ANALISIS HASIL PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016

BERITA RESMI STATISTIK

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

BERITA RESMI STATISTIK

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. pertanian meliputi sub-sektor perkebunan, perikanan, dan perikanan.

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU UTARA, FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2012

Keadaan Ketenagakerjaan Banten Agustus 2017

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DI INDONESIA. Oleh: Iwan Setiawan*)

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2015 *)

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2016

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

KEADAAN KETENAGAKERJAAN BANTEN FEBRUARI 2017

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2011

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI JAWA BARAT AGUSTUS 2016

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2014

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN UTARA FEBRUARI 2017

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN BANTEN AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2017 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,84 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) SEBESAR 4,31 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

I. PENDAHULUAN. mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Kalimantan Tengah Agustus 2017

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

BERITA RESMI STATISTIK

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013


I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat

KEADAAN KETENAGAKERJAAN RIAU AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU UTARA, AGUSTUS 2016

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2016

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2016

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN UTARA FEBRUARI 2015*)

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2009

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA AGUSTUS 2016

IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR *) FEBRUARI 2014

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BERITA RESMI STATISTIK

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber

BERITA RESMI STATISTIK

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH


PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan kejutan eksternal untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi, kemudian dianalisis bagaimana dampaknya terhadap pendapatan tenaga kerja dan penyerapan tenaga kerja. Selanjutnya, dilihat dampaknya terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja. Terakhir, dilakukan kejutan eksternal terhadap pengeluaran pemerintah masing-masing sebesar Rp. 1 Triliun, kemudian dianalisis apakah pengeluaran pemerintah mempunyai peran dalam mengurangi ketimpangan gender di pasar tenaga kerja. 6.1. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja Tabel 18 menunjukkan bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi mampu menyerap tenaga kerja baru sebesar 5.1 juta orang atau meningkat sebesar 4.95 persen (Sim4). Tenaga kerja baru tersebut mengakumulasi total pendapatan sekitar Rp 136 Triliun atau meningkat sebesar 5.05 persen. Tabel 18. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan dan Pendapatan Tenaga Kerja Sektor Nilai Awal Peningkatan Persentase Setelah Simulasi Pertanian (Sim1) 103 451.36 *) 1 158 *) 0.78 2 694 324.94 **) 19 307.73 **) 0.72 Industri (Sim2) 103 451.36 *) 1 166 *) 1.15 2 694 324.94 **) 30 663.29 **) 1.14 Jasa (Sim3) 103 451.36 *) 3 122 *) 3.02 2 694 324.94 **) 86 115.93 **) 3.20 Pertanian, Industri Jasa (Sim 4) *) tenaga kerja (ribu orang) **) Total pendapatan (miliar rupiah) 103 451.36 *) 5 116*) 2 694 324.94 **) 136 086.96**) 4.95 5.05 Pertumbuhan ekonomi sektor jasa menyerap tenaga kerja paling tinggi yaitu sebesar 3.12 juta orang, diikuti oleh sektor industri dan pertanian masingmasing sebesar 1.16 juta orang. Selain itu, persentase peningkatan penyerapan tenaga kerja yang didorong oleh sektor jasa juga paling tinggi yaitu sebesar 3.02

70 persen, diikuti oleh sektor industri sebesar 1.15 persen, dan sektor pertanian sebesar 0.78 persen. Tingginya jumlah dan persentase peningkatan tenaga kerja yang didorong oleh sektor jasa disebabkan karena tingginya ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap sektor jasa sejak sektor industri terpuruk karena krisis ekonomi tahun 1998 (KPPA, 2010 dan Nazara, 2009). Apabila tenaga kerja dipilah berdasarkan formalitas pekerjaan (Tabel 19), tampak bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi lebih banyak menyerap tenaga kerja informal yaitu sebesar 3.44 juta orang, sedangkan tenaga kerja formal hanya sebesar 1.67 juta orang. Meskipun tenaga kerja formal terserap lebih kecil, tetapi persentase peningkatannya lebih tinggi yaitu sebesar 5.24 persen. Sedangkan pekerja informal hanya meningkatkan sebesar 4.81 persen. Artinya, meskipun lapangan pekerjaan formal yang tercipta lebih kecil dibandingkan informal, tetapi mengalami peningkatan yang lebih tinggi. Tabel 19. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan Jenis Tenaga Kerja Nilai Awal Pertanian (Sim1) Persen tase Peningkatan Setelah Simulasi Industri (Sim2) Persen tase Jasa (Sim3) Persen tase Pertanian, Industri, Jasa (Sim4) Persen tase 1. Formal 31 888 189 0.59 344.08 1.08 1 139 3.57 1 672 5.24 2. Informal 71 563 614 0.86 846.01 1.18 1 983 2.77 3 443 4.81 Total 103 451 804 0.78 1 190.09 1.15 3 122 3.02 5 116 4.95 Penyerap tenaga kerja formal paling besar adalah sektor jasa. Sektor jasa mampu menyerap tenaga kerja formal sebesar 1.14 juta orang, sedangkan sektor industri dan pertanian masing-masing hanya sebesar 0.34 juta orang dan 0.19 juta orang. Selain itu, sektor jasa memiliki potensi paling tinggi dalam mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja formal dengan persentase peningkatan sebesar 3.57 persen, diikuti oleh sektor industri dan jasa masing-masing sebesar 1.08 persen dan 0.59 persen.

71 Jadi dapat disimpulkan bahwa struktur perekonomian Indonesia menempatkan sektor jasa sebagai sektor pendorong tenaga kerja terbesar dan memiliki peningkatan lebih besar dibandingkan sektor lainnya. Selain itu sektor jasa lebih potensial untuk menyediakan lapangan pekerjaan formal yang lebih berkualitas. Dilihat dari aspek pendidikan tenaga kerja (Tabel 20), tercapainya target pertumbuhan ekonomi lebih banyak menyerap tenaga kerja berpendidikan rendah yaitu sebesar 3.68 juta orang, diikuti berpendidikan sedang dan rendah masingmasing sebesar 1.07 juta orang dan 0.38 juta orang. Tabel 20. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan Pekerja Pendidikan Tenaga Kerja Nilai Awal Pertanian (Sim1) Persen tase Peningkatan Setelah Simulasi Industri (Sim2) Persen tase Jasa (Sim3) Persen tase Pertanian, Industri, Jasa (Sim3) Persen tase 1. Tinggi 7 102 57 0.80 83 1.17 237 3.33 377 5.30 2. Sedang 21 458 129 0.60 244 1.14 692 3.23 1 065 4.96 3. Rendah 74 892 618 0.83 863 1.15 2 193 2.93 3 675 4.91 Total 103 451 804 0.78 1 190 1.15 3 122 3.02 5 116 4.95 Sektor jasa merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja berpendidikan rendah yaitu sebesar 2.19 juta orang, diikuti oleh sektor industri dan pertanian masing-masing sebesar 0.86 juta orang dan 0.62 juta orang. Tetapi, jumlah tenaga kerja berpendidikan tinggi yang terserap lebih tinggi dibandingkan sektor lain yaitu sebesar 0.24 juta orang, diikuti sektor industri dan pertanian masing-masing sebesar 1.17 ribu orang dan 0.80 ribu orang. Dilihat dari proporsinya (Tabel 21) tampak bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi belum mampu menciptakan proporsi lapangan pekerja formal yang memadai, yaitu hanya sebesar 32.69 persen. Proporsi tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan proporsi tenaga kerja informalnya, yaitu dengan proporsi sebesar 67.31 persen.

72 Tabel 21. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Proporsi Peningkatan Penyerapan dan Pendapatan Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan Jenis Tenaga Kerja 1. Formal 2. Informal Proporsi Awal 30.82*) 49.45**) 69.18 *) 50.55**) Pertanian (Sim1) 23.55*) 46.06**) 76.45 *) 53.94**) Ket: *) Proporsi Tenaga kerja **) Proporsi Pendapatan tenaga kerja Proporsi Peningkatan Industri (Sim2) 28.91*) 48.66**) 71.09*) 51.34**) Jasa (Sim3) 36.49*) 53.91**) 63.51*) 46.09**) Pertanian, Industri, Jasa (Sim4) 32.69*) 51.61**) 67.31*) 48.39**) Meskipun proporsi tenaga kerja formal sangat kecil tapi potensial untuk meningkat lebih besar. Hal ini didasarkan hasil analisis sebelumnya menyatakan bahwa persentase peningkatan sektor formal lebih tinggi. Artinya, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar berdampak besar terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan formal. Kondisi yang sama tampak ketika target pertumbuhan ekonomi sektoral tercapai. Proporsi tenaga kerja formal yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, industri dan jasa masing-masing hanya sebesar 23.55 persen, 28.91 persen, dan 36.49 persen. Sedangkan proporsi tenaga kerja informalnya masing-masing sebesar 76.45 persen, 71.09 persen dan sebesar 63.51 persen. Akan tetapi tenaga kerja informal tersebut hanya mengakumulasi total pendapatan yang jauh lebih kecil yaitu dengan proporsi pendapatan sektor pertanian sebesar 53.94 persen, diikuti oleh sektor industri dan jasa masing-masing dengan proporsi sebesar 51.34 persen dan 46.09 persen. Tingginya proporsi penyerapan tenaga kerja informal yang diikuti oleh rendahnya proporsi akumulasi pendapatan kelompok pekerja tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didorong oleh ketiga sektor utama lebih banyak menyerap tenaga kerja informal berpendapatan rendah yang rentan terhadap kemiskinan. Kondisi ini semakin melanggengkan struktur tenaga kerja Indonesia yang selama ini telah didominasi oleh tenaga kerja informal. Data BPS sebelumnya telah menunjukkan bahwa sekitar 60.98 persen rata-rata tenaga kerja Indonesia pada rentang tahun 2007-2010 merupakan tenaga kerja informal.

73 Tingginya proporsi tenaga kerja informal terkait erat dengan rendahnya mayoritas sumber daya pekerja baru. Tampak bahwa tenaga kerja baru didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, yaitu sekitar 70 persen untuk semua sektor (Tabel 22). Tabel 22. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Proporsi Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pendidikan Tenaga Kerja Proporsi Awal Pertanian (Sim1) Proporsi Peningkatan Industri (Sim2) Jasa (Sim3) Pertanian, Industri, Jasa (Sim4) 1. Tinggi 6.86 7.07 6.99 7.58 7.36 2. Sedang 20.74 15.99 20.47 22.18 20.81 3. Rendah 72.39 76.94 72.53 70.24 71.83 Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menciptakan proporsi tenaga kerja informal, yaitu dengan proporsi sebesar 76.45 persen. Tingginya proporsi tenaga kerja informal yang didorong oleh sektor pertanian disebabkan karena tingginya jumlah buruh tani dan petani berlahan sempit di Indonesia. Tabel 23. Distribusi Rumahtangga Petani menurut Kelompok Pemilikan Lahan, Tahun 2007 Kelompok pemilikan rumah tangga petani ( persen) (Ha) Pulau Jawa Luar Pulau Jawa Total Tunakisma 12.4 7.05 8.84 0 0.25 40.5 20.75 27.35 0.25 0.50 16.53 16.6 16.57 0.50 1.00 14.05 9.13 5.25 1.00 2.00 7.44 10.37 4.14 1.00 1.25 1.65 9.96 1.93 1.25 1.50 3.31 6.22 10.77 1.50 1.75 3.31 4.56 9.39 1.75 2.00 0.83 2.49 7.18 >2.00 12.86 12.86 Sumber: Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas (2010) Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas (2010) menyatakan bahwa jumlah petani dengan penguasaan lahan < 0,5 hektar adalah sekitar 44 persen (Tabel 23). Pada kelompok ini, jumlah terbanyak adalah pada luasan <0,25 hektar sebesar 27 persen, sedangkan petani tunakisma (tidak memiliki lahan sendiri sehingga menggarap milik orang lain) adalah sekitar 9 persen. Pekerja pertanian

74 dengan kualifikasi demikian mayoritas menghasilkan pekerja informal. Menurut Nazara (2010), sektor pertanian mencakup 60 persen dari total pekerja informal pada tahun 2009. Hal yang sama didukung oleh penelitian bersama yang dilakukan ADB dan BPS (2011) pada provinsi Yogyakarta dan Banten. Penelitian tersebut menyatakan bahwa pekerjaan di sektor pertanian di kedua provinsi tersebut didominasi oleh pekerjaan informal. Tahun 2009, tenaga kerja informal di sektor pertanian di Yogyakarta sebesar 99.8 persen, sedangkan di Banten sebesar 99 persen. Kondisi sebaliknya terjadi ketika ekonomi didorong oleh sektor jasa. Sektor jasa lebih banyak menyerap tenaga kerja formal dibandingkan sektor lainnya, yaitu sebesar 53.91 persen. Tingginya proporsi peningkatan penyerapan tenaga kerja formal yang didorong oleh sektor jasa karena sebagian besar sektor jasa memang merupakan sektor formal terutama untuk subsektor sebagai berikut: 1) listrik, gas, dan air minum; 2) hotel dan restoran; 4) perbankan, real estate, dan jasa perusahaan; 3) pemerintahan dan pertahanan, film dan jasa sosial lainnya; 5) pendidikan; 6) kesehatan. Hal ini didukung oleh penelitian Bank Dunia (2010), yang menyatakan bahwa bahwa sektor jasa Indonesia memiliki proporsi tenaga kerja formal paling tinggi yaitu sebesar 17 persen dari total tenaga kerja tahun 2007, sedangkan sektor pertanian dan industri masing-masing hanya sebesar 4 persen dan 12 persen. 6.2. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Sebelumnya telah diketahui bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan tenaga kerja baru dalam perekonomian Indonesia. Selanjutnya, pada Tabel 24 diketahui pula bahwa baik tenaga kerja laki-laki dan perempuan sama-sama mengalami peningkatan. Secara nominal, peningkatan tenaga kerja laki-laki sebesar 3.1 juta orang, lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya sebesar 2.0 juta orang. Hal yang sama tampak pada pertumbuhan ekonomi sektoral. Tenaga kerja laki-laki yang terserap ketika pertumbuhan ekonomi didorong oleh sektor pertanian, industri dan jasa adalah masing-masing sebesar 0.41 juta orang, 0.70

75 juta orang, dan 1.99 juta orang. Sedangkan tenaga kerja perempuan masingmasing hanya sebesar 0.39 juta orang, 0.49 juta orang dan 1.13 juta orang. Tabel 24. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin Sektor Pertanian (Sim1) Tenaga Kerja Nilai Awal Peningkatan Setelah Simulasi Persentase Laki-laki 64 461 413 0.64 Perempuan 38 991 391 1.00 Industri (Sim2) Laki-laki 64 461 699 1.08 Jasa (Sim3) Pertanian, Industri, Jasa (Sim3) Perempuan 38 991 491 1.26 Laki-laki 64 461 1 990 3.09 Perempuan 38 991 1 132 2.90 Laki-laki 64 461 3 101 4.81 Perempuan 38 991 2014 5.17 Meskipun secara nominal perempuan terserap lebih sedikit dibandingkan laki-laki, tetapi persentase peningkatannya lebih tinggi yaitu sebesar 5,17 persen, sedangkan laki-laki hanya sebesar 4,81 persen. Persentase peningkatan lebih tinggi terutama untuk pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor pertanian dan industri (1.00 persen dan 1.26 persen). Sedangkan pada sektor jasa, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja laki-laki dan perempuan hampir berimbang (3.09 persen dan 2.90 persen). Pertumbuhan ekonomi diikuti dengan besarnya peningkatan persentase perempuan masuk pasar tenaga kerja disebabkan karena tingginya peningkatan perempuan berpendidikan tinggi dan sedang (Tabel 25). Persentase peningkatan tenaga kerja perempuan berpendidikan tinggi sebesar 5.59 persen, lebih tinggi dari laki-laki yang hanya sebesar 5.07 persen. Sedangkan perempuan berpendidikan sedang naik sebesar 5.14 persen, lebih tinggi dari laki-laki yang hanya sebesar 4.88 persen. Tingginya persentase peningkatan perempuan berpendidikan tinggi dan sedang juga berdampak pada tingginya peluang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan formal. Perempuan pekerja formal meningkat sebesar 5.65 persen, sedangkan laki-laki hanya meningkat sebesar 5.10 persen (Tabel 26).

76 Tabel 25. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan pekerja Nilai Awal Nilai Simulasi Pertanian (Sim1) Industri (Sim2) Jasa (Sim3) Pertanian, Industri, Jasa (Sim4) Persentase Persentase Persentase Persentase 1. Tinggi 7,102 57 0.80 83.24 1.17 237 3.33 377 5.30 Laki-laki 3,893 27 0.68 44 1.14 126 3.25 197 5.07 Perempuan 3,209 30 0.94 39 1.21 110 3.43 179 5.59 2. Sedang 21,458 129 0.60 244 1.14 692 3.23 1,065 4.96 Laki-laki 14,644 86 0.59 165 1.12 464 3.17 715 4.88 Perempuan 6,814 43 0.63 79 1.16 228 3.35 350 5.14 3. Rendah 74,892 618 0.83 863 1.15 2,193 2.93 3,675 4.91 Laki-laki 45,924 300 0.65 490 1.07 1,399 3.05 2,190 4.77 Perempuan 28,968 318 1.10 373 1.29 793 2.74 1,485 5.13 Total (1+2+3) 103,451 804 0.78 1,190.09 1.15 3,122 3.02 5,116 4.95

77 Tabel 26. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan Nilai Awal Nilai Simulasi Pertanian (Sim1) Industri (Sim2) Jasa (Sim3) Pertanian, Industri, jasa (Sim4) Persentase Persentase Persentase 1. Formal 31,888 189 0.59 344.08 1.08 1,139 3.57 1,672 5.24 Laki-laki 23,478 131 0.56 247.34 1.05 819 3.49 1,197 5.10 Perempuan 8,410 58 0.69 96.74 1.15 321 3.81 475 5.65 Persentase 2. Informal 71,563 614 0.86 846.01 1.18 1,983 2.77 3,443 4.81 Laki-laki 40,982 281 0.69 451.33 1.10 1,172 2.86 1,904 4.65 Perempuan 30,581 333 1.09 394.68 1.29 811 2.65 1,539 5.03 Total (1+2) 103,451 804 0.78 1,190.09 1.15 3,122 3.02 5,116 4.95

78 Menurut Mammen dan Paxson (2000), pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh peningkatan partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja tidak hanya disebabkan karena peningkatan tingkat pendidikan, tetapi juga karena peningkatan upah perempuan. Proses ini memerlukan waktu yang cukup lama. Mammen dan Paxson mengungkapkan bahwa proses tersebut diawali dari besarnya peranan sektor pertanian padat karya dan signifikannya jumlah rumahtangga miskin. Ketika suatu Negara masih miskin, perempuan bersedia untuk masuk pasar tenaga kerja meskipun pada tingkat upah yang rendah. Ketika pendapatan per kapita meningkat, maka pendapatan keluarga ikut meningkat, sehingga biasanya wanita menarik diri dari pasar tenaga kerja. Hambatan sosial terhadap perempuan memasuki pekerjaan dibayar kembali menonjol, dan tingkat partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja turun. Tapi karena negara terus berkembang, kenaikan lebih lanjut dalam pendidikan perempuan dan upah menyebabkan perempuan kembali ke pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia kerja yang dialami sekarang ini disebabkan karena peningkatan pendidikan dan upah perempuan. Terkait dengan tingkat pendidikan, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pendidikan perempuan bisa secara langsung dan tidak langsung (Word Bank, 2011a). Secara langsung melalui dua jalur, yaitu: pertama, melalui peningkatan pendapatan keluarga yang berdampak pada peningkatan investasi pendidikan anak perempuan; dan kedua, melalui peningkatan sumber-sumber pembiayaan publik, yaitu pendidikan. Secara tidak langsung melalui peningkatan lapangan pekerjaan, karena banyak orang tua menginvestasikan uangnya untuk sekolah anak perempuan atas dasar pertimbangan imbal hasil dari pendidikan tersebut. Kesempatan kerja ini mampu mempengaruhi keputusan rumahtangga, bahkan pada daerah dengan perubahan norma sosial yang bergerak lambat. Hal ini didukung oleh penelitian Oster dan Millet (2010), yang menyimpulkan bahwa munculnya outsourcing di India menawarkan lapangan kerja baru bagi perempuan dan meningkatkan investasi orangtua terhadap pendidikan anak perempuan.

79 Apabila diterjemahkan dalam kondisi Indonesia, bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi masa lalu mampu mengakumulasi sumberdaya perempuan terdidik secara langsung melalui peningkatan pendapatan keluarga yang dialokasikan untuk pendidikan anak perempuan dan secara tidak langsung melalui pembiayaan publik. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi masa lalu tersebut telah menciptakan berbagai lapangan pekerjaan, sehingga menjadi insentif bagi orang tua untuk menyekolahkan anak perempuannya. Pada tahun-tahun berikutnya, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus berlanjut dan perubahan pandangan sosial terhadap peran perempuan, membaiknya tingkat pendidikan perempuan tersebut menyebabkan tinggi peningkatan perempuan yang masuk pasar tenaga kerja. Tabel 27. Pertumbuhan Ekonomi, Pekerja Perempuan dan Upah Pekerja Perempuan Indonesia, Tahun 2008-2010 Peningkatan Tahun Upah Pekerja Ekonomi Pekerja Perempuan Perempuan 2008 6,01 5,09 8,99 2009 4,63 2,83 12,78 2010 6,22 2,51 8,60 Rata-rata 5,62 3,48 10,12 Sumber: BPS, 2007-2010 Penomena yang dijelaskan Mammen dan Paxson tersebut didukung oleh data BPS, dimana rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5.62 persen diikuti oleh pertumbuhan tenaga kerja perempuan sebesar 3.48 persen, dan pertumbuhan upah yang diterima perempuan sebesar 10.12 persen (Tabel 27). Pertumbuhan itu semua seiring dengan pertumbuhan pendidikan perempuan, terutama untuk tamat SMP sebesar 6.43 persen dan pendidikan tinggi sebesar 11.71 persen seperti pada Tabel 28. Tabel 28. Persentase peningkatan Tenaga kerja Perempuan berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tahun 2008-2010 Tingkat Pendidikan Tahun Rendah Sedang Tinggi Tidak/lulus SD Lulus SMP Lulus SMA/SMK Minimal D1 2008 0,57 3,95 1,30 17,90 2009 0,91 2,45 1,25 8,18 2010-4,35 12,90-0,46 9,05 Rata-rata --0.96 6.43 0.70 11.71 Sumber: BPS, 2007-2010

80 Akan tetapi, tingginya persentase peningkatan penyerapan tenaga kerja perempuan tersebut belum dapat membuktikan bahwa ketimpangan gender tidak terjadi ketika target pertumbuhan ekonomi tercapai. Apabila hasil analisis dipilah berdasarkan jenis kelamin dan formalitas pekerjaan (Tabel 29), tampak bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi menggambarkan adanya ketimpangan gender. Hal ini diketahui dari adanya gap kesempatan bekerja sebagai pekerja formal sebesar 15.01. Gap tersebut disebabkan karena perempuan pekerja formal hanya sebesar 23.59 persen, lebih rendah dibadingkan laki-laki dengan proporsi sebesar 38.60 persen. Tabel 29. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Indonesia Proporsi Awal Pertanian (Sim1) Proporsi Peningkatan Industri (Sim2) Jasa (Sim3) Pertanian, Industri, Jasa (Sim4) A. Laki-laki 100 100 100 100 100 1. Formal 36.42 31.84 35.40 41.13 38.60 Pend Rendah 21.12 15.04 19.25 23.87 21.65 Pend sedang 10.59 11.56 11.15 12.15 11.84 Pend Tinggi 4.71 5.23 5.01 5.12 5.11 2. Informal 63.58 68.16 64.60 58.87 61.40 Pend Rendah 50.12 57.73 50.86 46.45 48.95 Pend sedang 12.13 9.22 12.40 11.18 11.20 Pend Tinggi 1.33 1.21 1.33 1.24 1.26 B. Perempuan 100 100 100 100 100 1. Formal 21.57 14.81 19.69 28.33 23.59 Pend Rendah 9.52 6.19 8.74 13.40 10.86 Pend sedang 9.32 6.39 8.39 11.66 9.84 Pend Tinggi 2.73 2.23 2.55 3.27 2.89 2. Informal 78.43 85.19 80.31 71.67 76.41 Pend Rendah 64.77 75.13 67.24 56.71 62.85 Pend sedang 8.15 4.54 7.70 8.51 7.54 Pend Tinggi 5.50 5.51 5.37 6.46 6.01 Gap (1A-1B) 14.85 17.02 15.72 12.80 15.01 Hal yang sama tampak ketika pertumbuhan ekonomi sektoral tercapai. Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor pertanian, industri maupun jasa menggambarkan adanya ketimpangan gender. Hal ini diketahui dari adanya gap kesempatan bekerja sebagai pekerja formal (pertanian: 17.02; industri: 15.72; jasa:

81 12.80). Gap ini disebabkan karena pekerja laki-laki lebih banyak terserap sebagai pekerja formal dengan proporsi antara 31.84 persen 41.13 persen, bandingkan dengan pekerja perempuan yang hanya memiliki proporsi antara 14.81 persen 28.33 persen. Hal ini menyebabkan perempuan lebih banyak tertumpuk sebagai pekerja informal yaitu dengan proporsi antara 71.67 persen- 85.19 persen, bandingkan dengan laki-laki dengan proporsi hanya sekitar 58.87 persen 68.16 persen. Ketimpangan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di sektor pertanian, industri maupun jasa belum mampu memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan bergaji lebih baik sebagai pekerja formal. Perempuan lebih banyak tertumpuk sebagai pekerja informal yang umumnya bergaji murah dan tanpa perlindungan hukum ataupun asuransi. Hal yang sama terjadi di Kenya (Wanjala dan Were, 2010) dan dunia pada umumnya (World Bank, 2011a). Menurut World Bank (2011a), pembangunan ekonomi tidak cukup untuk menghilangkan segregasi tenaga kerja berdasarkan gender. Sehingga wanita seluruh dunia terkonsentrasi di pekerjaan dengan produktivitas rendah. Pekerja perempuan lebih banyak sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar dan di sektor informal. Tertumpuknya pekerja perempuan sebagai pekerja informal disebabkan karena tingginya jumlah pekerja perempuan berpendidikan rendah. Pada semua simulasi, proporsi perempuan pekerja informal berpendidikan rendah lebih banyak dibandingkan laki-laki (pertanian 75.13 persen; industri 67.24 persen; jasa 56.71 persen). Apabila dikaitkan dengan analisis sebelumnya, tampaknya peningkatan pendidikan perempuan masih belum mampu mengakomodasi sebagian besar tenaga kerja perempuan. Keterbatasan pendidikan menyebabkan banyak perempuan berakhir sebagai pekerja informal tanpa ikatan kerja resmi, perlindungan hukum dan asuransi. Ketika target pertumbuhan ekonomi tercapai, ada indikasi perempuan berpendidikan tinggi lebih banyak terserap sebagai pekerja informal dibandingkan laki-laki. Tampak bahwa perempuan dengan pendidikan tinggi yang terserap sebagai pekerja informal berkisar antara 6.01 persen. Bandingkan dengan laki-laki yang hanya berkisar antara 1.26 persen. Alasan peran ganda perempuan

82 menyebabkan sebagian pekerja perempuan berpendidikan tinggi tersebut memilih untuk berkarir sebagai pekerja informal. Menurut Gallaway dan Bernasek (2002) dalam Lindenthal (2005), keberadaan balita meningkatkan kemungkinan perempuan bekerja sebagai pekerja informal. Umumnya perempuan yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih mudah untuk memilih berbagai pekerjaan formal. Bekerja sebagai pekerja formal memiliki aturan yang ketat mengenai waktu kerja. Ketika menikah dan memiliki bayi, ada kecenderungan mereka akan keluar dari pasar tenaga kerja. Hal ini umumnya terjadi pada pekerjaan formal non pemerintahan. Tetapi ketika bayi telah memasuki masa balita, ada sebagian dari perempuan tersebut yang akan kembali ke pasar tenaga kerja. Akan tetapi perempuan berpendidikan tinggi ini cenderung memilih berkarir sebagai pekerja informal karena alasan fleksibilitas waktu sehingga masih bisa bekerja sambil mengurus keluarga, terutama anak-anak. Fleksibilitas waktu perempuan ditentukan oleh pembagian beban kerja domestik antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan beban kerja domestik antara laki-laki dan perempuan di Indonesia yang sudah menikah dan memiliki anak masih belum jelas. Beberapa penulis mengatakan bahwa beban kerja domestik seorang perempuan adalah dimulai ketika bangun pagi dan berakhir ketika sudah tidur malam. Tetapi berdasarkan penelitian World Bank dalam USAID (2012) menyatakan bahwa di seluruh dunia, perempuan mencurahkan lebih banyak waktu setiap hari untuk pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak-anak, orang tua, orang cacat, dibandingkan laki-laki. Dibandingkan laki-laki, Perempuan meluangkan waktu lebih tinggi 1-3 jam untuk pekerjaan rumah tangga, 2-10 kali lebih banyak waktu untuk perawatan anak-anak, orang tua, dan orang sakit. Hal ini menyebabkan perempuan memiliki waktu produktif lebih kecil 1-4 jam perhari dibandingkan laki-laki. Sebagian besar tanggung jawab tersebut masih dibebankan kepada perempuan meskipun telah memasuki pasar tenaga kerja. Membaik atau memburuknya ketimpangan gender dapat diketahui dengan cara membandingkan nilai gap simulasi dan nilai awalnya. Tampak bahwa ketika target pertumbuhan ekonomi tercapai, gap yang tercipta (15.01) lebih besar daripada gap awal (14,85). Artinya, tecapainya target pertumbuhan ekonomi tidak

83 hanya menggambarkan ketimpangan gender, tetapi juga potensial memperbesar ketimpangan. Kontribusi terbesar untuk memperlebar gap adalah sektor pertanian dan industri. Tampak bahwa tercapainya pertumbuhan ekonomi sektor pertanian dan industri menunjukkan nilai yang lebih besar jika dibandingkan nilai awalnya (pertanian 17.02; industri 15.72; nilai awal 14.85). Selanjutnya, sektor jasa merupakan sektor yang potensial memperkecil ketimpangan gender dengan gap sebesar 12.80, lebih kecil dari nilai awalnya. Salah satu penyebab kecilnya gap tersebut adalah karena ketika sekolah, perempuan cenderung memilih jurusan dalam sektor jasa (KPPA, 2011) yang memiliki lapangan kerja formal tingi diantara sektor lainnya (Bank Dunia 2010). Perempuan 3.71 56.04 28.93 11.32 Siswa SMK Laki-laki 63.84 15.56 16.68 3.92 0% 20% 40% 60% 80% 100% Proporsi Tehnik dan Industri Manajemen Bisnis Pariwisata Lainnya Sumber: Perhitungan Staf World Bank berdasarkan Susenas, 2006 Gambar 15. Proporsi Siswa SMK berdasarkan Jurusan dan Jenis kelamin KPPA ( 2011), menyatakan bahwa sejak krisis keuangan tahun 1998, pertumbuhan ekonomi semakin bergantung pada sektor jasa. Pertumbuhan tahunan di sektor industri jatuh drastis, sementara pertumbuhan sektor pelayanan tetap kuat.tahun 2003 sampai 2007, lapangan pekerjaan di sektor jasa tumbuh lebih cepat dibanding industri. Perubahan struktur ini berdampak positif pada lulusan perempuan yang cenderung memilih jurusan sektor jasa yang sedang tumbuh. Kesimpulan ini diambil KPPA berdasarkan data Susenas yang diolah oleh Word

84 Bank. Data tersebut ditunjukkan pada Gambar 15, yang menyatakan bahwa sebagian besar siswi SMK memilih jurusan yang berhubungan dengan sektor jasa. Tampak bahwa 56.04 persen dari siswi SMK terdaftar di jurusan manajemen bisnis dan 28.93 persen belajar pariwisata.. 6.3. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan barang dan jasa, selanjutnya akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja untuk memproduksi tambahan barang dan jasa tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mempengaruhi ketimpangan gender di pasar tenaga kerja melalui kebijakan anggarannya. Pada pembahasan berikut dibahas apakah kebijakan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Tabel 30. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Proporsi Awal Proporsi Peningkatan Pertanian (Sim5) Industri (Sim6) Jasa (Sim7) A. Laki-laki 100,00 100,00 100,00 100,00 1. Formal 36,42 28,79 32,35 42,13 Pend Rendah 21,12 13,49 17,31 22,96 Pend sedang 10,59 11,31 10,53 12,91 Pend Tinggi 4,71 3,99 4,50 6,26 2. Informal 63,58 71,21 67,65 57,87 Pend Rendah 50,12 61,57 54,06 45,31 Pend sedang 12,13 8,42 12,35 11,40 Pend Tinggi 1,33 1,21 1,25 1,17 B. Perempuan 100,00 100,00 100,00 100,00 1. Formal 21,57 14,68 18,25 31,23 Pend Rendah 9,52 6,48 8,20 12,82 Pend sedang 9,32 6,27 7,79 14,47 Pend Tinggi 2,73 1,94 2,27 3,94 2. Informal 78,43 85,32 81,75 68,77 Pend Rendah 64,77 75,86 69,20 53,03 Pend sedang 8,15 4,80 7,77 8,25 Pend Tinggi 5,50 4,66 4,78 7,50 Gap (1A-1B) 14,85 14,11 14,10 10,90

85 Tabel 30 menyajikan dampak pengeluaran pemerintah sektoral terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja. Tampak bahwa dampak pengeluaran pemerintah di sektor pertanian, industri maupun jasa menggambarkan adanya ketimpangan gender. Hal ini diketahui dari adanya gap antara laki-laki dan perempuan pekerja formal. Gap yang tercipta dari pengeluaran pemerintah sektor pertanian, industri dan jasa masing-masing sebesar 14.11, 14.10 dan 10.90. Gap ini menyebabkan perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja informal yaitu dengan proporsi antara 68.77 persen- 85.32 persen, bandingkan dengan laki-laki dengan proporsi sekitar 57.87 persen 71.21 persen. Meskipun ada gap, tetapi pengeluaran pemerintah sektoral mampu memperbaiki ketimpangan gender. Tampak bahwa gap sektor pertanian, industri, jasa menunjukkan nilai yang lebih kecil jika dibandingkan nilai awalnya (pertanian 14.11; industri 14.10; jasa 10.90; nilai awal 14.85). Hal ini menujukkan bahwa persentase peningkatan perempuan pekerja formal yang didorong pengeluaran pemerintah sektoral telah mampu memperbaiki ketimpangan gender yang terjadi di pasar tenaga kerja Indonesia. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah sektor pertanian, industri, ataupun jasa menggambarkan adanya ketimpangan tetapi ketimpangan tersebut lebih kecil dibandingkan sebelum simulasi sehingga mampu memperbaiki ketimpangan yang sebelumnya telah terjadi. Artinya, meskipun belum mampu menghilangkan ketimpangan gender tetapi telah mampu memperbesar peluang perempuan untuk bekerja sebagai pekerja formal dengan upah layak dan kondisi pekerjaan lebih baik. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah telah sejalan dengan tujuan pengarusutamaan gender. Kebijakan pengarusutamaan gender telah diimplementasikan sejak dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 2000. Pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Program pembangunan nasional tersebut dibiayai oleh pengeluaran pemerintah.

86 Kedepannya, dampak pengeluaran pemerintah dalam memperbaiki ketimpangan gender dapat semakin besar. Hal ini disebabkan karena dikeluarkanlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 104 Tahun 2010. PMK tersebut menyebabkan anggaran pemerintah dialokasikan berdasarkan prinsif Anggaran Responsif Gender (ARG). Menurut PMK No. 104 Tahun 2010, ARG bukanlah anggaran yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan. ARG lebih menekankan pada masalah kesetaraan dalam penganggaran. Kesetaraan tersebut berupa proses maupun dampak alokasi anggaran dalam program/kegiatan yang bertujuan menurunkan tingkat ketimpangan gender. ARG bekerja dengan cara menelaah dampak dari belanja suatu kegiatan terhadap perempuan dan laki-laki, dan kemudian menganalisa apakah alokasi anggaran tersebut telah menjawab kebutuhan perempuan serta kebutuhan laki-laki. Selain itu, pemerintah daerah tampaknya memiliki peran besar terhadap membaiknya ketimpangan gender apabila pengelolaan keuangannya searah dengan ARG. Hal ini karena sejak 2001 telah berlaku desentralisasi fiskal di Indonesia yang menyebabkan dana yang dikelola pemerintah daerah meningkat signifikan.