BAB V HASIL PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang meningkat sepanjang tahun. Di dunia diperkirakan setiap tahun terdapat 30 juta

Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR/BPRS. Semester I Tahun 2013

Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH FEBRUARI 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu penyakit sehingga seseorang tidak akan sakit bila nantinya terpapar

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH JULI 2015

BAB I PENDAHULUAN. melawan serangan penyakit berbahaya (Anonim, 2010). Imunisasi adalah alat yang terbukti untuk mengendalikan dan

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH APRIL 2015

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014)

Optimisme Cakupan Vaksin MR Menuju Generasi Sehat Berkualitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 : PENDAHULUAN. tanda-tanda awal berupa salesma disertai konjungtivitis, sedangkan tanda khas

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Campak merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (Infeksius) dan dapat mengakibatkan kesakitan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Penularan penyakit campak terjadi dari orang ke orang melalui droplet respiration

PERKEMBANGAN PARIWISATA JAWA TIMUR JULI 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Penyakit ini tetap menjadi salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA MEI 2011

PERKEMBANGAN PARIWISATA JAWA TIMUR JUNI 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor yang..., Lienda Wati, FKM UI, 2009 UNIVERSITAS INDONESIA

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. dari seluruh penduduk dunia adalah pembawa kronis penyakit hepatitis B (Zanetti et

BAB I PENDAHULUAN. kematian bayi, angka kesakitan bayi, status gizi dan angka harapan hidup (Depkes RI,

Pelatihan Sistem Informasi Manajemen Akreditasi dalam rangka sosialisasi aplikasi SISPENA PAUD dan PNF Tahun 2018

PARIWISATA DKI JAKARTA

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU BAYI 0-12 BULAN DENGAN PRAKTIK PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B-O DI WILAYAH PUSKESMAS KAYU KUNYIT BENGKULU SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 2 juta disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Perkembangan Jasa Akomodasi Provinsi Kalimantan Tengah

GAMBARAN EPIDEMIOLOGI KASUS CAMPAK DI KOTA CIREBON TAHUN (STUDI KASUS DATA SURVEILANS EPIDEMIOLOGI CAMPAK DI DINAS KESEHATAN KOTA CIREBON)

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN FEBRUARI 2013

PERKEMBANGAN PARIWISATA JAWA TIMUR JUNI 2013

PERKEMBANGAN PARIWISATA JAWA TIMUR AGUSTUS 2012

Perencanaan Pelaksanaan Akreditasi PAUD dan PNF Tahun 2018

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian, karena racun yang dihasilkan oleh kuman

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

ANALISIS DAN EVALUASI PELAYANAN KELUARGA BERENCANA BAGI KELUARGA PRA SEJAHTERA DAN KELUARGA SEJAHTERA I DATA TAHUN 2013

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JANUARI 2013

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA NOVEMBER 2014

PARIWISATA DKI JAKARTA

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI 2015

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2013

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BAB 1 PENDAHULUAN. xvi

PARIWISATA DKI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Pengetahuan tentang imunisasi sangat penting untuk ibu, terutama ibu

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH DAN BERAS

PARIWISATA DKI JAKARTA

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI NASIONAL NOVEMBER 2009

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2014

PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014

PERKEMBANGAN TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR HOTEL BINTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

PERKEMBANGAN TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR HOTEL BINTANG

PERTUMBUHAN SIMPANAN *) BANK UMUM POSISI NOVEMBER 2011

Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Timur* Menurut Sub Sektor Bulan Oktober 2017

DATA DISTRIBUSI SIMPANAN PADA BPR DAN BPRS

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017

PERTUMBUHAN SIMPANAN PADA BPR DAN BPRS

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA JULI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA OKTOBER 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit campak merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

KEMENTERIAN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 123/Permentan/SR.130/11/2013 /OT.1 TENTANG

PARIWISATA DKI JAKARTA

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2017

Grafik 1 Perkembangan NTP dan Indeks Harga yang Diterima/Dibayar Petani Oktober 2015 Oktober 2016

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2016

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

KATA PENGANTAR. Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan publikasi prakiraan musim hujan ini.

Transkripsi:

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Epidemiologi Penyakit Campak di Indonesia Tahun 2004-2008 5.1.1 Gambaran Penyakit Campak Berdasarkan Variabel Umur Gambaran penyakit campak berdasarkan variabel umur di indonesia disajikan dalam grafik Insiden campak berdasarkan kelompok umur per 10.000 penduduk di Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 di bawah ini. Grafik 5.1.1 Grafik Insiden Campak Berdasarkan Kelompok Umur Per 10.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2004-2008 12 INSIDEN KASUS CAMPAK BERDASARKAN KELOMPOK UMUR TAHUN 2004-2008 INSIDEN PER 10000 PENDUDUK 10 8 6 4 2 0 0-4 Th 5-9 Th 10-14 Th >14 Th KELOMPOK UMUR 2004 2005 2006 2007 2008 Berdasarkan grafik insiden campak berdasarkan kelompok umur di atas diketahui bahwa pada tahun 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008, insiden campak tertinggi terjadi pada kelompok umur 0-4 tahun dan insiden terendah terjadi pada kelompok umur >14 tahun. Selain itu, terjadi peningkatan insiden campak dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 dan diikuti dengan penurunan pada tahun 2007 sampai dengan bulan keempat (April) tahun 2008 pada semua kelompok umur. 34

35 5.1.2 Gambaran Penyakit Campak Berdasarkan Variabel Propinsi Gambaran kasus campak berdasarkan variabel propinsi di Indonesia disajikan dalam tabel di bawah ini. Peta 5.1.2a Peta Insiden Campak Per 10.000 Penduduk Berdasarkan Propinsi di Indonesia Tahun 2004 Dari peta insiden campak berdasarkan propinsi per 10.000 penduduk di Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 diatas diketahui bahwa insiden campak tertinggi pada tahun 2004 terjadi di propinsi DKI Jakarta dengan angka insiden 22,18 per 10.000 penduduk dan insiden campak terendah terjadi di Bengkulu dengan angka insiden 0 per 10.000 penduduk. Peta 5.1.2b Peta Insiden Campak Per 10.000 Penduduk Berdasarkan Propinsi di Indonesia Tahun 2005

36 Pada tahun 2005, angka insiden campak tertinggi terjadi di propinsi DKI Jakarta dengan angka insiden 26,57 per 10.000 penduduk dan terendah di propinsi Nusa Tenggara Barat dan Maluku dengan angka insiden 0 per 10.000 penduduk. Peta 5.1.2c Peta Insiden Campak Per 10.000 Penduduk Berdasarkan Propinsi di Indonesia Tahun 2006 Untuk tahun 2006, angka insiden campak tertinggi terjadi di propinsi Sulawesi Selatan dengan angka insiden 27,46 per 10.000 penduduk dan terendah di propinsi Sulawesi Barat dengan angka insiden 0 per 10.000 penduduk. Peta 5.1.2d Peta Insiden Campak Per 10.000 Penduduk Berdasarkan Propinsi di Indonesia Tahun 2007

37 Sedangkan untuk tahun 2007, angka insiden campak tertinggi terjadi di propinsi Kalimantan Timur dengan angka insiden 48,57 per 10.000 penduduk dan terendah di propinsi DI Yogyakarta dengan angka insiden 0 per 10.000 penduduk. Peta 5.1.2e Peta Insiden Campak Per 10.000 Penduduk Berdasarkan Propinsi di Indonesia Tahun 2008 Dan pada tahun 2008 sampai pada bulan keempat angka insiden campak tertinggi terjadi di propinsi Maluku Utara dengan angka insiden 5,66 per 10.000 penduduk dan terendah di propinsi Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku dengan angka insiden 0 per 10.000. Untuk insiden campak rata-rata dari tahun 2004 sampai dengan 2008, insiden campak rata-rata tertinggi terjadi pada propinsi Kalimantan Timur dengan angka insiden rata-rata 19,38 per 10.000 penduduk dan yang terendah terjadi di propinsi Maluku dengan insiden rata-rata 0,07 per 10.000. Selain itu dapat terlihat juga bahwa terjadi peningkatan insiden campak yang cukup tinggi pada tahun 2007 di propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,

38 Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat. 5.1.3 Gambaran Penyakit Campak Berdasarkan Variabel Tahun dan Bulan Gambaran kasus campak berdasarkan variabel tahun dan bulan di Indonesia disajikan dalam grafik kasus campak dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 di Indonesia di bawah ini. Grafik 5.1.3a Grafik Insiden Campak Per 10.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2004-2008 INSIDEN CAMPAK PER 10.000 PENDUDUK DI INDONESIA TAHUN 2004-2008 INSIDEN PER 10.000 PENDUDUK 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 8.35 7.40 5.74 6.12 0.50 2004 2005 2006 2007 2008 TAHUN INSIDEN CAMPAK Dari grafik insiden campak per 10.000 penduduk di Indonesia tahun 2004-2008 di atas diketahui bahwa terjadi peningkatan insiden campak di Indonesia pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 dan diikuti penurunan kasus campak pada tahun 2007 dan tahun 2008 (sampai bulan keempat). Selain insiden campak berdasarkan tahun per 10.000 penduduk, diketahui juga insiden campak berdasarkan bulan per 10.000 penduduk di Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 yang disajikan pada tabel dan grafik dibawah ini.

39 Grafik 5.1.3b Grafik Insiden Campak Berdasarkan Bulan Per 10.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2004-2008 JUMLAH KASUS PER 10.000 PENDUDUK INSIDEN CAMPAK BERDASARKAN BULAN PER 10.000 PENDUDUK DI INDONESIA TAHUN 2004-2008 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des BULAN 2004 2005 2006 2007 2008 Dari grafik insiden campak berdasarkan bulan per 10.000 penduduk di atas diketahui bahwa pada tahun 2004, insiden campak tertinggi terjadi pada bulan September dengan angka insiden 0,61 per 10.000 penduduk dan terendah terjadi pada bulan Januari dengan angka insiden 0,25 per 10.000. Pada tahun 2005, insiden campak tertinggi terjadi pada bulan Mei dengan angka insiden 0,59 per 10.000 penduduk dan terendah terjadi pada bulan Juli dengan angka insiden 0,44 per 10.000. Sedangkan pada tahun 2006, insiden campak tertinggi terjadi pada bulan September dengan angka insiden 0,68 per 10.000 penduduk dan terendah terjadi pada bulan Desember dengan angka insiden 0,46 per 10.000 dan pada tahun 2007, insiden campak tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan angka insiden 0,49 per 10.000 penduduk dan terendah terjadi pada bulan Desember dengan angka insiden 0,11 per 10.000. Sedangan sampai pada bulan keempat tahun 2008, insiden campak tertinggi terjadi pada bulan Februari dengan angka insiden 0,16 per 10.000 penduduk dan terendah terjadi pada bulan April dengan angka insiden 0,08 per 10.000.

40 Selain itu, pada tahun 2004, 2005, dan 2006 terdapat tiga titik peningkatan kasus yaitu pada bulan ketiga, kelima, dan kesembilan, dan terdapat dua titik penurunan kasus yaitu pada bulan keempat dan bulan kesebelas. Pada tahun 2007 juga terdapat satu titik peningkatan kasus yaitu pada bulan yang kesembilan dan diikuti dengan penurunan kasus pada bulan yang kesepuluh. Sedangkan pada tahun 2008 terjadi peningkatan kasus pada bulan kedua dan diikuti penurunan kasus pada bulan yang ketiga. Dan berdasarkan insiden rata-rata dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 diketahui bahwa insiden rata-rata tertinggi terjadi pada bulan September. 5.2 Gambaran Cakupan Imunisasi Kampanye Campak Seluruh Propinsi di Indonesia Gambaran cakupan imunisasi kampanye campak berdasarkan propinsi di Indonesia disajikan pada tabel dan grafik dibawah ini. Peta 5.2 Peta Cakupan Imunisasi Kampanya Campak Berdasarkan Propinsi di Indonesia

41 Dari peta cakupan imunisasi berdasarkan propinsi di atas diketahui bahwa cakupan imunisasi campak tertinggi terdapat di propinsi Kalimantan Tengah sebesar 109,30%, dan terendah di propinsi Sumatera Barat sebesar 52,91%. 5.3 Hasil Uji Korelasi Cakupan Imunisasi Kampanye Campak Dengan Insiden Penyakit Campak Setahun Sesudah Kampanye Imunisasi Campak di Seluruh Propinsi di Indonesia. Hasil uji korelasi antara cakupan imunisasi kampanye campak dengan insiden campak satu tahun sesudah kampanye campak bisa dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.3 Tabel hasil Korelasi dan Regresi Cakupan Imunisasi Kampanye Campak dengan Insiden Campak Setahun Sesudah Kampanye Imunisasi Campak Variabel r R 2 Persamaan Garis P value Cakupan imunisasi kampanye campak - 0,471 0,222 Insiden campak satu tahun sesudah kampanye = 96.774 + (-3,044)* cakupan imunisasi kampanye campak 0,006 Hubungan insiden campak satu tahun sesudah kampanye imunisasi campak dengan cakupan imunisasi kampanye campak berpola negatif yang artinya peningkatan cakupan imunisasi kampanye campak menurunkan insiden campak satu tahun sesudah kampanye imunisasi campak. Hubungan antara insiden campak satu tahun sesudah kampanye imunisasi campak dengan cakupan imunisasi kampanye campak menunjukkan hubungan yang sedang (r=0,471). Nilai koefisien dengan determinasi 0,222 artinya, persamaan garis regresi yang diperoleh dapat menerangkan 22,2% variasi insiden campak satu tahun sesudah kampanye imunisasi

42 campak. Hasil uji statistik didapatkan hubungan yang signifikan antara cakupan imunisasi kampanye campak dengan insiden campak satu tahun sesudah kampanye campak (p=0,006). Selain itu hasil uji Korelasi antara insiden campak satu tahun sesudah kampanye dengan cakupan imunisasi kampanye campak di seluruh propinsi di Indonesia dapat diketahui melalui diagram tebar atau pencar (Scatter Plot) di bawah ini. Diagram 5.3 Diagram Tebar Korelasi Insiden Campak Satu Tahun Sesudah kampanye Dengan Cakupan Imunisasi Kampanye Campak 6.00 INSIDEN CAMPAK SESUDAH KAMPANYE CAMPAK 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 R Sq Linear = 0.222 0.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 CAKUPAN IMUNISASI KAMPANYE CAMPAK 110.00 Dari diagram tebar di atas menunjukkan hubungan yang sedang karena penyebaran titik-titik perpotongan yang mengumpul mendekati garis. Selain itu diketahui juga pola hubungan negatif dengan melihat arah penyebaran titi-titik perpotongan yang mengarah ke kiri atas.

BAB VI PEMBAHASAN Sistematika pembahasan hasil penelitian dibagi menjadi dua hal pokok yaitu mengenai keterbatasan penelitian dan kelemahan penelitian, kedua mengenai pembahasan hasil penelitian. 6.1 Keterbatasan Penelitian Seperti telah dijelaskan dalam metodologi penelitian bahwa desain penelitian pada penelitian ini adalah desain penelitian Epidemiologi Deskriptif yang bersifat studi observasional yang mempelajari distribusi dan frekuensi penyakit di populasi, dengan menggunakan desain penelitian Korelasi (correlation study or ecology study) dimana penelitian epidemiologi berdasarkan unit pengamatan atau unit analisis agregat, sehingga tidak dapat melihat hubungan ditingkat individu. Selain itu juga terdapat ecologic fallacy, yakni bias dalam mengintepretasikan hubungan, dimana hubungan tingkat agregat disamakan dengan hubungan di tingkat individu. Dalam pengelolaan data, terdapat juga keterbatasan dimana dalam perhitungan insiden, jumlah populasi beresiko di setiap propinsi untuk seluruh tahun (2004-2008), menggunakan jumlah populasi beresiko seluruh propinsi di Indonesia pada tahun 2005. Selain itu, untuk uji korelasi, data insiden penyakit campak pada tahun 2008 hanya sampai pada bulan keempat (April). 43

44 6.2 Pembahasan Hasil Penelitian 6.2.1 Gambaran Epidemiologi Penyakit Campak di Indonesia Tahun 2004-2008 6.2.1.1 Gambaran Penyakit Campak Berdasarkan Variabel Umur Menurut grafik insiden campak berdasarkan kelompok umur di Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, insiden campak tertinggi pada setiap tahunnya terjadi pada kelompok umur 0-4 dan tertinggi kedua pada kelompok umur 5-9 tahun. Hal ini sama dengan angka proporsi penderita KLB campak tahun 1998 1999 di Indonesia yang juga menunjukkan proporsi terbesar pada kelompok umur 1 4 tahun dan 5 9 tahun dibandingkan kelompok umur yang lebih tua yaitu umur 10 14 tahun (www.infeksi.com). Hal ini juga sesuai dengan teori terjadinya perubahan pola dari epidemi sporadis dimana semua umur terkena, menjadi endemis dimana yang utama, menyerang anak-anak dibawah 5 tahun (Webber 1996, p.171). Selain itu, dapat disimpulkan bahwa masih banyak anak-anak umur 0-4 tahun dan umur 5-9 tahun yang belum pernah terserang campak dan tidak diimunisasi, atau jika diimunisasi, terjadi kegagalan imunisasi karena gagal membentuk antibodi, atau terjadi serokonversi setelah mendapat vaksinasi dosis pertama, atau oleh karena kerusakan rantai dingin. Karena semua orang yang belum pernah terserang penyakit campak dan mereka yang belum pernah diimunisasi serta nonresponders rentan terhadap penyakit campak. Selain itu, di negara-negara dengan program imunisasi yang efektif untuk bayi dan anak-anak, pada umumnya Campak menyerang anakanak yang tidak diimunisasi atau anak-anak yang lebih besar, remaja atau dewasa muda yang hanya menerima vaksin satu dosis (Chin 2000, p.397). Masih banyaknya anak-anak yang tidak diimunisasi dosis pertama disebabkan oleh karena sering terlewatnya imunisasi campak karena biasanya anak sudah selesai

45 menjalani imunisasi pada usia 5 bulan, sementara imunisasi campak baru diberikan setelah berusia 9 bulan (Indonesia.go.id). Terserangnya anak-anak kelompok umur 0-4 tahun dan 5-9 tahun yang belum pernah terkena penyakit campak dan tidak diimunisasi disebabkan oleh karena bayi yang baru lahir dari ibu yang pernah menderita campak hanya terlindungi kira-kira selama 6-9 bulan pertama atau lebih lama tergantung dari titer antibodi maternal yang tersisa pada saat kehamilan dan tergantung pada kecepatan degradasi antibodi tersebut. Selain itu bayi yang baru lahir dari ibu yang memperoleh kekebalan karena vaksinasi campak, hanya menerima antibodi pasif dari ibunya lebih sedikit jika dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang mendapatkan kekebalan alamiah, sehingga membutuhkan imunisasi campak pada usia yang lebih dini dari jadwal yang biasanya dilakukan (Chin 2000, p.398-399). Kegagalan dalam imunisasi campak diperkirakan oleh karena kegagalan membentuk antibodi atau terjadi serokonversi. Diperkirakan sampai dengan 15% dari vaksinasi yang dilakukan pada bayi umur 9 bulan mengalami kegagalan dalam pembentukan kekebalan (WHO 2003, p.52). Hal ini terjadi oleh karena diketahui bahwa antibodi maternal dapat menggangu respon terhadap vaksin yang menyebabkan kegagalan pembentukan antibodi (Chin 2000, p.398-399). Selain itu kegagalan imunisasi juga bisa disebabkan oleh karena kerusakan rantai dingin dimana diketahui bahwa vaksin campak 90% efektif jika rantai dingin tidak rusak (Webber 1996, p.172). Dengan beberapa alasan diatas, dapat disimpulkan pentingnya untuk cakupan imunisasi campak lebih dari 90% untuk menghentikan penularan virus ini (WHO 2003, p.52). Selain itu penting juga untuk melakukan pemberian vaksin campak rutin 2 dosis seperti di Amerika, dengan dosis awal diberikan pada

46 umur 12-15 bulan atau sesegera mungkin setelah usia itu. Dosis kedua diberikan pada saat masuk sekolah (umur 4-6 tahun) namun dapat juga dosis kedua ini diberikan sedini mungkin, 4 minggu setelah dosis pertama dalam situasi dimana risiko untuk terpajan campak sangat tinggi. Selain itu, bisa juga dilakukan pemberian vaksin campak rutin 3 dosis seperti yang direkomendasikan jika terjadi KLB di masyarakat dimana usia yang direkomendasikan menggunakan vaksin campak monovalent dapat diturunkan menjadi 6-11 bulan, dosis kedua kemudian diberikan pada umur 12-15 bulan dan dosis ketiga pada waktu masuk sekolah (Chin 2000, p.400). Selain mengenai belum tidak diimunisasi dosis pertama dan kegagalan vaksinasi, disimpulkan penting untuk lebih memfokuskan pencegahan pada kelompok umur 0-4 tahun dan 5-9 tahun. Hal ini disebabkan oleh karena dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 kelompok umur ini yang memiliki insiden tertinggi setiap tahunnya. 6.2.1.2 Gambaran Penyakit Campak Berdasarkan Variabel Propinsi Menurut tabel insiden campak berdasarkan propinsi Per 10.000 Penduduk, diketahui bahwa pada tahun 2004 dan 2005, insiden tertinggi terjadi di propinsi DKI Jakarta, hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa campak endemis di masyarakat metropolitan (Chin 2000, p.397). Selain itu, diketahui juga bahwa penularan penyakit campak lebih mudah terjadi pada perumahan rakyat yang padat, daerah yang kumuh dan miskin, serta daerah yang populasinya padat (USAID 2003, p.226), sehingga membuat propinsi DKI Jakarta sebagai propinsi yang memiliki insiden Campak yang tertinggi pada tahun 2004 dan 2005 karena memiliki kepadatan penduduk yang paling tinggi di Indonesia yaitu 13.344 penduduk per Km 2 (BPS, 2005). Tetapi, di Indonesia pada tahun 2006 dan tahun 2007, insiden campak

47 tertinggi tidak terjadi pada propinsi yang padat penduduknya yaitu pada propinsi Sulawesi Selatan yang kepadatan penduduknya 136 penduduk per Km 2 pada tahun 2006, dan propinsi Kalimantan Timur yang kepadatan penduduknya 12 penduduk per Km 2 pada tahun 2007 (BPS, 2005). Selain itu, diperkirakan bahwa tingginya insiden campak di propinsi DKI Jakarta pada tahun 2004 dan 2005 disebabkan oleh kegagalan pembentukan antibodi pada anak-anak yang sudah mendapat vaksinasi campak pertama (Chin 2000, p.397), hal ini terjadi oleh karena cakupan imunisasi rutin campak yang tinggi di DKI Jakarta pada tahun 2004 sebesar 104.04% dan tahun 2005 sebesar 108,13%, dimana cakupan imunisasi campak diatas 90% dapat menghentikan transmisi virus campak (WHO 2003, p.52). Dan untuk insiden tertinggi yang terjadi di Sulwesi Selatan pada tahun 2006 dan di Kalimantan Timur pada tahun 2007 diperkirakan oleh penguatan surveilans campak pada kedua propinsi tersebut. Hal ini disebabkan oleh peningkatan insiden campak yang cukup besar yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur dari tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan insiden terendah yang terjadi pada propinsi Bengkulu pada tahun 2004, dan Nusa Tenggara Barat serta Maluku pada tahun 2005, diperkirakan terjadi oleh karena keberhasilan vaksinasi pertama karena diketahui bahwa cakupan imunisasi pada ketiga propinsi tersebut cukup tinggi dimana cakupan imunisasi di Bengkulu pada tahun 2004 sebesar 85,04%, Nusa Tenggara Barat sebesar 91,00% dan maluku sebesar 81,43% pada tahun 2005. Tetapi, hal ini dapat juga terjadi oleh karena pelaksanaan surveilans campak yang kurang baik karena menurut data surveilans campak pada tahun 2005, diketahui bahwa propinsi Nusa Tenggara Barat mengirimkan data kasus campak tahun sebelumnya sampai bulan Mei, dan tidak

48 mengirimkan data kasus campak dari bulan Juni sampai Oktober (SubDit Surveilans, 2005). Insiden terendah di Sulawesi Barat pada tahun 2006 juga terjadi oleh karena pelaksanaan surveilans campak yang kurang baik, hal ini terlihat pada data surveilans campak pada tahun 2006, dimana propinsi Sulawesi Barat tidak melaporkan data kasus campak kepada SubDit Surveilans DepKes RI pada tahun 2006. Dan insiden terendah yang terjadi di propinsi DI Yogyakarta pada tahun 2007, diperkirakan terjadi oleh karena tingginya cakupan imunisasi campak yaitu sebesar 100.19% pada tahun 2007. 6.2.1.3 Gambaran Penyakit Campak Berdasarkan Variabel Bulan dan Tahun Berdasarkan grafik insiden campak di Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, diketahui bahwa terjadi peningkatan insiden pada tahun 2005 menjadi 7,40 per 10.000 penduduk, hal ini terjadi karena adanya peningkatan insiden campak di 20 propinsi di Indonesia pada tahun 2005. Peningkatan insiden campak ini diperkirakan karena terjadi penurunan cakupan imunisasi campak dari tahun 2004 dimana cakupan rata-rata seluruh propinsi sebesar 87.83% menjadi 85.66% pada tahun 2005. Peningkatan kasus tersebut disebabkan tidak tercapainya herd immunity yang diperoleh bila cakupan imunisasi telah mencapai lebih dari 90% (Swartz, 1984 dalam: Dick, 1985). Selain itu, pada tahun 2005 tersebut terdapat 21 propinsi yang cakupan imunisasi campaknya dibawah 90% yang memungkinkan penularan pada masyarakat yang rentan pada propinsi tersebut. Tetapi, penurunan cakupan imunisasi campak di 13 propinsi di Indonesia dari tahun 2004, tidak seluruhnya diikuti dengan peningktan insiden campak pada tahun 2005. Dari 13 propinsi yang mengalami penurunan cakupan imunisasi campak

49 tersebut hanya 10 propinsi yang mengalami peningkatan insiden campak. Sedangkan dari 17 propinsi yang mengalami peningkatan cakupan imunisasi campak, terdapat 11 propinsi yang mengalami peningkatan insiden campak pada tahun 2005, termasuk DI Aceh dan Sumatera Utara yang merupakan propinsi yang melaksanakan kampanye imunisasi campak pada tahun 2005. Bisa dikatakan, kampanye imunisasi campak meningkatkan insiden campak di DI Aceh dan Sumatera Utara. Diperkirakan peningkatan insiden campak pada tahun 2005 ini juga disebabkan oleh penguatan surveilans campak yang memiliki tujuan untuk memperkuat surveilans PD3I dan mengetahui gambaran epidemiologi kasus campak sebelum dan sesudah kampanye imunisasi campak dan mengukur dampak kampanye imunisasi campak (SubDit Surveilans DepKes RI, 2007). Dengan adanya penguatan surveilans campak ini, dapat diketahui kasus campak yang tidak terlaporkan, dimana diperkirakan dari estimasi 40 juta kasus campak yang terjadi tiap tahunnya, kurang dari 5% yang terlaporkan (WHO 1996, p.39). Untuk peningkatan insiden campak pada tahun 2006, diperkirakan bukan disebabkan oleh cakupan imunisasi campak, karena terjadi peningkatan cakupan imunisasi menjadi 87.99% dari tahun 2005 (85.66%). Hal ini didukung juga oleh data bahwa dari 11 propinsi di Indonesia yang terjadi penurunan cakupan imunisasi campak pada tahun 2006 dari tahun 2005, hanya 3 propinsi yang mengalami peningkatan insiden campak, sedangkan 8 propinsi lainnya yang mengalami penurunan cakupan imunisasi campak, mengalami penurunan insiden campak. Selain itu, 20 propinsi yang mengalami peningkatan cakupan imunisasi campak pada tahun 2006 dari tahun 2005, hanya 7 propinsi yang mengalami penurunan insiden campak, 13 propinsi lainnya yang mengalami peningkatan insiden campak pada tahun 2006.

50 Selain itu, dari 14 propinsi yang melaksanakan kampanye imunisasi campak pada tahun 2006, terjadi peningkatan insiden campak pada 7 propinsi dari tahun sebelumnya. Sama seperti yang terjadi pada DI Aceh dan Sumatera Utara, kampanye imunisasi campak, bisa dikatakan meningkatkan insiden campak. Dan sama seperti tahun 2005, diperkirakan peningkatan insiden campak pada tahun 2006 ini disebabkan oleh penguatan surveilans campak yang memiliki tujuan untuk memperkuat surveilans PD3I dan mengetahui gambaran epidemiologi kasus campak sebelum dan sesudah kampanye imunisasi campak dan mengukur dampak kampanye imunisasi campak di seluruh propinsi di Indonesia (SubDit Surveilans DepKes RI, 2007). Sedangkan penurunan insiden campak pada tahun 2007, diperkirakan oleh karena peningkatan cakupan imunisasi campak pada tahun 2007 menjadi 88.07% dari tahun sebelumnya. Selain itu, penurunan insiden campak pada tahun 2007, disebabkan juga oleh karena penurunan populasi yang beresiko yang terjadi oleh karena populasi yang terkena campak pada tahun 2005 dan 2006 memiliki imunitas yang bertahan seumur hidup (Chin 2000, p.398). Dan diperkirakan penurunan populasi yang beresiko terkena campak ini disebabkan oleh karena kampanye imunisasi campak yang sudah dilaksanakan pada 16 propinsi pada tahun 2005 dan 2006. Hal ini terbukti dengan penurunan insiden campak dari tahun sebelumnya pada seluruh propinsi yang sudah melaksanakan kampanye imunisasi campak kecuali pada propinsi Sumatera Selatan. Tetapi, walaupun terjadi penurunan insiden rata-rata pada tahun 2007, terjadi juga peningkatan insiden yang cukup tinggi pada propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,

51 Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, dimana diketahui bahwa seluruh propinsi tersebut adalah propinsi yang melaksanakan kampanye imunisasi campak pada tahun 2007. Hal ini mungkin juga terjadi oleh karena penguatan surveilans campak. Dan untuk tahun 2008, belum bisa diketahui ada tidaknya peningkatan insiden campak, karena data yang ada baru sampai pada bulan keempat. Untuk insiden campak berdasarkan bulan pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, diketahui bahwa puncak kasus campak disetiap tahunnya berbeda-beda dimana pada tahun 2004 puncak kasus terjadi pada bulan Maret dan September, pada tahun 2005 dan 2006 puncak kasus terjadi pada bulan Maret, Mei, dan September, pada tahun 2007 puncak kasus terjadi pada bulan Januari dan September, sedangkan pada tahun 2008 sampai bulan keempat, puncak kasus terjadi pada bulan February. Tetapi diketahui bahwa terjadi kesamaan puncak kasus pada tahun 2004, 2005, 2006, dan 2007 yaitu terjadi pada bulan September. Selain itu, insiden rata-rata dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, diketahui bahwa insiden rata-rata tertinggi terjadi pada bulan September. Perbedaan terjadinya puncak kasus ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa peningkatan kasus campak biasanya terjadi pada musim panas (USAID 2003, p.226). Hal ini terjadi oleh karena pergantian musim yang terjadi tidak beraturan beberapa tahun belakangan ini di Indonesia..

52 6.2.2 Gambaran Cakupan Imunisasi Campak Berdasarkan Propinsi di Indonesia Dari tabel dan grafik cakupan imunisasi kampanye campak diketahui bahwa cakupan imunisasi kampanye campak tertinggi terjadi di propinsi Kalimantan Tengah. Menurut USAID, perencanaan untuk menurunkan kematian karena campak seharusnya terdiri dari tujuan yang jelas dan kegiatan untuk memperkuat imunisasi rutin dengan melakukan imunisasi tambahan disertai dukungan dana dan teknis, diperkirakan propinsi Kalimantan Tengah sudah memenuhi hal tersebut. Sedangkan cakupan imunisasi kampanye terendah terjadi pada propinsi Sumatera Barat yang mungkin belum memiliki perencanaan dengan tujuan yang jelas dan dukungan dana serta teknis dalam memperkuat imunisasi rutin dengan melakukan imunisasi tambahan untuk menurunkan kematian akibat Campak (USAID 2003, p.230). 6.2.3 Hasil Uji Korelasi Antara Cakupan Imunisasi Kampanye Campak Dengan Insiden Penyakit Campak Satu Tahun Sesudah Kampanye Imunisasi Campak di Seluruh Propinsi di Indonesia Diketahui bahwa peningkatan cakupan imunisasi kampanye campak, menurunkan insiden campak satu tahun sesudah kampanye campak di seluruh propinsi di indonesia. Hal ini sesuai dengan yang terjadi di beberapa negara di Eropa Timur, dimana peningkatan cakupan imunisasi menyebabkan penurunan yang dramatis jumlah kasus campak (WHO 2003, p.52). Hasil ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan CDC tahun 2001 di Belanda, yang diketahui rendahnya cakupan imunisasi campak di suatu wilayah, berkontribusi terhadap tingginya kasus campak di wilayah itu (CDC, 2001). Selain itu, penelitian lain yang dilakukan CDC di Afganistan pada tahun 2002, diperkirakan 30.000-35.000 kematian per tahun

53 disebabkan oleh campak dimana cakupan imunisasi campak di negara pasca perang tersebut sangat rendah (40%-47%) (CDC, 2002). Hasil ini juga sama dengan hasil korelasi cakupan imunisasi campak dengan insiden campak pada balita di Kota Madya Jakarta Pusat Tahun 2001-2005, menyatakan peningkatan cakupan imunisasi campak menurunkan insiden penyakit campak pada balita (Nugroho, 2006).