HUBUNGAN ANTARA SUKSESI FITOPLANKTON DENGAN PERUBAHAN RASIO N DAN P DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
PERUBAHAN MUSIM TERHADAP BEBAN MASUKAN NUTRIEN DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Oseanografi. Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN PRODUKTIVITAS FITOPLANKTON DENGAN KETERSEDIAAN UNSUR HARA BERKENAAN DENGAN BEBAN MASUKAN DARI SUNGAI DAN LAUT DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Menentukan Stasiun dan Titik Pengambilan Contoh

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

KELIMPAHAN FITOPLANKTON PADA ZONA DENGAN KARAKTERISTIK MASSA AIR YANG BERBEDA DI PERAIRAN TELUK BANTEN

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

KETERIKATAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI ESTUARI SUNGAI BRANTAS (PORONG), JAWA TIMUR DEWI WULANDARI` SKRIPSI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

METODE PENELITIAN. Tabel 1. Waktu sampling dan pengukuran parameter in situ di perairan Pesisir Maros

Kelimpahan dan Sebaran Horizontal Fitoplankton di Perairan Pantai Timur Pulau Belitung

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth)

FITOPLANKTON DI PERAIRAN AREAL PERTAMBANGAN NIKEL BULI HALMAHERA TIMUR PHYTOPLANKTON IN NICKEL AREA GULF OF BULI EAST HALMAHERA

I. PENDAHULUAN. berdampak buruk bagi lingkungan budidaya. Hal ini erat kaitannya dengan

BAB III BAHAN DAN METODE

PENGARUH MUSIM TERHADAP BEBAN MASUKKAN NUTRIEN DI TELUK AMBON DALAM (EFFECT OF SEASONAL ON NUTRIENT LOAD INPUT THE INNER AMBON BAY)

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN DEMAK

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN ESTUARI MAYANGAN, JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini

FITOPLANKTON PENYEBAB HARMFUL ALGAE BLOOMS (HABs) DI PERAIRAN SIDOARJO

III. METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

IMPLIKASI PERUBAHAN KETERSEDIAAN NUTRIEN TERHADAP PERKEMBANGAN PESAT (BLOOMING) FITOPLANKTON DI PERAIRAN TELUK JAKARTA YULIANA

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Ratai Kabupaten Pesawaran,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH. Halidah

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari

Gambar 1. Diagram TS

Konsentrasi Logam Cd dan Pb Di Sungai Plumbon dan Kaitannya dengan Struktur Komunitas Fitoplankton

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan

3. METODE PENELITIAN

Hubungan Kandungan Klorofil-A dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Berau Kalimantan Timur

TEKNIK PENGAMBILAN, IDENTIFIKASI, DAN PENGHITUNGAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

PERBANDINGAN KOMPOSISI JENIS FITOPLANKTON ANTARA LAUT JAWA DAN BANDA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

STRUKTUR KOMUNITAS PLANKTON DI PERAIRAN PULAU BANGKA KABUPATEN MINAHASA UTARA

2. TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas primer

Komposisi dan Sebaran Fitoplankton di Perairan Muara Sungai Way Belau, Bandar Lampung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Unsur Hara

II ,53 0, ,53 0, ,02 m/dt ,53 0,

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang


4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI KELIMPAHAN DAN SEBARAN PHYTOPLANKTON SECARA HORIZONTAL (KASUS SUNGAI KURI LOMPO KABUPATEN MAROS) Abdul Malik dan Saiful ABSTRAK

DISTRIBUSI SPASIAL FITOPLANKTON DI PERAIRAN SELAT BALI

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

2. TINJAUAN PUSTAKA. Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan air laut bertemu dan bercampur. Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

TEKNIK PENGAMBILAN, IDENTIFIKASI, DAN PENGHITUNGAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR

Jurnal KELAUTAN, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN : STRUKTUR KOMUNITAS DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN MUARA SUNGAI PORONG SIDOARJO

3 METODE PENELITIAN. Pulau Barrang Lompo. Pulau Laelae. Sumber :Landsat ETM+Satellite Image Aquisition tahun 2002

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

SKRIPSI. Disetujui : I. Komisi Pembimbing. Dr. Ir. Kichardus Kaswadii. M.Sc. Ketua. 11. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kclautan, IPB

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

KEANEKARAGAMAN DAN DOMINANSI PLANKTON DI ESTUARI KUALA RIGAIH KECAMATAN SETIA BAKTI KABUPATEN ACEH JAYA

II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Fitoplankton

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. yang termasuk dalam bentuk mikro terdiri dari Fe, Co, Zu, B, Si, Mn, dan Cu (Bold

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang

Oseanologi di Indonesia 1993 No. 26 : ISSN BAKTERI HETEROTROFIK DAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI UTARA PULAU JAWA.

Lampiran 1 Parameterisasi untuk siklus nutrien umum yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung

Transkripsi:

60 HUBUNGAN ANTARA SUKSESI FITOPLANKTON DENGAN PERUBAHAN RASIO N DAN P DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Fitoplankton membutuhkan berbagai unsur untuk pertumbuhannya. Elemen - elemen makro nutrien seperti nitrogen, fosfor dan silika yang mengontrol laju pertumbuhan dan komposisi komunitas fitoplankton di estuari (Ryther dan Dunstan 1971, Malone et al. 1996, Richardson dan Jorgensen 1996, Mallin et al. 1999 diacu dalam Gobler et al. 2005). Selanjutnya Gobler et al. (2005) menyatakan bahwa tersedianya nutrien di estuari sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dan pertukaran air laut, sumber air tawar berasal dari sungai, air tanah dan runoff dari darat yang mensuplai nutrien ke estuari dan pertukaran air laut melalui pasang surut yang mengencerkan konsentrasi nutrien. Kebutuhan nutrien sangat berbeda antara fitoplankton yang hidup di perairan tawar maupun perairan laut. Sedangkan Maier et al. (2009) konsentrasi nitrat dan silika paling tinggi di perairan tawar dan menurun dengan meningkatnya salinitas. Biasanya di perairan tawar, fosfor (P) lebih bersifat faktor pembatas (Schindler 1971, diacu dalam Domingues et al. 2010) dan nitrogen (N) di ekosistem laut (Ryther dan Dunstan 1971, diacu dalam Domingues et al. 2010). Lagus et al. (2004) menyatakan N, P dan Si adalah yang paling sering dijumpai sebagai faktor pembatas (limiting factor) pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton baik pada perairan tawar, estuari, dan laut. Disebut sebagai faktor pembatas karena N dan P sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah yang besar namun ketersediaannya sedikit dan tidak mencukupi, sedangkan Si dibutuhkan untuk pembentukan dinding sel (frustula) dari diatomae (Barnes dan Hughes 1988). Menurut Qiu et al. (2010) konsentrasi PO 4 yang rendah, maka diatom yang berukuran besar seperti Skeletonema costatum tidak dapat bertumbuh. Berdasarkan ambang batas DIN dan PO 4 untuk semua pertumbuhan fitoplankton diperkirakan 1.0 dan 0.1 µm (Justic et al. 1995). Perbandingan antara nitrogen dan fosfor yang diperlukan oleh fitoplankton berkisar antara 10:1 sampai 20:1 (Grahame 1987). Menurut Almo et al. 1997, diacu dalam Lopes et al. 2007) rasio molar Redfield antara DIN, P, dan Si untuk pertumbuhan fitoplankton yakni Si:N:P adalah 16:16:1. Bila rasio Si:N dan Si:P relatif tinggi dan Si tersedia, maka pertumbuhan fitoplankton baik, akan tetapi jika rasio Si:N dan Si:P menurun maka algae yang lain yang akan bertumbuh (Lopes et al. 2007). Menurut Xu et al. (2008) eutrofikasi pada ekosisitem pantai disebabkan oleh berlebihannya nutrien seperti nitrat dan fosfat. Selanjutnya di banyak perairan pantai, pengkayaan antropogenik N dan P menyebabkan ketidakseimbangan rasio nutrien dibandingkan dengan rasio Redfield yang menyebabkan perubahan fitoplankton alami. Rasio Si:N dan Si:P yang rendah di banyak perairan pantai yang terjadi eutrofikasi dapat dihubungkan dengan perubahan diatom yang dominan menjadi dinoflagellata berbahaya yang dominan (Smayda 1990, Moncheca et al. 2001, diacu dalam Varkitzi et al. 2010). Penelitian ini bertujuan mengkaji hubungan

antara suksesi fitoplankton dengan perubahan rasio N, P, dan Si di perairan Teluk Ambon Dalam. METODE PENELITIAN Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan secara vertikal dari kedalaman dengan intensitas cahaya 1% sampai ke permukaan perairan di setiap stasiun. Contoh plankton yang diperoleh dengan menggunakan plankton net Kitahara dengan diameter mulut jaring 0.30 m, panjang 1 meter dan mesh size 60 µm. Contoh air laut yang telah disaring dimasukkan ke dalam botol sampel 100 ml kemudian diawetkan dengan lugol 1% (Rao dan Pan 1993). Kelimpahan sel fitoplankton dihitung dengan persamaan sebagai berikut : D = C * V / V *V (sel/m 3 ) Dimana : D = Jumlah sel per m 3 C = Jumlah sel yang dihitung V = Volume sampel yang terkonsentrasi V = Volume yang dihitung V = Volume air yang tersaring oleh plankton net (m 3 ) Volume air yang tersering oleh plankton net (V ) dihitung menggunakan rumus : V = a.s Dimana, A = Luas penampang jaring S = Jarak penarikan plankton net (s = v.t) V = Kecepatan penarikan (ms-1) t = Lama waktu penarikan jaring Identifikasi fitoplankton dilakukan dengan menggunakan literatur menurut Davis (1955), Newell and Newell (1977), Yamaji (1984), dan Tomas (1997). Analisis data Untuk mengetahui distribusi kelimpahan fitoplankton dan distribusi konsentrasi nutrien inorganik terlarut dianalisis dengan ANOVA satu arah (oneway ANOVA). Apabila pada analisis ini terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Post-hoc Duncan. Untuk mengetahui hubungan antara laju pertumbuhan dengan nutrien inorganik terlarut serta rasio N:P dan rasio N:Si dengan parameter lingkungan dilakukan dengan analisis korelasi Pearson s. 61

62 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentasi Unsur Hara di Perairan TAD Secara temporal, distribusi konsentrasi DIN di perairan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya Barat dan Peralihan II berbeda dengan Timur dan Peralihan I, lagi pula Timur dan Peralihan I dengan konsentrasi DIN yang tinggi disebabkan oleh masukan DIN dari darat dan juga pengaruh upwelling dari Laut Banda. Pada Peralihan I merupakan musim peralihan dari Barat ke Timur, sehingga rata-rata tingkat curah hujan mulai tinggi (19 mm) (data BMG Stasiun Laha Ambon). Distribusi konsentrasi DIN pada Timur secara spasial menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya -2 dengan konsentrasi DIN yang tinggi (Tabel 25), hal ini disebabkan terjadi akumulasi DIN dari -1 dan -3. Pada Peralihan II secara spasial, konsentrasi DIN tidak berbeda nyata (ANOVA; P=0.186). Pada Musin Barat dan Peralihan I konsentrasi DIN lebih tinggi di -3, hal ini disebabkan masukan DIN dari sungai-sungai di sekitar zona tersebut. Tabel 25 Rerata konsentrasi DIN (µm) pada setiap zona 1 1.60 1.24 0.59 1.96 2 3.54 0.68 0.61 3.26 3 2.34 1.19 0.68 3.43 Secara temporal, distribusi konsentrasi fosfat di perairan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya konsentrasi fosfat pada Peralihan I berbeda dengan Timur, lagi pula konsentrasi PO 4 -P pada Peralihan I lebih rendah dibandingkan dengan Timur. Timur konsentrasi PO 4 P lebih tinggi pada -1, disebabkan oleh pengaruh masukan PO 4 -P dari perairan TAD sebesar 61.05 ton/bulan, sedangkan Peralihan I tinggi pada -3 disebabkan pengaruh masukan PO 4 -P dari sungaisungai pada zona tersebut (Tabel 26). Tabel 26 Rerata konsentrasi PO 4 -P (µm) pada setiap zona 1 2.29 1.11 0.72 0.18 2 0.60 0.23 0.26 0.11 3 1.35 1.07 1.15 0.25 Secara temporal, distribusi konsentrasi silika di perairan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya konsentrasi silika Peralihan I sangat berbeda terhadap Timur, lagi pula konsentrasi silika pada Peralihan I lebih rendah dibandingkan dengan Timur (Tabel 27). Tingginya silika pada Timur akibat masukan dari darat. Secara spasial pada Timur, Peralihan II dan Barat distribusi konsentrasi

silika di permukaan perairan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), Timur konsentrasi silika lebih tinggi pada -1 (Tabel 27). Tingginya konsentrasi silika disebabkan masukan dari sungai dan run off dari darat. Tabel 27 Rerata konsentrasi SiO 2 -Si (µm) pada setiap zona 1 50.17 16.19 28.40 1.43 2 24.60 12.21 25.36 1.39 3 27.18 17.53 19.34 0.99 63 Rasio DIN dan DIP serta DSi dan DIN Tabel 28 menunjukkan bahwa rasio DIN:DIP pada Timur, Peralihan II, dan Barat rendah (< 16), kecuali Peralihan I pada -2 (>16). Menurut Pirzan dan Pong-Masak (2008) rendahnya rasio N/P, diduga karena perbedaan kondisi dan proses yang terjadi di lingkungan perairan. Apabila laju pemakaian nitrogen oleh fitoplankton berlangsung cepat dan tidak sebanding dengan laju pemakaian fosfat maka rasio N/P akan mengecil. Hal lain juga dapat terjadi, dimana laju regenerasi fosfat dari bahan tersuspensi atau sedimen berlangsung lebih cepat dan tidak disertai penyediaan nitrogen yang cukup. Bila rasio DIN dan DIP tinggi atau lebih besar dari 16, maka yang menjadi pembatasan pertumbuhan fitoplankton adalah DIP. Selanjutnya bila rasio DIN dan DIP rendah atau lebih kecil dari 16, maka yang menjadi pembatas pertumbuhan fitoplankton adalah DIN. Selain rasio Redfield dapat pula digunakan sebagai indikator struktur komposisi komunitas fitoplankton (Sommer 1989). Pada umumnya Bacillariophyceae lebih dominan pada rasio DIN dan DIP yang rendah (Lagus et al. 2004). Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada Peralihan I pada -2 rasio DIN dan DIP lebih besar dari 16 yang berarti fosfat menjadi pembatas pertumbuhan fitoplankton. Tabel 28 Rerata rasio DIN:DIP pada setiap zona di Perairan TAD 1 0.7 1.12 0.81 1.97 2 5.93 2.9 2.32 30.2 3 1.73 1.1 0.59 13.7 Barat rasio DSi dan DIN di perairan ini memperlihatkan nilai yang tinggi (Tabel 29). Rasio DSi:DIN dapat digunakan sebagai indikator pembatas pertumbuhan fitoplankton (Ragueneau et al. 1994) dan untuk menentukan struktur komposisi komunitas fitoplankton (Brzezinski 2003). Selanjutnya Brzezinski (2003) menyatakan bahwa rasio normal DSi:DIN adalah 1:1. Pada umumnya Bacilariophyceae menyerap DSi dan DIN pada rasio 1. Pada rasio DSi:DIN lebih kecil dari 1 menunjukkan DSi sebagai pembatas pertumbuhan fitoplankton khususnya Bacillariophyceae. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata

64 silika menjadi pembatas pertumbuhan fitoplankton hanya pada Peralihan I di perairan Teluk Ambon Dalam. Tabel 29 Rerata Rasio DSi:DIN pada setiap zona di perairan TAD Suksesi Jenis-Jenis Fitoplankton 1 31.38 13.02 48.25 0.73 2 6.95 17.97 41.81 0.43 3 11.6 14.8 28.46 0.29 Gambar 34 menunjukkan bahwa kelimpahan tertinggi pada Peralihan II dan terendah pada Timur. -1 pada Timur kelimpahan fitoplankton rendah tetapi konsentrasi klorofil-a tinggi (1.06 µg/l), hal ini disebabkan karena terdapat fitoplankton yang berukuran ultra dan nanofitoplankton dalam jumlah besar yang lolos dari jaring (plankton net) pada saat sampling, sedangkan Peralihan II kelimpahan fitoplankton tinggi tetapi konsentrasi klorofil-a rendah (0.65 sampai 0.87 µg/l), hal ini disebabkan karena terdapat fitoplankton berukuran besar pada perairan. Menurut Nontji (2008) ukuran fitoplankton bervariasi dengan ukuran yang paling umum antara 2 sampai 200 µm. Hasil analisis terhadap komposisi fitoplankton di 10 stasiun pengamatan ditemukan 4 kelas yakni Bacillariophyceae (Diatom), Dinophyceae, Cyanophyceae, dan Chrysophyceae. Fitoplankton terdiri atas 38 genera Bacillariophyceae, 12 genera Dinophyceae, 1 genus Cyanophyceae dan 2 genera Chrysophyceae. Gambar 34. Kelimpahan fitoplankton pada setiap Gambar 35 menunjukkan bahwa fitoplankton didominasi oleh Bacillariophyceae diikuti oleh Cyanophyceaea dan Dinophyceae. Timur didominasi oleh Cyanophyceae, kemudian Peralihan II dan Barat terjadi suksesi, lagi pula Bacillariophyceae mendominasi perairan dan terjadi peningkatan Dinophyceae. Peralihan I masih didominasi oleh Bacillariophyceae tetapi terjadi penurunan Dinophyceae. Pada -3 di

Timur terdapat kelimpahan Trichodesmium tertinggi, hal ini disebabkan kecepatan arus rendah (3,99 cm/det) dan rata-rata intensitas cahaya terendah (253.87µmol foton m -2 det -1 ). Menurut Nontji (2006) di Indonesia blooming Trichodesmium terjadi saat laut tenang dan penutupan awan minimal. 65 Gambar 35. Komposisi fitoplankton pada setiap Gambar 36 menunjukkan bahwa distribusi fitoplankton secara spasial pada Timur di -1, 2, dan 3 berturut-turut dengan kehadiran 28 genera, 25 genera dan 21 genera. Trichodesmium dari kelas Cyanophyceae mendominasi ke 3 zona dengan persentase tertinggi, kemudian diikuti oleh Nitzschia, Dinophysis dan Chaetoceros. Stephanopysis terdapat pada -2 dan Alexandrium terdapat pada -3. Dan pada daerah tersebut terjadi blooming Alexandrium affine pada tahun 1997 (Wagey 2001), Pyrodinum spp dan Alexandrium spp (Tuhepaly 2012). Gambar 36. Fitoplankton yang dominan pada Timur

66 Peralihan II di -1 dan 2 terdapat masing-masing 26 genera dan -3 terdapat 25 genera. Pada musim ini terjadi penurunan kelimpahan Trichodesmium sp dari kelas Cyanophyceae, ketiga zona didominasi oleh kelas Bacillariophyceae yang terdiri dari Chaetoceros sp dan Bacteriastrum sp,diikuti oleh Dinophyceae yang terdiri dari Ceratium sp dan Alexandrium sp (Gambar 37). Pada Barat di -1 dan 2 masing-masing terdapat 27 genera dan zona 3 terdapat 24 genera yang didominasi oleh kelas Bacillariophyceae yang terdiri dari Chaetoceros sp, Bacteriastrum sp dan Climacodium sp dan diikuti oleh kelas Cyanophyceae (Trichodesmium sp) dan kelas Dinophyceae yang terdiri dari Alexandrium sp dan Ceratium sp. -1 didominasi oleh Chaetoceros sp dengan persentase yang tinggi, -2 dan 3 didominasi oleh Trichodesmium sp, dengan persentase yang tinggi dan di -2 terdapat Alexandrium sp dengan persentase yang tinggi (Gambar 38), Peralihan I di -1, 2, dan 3 berturut-turut terdapat 26 genera, 28 genera dan 29 genera yang didominasi oleh kelas Bacillariophyceae yang terdiri dari Chaetoceros sp, Bacteriastrum sp, Thalassionema sp, Thalassiothrix sp dan Nitzschia sp dan diikuti oleh kelas Cyanophyceae (Trichodesmium sp). Pada -1 terdapat Chaetoceros sp dengan persentase yang tinggi, sedangkan pada -2 dan 3 terdapat Trichodesmium sp dengan persentase yang tinggi (Gambar 39). Menurut Lalli and Parsons (1993) fitoplankton yang paling dominan adalah Bacillariophyceae (Diatom) kemudian diikuti oleh Dinoflagellata, namun pada perairan TAD Timur didominasi oleh kelas Cyanophyceae kemudian terjadi suksesi pada Peralihan II, Barat dan Peralihan I yang didominasi oleh kelas Bacillariophyceae. Gambar 37 Fitoplankton yang dominan pada Peralihan II Gambar 38 Fitoplankton yang dominan pada Barat

67 Gambar 39 Fitoplankton yang dominan pada Peralihan I Peralihan II dan Barat terjadi suksesi lagi pula diatom mendominasi perairan, hal ini ditunjang dengan rasio N:P yang rendah dan ratarata rasio Si:N tinggi. Pada Peralihan II dan Barat Chaetoceros sp dan Bacteriastrum sp yang mendominasi perairan. Peralihan I rata-rata rasio Si:N menurun, tetapi didominasi oleh kelompok Bacillariophyceae (Diatom) yang terdiri dari Chaetoceros sp, Bacteriastrum sp, Thalassionema sp, Thalassiothrix sp dan Nitzschia sp. Peralihan I masih didominasi oleh diatom tetapi terjadi penurunan dinoflagellata. Tabel 30 menunjukkan bahwa rasio Cyanophyceae :(diatom+dinoflagellata) lebih tinggi pada Timur di -3, kemudian diikuti dengan -1. Sedangkan yang paling rendah di Barat pada -1. Tabel 30 Rasio Cyanophyceae:(Diatom+Dinoflagellata) pada setiap di Perairan TAD 1 2.05 0.4 0.37 0.49 2 1.39 0.48 0.5 0.61 3 2.55 0.38 0.66 0.54 SIMPULAN Suksesi musiman terhadap fitoplankton pada Timur didominasi oleh Trichodesmium dari kelas Cyanophyceae. Sementara jenis ini cenderung mengalami penurunan pada Peralihan II, Barat dan Peralihan I. Pada Peralihan II mulai didominasi oleh Chaetoceros dari kelompok Bacillariophyceae. Rasio DIN dan DIP < 16 menunjukkan bahwa kelas Trichodesmium yang lebih dominan, karena konsentrasi fosfat ditemukan lebih tinggi pada Timur. Rasio DSi dan DIN < 1 menunjukkan kelas Bacillariophyceae lebih dominan pada Peralihan I, disebabkan oleh nitrogen yang lebih tinggi.