BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM

Bab IV Hasil Analisis dan Diskusi

Geokimia Minyak & Gas Bumi

Bab III Teori Dasar III.1 Kekayaan Material Organik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM

Bab I Pendahuluan. Peta lokasi daerah penelitian yang berada di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Satyana, 2005). Lokasi daerah penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

UNIVERSITAS DIPONEGORO

Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi pada Batuan Induk Formasi X Cekungan Y. Proposal Tugas Akhir. Oleh: Vera Christanti Agusta

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN MAKSUD

UNIVERSITAS DIPONEGORO STUDI FAMILI MINYAK DI LAPANGAN EDELWEISS DAN CRISAN SERTA KORELASI TERHADAP KEMUNGKINAN BATUAN INDUK, CEKUNGAN JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus

KANDUNGAN MATERIAL ORGANIK DAN SIFAT GEOKIMIA BATULEMPUNG PALEOGEN DAN NEOGEN DI CEKUNGAN SERAYU: Suatu Analisis Potensi Batuan Induk Hidrokarbon

STUDI GEOKIMIA DAN PEMODELAN KEMATANGAN BATUAN INDUK FORMASI TALANGAKAR PADA BLOK TUNGKAL, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

Bab III Interpretasi Data Geokimia

STUDI BATUAN INDUK HIDROKARBON DI CEKUNGAN JAWA TIMUR BAGIAN BARAT TESIS

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat

KARAKTERISASI DAN KORELASI GEOKIMIA BATUAN INDUK DAN MINYAK DI BLOK JABUNG, SUB-CEKUNGAN JAMBI, CEKUNGAN SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR

FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. lapangan minyak baru di Indonesia diyakini masih tinggi walaupun semakin sulit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kerogen tipe III. - H/C < 1,0 dan O/C > 0,3 - Menghasikan minyak. Kerogen tipe IV

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ESTIMASI SUMBER DAYA HIDROKARBON PADA FORMASI PARIGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO ANALISIS GEOKIMIA HIDROKARBON DAN ESTIMASI PERHITUNGAN VOLUME HIDROKARBON PADA BATUAN INDUK AKTIF, CEKUNGAN JAWA TIMUR UTARA

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis

HUBUNGAN ANTARA GEOKIMIA MINYAK BUMI DAN BATUAN INDUK DI SUB-CEKUNGAN ARDJUNA TENGAH, CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA

PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

STUDI GEOKIMIA HUBUNGAN BATUAN INDUK CINTAMANI DAN JANTUNG DENGAN MINYAK BUMI BLOK OK, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu

Geokimia Organik 5. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi - Pembentukan Minyak Bumi - Pentingnya Waktu dan Suhu dalam Pembentukan Minyak Bumi

PENENTUAN KEMATANGAN MINYAK BUMI (CEUDE OIL) SUMUR MINYAK PETAPAHAN-KAMPAR, RIAU DENGAN MENGGUNAKAN PARAMETER ISOPRENOID

ANALISIS GEOKIMIA HIDROKARBON LAPANGAN X CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

Penggunaan Parameter Geokimia Isoprenoid untuk Menentukan Tingkat Kematangan Minyak Bumi (Crude Oil) Sumur Minyak Langgak Riau

Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah Dengan Parameter Tipe Material Asal, Kekayaan Dan Kematangan

II Kerogen II Kematangan II.2.2 Basin Modeling (Pemodelan Cekungan) II.3 Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN...

PREDIKSI TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) MENGGUNAKAN REGRESI MULTILINEAR DENGAN PENDEKATAN DATA WELL LOG

PENDAHULUAN Latar Belakang

KAJIAN KORELASI GENETIKA GEOKIMIA MOLEKULAR MINYAK BUMI CEKUNGAN SUMATRA TENGAH, RIAU

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel...

Karakterisasi Dan Penentuan Kematangan Minyak Mentah (Crude Oil Langgak, Riau

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

Qi Adlan Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

KARAKTERISTIK CONTO BATUAN SERPIH MINYAK FORMASI SANGKAREWANG, DI DAERAH SAWAHLUNTO - SUMATERA BARAT, BERDASARKAN GEOKIMIA ORGANIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

Minyak dan gas bumi merupakan sumber energi yang. tidak dapat diperbaharui. Kebutuhan minyak bumi tidak hanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Lempeng mikro Sunda. Pada awalnya Cekungan Asri merupakan satu bagian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

Potensi Batuan Induk Batu Serpih dan Batu Lempung di Daerah Watukumpul Pemalang Jawa Tengah

BIOMARKER SEBAGAI INDEKS KEMATANGAN TERMAL MINYAK BUMI LAPANGAN TARAKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya (International Energy Agency, 2004). Menurut laporan dari British

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan eksplorasi migas untuk mengetahui potensi sumber daya

PENYELIDIKAN BITUMEN PADAT DAERAH WINDESI DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TELUK WONDAMA, PROVINSI PAPUA BARAT

BAB II TEORI DASAR 2.1 Pemodelan Geohistori Pemodelan Geohistori Burial

OLEH : Ayu Puji Budiarti ( ) Pembimbing : Prof. Dr. R. Y. Perry Burhan

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki lahan tambang yang cukup luas di beberapa wilayahnya.

STUDI GEOKIMIA BATUAN INDUK AKTIF PRA-TERSIER CEKUNGAN AKIMEUGAH, LEPAS PANTAI PAPUA SELATAN

Prediksi Log TOC dan S2 dengan Menggunakan Teknik Log Resistivity

Oleh : Ahmad Helman Hamdani NIP

STUDI KARAKTERISASI MINYAK BUMI BERDASARKAN SIDIKJARI BIOMARKER DI INDONESIA BAGIAN BARAT ANGGI YUSRIANI

EVALUASI BATUAN INDUK SAMPLE BATUAN SEDIMEN FORMASI TALANG AKAR DI DAERAH LENGKITI, OGAN KOMERING ULU, SUMATERA SELATAN

KORELASI KARAKTER BIOMARKA BATUBARA MEDIUM RANK KALIMANTAN TIMUR DENGAN PRODUK PENCAIRANNYA

BAB VIII SENYAWA ORGANIK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

GEOKIMIA MINYAK BUMI

PENGGUNAAN ZEOLIT Y SINTESIS SEBAGAI PENYARING MINYAK BUMI ASAL DlURI RIAU

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi

BAB IV STUDI KHUSUS GEOKIMIA TANAH DAERAH KAWAH TIMBANG DAN SEKITARNYA

GENESIS DAN KARAKTERISASI GEOKIMIA DI LAPANGAN SUBAN, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN TESIS MAGISTER OLEH MOHAMMAD KUSUMA UTAMA NIM:

Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Material, Universitas Indonesia 3)

KARAKTERISTIK BATUAN INDUK HIDROKARBON DAN HUBUNGANNYA DENGAN REMBESAN MINYAK DI LAPANGAN MINYAK CIPLUK, KABUPATEN KENDAL, PROVINSI JAWA TENGAH

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Voltametri

KARAKTERISASI BIOMARKER DAN PENENTUAN KEMATANGAN TERMAL MINYAK MENTAH (CRUDE OIL) DARI SUMUR MINYAK MINAS (OSM-1)

BAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK FARMASI PERCOBAAN I PERBEDAAN SENYAWA ORGANIK DAN ANORGANIK

BAB I PENDAHULUAN. Cooling tower system merupakan sarana sirkulasi air pendingin yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Katalis CaO Terhadap Kuantitas Bio Oil

Potensi Batuan Induk Hidrokarbon Serpih Gumai Di Talang Padang, Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung

TUGAS MATA KULIAH GEOLOGI MINYAK TAHUN AJARAN 2011 / 2012

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau Kampus Binawidya, Pekanbaru, 28293, Indonesia

Kromatografi Gas-Cair (Gas-Liquid Chromatography)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur atom, dan Tabel periodik unsur,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI Korelasi geokimia petroleum merupakan salah satu pendekatan untuk pemodelan geologi, khususnya dalam memodelkan sistem petroleum. Oleh karena itu, studi ini selalu dilakukan dalam ekplorasi migas. Korelasi geokimia adalah perbandingan dua atau lebih sampel berdasarkan properti kimia dari sampel-sampel tersebut. Dalam konteks petroleum, korelasi bertujuan untuk menentukan hubungan genetis antara kelompok sampel minyak dan usulan (perkiraan) batuan induk. Hasil korelasi yang positif (batuan induk dan minyak cocok secara genetis) merupakan sebuah konfirmasi atas konsep yang diujikan. Namun demikian hasil korelasi yang negatif dapat mendatangkan ide atau konsep baru bagi model sistem petroleum. Dalam korelasi, yang pertama dilakukan adalah mengklasifikasikan batuan induk dan minyak berdasarkan data geologi dan data yang telah ada. Setelah itu dilakukan analisis mengenai hubungan minyak-batuan induk, apakah minyak pada suatu kelompok berasal dari batuan induk yang sedang diteliti. 2.1 Batuan Induk Secara umum, batuan induk adalah batuan yang mampu menghasilkan ataupun telah menghasilkan hidrokarbon dengan kuantitas tertentu. Waples (1985) membagi batuan induk menjadi tiga jenis, yaitu: Batuan induk potensial (potential source rock), merupakan batuan yang mengandung materi organik dalam jumlah yang cukup untuk menghasilkan dan mengeluarkan hidrokarbon hanya jika kematangan atas kenaikan temperatur terpenuhi. Batuan induk efektif (effective source rock), merupakan batuan dengan materi organik yang sedang menghasilkan dan mengeluarkan hidrokarbon untuk membentuk akumulasi hidrokarbon dalam jumlah yang ekonomis. 8

Mungkin batuan induk (possible source rock), merupakan batuan sedimen yang memiliki kemungkinan membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon, namun belum pernah dievaluasi potensinya. Selain ketiga tipe ini, Law (1999) juga menambahkan tipe: Sisa batuan induk efektif (relic effective source rock), yaitu batuan induk efektif yang berhenti menghasilkan dan mengeluarkan hidrokarbon akibat perisitiwa pendinginan seperti pengangkatan atau erosi. Batuan induk tidak ekonomis (spent source rock), yaitu batuan induk yang menghasilkan dan mengeluarkan hidrokarbn secara aktif walaupun tidak kaya akan materi organik ataupun telah mencapai fasa terlalu matang (overmature). Untuk menjadi batuan induk, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan yaitu: 1. Kuantitas material organik 2. Kualitas material organik (tipe material organik) 3. Kematangan material organik Pembahasan mengenai material organik tidak akan lepas dari istilah kerogen. Kerogen secara singkat dapat didefinisikan sebagai material organik dalam batuan induk yang menghasilkan minyak ketika terpanaskan. 2.1.1 Kuantitas Material Organik Kuantitas atau jumlah material organik yang terdapat di dalam batuan sedimen dinyatakan sebagai karbon organik total atau dikenal dengan Total Organic Carbon (TOC). TOC didefinisikan sebagai jumlah karbon organik yang dinyatakan sebagai persen berat dari batuan kering (dry rock). Karbon organik yang dimaksud merupakan karbon yang berasal dari zat organik dan bukan berasal dari karbonat (misalnya gamping). Terdapat nilai TOC minimum untuk menyatakan suatu batuan sedimen dapat menjadi batuan induk. Nilai TOC minimum ini pun tidak sama menurut beberapa peneliti. Menurut Waples (1985), rentang nilai TOC minimum adalah 0,5-1,0%. 9

Skala nilai TOC batuan sedimen dari Waples (1985) menjadi standar yang umum digunakan sebagai indikasi potensi batuan induk yang kemudian dimodifikasi menjadi seperti pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Indikasi Potensi Batuan Induk Berdasarkan TOC Implikasi batuan induk TOC (% berat) Potensi rendah < 0,5 Kemungkinan sedikit berpotensi 0,5 10 Kemungkinan cukup berpotensi 1,0 2,0 Kemungkinan berpotensi baik 2,0 5,0 Kemungkinan sangat baik 5,0 20,0 Kemungkinan batubara >20,0 Batuan yang mengandung TOC < 0,5% dapat dikatakan berpotensi rendah dan miskin material organik. Jumlah hidrokarbon batuan ini tidak cukup untuk terekspulsi dan kerogen yang ada cenderung akan teroksidasi. Batuan dengan TOC antara 0,5% dan 1,0% berada pada batas antara berpotensi rendah dan baik. Batuan ini kemungkinan besar tidak menjadi batuan induk yang sangat efektif tapi tetap dapat menghasilkan hidrokarbon. Namun kerogen dalam batuan sedimen dengan kandungan TOC < 1% umumnya akan teroksidasi. Batuan sedimen dengan TOC > 1% secara umum memiliki potensi yang besar. Pada beberapa batuan, TOC antara 1 dan 2% berasosiasi dengan lingkungan pengendapan pertengahan antara oksidasi dan reduksi yang merupakan tempat terjadinya pengawetan material organik yang kaya akan lemak dan berpotensi membentuk minyak bumi. Sementara itu, TOC dengan nilai lebih dari 2% umumnya menandakan lingkungan reduksi dengan potensi yang lebih baik lagi. Harga TOC merupakan parameter awal untuk menentukan analisis lebih lanjut. Namun demikian, kualitasnya harus menjadi parameter penentu berikutnya, mengingat bahwa TOC yang tinggi boleh jadi merupakan akibat terkandungnya material kekayuan (woody) yang telah teroksidasi. Jika kasus ini yang terjadi, maka 10

batuan tersebut tidak berpotensi menjadi batuan induk walaupun harga TOC-nya tinggi. 2.1.2 Kualitas Material Organik Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, kuantitas karbon organik tidak sematamata dapat menunjukkan potensi batuan induk menjadi batuan sedimen. Kualitas yang dimaksud salah satunya adalah tipe material organik yang terkandung. Tipe material organik merupakan penentu sifat dasar dari produk petroleumnya, minyak atau gas. Seperti yang telah disebutkan bahwa material organik dalam batuan induk yang menghasilkan minyak (pada keadaan yang memenuhi syarat) disebut dengan kerogen. Hunt (1967) dan Allen dan Allen (1990) dalam Subroto (2004) mendefinisikan kerogen secara spesifik, yaitu bagian dari material organik dalam batuan sedimen yang tidak larut dalam asam non oksidasi, basa dan pelarut organik biasa. Sifat tidak larut ini dipengaruhi oleh ukuran molekulnya. Perbedaan tipe kerogen dapat diidentifikasi dari konsentrasi lima unsur primer yaitu karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur. Tidak semua tipe akan menghasilkan minyak. Tabel 2.2 menunjukkan empat tipe kerogen (Waples, 1985). Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa dari empat tipe kerogen yang ada, hanya dua yang cenderung menghasilkan minyak, yaitu tipe I dan tipe II. Tipe III cenderung menghasilkan gas, dan tipe IV merupakan karbon yang telah mati. Untuk mengklasifikasikan tipe kerogen, metode yang digunakan adalah pembuatan grafik antara atom indeks hidrogen dan indeks oksigen (dikenal dengan nama diagram van Kravelen). Selain diagram van Kravelen, dapat pula digunakan perbandingan antara harga indeks hidrogen dengan Tmaks. 11

Tabel 2.2 Tipe kerogen, asal, penyusun organik dan sifat kimianya (Waples, 1985). Alga laut Hancuran alga Fitoplankton, zooplankton Minyak Kulit-kulit spora dan polen. Kutikula daun dan tumbuhan hijau. Serat tanaman dan fragmen kayu, zat humus terkoloid Minyak lilinan Gas Material kayu terokoksidasi 2.1.3 Kematangan Material Organik Kematangan material organik dapat dianalisis dari nilai Tmaks dan reflektansi vitrinit (Ro). Tmaks merupakan temperatur pada saat laju maksimum pirolisis yang dapat dipergunakan sebagai indikator kematangan. Nilai Tmaks akan berbanding lurus dengan kematangan. Nilai parameter ini diperoleh bersama dengan data pirolisis lainnya. Reflektansi vitrinit (Ro) juga merupakan parameter kematangan. Ini didasarkan pada fakta bahwa kenaikan temperatur akan meningkatkan kilap atau reflektansi dari maseral vitrinit. Tabel 2.3 menunjukkan klasifikasi kematangan berdasarkan Tmaks dan Ro dari Peters dan Cassa (1994). 12

Tabel 2.3 Parameter-parameter kematangan (Peters dan Cassa, 1994). Kematangan Maturation Generation Belum matang Matang Ro (%) Tmaks ( C) TAI Bit/TOC Bitumen (mg/g) 0,20-0,60 <435 1,5-1,26 <0,05 <50 <0.10 Awal 0,60-0,65 435-445 2,6-2,7 0,05-0,10 50-100 0,10-0,15 Puncak 0,65-0,90 445-450 2,7-2,9 0,15-0,25 150-250 0,25-0,40 Akhir 0,90-1,35 450-470 2,9-3,3 -- -- >0,40 Terlalu matang >1,35 >470 >3,3 -- -- -- Ro: Reflektansi vitrinit Tmaks: Temperatur maksimum saat pirolisis TAI: Indeks Alterasi Termal PI Bit/TOC: Bitumen / Karbon Organik Total PI: Indeks produksi 2.2 Minyak Bumi dan Ekstrak Dalam membandingkan sampel minyak dan batuan induk maupun minyak lain, terdapat tiga jenis parameter yaitu unsur, isotop, dan molekular (Waples dan Curiale, 1999). Parameter molekular atau disebut dengan biomarker pada geokimia petroleum memiliki presisi paling tinggi dibandingkan tipe lainnya. Data biomarker dapat diambil dengan beberapa teknik geokimia seperti Gas Chromatography (GC), Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC/MS), Pyrolisis-Gas Chromatography (Py-GC) dan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Dalam studi ini, teknik yang digunakan adalah GC dan GC/MS. Dengan teknik GC, dari sampel berupa saturat didapatkan distribusi n-alkana dan isoprenoid yang dapat digunakan untuk analisis asal material organik, lingkungan pengendapan, kematangan, korelasi, zona kedalaman dari sumur, dan biodegradasi. Sementara itu GC/MS dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengukur senyawa 13

yang hadir dalam tingkat konsentrasi rendah yang tidak dapat dipisahkan dengan kromatogram gas. Teknik ini dilakukan dengan SIM (Selected Ion Monitoring) yang memonitor sebuah ion dalam satu waktu, namun dapat dijalankan secara paralel. Dalam penelitian tugas akhir ini, didapatkan distribusi terpana dan sterana melalui teknik GC/MS. 2.2.1 Biomarker Umum Biomarker (biological marker, molecular fossil) dalam geokimia petroleum berdasarkan Peters dan Moldowan (1993) adalah senyawa organik kompleks yang tersusun atas unsur karbon (C), hidrogen (H), dan unsur lainnya yang ditemukan dalam minyak, bitumen, batuan dan sedimen serta menunjukan sedikit atau tanpa perubahan dalam strukturnya dari molekul organik asalnya (organisme hidup). Definisi ini menjadi dasar analisis geokimia petroleum untuk korelasi antara batuan induk dan minyak yang dengan menunjukkan kematangan, asal material organik maupun lingkungan pengendapan. 2.2.2 Biomarker Penunjuk Kematangan Beberapa jenis biomarker dapat diandalkan untuk menentukan kematangan. Untuk alkana normal (n-alkanes), kematangan dapat ditentukan dari nilai Carbon Preference Index (Peters dan Moldowan, 1993). Mengacu pada Peter dan Moldowan (1993), sterana dan triterpana juga digunakan untuk menunjukkan kematangan yang berkaitan dengan tahap pembentukan minyak dan nilai reflektansi vitrinit. Setelah tahap pembentukan minyak memasuki jendela gas, biomarker terpana dan sterana tidak lagi dapat diandalkan sebagai penunjuk kematangan. Oleh karena itu setelah tahap akhir pembentukan minyak digunakan parameter geokimia aromatik. 2.2.3 Biomarker Penunjuk Lingkungan Pengendapan dan Asal Material Organik Perbedaan lingkungan pengendapan dicirikan oleh perbedaan organisme asal material dan biomarker. Secara umum, organisme asal material organik dapat digolongkan menjadi bakteri, alga, alga laut, dan tumbuhan tinggi. 14

Waples dan Curiale (1999) meringkas beberapa senyawa penting yang mengindikasikan asal material organik tertentu, dan lingkungan pengendapan tertentu pula (Tabel 2.4). Tabel 2.4 Senyawa penanda organisme asal (Waples dan Curiale, 1999). C27 sterana C29 sterana C30 sterana Diasterana Hopana Gamaserana Oleanana Bicadinana Senyawa CZ dan CX triterpana Organisme Marin Marine atau darat Indikasi Organisme Asal Organisme marine atau lakustrin Lingkungan klastik Bakteri 28, 30-bisnohorpana Mikroba Trisiklik terpana Diterpana Sesquiterpana Karotana Salinitas abnormal Tumbuhan generatif berusia kapur akhir atau tersier Tumbuhan darat berusia kapur akhir Material organik atau lingkungan darat Bakteri atau Tasmanites Resin darat atau mirkoba Resin tanaman darat Marin anoksik dan lingkungan lakustrin Sterana C27, C28, C29 dapat menentukan lingkungan pengendapan sekaligus mengkorelasi beberapa sampel dengan diplot dalam sebuah diagram terner kemudian dicermati distribusinya (Gambar 2.1). 15

Gambar 2.1 Diagram terner untuk menentukan lingkungan pengendapan dengan sterana C27, C28, C29 (Huang dan Meinschein, 1979 dalam Waples dan Curiale, 1999). Biomarker triterpana dapat pula mengindikasikan asal material organik dan lingkungan pengendapan dengan identifikasi pola trisiklik triterpana (Gambar 2.2) dan senyawa khas seperti oleanana dan gamaserana. Kehadiran oleanana merupakan penciri asal material organik yang lebih muda dari Kapur (lebih spesifik yaitu Zaman Tersier) sedangkan gamaserana menandakan adanya salinitas abnormal atau lingkungan pengendapan lakustrin pada daerah-daerah tertentu. Gambar 2.2 Pola trisiklik triterpana yang dapat mengindikasikan lingkungan pengendapan (Price dkk., 1987). 16

2.2.4 Teknik Korelasi Korelasi geokimia dapat dilakukan antara batuan induk dengan batuan induk, minyak dengan batuan induk, dan minyak dengan minyak. Korelasi batuan induk dengan minyak dilakukan untuk mengetahui apakah minyak berasal dari batuan induk yang dimaksud. Korelasi antara minyak dengan minyak dapat membandingkan apakah minyak dari lapangan-lapangan tertentu berasal dari sumber yang sama. Salah satu metode korelasi geokimia adalah dengan membandingkan biomarker pada sampel batuan induk dan minyak. Beberapa jenis biomarker yang digunakan antara lain alkana normal, sterana, dan triterpana. Pada alkana normal dapat ditentukan asal material organik dengan meninjau distribusi puncak C15, 17 dan 19 penanda alga, dan puncak C27, 29, dan 31 penanda tumbuhan tinggi. Dapat ditinjau pula nilai rasio pristana/fitana dengan pristana/nc17 dan fitana/nc18. Parameter-parameter tersebut dan bentuk selimut alkana normal kemudian diperbandingkan dari sampel-sampel batuan induk dan minyak. Biomarker sterana mengindikasikan lingkungan pengendapan berdasarkan diagram terner C27, C28 dan C29 (Huang dan Meinschein, 1979 dalam Waples dan Curiale, 1999). Untuk melakukan korelasi, dilakukan pengeplotan untuk setiap sampel batuan induk dan minyak. Distribusi hasil pengeplotan menunjukkan apakah sampel-sampel tersebut korelatif atau berasal dari sumber yang berbeda. Untuk biomarker triterpana, korelasi dapat dilakukan dengan membandingkan polapola trisiklik (Gambar 2.2) dari sampel batuan induk dan minyak. Ada atau tidaknya oleanana dan gamaserana dapat dijadikan penanda yang spesifik dalam kromatogram untuk mengindikasikan apakah sampel-sampel minyak berasal dari satu sumber batuan induk. 17