penunjang Jalan, dan digantikan dengan Inpres Desa Tertinggal sebesar Rp triliun. Pada periode ini memasuki permulaan krisis, dimana beban pemerintah untuk membayar bunga utang serta pokok utang mencapai puncaknya. Ditambah lagi kondisi defisit neraca pembayaran yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan mata uang dolar, yang pada periode selanjutnya akan membawa pada situasi sulit Belanja Transfer Daerah Selama orde baru komposisi didominasi belanja pemerintah pusat dan yang langsung ke daerah relatif kecil. Namun mayoritas anggaran yang di daerah berupa anggaran pembangunan. Komposisi anggaran belanja daerah antara lain terdiri dari berbagai proyek pembangunan infrastruktur melalui Inpres. Pada I, anggaran belanja belanja daerah baru mencapai Rp miliar atau persen. Namun demikian, hampir seluruh belanja ke daerah dialokasikan untuk belanja pembangunan dalam bentuk anggaran program dan proyek berupa dana bagi hasil dari Ipeda/PBB; Dana Alokasi Umum yang terdiri dari Inpres Desa/Inpres Kabupaten/Dati II dan Inpres Propinsi/Dati I; Dana Alokasi Khusus berupa Inpres SD. Pada II, anggaran belanja daerah meningkat cukup signikan menjadi Rp635 miliar atau persen. Hal ini disebabkan peningkatan anggaran belanja untuk daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Alokasi Khusus yang ditujukan untuk Inpres Kesehatan/Puskesmas dan Inpres Penghijauan/Reboisasi. Pada pelita III, secara nominal anggaran belanja daerah meningkat menjadi Rp2.1 triliun, namun secara proporsi turun menjadi persen. Hal ini disebabkan peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat untuk pembayaran bunga utang luar negeri yang mencapai Rp miliar serta untuk

16 120 Subsidi BBM sebesar Rp 1.3 triliun. Padahal pada II, subsidi untuk BBM baru mencapai Rp 51 miliar I II III IV V VI Belanja Pusat 515, , , , , ,6 Belanja Daerah 67,28 635, , , , ,5 Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/ /1997 Gambar 22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Selama Periode Sebelum Krisis 1997 Pada IV, anggaran belanja daerah sebesar Rp4 triliun atau persen. Demikian juga pada V, untuk anggaran belanja daerah sebesar Rp 8.7 triliun (19.28 persen). Selanjutnya pada VI, terjadi peningkatan yang cukup besar pada belanja daerah melalui belanja pembangunan Inpres Penunjang Jalan mencapai 8 kali lipat sebesar Rp 832 miliar. Selain itu, pada pelita V sudah tidak ada lagi alokasi anggaran untuk Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Selama orde baru, walaupun pemerintah menerapkan kebijakan anggaran berimbang, pada kenyataannya besarnya penerimaan dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan belanja pemerintah. Tabel 23 menunjukkan kekurangan sumber pembiayaan yang ditutup dengan utang. Selama I sampai dengan III, kekurangan pembiayaan untuk belanja pemerintah atau defisit anggaran

17 121 masih cukup rendah. Pada I defisit anggaran baru mencapai Rp miliar dan ditutup dengan utang luar negeri. Namun seiring dengan membengkaknya belanja rutin pemerintah, mulai pelita III defisit anggaran semakin meningkat menjadi 1 triliun yang diikuti peningkatan penarikan utang baru. Peningkatan utang baru terbesar terjadi pada pelita IV, terutama ketika era oil boom telah berakhir. Kondisi ini sangat ironis, disaat penerimaan negara meningkat cukup besar karena peningkatan penerimaan dari migas, disisi lain utang luar negeri justru meningkat cukup besar. Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan belanja belanja rutin akibat besarnya beban subsidi. Jadi akibat meningkatnya harga minyak mentah dunia, maka pemerintah mengeluarkan anggaran subsidi BBM untuk menekan harga minyak di dalam negeri tidak naik. Tabel 23. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Uraian I II III IV V VI Surplus/Defisit Anggaran Pembiayaan Pembiayaan Dalam Negeri a. Perbankan Dalam Negeri b. Non Perbankan DN Pembiayaan Luar Negeri a. Penarikan Pinjaman LN b. Pembayaran Pokok Utang LN Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/ /1997 Disamping menimbulkan beban subsidi, kenaikkan harga minyak dunia juga memicu terjadinya inflasi. Sebagai akibat tingginya harga minyak, penerimaan negara dari ekspor migas meningkat secara signifikan. Hal ini berdampak pada peningkatan belanja pemerintah, terutama porsi belanja rutin pemerintah untuk gaji pegawai. Peningkatan gaji ini yang mendorong terjadinya

18 122 inflasi akibat mendorong peningkatan permintaan masyarakat. Peningkatan porsi belanja rutin ini yang selanjutnya menciptakan peningkatan defisit anggaran dan ketergantungan pada utang luar negeri. Pada periode selanjutnya beban pembayaran bunga mendominasi komposisi belanja rutin pemerintah. Ironisnya Gambar 23 menunjukkan bahwa mulai V Indonesia sudah mengalami net negatif transfer untuk penarikan utang luar negeri baru. Artinya besarnya penarikan utang baru lebih besar dari beban pembayaran total bunga dan cicilan pokok. Hasilnya walaupun kebijakan anggaran defisit, namun tidak ada sumber pembiayaan tambahan untuk meningkatkan belanja pemerintah dalam menstimulus perekonomian , , , , ,00 - (5.000,00) I II III IV V VI (10.000,00) (15.000,00) Total Bunga & Cicilan Pokok Penarikan Pinjaman LN Net Transfer (miliar Rp) I II III IV V VI Bunga & Cicilan Pokok , Penarikan Pinjaman LN , Net Transfer Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/ /1997 Gambar 23. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis Tahun 1997

19 Kinerja Perekonomian Pertumbuhan ekonomi selama I sampai II cukup tinggi, dimana ratarata 7 persen pertahun, tabungan pemerintah meningkat, penerimaan devisa meningkat terutama berasal dari sektor migas. Gambar 24 mengilustrasikan bahwa pada pertengahan era 1970-an perekonomian Indonesia mengalami gangguan harga minyak dunia turun dan kuota produksi minyak juga turun. Akibatnya ekspor neto turun 38 persen dan ekspor nonmigas turun 30 persen, sedangkan impor nonmigas meningkat. Neraca berjalan defisit US$ 2.7 miliar pada tahun 1981 dan US$6.7 miliar pada tahun 1982, sehingga pertumbuhan ekonomi hanya 2.24 persen pada tahun Implikasinya terjadi penghematan angaran belanja pada tahun , disertai peningkatan pinjaman luar negeri dan kebijakan devaluasi rupiah pada tahun Juga dilakukan penjadwalan ulang proyek pemerintah dan kebijakan menaikkan harga BBM pada tahun 1984 serta pengurangan subsidi pupuk/pestisida. Keberhasilan dalam I yaitu produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4 persen setahun. Hal ini terjait dengan alokasi belanja pemerintah untuk mendorong berdirinya industri pupuk, semen, dan tekstil. Disamping itu juga dialokasikan belanja untuk perbaikan infrastruktur jalan raya dan banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik dan disertai semakin meningkatnya anggaran untuk sektor pendidikan. Pada II berhasil meningkatkan pertumbuhan pendapatan per kapita rata-rata penduduk 7 persen. Alokasi belanja banyak diperuntukkan perbaikan irigasi, jalan dan jembatan. III program untuk mendukung terciptanya swa-sembada pangan gencar dilaksanakan. Alhasil pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25.8 ton dan mencapai swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO

20 124 (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985, dan merupakan prestasi besar bagi Indonesia Pertumbuhan Ekonomi Pengangguran Penduduk Miskin Sumber : Biro Pusat Statistik Gambar 24. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode I III Namun prestasi dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama pelita I sampai pelita III tersebut tidak diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan yang signifikan. Gambar 24 menunjukkan jumlah penduduk miskin tetap tinggi dengan tingkat pengurangan yang relatif lambat, rata-rata pertahun hanya berkurang 1.5 persen. Pertumbuhan ekonomi hanya berdampak kecil terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Pada awal I jumlah penduduk miskin sekitar 25.8 persen, namun pada 1980 justru meningkat menjadi 28.7 persen. Upaya penurunan tingkat pengangguran lebih ironis lagi. Pada I dan II tingkat pengangguran justru mengalami peningkatan, jika pada awal pelita I tahun 1970 tingkat pengangguran sebesar 3.8

21 125 persen, maka pada tahun 1973 meningkat menjadi 10.4 persen, dan baru tahun 1980 tingkat pengangguran turun hingga 1.7 persen. Namun selama tahun pengangguran sangat tinggi, rata-rata sebesar persen 8.4 persen. Pada tahun 1979/1980 tingkat pengangguran baru mengalami penurunan yang cukup berarti. Gambar 25 menunjukkan menginjak IV, pemerintah menerapkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, dampaknya pada V perekonomian Indonesia tumbuh 6.7 persen/tahun. Selama PJP I pertumbuhan ekonomi sebesar 6.7 persen per tahun, pendapatan perkapita naik dari US$70 pada tahun 1969 meningkat menjadi US$770 pada tahun Sebagai dampaknya, penduduk miskin pada pelita IV berkurang hingga persen. Namun pada pelita V jumlah penduduk miskin kembali meningkat menjadi 19.7 persen. Demikian juga tingkat pengangguran, selama pelita IV sampai pelita V justru terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1995 tingkat pengangguran mencapai 7.2 persen. 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0, Pertumbuhan Ekonomi Pengangguran Penduduk Miskin Sumber : Biro Pusat Statistik Gambar 25. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode IV VI

22 126 Secara umum dapat disimpulkan, selama periode sebelum krisis ekonomi keberhasilan program swasembada pangan telah berdampak signifikan pada penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Jumlah penduduk miskin menurun drastis sampai dengan tahun 1992/1993. Namun disisi lain angka penganguran justru meningkat, walaupun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Kondisi ini dapat diartikan bahwa terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak mampu menciptakan kesempatan kerja. Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa belanja pemerintah tidak mampu menstimulus kinerja sektor riil yang mampu menciptakan lapangan kerja baru Periode Setelah Krisis Ekonomi Tahun Realisasi Penerimaan Negara Pada periode setelah krisis ekonomi, sumber penerimaan negara terbesar berasal dari penerimaan perpajakan. Gambar 26 menunjukkan pada tahun 2005, realisasi penerimaan dari pajak sebesar Rp347 triliun dengan tax ratio sebesar 12.7 persen terhadap PDB. Pada tahun yang sama, penerimaan negara yang berasal dari bukan pajak sebesar Rp146.9 triliun. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya, penerimaan pajak terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2008 penerimaan pajak mencapai Rp6 587 triliun, lalu pada tahun 2009 mengalami penurunan menjadi Rp triliun. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak mengalami fluktuasi dari tahun 2005 sampai tahun Penerimaan perpajakan masih ditopang oleh penerimaan pajak dalam negeri, terutama dari pajak penghasilan nonmigas yang pada tahun 2005 sebesar Rp triliun dan terus meningkat setiap tahunnya hingga pada tahun 2009 mencapai Rp267.6 triliun. Jika dilihat dari tax ratio, penerimaan dari pajak masih

23 127 tergolong sangat rendah. Seyongganya Pemerintah mampu mendorong reformasi administrasi perpajakan serta langkah-langkah intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan yang berkelanjutan sehingga tax ratio dapat meningkat menjadi sekitar 14 persen P. Perpajakan P. Bukan Pajak P. Perpajakan P. Bukan Pajak Sumber: Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 26. Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri Periode Paska Krisis Tahun Penerimaan pajak masih didominasi oleh pajak penghasilan dan pajak PPn sebagaimana terlihat dalam Gambar 27. Pajak perdagangan internasional terutama dalam bentuk bea masuk mengalami peningkatan pada tahun 2005 hingga tahun 2008, akan tetapi pada tahun 2009 mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan kegiatan ekspor dan impor akibat krisis keuangan global. Sementara penerimaan pajak ketiga berasal dari cukai, khususnya cukai dari industri hasil tembakau.

24 ,0 350,0 300,0 250,0 200,0 150,0 100,0 50, PPh PPn Cukai PBB & BPHTB Bea Masuk Pajak Lainnya Sumber: Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 27. Komposisi Penerimaan Perpajakan Periode Paska Krisis, Tahun Realisasi Belanja Negara Dalam kurun waktu pasca krisis ( ), anggaran belanja pemerintah pusat terus mengalami kenaikan dan tumbuh rata-rata 16.7 persen per tahun menjadi sebesar Rp628.8 triliun pada tahun 2009, dan dalam APBN-P tahun 2010 mencapai Rp781.5 triliun. Peningkatan volume belanja pemerintah pusat dalam kurun waktu tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat adalah perkembangan berbagai indikator ekonomi makro, seperti harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang mempengaruhi besaran belanja subsidi khususnya subsidi energi. Faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat yaitu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang memiliki pengaruh terhadap pembayaran utang pemerintah. Sementara itu, faktor internal yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat misalnya kenaikan

25 129 gaji pegawai ataupun meningkatnya jumlah pegawai negeri yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah lembaga non-struktural. Selama enam tahun terakhir ( ), sebagian besar dari realisasi anggaran belanja pemerintah pusat merupakan belanja operasional yaitu belanja pegawai, belanja barang, subsidi dan pembayaran bunga utang, rata-rata mencapai 73.5 persen dari total belanja pemerintah pusat. Proporsi terbesar dalam belanja pemerintah pusat yaitu subsidi, yang pada tahun 2005 sebesar Rp120.8 triliun menjadi sebesar Rp201.3 triliun pada APBN-P tahun Alokasi belanja terbesar kedua yaitu belanja pegawai sebesar Rp54.3 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp162.7 triliun pada APBN-P tahun Tabel 24. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Setelah Krisis, (%) Jenis Belanja Subsidi Belanja Pegawai Pemb. Bunga Utang Belanja Barang Belanja Modal Belanja Lain-Lain Belanja Pusat Sumber : LKPP, Kementerian Keuangan RI, Tahun Alokasi belanja terbesar ketiga yaitu pembayaran bunga utang yang selalu meningkat setiap tahunnya, dari Rp65.2 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp105.7 triliun pada APBN-P tahun Selanjutnya, belanja barang ternyata juga mengambil proporsi yang cukup besar dalam belanja pemerintah pusat, bahkan cenderung lebih besar dibandingkan pembayaran bunga utang pada

26 130 periode dua tahun terakhir ini yaitu Rp112.6 triliun pada APBN-P tahun 2010 menjadi Rp137.8 triliun dalam APBN Belanja Pegawai Secara nominal realisasi anggaran belanja pegawai dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 24.6 persen per tahun, yaitu dari Rp54.3 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp162.7 triliun dalam APBN-P tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp180.8 triliun dalam APBN tahun Sementara itu, proporsi belanja pegawai terhadap belanja pemerintah pusat juga cenderung mengalami peningkatan, dan mengambil porsi yang cukup besar yaitu sekitar persen pada APBN tahun Besaran anggaran belanja pegawai tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti perkembangan jumlah pegawai dan penerima pensiun (beserta keluarga yang ditanggung), komposisi pangkat dan jabatan pegawai, serta beberapa kebijakan pemerintah misalnya terkait kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri serta kenaikan pokok pensiun yaitu sebesar rata-rata 15 persen pada tahun 2006 dan 2007, sebesar rata-rata 20 persen pada tahun 2008, sebesar rata-rata 15 persen pada tahun 2009, dan rata-rata 5 persen pada tahun Belanja Barang Dalam periode , anggaran belanja barang secara nominal terus mengalami peningkatan, rata-rata sebesar 31 persen per tahun, yaitu dari Rp29.2 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp112.6 triliun pada APBN-P tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp137.8 triliun pada APBN tahun Sementara itu, perkembangan proporsi belanja barang terhadap belanja pemerintah pusat juga

27 131 terus mengalami peningkatan, yaitu 8.1 persen pada tahun 2005, menjadi 14.4 persen pada APBN tahun 2010, dan diperkirakan mencapai persen pada APBN tahun Kenaikan realisasi anggaran belanja barang dalam kurun waktu tersebut, antara lain disebabkan oleh bertambahnya jumlah satuan kerja baru atau lembaga non-struktural yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan barang dan aset milik pemerintah termasuk biaya pemeliharaannya. Disamping itu, kegiatan pemilu pada tahun 2009 juga telah menyebabkan peningkatan belanja barang Belanja Subsidi Dalam rentang waktu , realisasi anggaran belanja subsidi mengalami peningkatan sebesar Rp80.5 triliun, atau tumbuh rata-rata 10.8 persen per tahun, dari sebesar Rp120.8 triliun (33.43 persen) pada tahun 2005, menjadi Rp138.1 (21.96 persen) triliun pada tahun Disamping itu, persentase belanja subsidi terhadap total belanja pemerintah pusat relatif besar, sekitar 20 hingga 40 persen. Belanja subsidi tersebut terdiri dari subsidi energi dan subsidi non-energi, dan porsi terbesar adalah untuk belanja subsidi energi khususnya subsidi BBM. Beberapa hal yang menyebabkan terus meningkatnya belanja subsidi diantaranya yaitu (1) meningkatnya harga minyak mentah dunia, (2) fluktuasi nilai tukar rupiah, (3) meningkatnya konsumsi BBM nasional sebagai akibat penetrasi industri otomotif, (4) ketidakmampuan perusahan migas negara dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sehingga harus impor. Jika belanja subsidi ini terus meningkat dan tidak dapat diatasi maka akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pembangunan nasional.

28 132 Belanja subsidi didominasi oleh subsidi energi yang terdiri dari subsidi BBM dan subsidi Listrik. Dalam kurun waktu secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp39.5 triliun, atau tumbuh rata-rata 6.6 persen per tahun, dari sebesar Rp104.4 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp201.3 triliun pada tahun 2010, dan mencapai Rp187.6 triliun pada tahun Realisasi anggaran subsidi BBM secara nominal mengalami penurunan sebesar Rp6.7 triliun, atau menurun rata-rata 1.4 persen per tahun, dari sebesar Rp95.6 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp88.9 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp95.9 triliun pada tahun Realisasi anggaran subsidi listrik secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp46.3 triliun, atau tumbuh rata-rata 44.2 persen per tahun, dari sebesar Rp8.9 trilliun pada tahun 2005, menjadi Rp55.1 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp40.7 triliun pada tahun Tabel 25. Perkembangan Subsidi, Tahun (Triliun Rupiah) Uraian Subsidi Energi Subsidi BBM Subsidi Listrik Subsidi Non- Energi Subsidi Pangan Subsidi Pupuk Subsidi Benih PSO Kredit Program Minyak Goreng Subsidi Kedele Subsidi Pajak Subsidi Lainnya Jumlah Sumber: Kementerian Keuangan

29 133 Di sisi lain. perkembangan realisasi subsidi non-energi dalam rentang waktu secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp40.9 triliun, atau tumbuh rata-rata 28.5 persen per tahun, dari sebesar Rp16.3 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp43.5 triliun pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp51 triliun pada tahun Dengan mempertimbangkan masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia, sebaiknya subsidi non-energi agar lebih ditingkatkan lagi khususnya subsidi pangan, karena terkait kebutuhan dasar masyarakat Pembayaran Bunga Utang Pembayaran bunga utang dalam kurun waktu secara nominal terus mengalami peningkatan, yaitu sebesar Rp40.5 triliun atau tumbuh rata-rata 12.8 per tahun, dari Rp65.2 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp105.7 triliun pada tahun Dari realisasi pembayaran bunga utang, lebih dari 65 persen dari total pembayaran bunga utang digunakan untuk pembayaran bunga utang dalam negeri dan sisanya digunakan untuk pembayaran utang luar negeri. Pembayaran bunga utang yang terus meningkat sebagai akibat kebijakan defisit anggaran yang sangat bergantung dari utang. Dalam periode , defisit APBN berada pada level kurang dari 2 persen terhadap PDB. Pada tahun 2005, defisit APBN mencapai Rp14.4 triliun (0.5 persen terhadap PDB) dengan realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp495.2 triliun, sedangkan belanja negara sebesar Rp509.6 triliun. Pada tahuntahun selanjutnya, defisit APBN terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2007 defisit APBN mencapai Rp49.8 triliun (1.3 persen terhadap PDB), yang

30 134 bersumber dari realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp707.9 triliun dan belanja negara sebesar Rp757.6 triliun. Kenaikan defisit anggaran pada tahun 2007 terkait erat dengan meningkatnya harga-harga komoditas internasional terutama harga minyak dunia sehingga mengakibatkan meningkatnya beban belanja subsidi. Selanjutnya, di tahun 2008 defisit APBN justru mengalami penurunan menjadi Rp4.1 triliun (0.1 persen terhadap PDB). Penurunan defisit anggaran pada tahun 2008 disebabkan oleh relatif rendahnya realisasi belanja Kementerian Negara/Lembaga (K/L), serta lonjakan penerimaan perpajakan yang jauh lebih besar dari yang direncanakan. Selanjutnya, di tahun 2009 defisit APBN kembali mengalami kenaikan menjadi Rp88.6 triliun (1.6 persen dari PDB) dengan realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp848.8 triliun dan belanja negara sebesar Rp937.4 triliun. Kenaikan defisit anggaran pada tahun 2009 dipengaruhi penurunan realisasi penerimaan negara baik dari penerimaan pajak maupun penerimaan bukan pajak, terutama karena terjadinya pelambatan kegiatan perekonomian sebagai dampak krisis ekonomi dunia Belanja Modal Dalam rentang waktu yang sama, realisasi anggaran belanja modal secara nominal juga mengalami peningkatan, rata-rata 23.6 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp32.9 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp95 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp135.9 triliun pada APBN tahun Sementara itu, proporsi belanja modal terhadap belanja pemerintah pusat masih relatif lebih yaitu hanya sebesar 9.11 persen pada tahun 2005 dan menjadi sebesar persen pada APBN tahun Proporsi tersebut masih sangat kecil jika

31 135 dibandingkan proporsi belanja pegawai dan belanja subsidi. Padahal, belanja modal sangat penting guna mendorong pertumbuhan, utamanya dalam mengatasi permasalahan bottleneck infrastuktur melalui pembangunan infrastruktur sehingga diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi serta meningkatkan domestic conectivity Komposisi Belanja Pusat dan Daerah Realisasi belanja negara terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan sebagaimana ditunjukkan Gambar 28. Realisasi belanja negara pada tahun 2005 sebesar Rp509.6 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp361.2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp150.5 triliun. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ( ), anggaran belanja pemerintah daerah terus mengalami kenaikan, yaitu dari triliun pada tahun 2007 menjadi sebesar Rp443.5 triliun pada tahun Hal ini disebabkan oleh makin banyaknya jumlah daerah otonom baru hasil dari pemekaran daerah, tercatat pada tahun 2005 ada sekitar 389 daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dan pada tahun 2011 telah bertambah menjadi 524 daerah. Dana transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Jumlah dana perimbangan terus meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2005 sebesar Rp143.2 triliun dan meningkat menjadi Rp334.3 triliun pada APBN Sedangkan untuk Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian juga terus mengalami kenaikan, pada tahun 2005 sebesar Rp7.2 triliun dan meningkat menjadi Rp58.7 triliun pada APBN Terus meningkatnya Dana Otsus dan Penyesuaian merupakan konsekuensi logis atas adanya ketetapan UU No.35 Tahun 2008 yang

32 136 mengharuskan alokasi Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU Nasional untuk Provinsi Papua dan Papua Barat serta 2 persen dari DAU Nasional untuk Provinsi NAD. Sehingga peningkatan Dana Alokasi Umum akan sejalan dengan peningkatan Dana Otsus dan Penyesuaian Belanja Pemerintah Pusat Belanja Daerah Sumber: Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 28. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Paska Krisis, Tahun Periode Berdasarkan data pada Gambar 28, menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 secara nominal besarnya dana perimbangan terus mengalami peningkatan, namun sebenarnya secara riil jumlah dana perimbangan tersebut semakin berkurang dari tahun ke tahun. Saat ini hampir 70 persen dana APBN digunakan untuk belanja pemerintah pusat termasuk untuk membayar angsuran pokok hutang negara dan bunga serta untuk subsidi. Gejala ini barangkali bisa dimaknai sebagai tandatanda kembalinya sistem sentralisasi dimana pemerintah pusat akan semakin

33 137 dominan dalam penguasaan sumber daya. Padahal sejatinya transfer ke daerah tersebut mempunyai tujuan antara lain untuk: (1) mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance), (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah, (3) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya nasional, dan (4) mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Proporsi terbesar didalam dana perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum sebesar 64,80 persen. Dana Alokasi Umum tersebut umumnya digunakan untuk membayar gaji pegawai, sehingga peningkatan DAU seiring dengan peningkatan jumlah pegawai negeri ataupun peningkatan gaji pegawai. Kemudian, proporsi terbesar kedua yaitu Dana Bagi Hasil sekitar persen. Terakhir Dana Alokasi Khusus sekitar 6.7 persen. Dana Alokasi Khusus sendiri memiliki fungsi yang sangat vital bagi proses pembangunan di daerah, terutama untuk pembangunan infrastuktur. Sehingga sebaiknya proporsi Dana Alokasi Khusus tersebut terus ditingkatkan agar pembangunan di daerah-daerah kian merata Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Sejak terjadi perubahan struktur APBN dari T-Account menjadi I-Account, dimana komponen pendapatan negara dan belanja di satukan dalam satu kolom, dapat langsung diketahui ABPN dalam keadaan surplus ataupun defisit. Dengan format ini juga langsung terlihat sumber pembiayaan defisit anggaran, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejak pasca krisis ekonomi 1997, defisit anggaran pemerintah terus membengkak, dimana pada tahun 2009 dan 2010

34 138 defisit anggaran mencapai Rp112 triliun dan Rp133 triliun. Pada periode sebelumnya defisit anggaran paling besar hanya mencapai Rp40 triliun. Tabel 26. Perkembangan Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan, Periode Pasca Krisis Ekonomi (Rp Miliar) Uraian Surplus/Defisit Anggaran Pembiayaan Pembiayaan Dalam Negeri a. Perbankan Dalam Negeri b. Non Perbankan DN Pembiayaan Luar Negeri a. Penarikan Pinjaman LN b. Pembayaran Pokok Utang LN Uraian Surplus/Defisit Anggaran Pembiayaan Pembiayaan Dalam Negeri a. Perbankan Dalam Negeri b. Non Perbankan DN Pembiayaan Luar Negeri a. Penarikan Pinjaman LN b. Pembayaran Pokok Utang LN Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, Tahun Sementara itu, sejak tahun 2001 sumber pembiayaan defisit anggaran terjadi pergeseran yang signifikan. Gambar 29 menunjukkan sebelum krisis sumber pembiayaan defisit didominasi oleh utang luar negeri beralih bersumber dari utang dalam negeri. Perubahan kebijakan ini didorong oleh terjadinya fluktuasi nilai tukar yang cukup tinggi sehingga berdampak pada peningkatan stok utang dan besarnya beban cicilan dan bunga utang. Sumber pembiayaan dalam negeri dipilih, disamping untuk mengoptimalkan potensi pendanaan dalam negeri, juga untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Permasalahannya, karena besarnya

35 139 kebutuhan pendanaan pemerintah untuk menutup defisit anggaran menyebabkan suku bunga obligasi dan Surat Utang Negara menjadi sangat tinggi. Pada akhirnya perubahan kebijakan sumber pembiayaan defisit ini tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan beban pembayaran bunga utang (50.000) ( ) Total Bunga & Cicilan Pokok Penarikan Pinjaman LN Net Transfer Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, Gambar 29. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis Tahun Kinerja perekonomian Pasca krisis ekonomi 1997, kinerja perekonomian yang tercermin dari tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang sangat signifikan. Pertumbuhan ekonomi pada masa sebelum krisis mencapai 7-8 persen, pada tahun 1998 pertumbuhan mengalami minus sekiatar 13 persen. Gambar 30 menunjukkan, selama pertumbuhan hanya mencapai sekitar 4 persen. Pada tahun pertumbuhan mengalami kenaikkan mencapai sekitar 5

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri apabila pembangunan itu sebagian besar dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan sebesar 6,0%.

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK -P DAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : dan.......... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995...... 2 Tabel 3 : Penerimaan Perpajakan, 1994/1995.........

Lebih terperinci

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah)

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah) Tabel 1a 2004 dan -P 2004 Keterangan -P ( (3) (4) (5) A. Pendapatan Negara dan Hibah 349.933,7 17,5 403.769,6 20,3 I. Penerimaan Dalam Negeri 349.299,5 17,5 403.031,8 20,3 1. Penerimaan Perpajakan 272.175,1

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu negara sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, ketersediaan sumber daya, teknologi,

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN

DATA POKOK APBN DATA POKOK - DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan...... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995...... 2 Tabel 3 : Penerimaan

Lebih terperinci

REALISASI SEMENTARA APBNP

REALISASI SEMENTARA APBNP I. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH REALISASI SEMENTARA 1 Dalam tahun, realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp1.014,0 triliun (16,0 persen dari PDB). Pencapaian ini lebih tinggi Rp21,6 triliun (2,2

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar. Sementara di sisi lain, usaha pengerahan dana untuk membiayai pembangunan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini adalah sangat lambat. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah terjadinya krisis di Amerika.

Lebih terperinci

2 makro yang disertai dengan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, dan pergeseran anggaran antarunit organisasi dan/atau antarprogram yang berdampak

2 makro yang disertai dengan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, dan pergeseran anggaran antarunit organisasi dan/atau antarprogram yang berdampak No.44, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. APBN. Tahun 2015. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5669) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3

Lebih terperinci

B. Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2013

B. Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2013 EVALUASI RENDAHNYA REALISASI PENDAPATAN NEGARA TAHUN 2013 Abstrak Penerimaan Negara merupakan pemasukan yang diperoleh Negara dan digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah. Penerimaan pajak memberikan

Lebih terperinci

M E T A D A T A INFORMASI DASAR

M E T A D A T A INFORMASI DASAR M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Operasi Keuangan Pemerintah Pusat 2 Penyelenggara Statistik : Departemen Statistik Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 4 Contact : Divisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 memberikan dampak pada keuangan Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi pada masa krisis mempengaruhi Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... BAB

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 UMUM Anggaran

Lebih terperinci

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014 Jakarta, 10 Juni 2014 Kunjungan FEB UNILA Outline 1. Peran dan Fungsi APBN 2. Proses Penyusunan APBN 3. APBN

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga

Lebih terperinci

Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi

Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi Diskusi Dwi Bulanan INDEF Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi Selasa, 20 Mei 2014 INDEF 1 Diskusi Dwi Bulanan INDEF Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi

Lebih terperinci

Perekonomian Indonesia

Perekonomian Indonesia MODUL PERKULIAHAN Perekonomian Indonesia Kebijakan Fiskal dan APBN Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Akuntansi 10 84041 Abstraksi Modul ini membahas salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Pendahuluan Dalam penyusunan APBN, pemerintah menjalankan tiga fungsi utama kebijakan fiskal, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi,

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah)

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah) Tabel 1a APBN 2004 dan 2004 Keterangan APBN (1) (2) (3) (4) (5) A. Pendapatan Negara dan Hibah 349.933,7 17,5 403.769,6 20,3 I. Penerimaan Dalam Negeri 349.299,5 17,5 403.031,9 20,3 1. Penerimaan Perpajakan

Lebih terperinci

REALISASI BELANJA NEGARA SEMESTER I TAHUN 2012

REALISASI BELANJA NEGARA SEMESTER I TAHUN 2012 REALISASI BELANJA NEGARA SEMESTER I TAHUN 2012 Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Pada APBN-P tahun 2012 volume belanja negara ditetapkan sebesar Rp1.548,3 triliun, atau meningkat Rp112,9 triliun (7,9

Lebih terperinci

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA INDONESIA DALAM APBN

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA INDONESIA DALAM APBN 67 BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA INDONESIA DALAM APBN 2010-2012 Untuk memperoleh gambaran tentang pengelolaan keuangan Negara dalam APBN Indonesia, maka akan diuraikan sejumlah poin pembahasan menyangkut

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN-P 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN-P 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK -P 2007 DAN -P 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 :, 2007 dan 2008......... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995 2008...... 2 Tabel 3 : Penerimaan Perpajakan,

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK APBN 2005 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Asumsi Ekonomi Makro, 2005.. 1 Tabel 2 : Ringkasan APBN, 2005..... 2 Tabel 3 : Pendapatan Negara, 2005. 3 Tabel 4 : Belanja

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis perekonomian daerah, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA

KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA Kuliah SEI pertemuan 11 NANANG HARYONO, S.IP., M.Si DEPARTEMEN ADMINISTRASI FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA 2012 Perencanaan Pembangunan Ekonomi ARTHUR LEWIS dalam buku DEVELOPMENT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.142, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN. Tahun anggaran 2014. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5547) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun spiritual. Masyarakat seperti ini akan tercapai dengan dihapuskannya

BAB I PENDAHULUAN. maupun spiritual. Masyarakat seperti ini akan tercapai dengan dihapuskannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi suatu negara memiliki arah dan strategi untuk senantiasa mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara merata, baik materiil maupun spiritual. Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral Temuan Pokok Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah mengalami perubahan signifikan.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN-P 2006 DAN APBN 2007 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN-P 2006 DAN APBN 2007 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK -P DAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : -.......... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1989/1990...... 2 Tabel 3 : Penerimaan Perpajakan, 1989/1990...... 3 Tabel

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

STAN KEBIJAKAN FISKAL PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA. oleh: Rachmat Efendi

STAN KEBIJAKAN FISKAL PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA. oleh: Rachmat Efendi PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA KEBIJAKAN FISKAL oleh: Rachmat Efendi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Prodip III Kepabeanan Dan Cukai Tahun 2015 TUJUAN PEMBELAJARAN Memahami Kebijakan Fiskal yang

Lebih terperinci

MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA NEGARA

MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA NEGARA MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA NEGARA KOMPETENSI DASAR Mamahami pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur tentang keuangan negara INDIKATOR Sumber Keuangan Negara Mekanisme Pengelolaan Keuangan Negara

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri

Lebih terperinci

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiLPA/SiKPA) adalah selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang merata baik material/spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara

I. PENDAHULUAN. yang merata baik material/spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata baik material/spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan penerimaan negara terbesar yang dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan salah satunya untuk pembangunan nasional. Perubahan yang semakin

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN,

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK APBN 2005 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Asumsi Ekonomi Makro, 2005.. 1 Tabel 2 : Ringkasan APBN, 2005..... 2 Tabel 3 : Pendapatan Negara, 2005. 3 Tabel 4 : Belanja

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010 ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010 Penyusun: 1. Bilmar Parhusip 2. Basuki Rachmad Lay Out Budi Hartadi Bantuan dan Dukungan Teknis Seluruh Pejabat/Staf Direktorat Akuntansi

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK APBN 2005 2010 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Asumsi Ekonomi Makro, 2005 2010.. 1 Tabel 2 : Ringkasan APBN, 2005 2010..... 2 Tabel 3 : Pendapatan Negara, 2005

Lebih terperinci

Jenis Penerimaan & Pengeluaran Negara. Pertemuan 4 Nurjati Widodo, S.AP, M.AP

Jenis Penerimaan & Pengeluaran Negara. Pertemuan 4 Nurjati Widodo, S.AP, M.AP Jenis Penerimaan & Pengeluaran Negara Pertemuan 4 Nurjati Widodo, S.AP, M.AP Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Komposisi terbesar belanja Pemerintah Indonesia adalah untuk belanja rutin dan pelayanan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DOKUMEN TAMBAHAN NOTA KEUANGAN

DOKUMEN TAMBAHAN NOTA KEUANGAN DOKUMEN TAMBAHAN NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2009 REPUBLIK INDONESIA DOKUMEN TAMBAHAN NOTA KEUANGAN DAN RAPBN TA 2009 Pendahuluan Pada tahun anggaran

Lebih terperinci

Makalah Penerimaan Negara

Makalah Penerimaan Negara Makalah Penerimaan Negara Disusun Oleh: Opissen Yudisyus Muhammad Nur Syamsi Desyana Enra Sari ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012 DAFTAR ISI BAB I BAB II BAB III Latar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi untuk mengendalikan keseimbangan makroekonomi dan mengarahkan kondisi perekonomian ke arah yang lebih baik dengan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Hal mendasar dalam perencanaan pembangunan tahunan adalah kemampuannya dalam memproyeksikan kapasitas riil keuangan daerah secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran.

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mengacu pada Trilogi Pembangunan (Rochmat Soemitro,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2002 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan melakukan perubahan kebijakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 110, 2005 APBN. Pendapatan. Pajak. Bantuan. Hibah. Belanja Negara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

LAPORAN REALISASI ANGGARAN

LAPORAN REALISASI ANGGARAN LAMPIRAN I.A.1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TANGGAL 3 APRIL 2006 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PUSAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PUSAT UNTUK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

CATATAN ATAS APBN-P 2015 DAN PROSPEK APBN 2016

CATATAN ATAS APBN-P 2015 DAN PROSPEK APBN 2016 CATATAN ATAS APBN-P 2015 DAN PROSPEK APBN 2016 Yusuf Wibisono Direktur Eksekutif IDEAS Makalah disampaikan pada Public Expose - Dompet Dhuafa, Jakarta, 10 Februari 2016 Reformasi Anggaran Langkah terpenting

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA K E M E N T E R I A N K E U A N G A N PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA Budget Goes To Campus UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA, 21 NOVEMBER 2017 POKOK BAHASAN PENDAHULUAN PROSES PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

Lebih terperinci

21 Universitas Indonesia

21 Universitas Indonesia BAB 3 GAMBARAN UMUM DEPARTEMEN KEUANGAN DAN BALANCED SCORECARD TEMA BELANJA NEGARA 3.1. Tugas, Fungsi, dan Peran Strategis Departemen Keuangan Republik Indonesia Departemen Keuangan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta KUPA

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta KUPA Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Penetapan KUPA Kebijakan Umum Perubahan Anggaran Tahun Anggaran 2017 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY Kompleks Kepatihan Danurejan Yogyakarta (0274)

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Sejak pertengahan tahun 2006, kondisi ekonomi membaik dari ketidakstabilan ekonomi tahun 2005 dan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Umum... 1.2 Realisasi Semester I Tahun 2013... 1.2.1 Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Semester

Lebih terperinci

PENERIMAAN NEGARA. Kelompok 4 Opissen Yudisyus Muhammad Nur Syamsi Desyana Enra Sari LOGO

PENERIMAAN NEGARA. Kelompok 4 Opissen Yudisyus Muhammad Nur Syamsi Desyana Enra Sari LOGO PENERIMAAN NEGARA Kelompok 4 Opissen Yudisyus Muhammad Nur Syamsi Desyana Enra Sari APBN Sumber-sumber Penerimaan Negara Jenis-jenis Penerimaan Negara Penerimaan pemerintah dapat diartikan sebagai penerimaan

Lebih terperinci

pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.

pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. 2 1. Memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Keleluasaan otonomi artinya mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 UMUM Anggaran

Lebih terperinci

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017 INFOGRAFIS REALISASI s.d. 31 Mei 2017 FSDFSDFGSGSGSGSGSFGSF- DGSFGSFGSFGSGSG Realisasi Pelaksanaan INFOGRAFIS (s.d. Mei 2017) Perkembangan Asumsi Ekonomi Makro Lifting Minyak (ribu barel per hari) 5,1

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 I. UMUM

Lebih terperinci

2 Sehubungan dengan lemahnya perekonomian global, kinerja perekonomian domestik 2015 diharapkan dapat tetap terjaga dengan baik. Pertumbuhan ekonomi p

2 Sehubungan dengan lemahnya perekonomian global, kinerja perekonomian domestik 2015 diharapkan dapat tetap terjaga dengan baik. Pertumbuhan ekonomi p TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KEUANGAN. APBN. Tahun 2015. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 44) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN

Lebih terperinci

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Kondisi yang memungkinkan dilakukan penyesuaian APBN melalui mekanisme APBN Perubahan atau pembahasan internal di Badan Anggaran berdasarkan UU No. 27/2009 1. Pasal 14 Undang-Undang No.47 Tahun 2009 tentang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa Selama periode 2001-2010, terlihat tingkat inflasi Indonesia selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78 persen terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya 1. Pendahuluan - Pengantar - Tujuan - Definisi 2. Ketentuan Pengelolaan

Lebih terperinci

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017 INFOGRAFIS REALISASI s.d. 28 April 2017 FSDFSDFGSGSGSGSGSFGSF- DGSFGSFGSFGSGSG Realisasi Pelaksanaan INFOGRAFIS (s.d. April 2017) Perkembangan Asumsi Ekonomi Makro Lifting Minyak (ribu barel per hari)

Lebih terperinci

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2015 Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2015 Indikator a. Pertumbuhan ekonomi (%, yoy) 5,7 4,7 *) b. Inflasi (%, yoy) 5,0 3,35

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 UMUM Berbagai tekanan ekonomi baik internal maupun eksternal, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah dalam menggunakan pinjaman baik dari dalam maupun dari luar negeri merupakan salah satu cara untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi. Hal ini dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pinjaman luar negeri merupakan sesuatu yang wajar untuk negaranegara

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pinjaman luar negeri merupakan sesuatu yang wajar untuk negaranegara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan pinjaman luar negeri merupakan sesuatu yang wajar untuk negaranegara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Keterbukaan Indonesia terhadap modal asing baik

Lebih terperinci

Keuangan Negara dan Perpajakan. Avni Prasetia Putri Fadhil Aryo Bimo Nurul Salsabila Roma Shendry Agatha Tasya Joesiwara

Keuangan Negara dan Perpajakan. Avni Prasetia Putri Fadhil Aryo Bimo Nurul Salsabila Roma Shendry Agatha Tasya Joesiwara Keuangan Negara dan Perpajakan Avni Prasetia Putri Fadhil Aryo Bimo Nurul Salsabila Roma Shendry Agatha Tasya Joesiwara SUMBER-SUMBER PENERIMAAN NEGARA SUMBER PENERIMAAN Pajak Retribusi Keuntungan BUMN/BUMD

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota Medan tahun 2005-2009 diselenggarakan sesuai dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. KETERANGAN PERS Pokok-Pokok UU APBN-P 2016 dan Pengampunan Pajak

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. KETERANGAN PERS Pokok-Pokok UU APBN-P 2016 dan Pengampunan Pajak KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA GEDUNG DJUANDA I, JALAN DR. WAHIDIN NOMOR I, JAKARTA 10710, KOTAK POS 21 TELEPON (021) 3449230 (20 saluran) FAKSIMILE (021) 3500847; SITUS www.kemenkeu.go.id KETERANGAN

Lebih terperinci

2013, No makro yang disertai dengan perubahan kebijakan fiskal yang berdampak cukup signifikan terhadap besaran APBN Tahun Anggaran 2013 sehingg

2013, No makro yang disertai dengan perubahan kebijakan fiskal yang berdampak cukup signifikan terhadap besaran APBN Tahun Anggaran 2013 sehingg No.108, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN. Tahun Anggaran 2012. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5426) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELAN NJA NEGAR RA TAHUN ANGGARAN 2011 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... Daftar

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN B A B III 1 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Daerah Tahun 2010-2015 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Data realisasi keuangan daerah Kabupaten Rembang

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK APBN 2006 2012 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 : Asumsi Ekonomi Makro, 2006 2012... 1 Tabel 2 : Ringkasan APBN, 2006 2012... 2 Tabel 3 : Pendapatan Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Utang luar negeri yang selama ini menjadi beban utang yang menumpuk yang dalam waktu relatif singkat selama 2 tahun terakhir sejak terjadinya krisis adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Selama tahun 1985-1994 pertumbuhan

Lebih terperinci