BAB I PENDAHULUAN. Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak. menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sektor nonmigas lain dan migas, yaitu sebesar 63,53 % dari total ekspor. Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1.

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

I. PENDAHULUAN. kualitas produk melalui usaha diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN JAKARTA, OKTOBER 2013

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

KINERJA. Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Triwulan III DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI KIMIA, TEKSTIL, DAN ANEKA.

Oleh YATI NURYATI A

Oleh YATI NURYATI A

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

Analisis Perkembangan Industri

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Nilai ekspor Jawa Barat Desember 2015 mencapai US$2,15 milyar naik 5,54 persen dibanding November 2015.

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini, manusia

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BPS PROVINSI JAWA BARAT

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT JANUARI 2015

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

Analisis Perkembangan Industri

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

BAB IV ANALISA SISTEM

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA BULAN SEPTEMBER 2004

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini pasti akan melakukan interaksi dengan negaranegara

I PENDAHULUAN (%) (%) (%) Buahbuahan , , , ,81

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA MARET 2008

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA BULAN MEI 2004

BPS PROVINSI JAWA BARAT

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT MEI 2016

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1996 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tidak terlepas dari perekenomian yang berbasis dari sektor

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

I. PENDAHULUAN. kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa

INDUSTRI.

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

EKSPOR Perkembangan Ekspor Ekspor Migas dan Non Migas

PROVINSI JAWA BARAT JUNI 2017

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

I. PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia yang mengalami penurunan pada masa. krisis ekonomi dan moneter sejak Juli 1997, masih berlangsung hingga

BPS PROVINSI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR MARET 2015 MENCAPAI US$ 2,23 MILYAR

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA BULAN FEBRUARI 2002

SMA. Tersedia bahan mentah Tersedia tenaga kerja Tersedia modal Manajemen yang baik Dapat mengubah masyarakat agraris menjadi Negara industri

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Bila pada tahun 1969 pangsa sektor pertanian primer

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

KLASIFIKASI INDUSTRI A. Industri berdasarkan klasifikasi atau penjenisannya 1. Aneka industri 2. Industri mesin dan logam dasar

BAB 18 DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. anggota badan serta penutup untuk tangan, kaki, dan kepala. Dalam

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2017

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. ini adalah industri pulp dan kertas. Ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BERITA RESMI STATISTIK

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil dikumpulkan melalui sektor pertekstilan mencapai US $ 7,05 Milyar, atau sekitar 11,55 persen dari total perolehan devisa ekspor (Tabel 1). Jumlah tersebut menempati urutan nomor 2 dalam perolehan devisa ekspor setelah minyak dan gas bumi yang mencapai US $ 13,49 Milyar atau sekitar 22,1 persen. Tabel 1. Perbandingan Perolehan Devisa Ekspor Dari Beberapa Kelompok Industri (dalam juta US $) Persentase terhadap Jenis Komoditi 2002 2003 Industri Pengolahan Non Migas Total Ekspor Tekstil dan Pakaian Jadi 6.890 7.052 17,26 14,83 11,55 Elektronika 6.689 6.110 14,95 12,85 10,01 Kayu Olahan 4.433 4.381 10,72 9,21 7,18 Besi, Baja, Mesin dan Otomotif 3.247 3.760 9,20 7,91 6,16 Pulp dan Kertas 2.910 3.248 7,95 6,83 5,32 Kulit dan Alas Kaki 2.804 2.799 6,85 5,89 4,59 Kimia 1.785 2.050 5,02 4,31 3,36 Minyak Sawit 1.561 2.090 5,11 4,39 3,42 Karet Olahan 1.419 1.399 3,42 2,94 2,29 Makanan dan Minuman 1.050 1.139 2,79 2,39 1,87 Industri Lain 5.921 6.842 16,74 14,39 11,21 Total Industri Pengolahan 38.709 40.869 100,00 85,95 66,96 Non Minyak dan Gas Bumi 45.046 47.549 100,00 77,91 Total Ekspor 57.159 61.035 100,00 Sumber: diolah dari BPS, 2004 Industri pertekstilan, terutama pakaian jadi, merupakan kelompok industri yang bersifat padat karya sehingga menyerap banyak tenaga kerja.

Jumlah tenaga kerja yang dapat diserap sektor pertekstilan pada tahun 2003 tercatat sebanyak 1,2 juta orang. Meski demikian, kelangkaan bahan baku terutama kapas di dalam negeri menjadikan Indonesia sebagai importir kapas terbesar ketiga di dunia setelah China dan Turki (Rittgers, 2004). Kebutuhan bahan baku industri tekstil secara umum menghabiskan devisa rata-rata sebesar US $ 2 Milyar per tahun. Kebijakan pemerintah dalam industri pertekstilan berusaha mendorong industri pertekstilan ke arah industri yang berbasis lokal. Industri pertekstilan harus mampu memanfaatkan sumber daya lokal dengan sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan atas bahan baku impor. Kekuatan Indonesia dalam bahan baku tekstil lokal ada pada serat buatan seperti polyester dan rayon. Sedangkan serat alam yang potensial untuk dikembangkan adalah ramie dan sutera (Soewandi, 2004). Industri pertekstilan berbasis sutera sampai saat ini belum dikembangkan secara optimal. Peran sutera dalam mendukung kegiatan ekspor tekstil dan pakaian jadi masih kurang dari satu persen (Dirjen ILMEA, 2003). Data dari Badan Pusat Statistik (2004) mendukung pernyataan tersebut (Tabel 2). Dari tahun 2001-2003, nilai ekspor tekstil sutera hanya berkisar antara 0,26 0,45 persen dari total nilai ekspor tekstil. Peran terbesar dari nilai ekspor tekstil sutera tersebut diperoleh dari produk jadi yang persentasinya lebih dari 95 persen (Tabel 3). Tabel 2. Perbandingan Nilai Ekspor Tekstil dan Ekspor Tekstil Sutera Tahun Ekspor Tekstil (US $ Juta) Ekspor Tekstil Sutera (US $ Juta) Persentasi Ekspor Tekstil Sutera (%) 2001 7.678 22,9 0,30 2002 6.890 30,9 0,45 2003 7.052 18,0 0,26 Sumber: diolah dari BPS, 2004 2

Tabel 3. Perbandingan Setiap Sub Sektor Dalam Kegiatan Ekspor Tekstil Sutera (Dalam US$ Juta) Tahun Serat Benang Kain Pakaian Jadi 2001 0,13 0,00 0,22 22,58 2002 0,19 0,21 0,17 30,39 2003 0,29 0,27 0,23 17,26 Sumber: diolah dari BPS, 2004 Gatra (2004) menyayangkan bahwa peluang permintaan produk sutera di pasar internasional yang terus meningkat belum dapat ditangkap oleh pelaku industri persuteraan di Indonesia. Kenyataannya, untuk memenuhi kebutuhan industri sutera dalam negeri pun, Indonesia masih harus mengimpor sutera untuk kebutuhan bahan baku industri. Data BPS (2004) menunjukkan bahwa nilai impor produk sutera Indonesia dalam kurun waktu 2001 2003 berkisar antara US $ 2 3 juta. Dari jumlah tersebut sebegian besar (49%) digunakan untuk mengimpor kain, disusul benang (35%) dan kokon serta serat sutera (13%). Impor sutera dalam bentuk pakaian jadi hanya sebesar 3 persen dari keseluruhan impor tekstil sutera (Tabel 4). Tabel 4. Perbandingan Setiap Sub Sektor Dalam Kegiatan Impor Tekstil Sutera (Dalam US$ Juta) Tahun Serat Benang Kain Pakaian Jadi 2001 0,43 0,52 1,47 0,11 2002 0,41 1,36 1,21 0,03 2003 0,18 0,82 1,01 0,09 Sumber: diolah dari BPS, 2004 1.2. Perumusan Masalah Sutera merupakan serat tekstil yang spesifik dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Secara tradisional, budidaya sutera telah mulai dikembangkan di Indonesia sejak abad ke-10. Budidaya sutera modern mulai dikembangkan pada abad ke-19 (Moerdoko, 2004). 3

Industri persuteraan merupakan industri yang sangat potensial untuk dikembangkan karena mempunyai berbagai keunggulan, antara lain (http://www.bi.go.id): o Budidaya sutera telah sejak lama dikenal dan dikelola oleh petani di Indonesia. o Sutera merupakan salah satu bahan baku yang digunakan dalam industri tekstil dan pakaian jadi. Sedangkan industri tekstil dan pakaian jadi merupakan industri yang berorientasi ekspor. o Memiliki keterkaitan yang erat antar berbagai sektor. Pengembangan sutera memiliki dampak paling tidak kepada dua sektor yang vertikal dari sisi onfarm dan off-farm, yaitu sektor perhutanan rakyat melalui perhutanan murbei dan pemeliharaan ulat sutera dan sektor industri yang mengolah kokon sutera menjadi barang jadi untuk siap dikonsumsi. o Menyerap banyak tenaga kerja. Karena melibatkan dua sektor secara vertikal, pengembangan sutera memiliki dampak penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Hingga saat ini sekitar 70 persen kebutuhan industri terhadap kokon dan benang sutera masih impor. Hal tersebut akibat produsen belum mampu menghasilkan kokon dan benang sutera dengan kualitas yang sesuai dengan preferensi industri (Kunaefi, 2003a). Di samping itu harganya pun lebih tinggi dibanding sutera impor (Kunaefi, 2003b dan Supriyo, 2003). Muncul ironi bahwa Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan persuteraan, namun petani sutera belum memperoleh hasil yang memadai dari kegiatan budidaya tersebut. Industri tekstil dalam negeri membutuhkan cukup banyak sutera sebagai salah satu bahan baku produksinya. Namun ternyata sutera untuk kebutuhan industri lebih banyak dipenuhi oleh impor. 4

Kunaefi (2003b) menyebutkan bahwa dalam 10 tahun terakhir produksi kokon meningkat sebesar 15 20 persen per tahun. Peningkatan tersebut sebagai hasil dari semakin banyaknya petani yang terjun dalam usaha budidaya sutera (Tabel 5). Produktifitas secara total masih rendah yaitu hanya sebesar 12 persen 1. Data dari Ditjen RLPS menunjukkan bahwa kebutuhan benang sutera nasional pada tahun 2002 mencapai 450 ton. Angka tersebut memang mengalami penurunan kembali pada tahun 2003 menjadi 200 ton. Tabel 5. Produksi Kokon dan Benang Sutera Indonesia Tahun Produksi Kokon (ton) Produksi Benang (ton) Jumlah Petani (KK) Produksi kain (ton) 2001 748.691 110,36 12.564 180 2002 690.961 90,84 12.950 400 2003 550.000 89,78 12.325 196 Sumber: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2004) dan API (2004) Tambunan, Siregar, Rachmina dan Kuntjoro (2004) menemukan bahwa budidaya sutera kurang mampu berkompetisi karena kurang efisien dan tidak memenuhi skala usaha ekonomi. Namun industri antara pengolah sutera (pemintalan dan pertenunan) mampu mendapatkan hasil yang menguntungkan, sehingga pembinaan yang intesif sangat diperlukan untuk peningkatan kapasitas dan produktifitas. Sebagaimana sistem agribisnis lain, sistem agribisnis sutera pun memiliki keterkaitan erat antara sektor hulu dan hilir. Produktifitas yang rendah di sektor hulu memberikan dampak kekurangan bahan baku di sektor hilir yang kemudian dipenuhi dari impor. Di satu sisi, kegiatan impor memang mutlak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di sisi lain, impor dapat 1 Dalam makalah lain disebutkan oleh Moerdoko (2003) bahwa produktifitas persuteraan Indonesia sebesar 13% 5

menjadi ancaman bagi pengembangan budidaya sutera lokal. Hal dilematis seperti ini seharusnya ditanggapi secara bijak. Masalah yang terjadi dalam kasus budidaya sutera adalah ketersediaan pasar yang cukup luas belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh produsen sutera lokal. Kunaefi (2003a) menyebutkan bahwa hal tersebut terjadi akibat adanya kesenjangan antara produk yang dihasilkan produsen dengan preferensi konsumen, yang dalam hal ini adalah industri tekstil. Sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: - Jenis sutera apa sebenarnya yang lebih didibutuhkan oleh industri tekstil untuk memenuhi kebutuhan konsumen saat ini? - Atribut apa yang lebih menjadi perhatian industri tekstil dalam memenuhi kebutuhan bahan baku sutera. Apakah harga, kualitas, promosi, kelancaran sistem distribusi, kemampuan untuk menyediakan produk dalam jumlah besar, jaminan kontinuitas produk, citra produk ataukah hubungan interpersonal dengan supplier? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka perlu dianalisa bagaimana preferensi industri tekstil terhadap bahan baku sutera. Apabila preferensi industri tekstil sebagai konsumen sutera telah diketahui maka strategi pengembangan sutera lokal dapat lebih mudah untuk ditentukan. 6

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari strategi pengembangan persuteraan di Indonesia. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) Menganalisis perilaku (behaviour) industri batik dan pakaian jadi yang menggunakan bahan baku kain sutera terhadap produk sutera. 2) Menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi industri batik dan pakaian jadi dalam menggunakan bahan baku sutera serta mempelajari bagaimana perilaku faktor-faktor tersebut dalam pengambilan keputusan konsumen industri 3) Merumuskan strategi yang dapat dilakukan berdasarkan hasil yang diperoleh pada butir-butir di atas agar sutera lokal dapat bersaing dengan sutera impor. 7

UNTUK SELENGKAPNYA TERSEDIA DI PERPUSTAKAAN MB IPB 8