BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang (Sumandi dkk, 2016).

dokumen-dokumen yang mirip
MEMBANGUN ISLAMIC BANKING STRESS INDEX PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. keuangan, dan berperan penting dalam proses kelancaran sistem keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. atau keuangan yang melumpuhkan sendi-sendi perekonomian berbagai negara di

BAB I PENDAHULUAN. dan penyalur dana masyarakat. Bank juga dapat dikatakan sebagai lembaga

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/22/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYCLICAL BUFFER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pada akhir 1990-an telah menunjukkan bahwa ketidakstabilan ekonomi makro

KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN. 1. Berdasarkan hasil dari indeks ketahanan perbankan Syariah (Syariah

I. PENDAHULUAN. Perbankan Indonesia telah memainkan berbagai peranan penting dalam

I. PENDAHULUAN. memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia. menjadi financial nerve-centre (saraf finansial dunia) dalam dunia ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. keuangan yang baik akan mendorong terciptanya stabilitas sistem keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. oleh banyak ekonom terutama pelaku pasar keuangan, namun belum terdapat

Memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan di Tengah Dinamika Tantangan Global dan Domestik

I. PENDAHULUAN. melakukan berbagai transaksi bisnis dan pembayaran-pembayaran tagihan.

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan bahwa biaya pemulihan krisis di negara-negara berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. cepat dan terintegrasi dengan adanya teknologi canggih. Perkembangan teknologi

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, objek penelitian yang digunakan adalah potensi

BRIEF. Outlook Stabilitas Perbankan Indonesia Riyanto, Wahyu Pramono dan Nurani Pertiwi LPEM FEUI

Q & A TERKAIT DAMPAK SISTEMIK BANK CENTURY

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi pada arus modal eksternal, prospek pertumbuhan yang tidak pasti. Krisis

BAB I PENDAHULUAN. pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010.

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang memiliki fungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. keuangan. Menurut Undang-undang Bank Indonesia No.10 tahun 1998, bank syariah

BAB I PENDAHULUAN. Semakin terintegrasinya ekonomi domestik dengan ekonomi dunia membuat

Kebijakan Makroprudensial di. Bank Indonesia. Bank Indonesia

Pelaksanaan Fungsi Bank Indonesia Sebagai Lender Of The Last Resort Dalam Stabilitas Sistem Keuangan Oleh: Muhammad Yusuf Sihite *

BAB I PENDAHULUAN. di bidang perbankan. Bank merupakan lembaga keuangan yang peranannya

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget

Boks.3 MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN YANG EFISIEN MENUJU PERTUMBUHAN YANG BERKESINAMBUNGAN

BAB I PENDAHULUAN Sistem Keuangan dan Perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB I PENDAHULUAN. Krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2007 telah berkembang

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki karakteristik perekonomian yang

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi aktivitas perekonomian ditransmisikan melalui pasar keuangan.

PENETAPAN BANK SISTEMIK DAN CAPITAL SURCHARGE

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hyman Minsky. Teori ini melihat bahwa krisis keuangan yang ada saat ini,

RANCANGAN POJK PENETAPAN BANK YANG BERDAMPAK SISTEMIK (D-SIB) DAN CAPITAL SURCHARGE UNTUK BANK YANG BERDAMPAK SISTEMIK

2017, No Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penentuan Periode Guncangan Perbankan Syariah. Dalam mengembangkan Syariah banking robustness index (SBRI),

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 46 /POJK.03/2015 TENTANG PENETAPAN SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK DAN CAPITAL SURCHARGE

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Perekonomian tumbuh dan berkembang dengan berbagai kegiatan usaha

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan melalui laju pertumbuhan ekonomi, salah satunya ialah

BAB I PENDAHULUAN. perumahan (subprime mortgage default) di Amerika serikat. Krisis ekonomi AS

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian.

BAB I PENDAHULUAN. signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi

BAB III METODE PENELITIAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Boks 2 SURVEI INDIKATOR PERBANKAN RIAU TAHUN I. Latar Belakang

LEMBAGA KEUANGAN DAN STABILITAS KEUANGAN. Hadi Cahyono SE, MM

-2- dan/atau memperbaiki kondisi yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Sistemik. Rencana Aksi (Recovery Plan) Bank yang ditetapkan sebagai Bank Si

BAB I PENDAHULUAN. paling parah dan paling lama tingkat pemulihannya akibat krisis keuangan

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 2 /POJK.03/2018 TENTANG PENETAPAN BANK SISTEMIK DAN CAPITAL SURCHARGE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pesat dan semakin liberal. Perjanjian perjanjian perdagangan internasional telah

PENGARUH KONDISI KESEHATAN BANK DENGAN RASIO CAMELS TERHADAP PREDIKSI KEBANGKRUTAN DENGAN METODE ALTMAN Z-SCORE

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR :.../POJK.03/2017 TENTANG RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) BAGI BANK SISTEMIK

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk simpanan. Sedangkan lembaga keuangan non-bank lebih

1. PENDAHULUAN. negara berkembang maupun di negara maju. Penelitian yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini hampir semua negara-negara di dunia menganut sistem pasar bebas

Gambaran Umum: Ekonomi, Uang, dan Bank

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. peran yang sangat penting karena perbankan mempunyai fungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di

BAB I PENDAHULUAN. Sistem keuangan adalah sebuah set interaksi kompleks antara institusi keuangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengakibatkan gejolak ekonomi moneter karena inflasi akan

I. PENDUHULUAN. Index PDB Bulan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Sisitem peringatan..., Muhammad Hanri, FE UI, 2009 Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga perekonomian

RANCANGAN POJK BANK PERANTARA

BAB V. Kesimpulan dan Saran

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus dana kepada pihak yang

SIARAN PERS OJK TERBITKAN TIGA PERATURAN TINDAK LANJUT UU PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. mengidentifikasi kondisi perusahaan. keuangan perusahaan selama ini, antara lain : Metode Rasio Keuangan,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi yang berubah cepat dan kompetitif dengan

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 5/POJK.05/2013

RUU STABILITAS SISTEM KEUANGAN

Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada:

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ekonomi Kelas X BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN KTSP & K-13 A. Pengertian Bank Sentral Tujuan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari sektor perbankan. Dunia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu stabilitas sistem keuangan beberapa dekade terakhir menjadi agenda khusus bagi otoritas moneter di seluruh dunia. Kajian tentang isu stabilitas sistem keuangan diperlukan guna mengantisipasi krisis keuangan yang sering terjadi baik di negara maju maupun negara berkembang (Sumandi dkk, 2016). Di Indonesia, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan menjadi otoritas keuangan yang memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Alasan otoritas keuangan menjaga stabilitas sistem keuangan adalah untuk menjaga perekonomian supaya terhindar dari berbagai potensi risiko sistemik. Disamping itu, alasan otoritas keuangan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan adalah terkait dengan pengalaman krisis keuangan pada tahun 1997/1998 dan krisis keuangan global pada tahun 2008. Dari kedua krisis keuangan yang disebutkan sebelumnya, krisis keuangan 1997/1998 menjadi krisis yang paling parah. Dalam krisis ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan biaya untuk penyelamatan dan merehabilitasi sektor perbankan lebih dari Rp500 triliun, termasuk didalamnya bantuan likuiditas Bank Indonesia dan rekapitalisasi perbankan (Hadad dkk,2003). Krisis keuangan 1997/1998 menimbulkan risiko sistemik terhadap stabilitas perekonomian Indonesia pada saat itu, mulai dari neraca perdagangan yang timpang, GDP menurun secara signifikan, pengangguran meningkat, kemiskinan melonjak, dan 1

2 lain-lain. Sedangkan krisis global yang terjadi pada tahun 2008, tidak terlalu signifikan mempengaruhi ekonomi Indonesia. Kedua krisis keuangan ini, pada dasarnya merupakan dampak dari risiko sistemik dan dampak penularan dari krisis keuangan yang terjadi di negara Thailand dan Amerika Serikat. Menurut Bank Indonesia (2016) risiko sistemik merupakan suatu kondisi dimana adanya potensi instabilitas akibat terjadinya gangguan yang menular pada sebagian ataupun seluruh sistem keuangan karena adanya interaksi pada faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Sedangkan menurut Blancher et al (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terbentuknya risiko sistemik dapat melalui 3 fase, yaitu : a) fase build up, merupakan fase dimana gejala risiko sistemik muncul dalam sistem keuangan. Munculnya gejala risiko sistemik ini, merupakan kombinasi antara shock dan vulnerability. Kombinasi keduanya menyebabkan munculnya gejala sumber gangguan dalam sistem keuangan. Dalam fase ini, tindakan yang diambil ketika potensi risiko sistemik muncul adalah fokus pada penilaian kemungkinan terjadinya risiko sistemik dan melakukan pendeteksian krisis keuangan secara dini (early warning indicators). Fase selanjutnya adalah fase shock materialization. Fase ini adalah fase awal terjadinya krisis dalam sistem keuangan. Dalam fase ini, ketidakseimbangan dalam sistem keuangan meningkat dan rapuhnya sistem keuangan membuat

3 sistem keuangan rentan terhadap guncangan dari luar atau eksogen (misalnya, guncangan pada PDB atau fiskal, tekanan nilai tukar, tekanan harga perumahan, kegagalan institusi keuangan yang berdampak sistemik). Oleh karena itu, dalam fase ini pengukuran risiko sistemik difokuskan terutama pada penilaian potensi kerugian pada sistem keuangan dan sektor riil. Metode pengukuran risiko sistemik dalam fase ini menggunakan stress testing. Fase yang ketiga adalah fase amplification and propagation. Dalam fase ini, shock mempengaruhi sistem keuangan secara lebih luas, termasuk lembaga keuangan, pasar keuangan dan sektor lainnya, serta berpotensi terhadap sistem keuangan negara-negara lainnya. Pada fase ini, pengukuran risiko sistemik difokuskan pada interconnectedness antar lembaga keuangan dan mencegah potensi fire sale terhadap aset keuangan. Ketiga fase diatas menjadi proses terbentuknya risiko sistemik dalam sistem keuangan. Dalam fase terbentuknya risiko sistemik, institusi perbankan di Indonesia menjadi salah satu institusi dalam sistem keuangan yang sangat rentan terhadap risiko sistemik dibandingkan dengan institusi lainnya. Hal ini dikarenakan mendominasinya aset perbankan terhadap aset dalam lembaga keuangan secara nasional di Indonesia. Dominasi aset ini terlihat seperti pada Gambar 1.1 dibawah ini:

4 10% 3% 3% 5% Perbankan Dana Pensiun Perusahaan Pembiayaan Perusahaan Asuransi NAB Reksadana 79% Sumber :Otoritas Jasa Keuangan, Desember 2015. GAMBAR 1.1 Pangsa Aset Lembaga Keuangan Secara Nasional Berdasarkan Gambar 1.1, terlihat pangsa aset industri perbankan mendominasi aset lembaga keuangan secara nasional. Tercatat bahwa pada Desember 2015 aset lembaga keuangan perbankan mencapai 79%. Selain industri perbankan, industri asuransi juga memiliki porsi yang cukup besar dibandingkan dengan industri lainnya, industri asuransi memiliki porsi sebesar 10 %, disusul oleh perusahaan pembiayaan 5 %, NAB reksadana 3 % dan dana pensiun 3%. Dominasi terhadap pangsa aset keuangan secara nasional menjadikan industri perbankan sebagai salah satu industri yang berperan penting dalam pembiayaan eksternal bagi sebuah bisnis dalam suatu negara, termasuk Indonesia (Mishkin,1996). Dominasi indutri perbankan mengartikan bahwa sistem keuangan di Indonesia masih bersifat bank based economy.

5 Dominasi aset industri perbankan terhadap aset lembaga keuangan secara nasional juga terjadi pada lembaga keuangan berbasis Syariah. Dominasi industri perbankan Syariah terhadap aset lembaga keuangan berbasis Syariah dapat diamati berdasarkan Gambar 1.2 di bawah ini. 8% 6% 1% 3% Perbankan Syariah Perusahaan Asuransi Syariah Perusahaan Pembiayaan Syariah PT Pegadaian (Persero) 82% Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, Desember 2015 GAMBAR 1.2 Pangsa Aset Lembaga Keuangan Syariah Secara Nasional Gambar 1.2 diatas menggambarkan tentang mendominasinya industri perbankan Syariah terhadap aset lembaga keuangan Syariah secara nasional. Porsi perbankan Syariah sebesar 82%, asuransi Syariah sebesar 8%, perusahaan pembiayaan Syariah sebesar 6% dan seterusnya. Kedepannya porsi perbankan Syariah akan semakin meningkat terhadap aset lembaga keuangan secara nasional,

Ada Shock Tidak Ada 6 hal ini berdasarkan atas potensi pasar perbankan Syariah di Indonesia yang cukup besar karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Dominasi perbankan Syariah dalam pangsa aset lembaga keuangan Syariah secara nasional, menjadikan perbankan Syariah sebagai institusi yang rentan terekspos risiko sistemik dibandingkan dengan institusi lainnya. Dalam kaitannya dengan risiko sistemik, pada awalnya kondisi perbankan Syariah tidak bermasalah, sumber permasalahan muncul dari shock dan vulnerability. Risiko akan termaterialisasi ketika shock berinteraksi dengan vulnerability dan akan memiliki dampak sistemik apabila tidak diimbangi dengan tingkat ketahanan (resilience) yang memadai (Bank Indonesia, 2016). Terkait dengan interaksi antara shock dan vulnerability, Blancher et.al (2013) menjelaskan bahwa interaksi antara shock dan vulnerability, menghasilkan kombinasi probabilitas sebagai berikut : Vulnerability Tidak Ada Ada Tidak terjadinya potensi risiko sistemik Peningkatan probabilitas terjadinya potensi risiko sistemik Peningkatan probabilitas terjadinya potensi risiko sistemik Terjadinya potensi risiko sistemik Sumber : Blancher et.al (2013) GAMBAR 1.3 Interaksi Shock dan Vulnerability

7 a) Jika tidak ada shock dan tidak ada vulnerability, maka kondisi perbankan stabil; b) Jika ada shock namun tidak ada vulnerability, maka terdapat peningkatan probabilitas terjadinya potensi risiko sistemik relatif terhadap kondisi normal karena masih dimungkinkan terdapat unknown vulnerability. Krisis keuangan masih dapat dihindari karena elemen-elemen sistem keuangan akan memiliki ketahanan yang cukup untuk menyerap risiko. Sebagai contoh, pada waktu terjadi tekanan pada likuiditas global seperti yang terjadi pada kuartal terakhir tahun 2008, perbankan Indonesia secara system-wide sanggup menyerap risiko yang terjadi karena tidak terdapat vulnerability yang dapat menghasilkan risiko sistemik; c) Jika tidak ada shock namun ada vulnerability, maka probabilitas risiko sistemik akan meningkat. Namun seperti pada kombinasi sebelumnya, krisis keuangan pun masih dapat dihindari karena tidak ada trigger yang mengekspos vulnerability tersebut. Dalam kondisi ini, vulnerability telah terbentuk karena akumulasi risiko dari perilaku ambil risiko pada saat siklus keuangan berada dalam kondisi upswing; d) Jika terjadi shock dan terdapat vulnerability secara bersamaan, maka tergantung dari besarnya shock dan parahnya vulnerability, probabilitas terjadinya guncangan akan meningkat. Jika vulnerability berada pada sektor keuangan yang dominan seperti umumnya perbankan di emerging market, maka akan menggangu ketahanan perbankan.

8 Kondisi kolaborasi antara shock dan vulnerability menggambarkan bahwa, ketika perbankan Syariah tidak resilience atau kondisi perbankan Syariah memiliki kerentanan (vulnerability), maka akan memicu guncangan muncul, kemudian memicu imbalances pada berbagai indikator dalam perbankan Syariah. Indikator dalam perbankan Syariah kemudian akan memberikan transmisi risiko pada neraca perbankan Syariah, pada tahap ini biasanya disebut fase build up. Guna merespon hal tersebut, otoritas keuangan di beberapa negara mulai memprioritaskan upaya untuk meningkatkan ketahanan institusi dan pasar keuangan, serta upaya untuk membatasi build up risiko sistemik untuk mencegah terjadinya krisis. Dalam mencegah build up risiko sistemik, diperlukan serangkaian indikator monitoring dan metode/tools pengukuran risiko sistemik yang mampu menangkap sinyal imbalances dan dapat menilai potential losses (Bank Indonesia, 2016). Salah satu metode yang bisa digunakan adalah sistem deteksi dini (early warning system). Sistem deteksi dini ( early warning system/ews) dapat memonitoring indikator-indikator yang berpotensi memberikan transmisi risiko pada neraca perbankan Syariah. Menurut Duasa et al (2016) metode EWS dapat digunakan sebagai salah satu metode/tools surveillance dalam menjaga ketahanan perbankan Syariah di Indonesia. Sedangkan menurut Kusuma et al (2012) EWS penting bagi perbankan Syariah, karena dapat memitigasi risiko sistemik yang berpotensi muncul akibat kondisi perekonomian yang tidak stabil. Imansyah dkk (2009) menjelaskan bahwa sistem peringatan dini ini merupakan salah satu cara yang dapat menjaga agar sistem keuangan dapat berjalan sesuai dengan aturannya dan

9 bila ada potensi akan terjadinya krisis atau instabiltas maka akan terdeteksi lebih awal. Kaminsky (1999) menganggap sistem deteksi dini atau early warning system (EWS) diperlukan karena krisis keuangan dapat terjadi lagi di masa yang akan datang, hal ini dikarenakan perekonomian suatu negara telah mengikuti arus globalisasi pasar modal yang semakin kompleks. Perhatian terhadap sistem deteksi dini atau early warning system (EWS) pada perbankan belum menjadi prioritas pada sebelumnya, termasuk International Monetary Fund (IMF ). Namun, setelah terjadinya krisis Asia pada pertengahan tahun 1997 yang memiliki dampak sangat parah, maka IMF menganggap perlu adanya sistem deteksi dini atau early warning system (EWS) dengan membentuk unit surveillance (Abimanyu dan Imansyah, 2008). Disisi lainnya, kondisi ini merangsang gelombang penelitian empiris para peneliti terkait dengan sistem pendeteksian dini pada perbankan, dari penelitian yang ada mayoritas melakukan penelitian pada bank konvensional, seperti ; Kaminsky et al (1998): Goldstein, Kaminsky dan Reinhart (2000), Hardy dan Pazarbasioglu (1999), Demirgüc-Kunt dan Detragiache (1998). Sedangkan untuk perbankan Syariah relatif masih sedikit peneliti yang mengkajinya, seperti; Duasa, Kusuma dan Sumandi (2016), Kusuma dan Asif (2012) dan Al-Osaimy dan Bamakhramah (2004). Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini bermaksud untuk menentukan indikator-indikator yang dapat berpotensi memberikan shock terhadap perbankan Syariah di Indonesia dan mengamati apakah perbankan Syariah mampu bertahan ketika terjadi guncangan. Dengan demikian penelitian

10 ini mengambil judul tentang Analisis Sistem Deteksi Dini pada Ketahanan Perbankan Syariah di Indonesia B. Batasan Masalah Menurut Bank Indonesia (2016) risiko sistemik terbentuk melalui 3 (tiga) tahapan yaitu: (i) fase pertama terdapat dua kategori sumber gangguan yaitu shock dan vulnerability, dalam fase ini adalah tahapan munculnya sumber gangguan yang melibatkan kombinasi antara shock dan kerentanan (vulnerability), tahapan ini sering pula disebut dengan fase build up; (ii) tahapan menyebarnya sumber gangguan dalam sistem keuangan hingga menjadi risiko; serta (iii) tahapan pengukuran (potensial) dampak yang ditimbulkan (systemic event). Penjelasan lebih lanjut terkait dengan proses terbentuknya risiko sistemik dapat diamati pada Gambar 1.4 dibawah ini

11 Sumber Gangguan Vulnerability (Risk profile) 2 1 Shock Dimention Cross Section : - Concentration risk - Contagion risk Time series - Procyclicality risk Type of risk - Market risk - Credit risk - Liquidity risk - Operational risk Risk of financial system 3 Transmisi Yes Stable financial system Resilience check liquidity & solvency buffer Dampak No Systemic risk Potential impact Sumber : Bank Indonesia (2016). Temporary Structural GAMBAR 1.4 Terbentuknya Risiko Sistemik Berdasarkan Gambar 1.4 diatas, proses awal terbentuknya risiko sistemik pada perbankan Syariah adalah ketika shock (1) dan vulnerability (2) saling berinteraksi antar satu sama lain. Identifikasi dalam tahapan shock dilakukan

12 dengan melakukan pengukuran terhadap indikator yang berpotensi memberikan tekanan pada perbankan Syariah dengan menggunakan early warning system (EWS). Sedangkan dari sisi identifikasi dalam vulnerability terdiri dari dimensi time series dan cross section. Pendekatan yang digunakan dalam vulnerability seperti pendekatan risiko pasar, risiko kredit dan risiko likuiditas. Pada tahap selanjutnya, interaksi antara shock dan vulnerability menyebabkan termaterialisasikannya risiko terhadap perbankan Syariah, yang selanjutnya akan berdampak terhadap munculnya risiko dalam sistem keuangan (risk of financial system) (3). Jika risiko sudah termaterialisasi dalam perbankan Syariah (4), maka akan muncul kemungkinan dua potensi dalam perbankan Syariah, yaitu apakah perbankan Syariah mampu menyerap risiko yang muncul ataukah tidak mampu. Jika mampu menyerap risiko yang muncul, maka tidak akan terjadi guncangan dalam perbankan Syariah atau perbankan Syariah dalam kondisi aman, serta pada akhirnya sistem keuangan akan menjadi stabil (stable financial system ) dan jika risiko yang muncul tidak mampu diserap oleh perbankan Syariah, maka akan menimbulkan risiko sistemik (systemic risk) pada sistem keuangan. Dampak yang ditimbulkan dapat bersifat sementara (temporary) dan struktural (structural). Berdasarkan proses pembentukan risiko sistemik Gambar 1.4 diatas, pada penelitian ini batasan masalah lebih di fokuskan hanya pada proses terbentuknya risiko sistemik pada fase awal atau fase build up. Alasan penelitian ini berfokus pada fase ini adalah untuk memitigasi dan mencegah terjadinya risiko sistemik dalam sistem keuangan.

13 C. Rumusan Masalah Fase build up merupakan salah satu fase dimana gejala risiko sistemik mulai muncul dalam sistem keuangan. Fase build up merupakan interaksi antara shock dan vulnerability. Dalam fase ini, metode/tools yang digunakan oleh otoritas keuangan adalah sistem deteksi dini (early warning system), EWS digunakan sebagai metode/tools pengukuran risiko sistemik yang mampu menangkap sinyal imbalances dan dapat menilai potential losses dalam perbankan Syariah. Dalam membangun sistem deteksi dini (early warning system) terhadap perbankan Syariah, penelitian ini menggunakan model pendekatan sinyal (signal approach model). Dengan model pendekatan sinyal, peneliti mencoba untuk menganalisis indeks ketahanan perbankan Syariah (Syariah banking robustness index). Melalui indeks ketahanan perbankan Syariah (Syariah banking robustness index), penelitian ini mencoba untuk melihat apakah perbankan Syariah resilience ketika terjadi shock terhadap beberapa indikator-indikator mikrofinancial dan makrofinancial, guna memitigasi dan mencegah potensi risiko sistemik terhadap sistem keuangan di Indonesia. Ketika perbankan Syariah resilience terhadap shock, maka dikatakan perbankan Syariah mampu menyerap risiko yang muncul, tetapi jika tidak resilience maka akan menimbulkan potensi risiko terhadap sistem keuangan di Indonesia. Model selanjutnya yang digunakan adalah model pendekatan logit (logit approach model). Model ini digunakan untuk melihat vulnerability perbankan

14 Syariah ketika terjadi shock. Model ini dapat melihat probabilitas (probability) terjadinya guncangan pada ketahanan perbankan Syariah. Berdasarkan penjelasan diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana level ketahanan perbankan Syariah di Indonesia? 2. Indikator-indikator apakah yang dapat digunakan sebagai leading indicators dalam pengukuran tingkat ketahanan perbankan Syariah di Indonesia? 3. Indikator-indikator apakah yang berpotensi memberikan kemungkinan (probability) terjadinya guncangan pada perbankan Syariah di Indonesia? D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui level ketahanan perbankan Syariah di Indonesia. 2. Untuk mengetahui Indikator-indikator apakah yang dapat digunakan sebagai leading indicators dalam pengukuran tingkat ketahanan perbankan Syariah di Indonesia. 3. Untuk mengetahui apakah indikator yang berpotensi memberikan kemungkinan (probability) terjadinya guncangan pada perbankan Syariah di Indonesia.

15 E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini hanya difokuskan pada pembuat kebijakan (policy maker). Pembuat kebijakan (policy maker) yang dimaksud seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) ataupun pihak-pihak yang terkait dengan perbankan Syariah, diharapkan dapat menjadikan penelitian ini sebagai pertimbangan untuk menentukan kebijakan yang tepat bagi perbankan Syariah, jika kondisi perekonomian di Indonesia sedang bergejolak ataupun kondisi perekonomian berada pada posisi yang stabil.