PENGGUNAAN JERAMI DAN SERBUK GERGAJI SEBAGAI MEDIA PENGISI PADA PENYIMPANAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR

dokumen-dokumen yang mirip
TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR 1

3 METODOLOGI. 3.3 Tahap dan Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari persiapan penelitian, penelitian pendahuluan, dan penelitian utama.

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian Persiapan

Gambar 1. Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat Metode Penelitian

STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR

Morfologi ikan jambal siam mempunyai badan memanjang dan pipih, punggung berduri dan bersirip tambahan serta terdapat garis lengkung mulai

PENGGUNAAN AERATOR PADA TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) HIDUP DENGAN MEDIA AIR. Cecep Iman Firmansyah

PEMBIUSAN IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING AURISMARDIKA NOVESA

Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus) Sumber: Kuncoro (2009)

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan Bulan Januari sampai Maret 2012 bertempat di

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Lobster air tawar capit merah (Cherax quadricarinatus) (Sumber: dokumentasi pribadi)

PEMBIUSAN LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DAN CARA PENGEMASANNYA PADA TRANSPORTASI HIDUP SISTEM KERING

SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan

APLIKASI RAK DALAM WADAH PENYIMPANAN UNTUK TRANSPORTASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) TANPA MEDIA AIR

TRANSPORTASI BASAH BENIH NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK BUNGA KAMBOJA (Plumeria acuminata) ABSTRAK

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di

II. BAHAN DAN METODE

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahap Penelitian

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013

I. PENDAHULUAN. komoditas ini diminati sebagai lobster hias. Beberapa tahun belakangan,

III. METODE PENELITIAN

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian 2.2 Prosedur Kerja Penelitian Pendahuluan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan 2.2 Tahap Penelitian

II. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Tahap Penelitian 2.3 Alat dan Bahan Alat dan Bahan untuk Penentuan Kemampuan Puasa Ikan

TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG DAN PRATISARI C

II. BAHAN DAN METODE

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah data τ i ε ij

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada 17 Januari 2016 di UD.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2012, di Balai

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus

BAB III BAHAN DAN METODE

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei REZQI VELYAN SURYA KUSUMA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan

3. METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya ikan nila semakin diminati oleh pembudidaya ikan air

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITAN. Medan Area jalan Kolam No1 Medan, Sumatera Utara, dengan ketinggian 20 m

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI

I. PENDAHULUAN. Transportasi merupakan bagian penting dari usaha ikan komersial seperti ikan

BAB III BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar

III. MATERI DAN METODE

UJI KETAHANAN HIDUP IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN TEKNIK IMOTILISASI SUHU RENDAH DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (Cyprinus Caprio-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR

TEKNOLOGI PENANGANAN DAN TRANSPORTASI LOBSTER AIR TAWAR

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

BAB III BAHAN DAN METODE

PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH ARUS LISTRIK TERHADAP WAKTU PINGSAN DAN PULIH IKAN PATIN IRVAN HIDAYAT SKRIPSI

PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp. Oleh : M.Teddy.S C Skripsi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam ( Pangasius hypopthalmus 2.2. Transportasi Ikan

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

Dadi Sukarsa 1. Abstrak

METODOLOGI PENELITIAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan

METODE PENELITIAN. bio.unsoed.ac.id

BAB III BAHAN DAN METODE

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai

PENERAPAN TEKNIK IMOTILISASI BENIH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK DAUN BANDOTAN (Ageratum conyzoides) PADA TRANSPORTASI BASAH

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK

III. BAHAN DAN METODE

PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.)

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat.

MANIPULASI SUHU MEDIA TERHADAP KINERJA PRODUKSI UDANG RED CHERRY (Neocaradina denticulate sinensis) BONNE MARKUS SKRIPSI

BAB III BAHAN DAN METODE

III METODE PENELITIAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 10 Mei 30 Juni 2013 selama 50

PENGARUH UMUR LARVA IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PEMBENTUKAN SEL KELAMIN JANTAN RINDHIRA HUMAIRANI Z¹, ERLITA¹

Gambar 4. Uji Saponin

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.2 Hal , Mei-September 2014, ISSN

BAB III METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

Transkripsi:

PENGGUNAAN JERAMI DAN SERBUK GERGAJI SEBAGAI MEDIA PENGISI PADA PENYIMPANAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR UMI LAILATUL AHDIYAH DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

RINGKASAN UMI LAILATUL AHDIYAH. C34060910. Penggunaan jerami dan serbuk gergaji sebagai media pengisi pada penyimpanan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) tanpa media air. Dibimbing oleh DADI R. SUKARSA dan KOMARIAH TAMPUBOLON. Permintaan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) terutama dalam bentuk hidup terus meningkat baik di pasaran lokal maupun luar negeri. Penyimpanan udang galah hidup tanpa media air merupakan suatu simulasi transportasi sebelum dilakukan uji transportasi. Pada penyimpanan udang hidup tanpa media air digunakan media pengisi yang berfungsi untuk mencegah udang hidup agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga suhu tetap rendah agar udang tetap pingsan dan memberikan lingkungan udara yang memadai untuk kelangsungan hidup udang. Pemilihan jenis media pengisi yang baik, dapat meningkatkan tingkat kelulusan hidup udang selama disimpan tanpa media air. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penggunaan media pengisi jerami dan serbuk gergaji terhadap kelulusan hidup udang galah (Macrobrachium rosenbergii) selama penyimpanan tanpa media air. Tahap penelitian terdiri dari persiapan penelitian dan penelitian utama. Persiapan penelitian meliputi persiapan media air, persiapan media pengisi dan persiapan udang uji (adaptasi selama 2 hari serta pemuasaan selama 24 jam). Penelitian utama meliputi pemingsanan udang dengan penurunan suhu secara bertahap, uji penyimpanan udang galah dalam media pengisi yaitu jerami dan serbuk gergaji. Analisis data penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu media pengisi dengan taraf jerami dan serbuk gergaji dan lama penyimpanan dengan taraf 3, 6, 9, 12 dan 15 jam. Kualitas air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari hampir sama dengan kualitas air kolam habitat asal udang galah sehingga layak digunakan untuk adaptasi, pemuasaan dan pemingsanan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media pengisi jerami pada penyimpanan udang galah hidup tanpa media air lebih baik bila dibandingkan dengan media pengisi serbuk gergaji. Udang galah yang disimpan dalam jerami selama 15 jam menghasilkan persentase kelulusan hidup udang sebesar 73,33% lebih tinggi bila dibandingkan dengan media pengisi serbuk gergaji yang hanya sebesar 50%.

PENGGUNAAN JERAMI DAN SERBUK GERGAJI SEBAGAI MEDIA PENGISI PADA PENYIMPANAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR UMI LAILATUL AHDIYAH Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Judul Nama NIM : Penggunaan Jerami dan Serbuk Gergaji sebagai Media Pengisi pada Penyimpanan Udang Galah (Macrobrachium rosenbergi) tanpa Media Air : Umi Lailatul Ahdiyah : C34060910 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II (Ir. Dadi Rochnadi Sukarsa) NIP : 194608311974021001 (Ir. Komariah Tampubolon, MS) NIP : 194511101971042001 Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan (Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, Mphil.) NIP: 195805111985031002 Tanggal Lulus :

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Penggunaan Jerami dan Serbuk Gergaji sebagai Media Pengisi pada Penyimpanan Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) Tanpa Media Air adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Mei 2011 Umi Lailatul Ahdiyah C34060910

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi hasil penelitian ini berjudul Penggunaan Jerami dan Serbuk gergaji sebagai Media Pengisi pada Penyimpanan Udang Galah (Macrobrachium rossenbergii) Tanpa Media Air. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini, terutama kepada: 1) Ir. Dadi R. Sukarsa dan Ir. Komariah Tampubolon MS, sebagai dosen pembimbing atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis. 2) Ir. Djoko Poernomo, BSc. selaku dosen penguji atas segala saran dan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 3) Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb Dipl. Biol. selaku komisi pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan. 4) Ir.Winarti Zahiruddin, MS, sebagai dosen pembimbing akademik dan seorang ibu bagi penulis atas bimbingan, dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis. 5) Dr. Ir. Ruddy Suwandi, M.S, M.Phil., sebagai Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. 6) Ayahku Chamzawi, Ibuku Alfiyah, Kakak Zuliya Rachmawati serta adik-adik Nur Fadlilatun Nisak dan Miftakhul Huda yang telah memberikan kasih sayang dan semangat yang luar biasa. 7) Ibu Emma, Mbak Lastri, Mas Eful dan staf laboratorium lingkungan yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian di laboratorium. 8) Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan, staff dosen dan Tata iii

Usaha (TU), serta teman-teman THP 41, 42, 43, 44 dan 45 yang telah memberikan dukungan dan semangat. 9) Trias Alvinoor, Kartika Hastarina Putri dan Supriyanto yang telah menjadi teman seperjuangan di laboratorium. 10) Yayan, Nico, Era, Rozi, Wahyu, Vickar, Rida, Aci, Ce2, Hilda, Anjar, Eful, Tyas, Ratih, Ratna, Wati, Patma, Nurwati, Idur, Arin, Icha yang telah membantu selama penelitian berlangsung. 11) Nanda Tika AFP, Maisharah Zulfa, Patmawati, Aim, Dana, Ari, Wulan sebagai sahabat satu atap atas segala kisah dan cerita yang telah kita lewati bersama. 12) Retno BDP 44, Riri BDP 43, Azizah BDP 42, Mardia dan Nani THP 44 yang telah membantu selama penelitian berlangsung. 13) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu disini, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan dan kerjasamanya dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan laporan penelitian ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, Mei 2011 Umi Lailatul Ahdiyah C34060910 iv

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 24 Januari 1988 dari pasangan Bapak Chamzawi dan Ibu Alfiyah sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan formal dimulai di TK Aisyah Busthanul Athfal Rembang dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2000, penulis lulus dari SD Negeri Kutoharjo IV Rembang. Pada tahun 2003, penulis melanjutkan studinya ke SMP Negeri 2 Rembang. Pada tahun 2006, penulis berhasil menyelesaikan studinya di SMA Negeri 1 Rembang dan pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam beberapa organisasi seperti Fisheries Processing Club, HIMASILKAN IPB periode 2007-2009, dan periode 2009-2010 menjadi staf Sosial Lingkungan, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Ekologi Perairan periode 2008-2010 dan asisten mata kuliah Biotoksikologi Hasil Perairan periode 2009-2010. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Penggunaan jerami dan serbuk gergaji sebagai media pengisi pada penyimpanan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) tanpa media air di bawah bimbingan Ir. Dadi Rochnadi Sukarsa dan Ir. Komariah Tampublon MS. v

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... xi 1. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA... 4 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Udang Galah... 4 2.2 Transportasi Udang Hidup Sistem Kering... 5 2.3 Imotilisasi... 7 2.4 Pengemasan... 8 2.5 Media Pengisi... 9 3. METODOLOGI... 14 3.1 Waktu dan Tempat... 14 3.2 Bahan dan Alat... 14 3.3 Tahapan penelitian... 15 3.3.1 Persiapan Penelitian... 15 3.3.2 Penelitian Utama... 17 3.4 Rancangan Percobaan... 20 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 22 4.1 Pengukuran Kualitas Air untuk Udang Galah... 22 4.2 Penentuan Suhu Pemingsanan Udang... 23 4.3 Penyimpanan Udang tanpa Media Air... 26 4.3.1 Perubahan suhu media pengisi selama penyimpanan... 26 4.3.2 Kondisi udang setelah penyimpanan... 27 4.4 Pembugaran Udang... 29 4.5 Kelulusan Hidup Udang Galah... 31 5. KESIMPULAN... 36 5.1 Kesimpulan... 36 5.2 Saran... 36 vi

DAFTAR PUSTAKA... 37 LAMPIRAN... 41 vii

DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1. Hubungan waktu dengan suhu pengangkutan... 7 2. Metode pengukuran kualitas air... 15 3. Hasil pengujian kualitas air untuk udang galah... 22 4. Perubahan aktivitas udang galah akibat penurunan suhu bertahap... 24 5. Perubahan suhu media pengisi... 26 6. Kondisi udang yang disimpan dalam jerami saat dibugarkan... 29 7. Kondisi udang yang disimpan dalam serbuk gergaji saat dibugarkan... 30 8. Persentase rata-rata kelulusan hidup udang galah... 31 viii

DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman 1. Udang galah (Macrobrachium rosenbergii)... 4 2. Penyusunan udang galah dalam kemasan styrofoam... 18 3. Diagram alir penelitian... 20 4. Persentase kelulusan udang pada media pengisi yang berbeda... 32 5. Persentase udang galah setelah penyimpanan... 32 ix

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Data ukuran udang galah... 42 2. Alat-alat penelitian... 43 3. Dokumentasi penelitian... 44 4. Waktu pembugaran udang galah... 45 5. Data kelulusan hidup udang galah... 46 6. Hasil analisis statistik... 47 7. Data perubahan suhu serbuk gergaji selama penyimpanan... 51 8. Data perubahan suhu jerami selama penyimpanan... 52 x

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan konsumen terhadap komoditas perikanan dalam bentuk hidup seperti ikan air tawar, udang, lobster terus mengalami peningkatan. Salah satu jenis udang yang potensial sebagai komoditas perikanan di Indonesia adalah udang galah (Macrobrachium rosenbergii). Udang galah telah menjadi komoditas perikanan yang banyak diminati konsumen lokal maupun mancanegara. Permintaan udang galah oleh konsumen lokal mencapai 10.500 ton/tahun sedangkan konsumen di luar negeri seperti Brunei Darussalam mencapai 6-8 ton/bulan (Purbani 2006). Permintaan udang galah baru terpenuhi 40% saja dari seluruh permintaan udang galah yang ada (Tambunan 2009). Hal ini karena masih rendahnya jumlah produksi udang galah bila dibandingkan dengan jenis udang lainnya seperti udang windu ataupun udang vannamei. Jumlah produksi udang galah pada tahun 2006 sebesar 1349 ton lebih kecil dibandingkan udang windu sebesar 147.867 ton dan udang vannamei sebesar 141.649 ton. Namun demikian, udang galah masih memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai salah satu komoditas perikanan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi udang galah secara nasional yang terus meningkat. Jumlah produksi udang galah pada tahun 2004 sebesar 290 ton, pada tahun 2005 sebesar 1029 ton dan pada tahun 2006 sebesar 1349 ton (DKP 2008). Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) merupakan jenis udang air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Permintaan konsumen terhadap komoditas udang telah mengalami pergeseran ke arah pemenuhan kebutuhan akan udang hidup. Hal ini disebabkan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hidup sehat sehingga menyebabkan masyarakat lebih memilih mengkonsumsi udang dalam bentuk hidup. Sehubungan dengan hal itu, maka diperlukan suatu teknologi yang tepat untuk menghantarkan udang galah agar tetap hidup sampai ke tangan konsumen, salah satunya dengan transportasi udang galah hidup tanpa media air. Transportasi udang hidup tanpa media air ini lebih efisien dibandingkan dengan transportasi udang sistem basah. Teknologi transportasi udang hidup tanpa media air dapat dilakukan dengan menggunakan teknik imotilisasi. Teknik imotilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan suhu rendah atau

2 dengan bahan anestesi alami maupun kimia. Imotilisasi dengan menggunakan suhu rendah lebih aman dibandingkan dengan bahan anestesi karena tidak menimbulkan residu pada udang. Imotilisasi dengan suhu rendah dilakukan dengan menurunkan suhu media sampai suhu 14-15 C baik secara langsung maupun bertahap (Suryaningrum et al. 2005). Menurut Handini (2008), teknik imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap lebih baik dibandingkan teknik imotilisasi dengan penurunan suhu secara langsung. Penyimpanan udang hidup tanpa media air merupakan suatu simulasi transportasi sebelum dilakukan uji transportasi. Dalam penyimpanan udang tanpa media air sering digunakan media pengisi yang berfungsi untuk mencegah udang hidup agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga suhu tetap rendah agar udang tetap pingsan dan memberikan lingkungan udara yang memadai untuk kelangsungan hidup udang. Penggunaan jenis media pengisi yang berbeda dapat berpengaruh pada tingkat kelulusan hidup udang selama penyimpanan tanpa media air. Berdasarkan penelitian dari Handini (2008), udang galah yang disimpan dalam media pengisi serbuk gergaji selama 15 jam memiliki tingkat kelulusan hidup sebesar 50% pada pemingsanan udang secara bertahap sedangkan berdasarkan hasil penelitian dari Ning (2009), udang galah yang disimpan dalam media pengisi busa yang berisi 1 lapis dengan jumlah udang sebesar 20 ekor memiliki tingkat kelulusan hidup sebesar 74%. Penyimpanan udang hidup tanpa media air umumnya menggunakan serbuk gergaji sebagai media pengisi. Namun demikian, serbuk gergaji bukan merupakan media pengisi terbaik untuk transportasi maupun penyimpanan udang hidup. Serbuk gergaji memiliki rongga udara kecil sehingga jika digunakan sebagai media pengisi akan lebih berat dan memiliki kapasitas angkut menjadi lebih kecil (Prasetiyo 1993 dan Sufianto 2008). Selain itu, serbuk gergaji juga mengandung komponen toksik seperti damar dan terpenten yang dapat meningkatkan kematian udang selama penyimpanan (Prasetiyo 1993). Penelitian tentang jenis bahan pengisi lainnya yang lebih baik untuk transportasi maupun penyimpanan udang hidup masih perlu dilakukan, salah satunya adalah jerami. Jerami merupakan limbah dari hasil tanaman padi yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Berdasarkan laporan dari Rahman

3 dan Srikirishnadhas (1994), Mohamed dan Devaraj (1997) jerami bisa dimanfaatkan sebagai media pengisi pada transportasi lobster. Hal ini diperkuat pula oleh penelitian Suryaningrum et al. (2000) bahwa tingkat kelulusan hidup ikan kerapu yang disimpan dengan media pengisi jerami lebih tinggi bila dibandingkan dengan media pengisi serbuk gergaji. Pemilihan jenis media pengisi yang baik, dapat meningkatkan kelulusan hidup udang selama penyimpanan tanpa media air. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dikaji pengaruh penggunaan dua jenis media pengisi yaitu jerami dan serbuk gergaji terhadap tingkat kelulusan hidup udang yang disimpan tanpa media air. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penggunaan media pengisi jerami dan serbuk gergaji terhadap kelulusan hidup udang galah (Macrobrachium rosenbergii) pada penyimpanan tanpa media air.

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) adalah udang air tawar yang pertama kali dipelajari secara intensif dan dibudidayakan secara komersial (Nandlal dan Pickering 2005). Udang galah berasal dari kelas Crustacea dan keluarga Palaemonidae. Klasifikasi udang galah (Macrobracium rosenbergii) menurut De Man (1879) adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata Kelas : Crustacea Sub Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Sub Ordo : Natantia Famili : Palaemonidae Genus : Macrobrachium Spesies : Macrobrachium rosenbergii Gambar 1 Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) White (2008) Udang galah berasal dari marga Macrobracium. Tubuh udang galah terdiri atas 3 bagian, yaitu chepalothotax, abdomen (tubuh), dan uropoda (ekor). Chepalothorax merupakan gabungan dari kepala dan dada udang galah. Bagian ini dibungkus oleh kulit keras yang disebut karapaks atau cangkang. Bagian depan kepala terdapat tonjolan karapaks yang bergerigi (rostrum). Bagian abdomen terdiri atas lima ruas yang masing-masing dilengkapi dengan sepasang kaki

5 renang (pleiopoda). Uropoda merupakan ruas terakhir dari ruas tubuh yang kaki renangnya berfungsi sebagai pengayuh yang biasa disebut ekor kipas (Khairuman dan Amri 2004). Udang galah mempunyai bentuk tubuh yang khas. Ukuran kepala udang galah lebih besar daripada ukuran tubuhnya. Ukuran tubuhnya tidak terlalu besar karena laju pertumbuhannya lambat. Warna kulit udang galah umumnya biru kehijauan, tetapi kadang-kadang ditemukan udang galah yang berwarna kemerahan. Perbedaan warna ini dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya, sebagai proses adaptasi fisiologis udang. Tubuh udang galah terdiri atas ruas-ruas yang tertutup kulit keras yang terbuat dari zat kitin yang kaku. Hal ini menyebabkan kulit udang tidak dapat mengikuti pertumbuhan tubuhnya sehingga setiap periode tertentu kulit tersebut akan lepas untuk diganti dengan kulit baru yang sesuai dengan pertumbuhan tubuhnya. Udang galah dapat bersifat kanibal atau memakan sesama pada saat moulting/ganti kulit (Khairuman dan Amri 2004). Udang galah berganti kulit setiap 10 hari sekali pada usia juvenil, mendekati usia dewasa berganti kulit setiap 30 hari sekali dan pada usia dewasa berganti kulit setiap 60 hari sekali (Hadie dan Hadie 2001). Udang galah tumbuh dan menjadi dewasa di peraian tawar terutama sungai-sungai dan rawa-rawa yang mempunyai hubungan dengan laut Udang galah menjadi udang air tawar utama pada skala kecil maupun skala besar karena kecepatan tumbuh, ukuran yang besar, kualitas daging yang baik dan pola makan yang omnivora (Nandlal dan Pickering 2005). Sifat alami udang galah tidak berbeda dengan jenis udang lainnya yaitu aktif pada malam hari. Udang galah dikenal bersifat omnivor artinya pemakan berbagai jenis bahan makanan (Wibowo 1986). 2.2 Transportasi Udang Hidup Sistem Kering Udang merupakan hewan yang mampu bertahan dalam kondisi tanpa air. Pada saat udang dalam keadaan tanpa air, rongga karapasnya masih mengandung air sehingga udang masih mampu menyerap oksigen yang terdapat di air yang ada dalam rongga karapas, oleh karena itu, sistem transportasi kering/tanpa media air dapat diterapkan pada udang (Suryaningrum et al. 2005). Transportasi udang hidup sistem kering merupakan sistem pengangkutan udang hidup dengan media

6 tanpa air. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk transportasi udang sistem kering adalah suhu lingkungan, kadar oksigen dan proses metabolisme (Andasuryani 2003). Suhu lingkungan yang semakin tinggi maka kadar oksigen terlarut juga semakin menurun sedangkan pada saat suhu rendah, kecepatan metabolisme akan menurun sehingga konsumsi oksigen dapat ditekan (Kinne 1963 diacu dalam Andasuryani 2003). Pada transportasi sistem kering, suhu diatur sedemikan rupa sehingga kecepatan metabolisme udang berada pada taraf basal dan pada taraf ini, oksigen yang dikonsumsi udang sangat sedikit (hanya sekedar untuk mempertahankan hidup saja) (Shigeno 1979 diacu dalam Andasuryani 2003). Transportasi udang hidup sistem kering mempunyai beberapa kelebihan, yaitu dapat mengurangi stress pada udang, menurunkan kecepatan metabolisme dan penggunaan oksigen, mengurangi mortalitas akibat perlakuan fisik (getaran, kebisingan dan cahaya), tidak mengeluarkan feses dan tidak perlu media air sehingga daya angkut lebih besar (Berka 1986 diacu dalam Andasuryani 2003). Pada transportasi udang sistem kering, faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kelulusan hidup udang adalah kesehatan udang, kepadatan udang dan perubahan suhu (Johari et al. 2000). Udang dan lobster yang akan ditransportasikan harus dalam kedaan bugar, sehat, antena dan kaki harus lengkap, kaki tidak boleh patah, tidak sedang ganti kulit (mouting) dan sebaiknya tidak sedang bertelur (Suryaningrum et al. 2005). Udang yang dikemas dengan kepadatan yang lebih tinggi akan memiliki tingkat kelulusan hidup yang lebih rendah (Ning 2009). Stabilitas suhu dalam kemasan memegang peranan yang sangat penting, karena perubahan suhu yang tajam dapat mengakibatkan kematian ikan (Nitibaskara et al. 2006). Pada transportasi lobster hidup sistem kering, semakin lama waktu penyimpanan/pengangkutan maka suhu yang dibutuhkan juga semakin rendah (Tabel 1).

7 2.3 Imotilisasi Tabel 1 Hubungan waktu dengan suhu pengangkutan Waktu pengangkutan (jam) Suhu kemasan 12-15 16-14 15-20 14-12 20-80 12-10 30-50 10-6 50-90 6-4 Sumber: Rahman dan Srikirishnadhas (1994) Udang atau lobster diimotilisasi dahulu sebelum ditransportasikan. Imotilisasi dilakukan untuk menurunkan aktivitas, metabolisme dan respirasi krustasea sehingga selama ditransportasikan tidak banyak bergerak dan tidak banyak memerlukan oksigen untuk respirasinya. Ada beberapa cara imotilisasi yaitu dengan menggunakan suhu rendah atau dengan menggunakan antimetabolit alami maupun buatan (Suryaningrum et al. 2005). Bahan antimetabolit alami yang dapat digunakan untuk membius krustasea adalah ekstrak biji karet, sedangkan bahan metabolit buatan yang biasa digunakan adalah MS-222 (tricaine methanesulphate) dan CO 2. Pemakaian CO 2 yang disarankan adalah dengan mencelupkan 1:1 campuran gelembung CO 2 dan O 2 ke dalam air untuk transportasi ikan hidup (Itazawa 1990 diacu dalam Nitibaskara et al. 2006). Menurut Coyle et al. (2005), antimetabolit yang paling cocok untuk membius udang galah adalah minyak cengkeh dengan dosis 100 mg/l sedangkan MS-222 dengan dosis 25 mg/l dan 100 mg/l tidak efektif bila digunakan untuk membius udang galah. Namun dari berbagai cara imotilisasi, penggunaan suhu dingin merupakan cara yang paling efektif, ekonomis dan aman dalam mempersiapkan transportasi lobster hidup sistem kering (Wibowo et al. 1998 diacu dalam Suryaningrum et al. 2005). Es batu sering digunakan sebagai bahan pembius karena harganya relatif murah, mudah didapat, aman dan tidak mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan bagi manusia (Nitibaskara et al. 2006). Imotilisasi menggunakan suhu rendah terdiri dari dua metode yaitu imotilisasi dengan penurunan secara langsung dan imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap (Nitibaskara et al. 2006). Berdasarkan hasil penelitian Handini (2008), imotilisasi secara bertahap menghasilkan kelulusan hidup udang lebih tinggi dibandingkan dengan imotilisasi secara langsung. Imotilisasi dengan

8 penurunan suhu secara bertahap dapat mengurangi stress/panik pada udang karena aktivitas, respirasi dan metabolismenya direduksi secara bertahap serta memerlukan waktu yang panjang hingga pingsan sedangkan imotilisasi secara langsung, udang langsung berada dalam tingkat respirasi dan metabolisme rendah (Nitibaskara et al. 2006 diacu dalam Handini 2008). Lobster yang diimotilisasi dengan penurunan suhu, baik bertahap maupun langsung akan mengalami gangguan keseimbangan. Terganggunya keseimbangan pada lobster disebabkan kurangnya oksigen dalam darah. Penurunan konsumsi oksigen dalam darah akan mengakibatkan suplai oksigen ke jaringan syaraf juga berkurang sehingga menyebabkan berkurangnya aktivitas fisiologi dan lobster menjadi tenang. Kekurangan oksigen yang lebih lanjut akan menyebabkan terganggunya sistem keseimbangan tubuh, sehingga lobster menjadi limbung dan akhirnya roboh (Suryaningrum et al. 1997). Menurut Patterson (1993), imotilisasi dengan menggunakan suhu rendah dapat menurunkan metabolisme dan laju respirasi pada udang kuruma (Penaeus japonicus) dimana pada suhu yang tinggi (22ºC) laju respirasi pada Penaeus japonicus mengalami peningkatan metabolisme dan laju respirasi. 2.4 Pengemasan Pengemasan berperan penting untuk mencegah atau mengurangi kerusakan bahan yang dikemas. Selain itu, pengemasan juga berfungsi untuk mempermudah penyimpanan, pengangkutan dan distribusi hasil pertanian (Herodian 2004). Teknik pengemasan sangat penting untuk transportasi udang hidup sistem kering. Pengemasan udang hidup sistem kering menggunakan kotak styrofoam sebagai kemasan primer dan kotak karton sebagai kemasan sekunder. Kotak karton kardus yang digunakan sebaiknya berdinding ganda yang dilapisi dengan lapisan lilin. Lapisan lilin dimaksudkan untuk mencegah kerusakan kotak karton kardus karena kelembaban yang tinggi selama pengemasan. Adapun kotak styrofoam berfungsi sebagai isolator panas untuk mencegah panas yang masuk dalam kemasan (Junianto 2003). Kotak styrofoam dipilih karena memilki daya insulasi tinggi (Herodian 2003). Pengemasan udang/lobster yang dilakukan oleh kebanyakan eksportir yaitu dengan cara mengemas udang atau lobster dalam satu kotak pengemas

9 sebanyak 4-5 lapis masing-masing diselingi dengan serbuk gergaji, kemudian kotak tersebut disegel dengan lakban. Pengemasan udang dalam kemasan styrofoam umumnya ditambahkan es di dasar kemasan. Es ini diletakkan di bagian atas atau bawah kemasan (Subashinghe 1997). Es berfungsi untuk mempertahankan suhu media. Kemasan yang tidak diberi es pada bagian dasar media pengisi beresiko pada tingkat mortalitas udang selama ditransportasikan karena suhu yang terus meningkat (Suryaningrum et al. 1999). Jumlah es yang ditambahkan harus tepat. Apabila jumlah es yang ditambahkan terlalu banyak maka suhu dalam kemasan akan turun sehingga suhu dalam kotak styrofoam menjadi kurang dari 12ºC (Suryaningrum et al. 2007). Menurut Richard dan Rajudarai (1983) diacu dalam Andasuryani (2003), udang windu tambak tidak mampu hidup lama pada suhu di bawah 12ºC karena pada suhu ini dapat menyebabkan rusaknya sistem syaraf dan otak udang yang berakibat pada kelumpuhan dan kematian. Pengemasan udang dalam kemasan styrofoam yang dibantu dengan penggunaan es di dasar kemasan tidak mampu mempertahankan suhu kemasan selama penyimpanan pada suhu kamar. Suhu akan terus mengalami peningkatan yang dapat mempengaruhi kelulusan hidup udang (Herodian 2004). Peningkatan suhu ini terjadi karena penetrasi udara luar yang lebih tinggi ke dalam kemasan sehingga dapat meningkatkan suhu media serbuk gergaji (Kumum 2006). Pola suhu kemasan sangat dipengaruhi oleh suhu awal bahan pengisi dan suhu lingkungan. Jika suhu awal bahan pengisi dan suhu lingkungan luar terlalu tinggi maka kenaikan suhu kemasan akan lebih cepat terjadi (Nitibaskara et al. 2006). 2.5 Media Pengisi Media pengisi adalah bahan yang dapat ditempatkan diantara udang hidup dalam kemasan untuk menahan atau mencekal udang dalam posisinya (Herodian 2004). Media pengisi berfungsi untuk mencegah udang dan lobster hidup agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga suhu tetap rendah agar udang tetap pingsan dan memberikan lingkungan udara yang memadai untuk kelangsungan hidup udang atau lobster (Junianto 2003). Syarat media pengisi yang baik adalah memiliki sifat berongga, memiliki sifat mencekal udang dalam kemasan, tidak mudah rusak atau menimbulkan bau dan memiliki nilai ekonomis

10 yang rendah ditinjau dari harga bahan (Prasetiyo 1993). Selain itu, media pengisi yang digunakan juga harus memiliki daya serap air yang tinggi, mampu mempertahankan suhu rendah dalam waktu relatif lama dan kondisi media harus stabil (Suryaningrum et al. 2007). Jenis media pengisi yang biasa digunakan dalam transportasi udang hidup tanpa media air adalah sekam padi, serbuk gergaji, rumput laut berupa Gracilaria sp. dan spon (Prasetiyo 1993 dan Ning 2009). Serutan kayu adalah bahan pengisi yang memiliki rongga udara yang lebih besar dibandingkan serbuk gergaji maupun sekam padi. Namun demikian, serutan kayu masih kurang efektif bila digunakan untuk transportasi udang hidup karena dapat menimbulkan kerusakan fisik sehingga kurang efektif digunakan sebagai bahan pengisi untuk pengemasan. Serutan kayu juga tidak dapat mempertahankan suhu rendah relatif lama sehingga suhu isi kemasan menjadi cepat meningkat serta memiliki tekstur yang kasar dan tidak seragam (Prasetiyo 1993). Sekam padi memiliki tekstur yang baik dan seragam. Sekam padi memiliki bentuk yang menyerupai kantong yang dapat berfungsi untuk menyimpan air meskipun sementara (Muslih 1996). Sekam padi merupakan salah satu media pengisi yang paling efektif sebagai media pengisi selain serbuk gergaji. Namun penggunaan sekam sebagai media pengisi dapat beresiko tinggi karena kemungkinan terikutnya residu pestisida, oleh karena itu, sebelum digunakan sekam harus diberi perlakuan terlebih dahulu untuk menghilangan residu pestisida yaitu dengan pencucian dan perendaman (Junianto 2003). Jenis rumput laut yang biasa digunakan untuk media pengisi adalah Gracilaria sp. Gracilaria sp. mampu mempertahankan suhu rendah lebih lama daripada bahan pengisi lainnya seperti serbuk gergaji, serutan kayu maupun sekam padi (Prasetiyo 1993). Gracilaria sp. memiliki daya serap air yang paling tinggi dibandingkan dengan serbuk gergaji, sekam padi, serutan kayu maupun busa (Sufianto 2008). Namun penggunaan Gracilaria sp. menjadi kurang efektif sebagai media pengisi karena dapat menimbulkan lendir dan bau basi setelah digunakan (Prasetiyo 1993). Lendir yang dihasilkan oleh rumput laut tersebut dapat menghalangi difusi oksigen dari lingkungan dalam kemasan ke dalam

11 insang ikan sehingga daya tahan ikan selama ditransportasikan sistem kering akan menurun (Sufianto 2008). Spon dapat digunakan sebagai media pengisi untuk transportasi lobster air tawar (Suryaningrum et al. 2007). Spon mampu menyerap air sebanyak 14 kali dari berat sponnya sendiri (Hastarini et al. 2006 diacu dalam Suryaningrum et al. 2008). Spon juga dapat digunakan sebagai media pengisi pada transportasi udang galah. Menurut Ning (2009), penyimpanan udang galah hidup dengan media pengisi spon menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 74% pada kemasan sebanyak 1 lapis berisi 20 ekor udang. Namun demikian penggunaan spon juga memiliki kelemahan yaitu dapat mencemari lingkungan karena terbuat dari serat sintetis yang merupakan senyawa anorganik sehingga bahan pada spon tersebut tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Selain itu, penggunaan spon kurang ekonomis bila dibandingkan jerami dan serbuk gergaji. Serbuk gergaji merupakan jenis media pengisi yang paling sering digunakan pada trasportasi udang hidup tanpa media air. Serbuk gergaji dapat digunakan sebagai media pengisi karena mempunyai panas jenis yang lebih besar daripada sekam atau serutan kayu. Selain itu, serbuk gergaji juga memiliki tekstur yang baik dan seragam (Junianto 2003). Namun demikian penggunaan serbuk gergaji sebagai media pengisi memiliki beberapa kelemahan. Serbuk gergaji merupakan media pengisi yang memiliki rongga udara yang lebih kecil daripada serutan kayu, Gracilaria sp. maupun sekam padi sehingga tidak voluminuous dan jika digunakan sebagai media pengisi menjadi lebih berat serta kapasitas angkut menjadi lebih kecil (Prasetiyo 1993 dan Sufianto 2008). Penggunaan serbuk gergaji juga menjadi kurang ekonomis karena untuk digunakan sebagai media pengisi dibutuhkan serbuk gergaji yang relatif banyak yaitu sebesar 3-5 kg dibandingkan sekam sebesar 1-2,5 kg ataupun serutan kayu sebesar <1 kg (Muslih 1996). Jerami merupakan tanaman padi yang telah diambil buahnya (gabahnya) sehingga tinggal batang dan daunnya. Jerami merupakan limbah dari hasil tanaman padi yang selama ini masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat (Makarim et al. 2007). Padahal berdasarkan laporan dari Rahman dan Srikirishanadhas (1994), Mohamed dan Devajaraj (1997), jerami ini

12 bisa dimanfaatkan untuk media pengisi pada transportasi lobster. Jerami memiliki bentuk berupa tabung sehingga dapat menyimpan air untuk sementara. Selain itu, jerami mempunyai daya serap air dan kelembaban yang lebih tinggi daripada serbuk gergaji (Suryaningrum et al. 2000). Media pengisi yang memiliki daya serap air yang tinggi maka akan mampu mempertahankan suhu dingin lebih lama (Prasetiyo 1993). Apapun media pengisi yang digunakan, kestabilan suhu media kemasan harus diperhatikan. Suhu media kemasan harus dapat dipertahankan serendah mungkin mendekati titik imotil, yaitu pada kisaran 12-21 C. Pada suhu di bawah 12 C, udang akan pingsan dan menyebabkan kematian udang, sedangkan suhu di atas 21 C, aktivitas udang normal kembali sehingga udang akan banyak bergerak dan memerlukan banyak oksigen untuk respirasi dan metabolismenya (Wibowo et al. 1994 diacu dalam Suryaningrum et al. 1999). Suhu media kemasan yang tetap rendah berperan dalam mempertahankan tingkat terbiusnya udang selama pengangkutan sehingga ikut mempertahankan ketahanan hidup lobster atau udang dalam media bukan air (Junianto 2003). Kemampuan udang untuk mengambil oksigen dari luar tidak sebaik penyerapan oksigen yang terlarut dalam air (Suryaningrum et al. 1999). Pada kondisi ini, udang membutuhkan air untuk memperoleh oksigen karena udang merupakan organisme dasar/bentik yang tidak bisa mengambil oksigen langsung dari udara (Nybakken 1988). Oleh karena itu, kelembaban pada media pengisi sangat penting dalam transportasi udang tanpa media air. Jerami merupakan salah satu jenis media pengisi yang memiliki kelembaban yang tinggi. Kelembaban jerami berkisar 75-80% (Jolly 2000). Media pengisi yang digunakan dalam transportasi udang/lobster hidup sebaiknya memiliki kelembaban 70-100% untuk mencegah dehidrasi pada udang/lobster dan mengurangi mortalitas selama transportasi karena jika udara di sekitar memiliki RH (relative humidity) kurang dari 70% maka oksigen di udara menjadi seperti kering dan hal ini tidak baik bagi lobster (Mohamed dan Devaraj 1997). Menurut Samet et al. (1996), Penaeus japonicus yang disimpan pada kondisi udara dingin dengan RH 75-85% mengalami dehidrasi dan mati setelah penyimpanan selama 18 jam dengan penyusutan berat sebesar 15,7%.

13 Pertukaran gas secara difusi pada ikan terjadi pada kondisi media pengisi yang lembab dan dingin. Hal tersebut memungkinkan karena media bukan air yang lembab memberi suasana yang lembab dan basah di daerah sekitar insang sehingga titik air yang menempel pada insang menjadi media pertukaran gas secara difusi dengan lingkungan sekitar (Sufianto 2008).

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2010 bertempat di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah udang galah (Macrobrachium rosenbergii) ukuran 50 ekor/kg yang diperoleh dari tambak udang di Desa Karangpapak, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Udang yang akan digunakan dalam penelitian ditransportasikan dengan sistem basah tertutup. Udang dikemas dengan plastik polietilen ukuran 100 liter yang di dalamnya telah diisi udang sebanyak 30 ekor per kemasan, air sebanyak ± 30 liter serta oksigen sebanyak ± 60 liter. Tiap udang galah diberi pentil pada bagian rostrum dan galahnya untuk menghindari kebocoran pada kemasan dan agar udang tidak saling menyerang selama ditransportasikan. Bahan lainnya adalah air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari, es batu, jerami yang diperoh dari sawah di desa Cangkurawok, serbuk gergaji yang diperoleh dari pengrajin kayu di daerah Cibanteng, kotak styrofoam berukuran 39 x 26 x 16,5 cm 3, kantong plastik, lakban dan bahan-bahan untuk pengukuran kualitas air. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah shelter, akuarium berukuran 150 x 50 x 40 cm 3 untuk adaptasi serta pemuasaan, akuarium berukuran 50 x 30 x 20 cm 3 untuk pembiusan, timbangan digital, aerator, ember, baskom, timer, peralatan untuk pengukuran kualitas air, seperti termometer, spektrofotometer, ph meter, DO meter, pipet, alat titrasi, erlemeyer, kertas saring, gelas ukur, gelas piala.

15 3.3 Tahap dan Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari persiapan penelitian dan penelitian utama. 3.3.1 Persiapan penelitian Persiapan penelitian meliputi persiapan media air, media pengisi dan udang galah uji. 1) Persiapan media air Air yang digunakan selama penelitian berasal dari air laboratorium yang telah diendapkan dalam tandon selama 2 hari. Tujuan pengendapan air tersebut adalah untuk mengendapkan zat-zat yang berbahaya bagi udang seperti amoniak dan CO 2. Air laboratorium yang telah diendapkan kemudian diukur kualitas airnya meliputi seperti suhu, ph, DO, CO 2, alkalinitas dan amoniak untuk mengetahui kelayakan air laboratorium sebagai media adaptasi, pemuasaan serta pembiusan udang selanjutnya hasil dari pengukuran kualitas air tersebut dibandingkan dengan hasil pengukuran kualitas air kolam sebagai habitat awal udang galah. Berikut adalah metode pengukuran kualitas air tercantum pada Tabel 2. Tabel 2 Metode pengukuran kualitas air No Parameter Alat Cara pembacaan 1 Suhu air Termometer Pembacaan skala 2 DO DO meter Pembacaan skala 3 ph ph meter Pembacaan skala 4 Amonia Spektrofotometer Pembacaan skala 5 Alkalinitas Alat gelas Titrasi 6 CO 2 Alat gelas Titrasi Sumber : Handini (2008) 2) Persiapan media pengisi a) Persiapan media serbuk gergaji dingin Salah satu jenis media pengisi yang digunakan dalam penelitian adalah serbuk gergaji yang digunakan sebagai kontrol. Sebelum digunakan, serbuk gergaji disaring untuk memisahkan serbuk gergaji halus dengan kotoran-kotoran yang ada kemudian serbuk gergaji halus dicuci dengan air tawar lalu direndam selama 24 jam dan dijemur. Proses pencucian hingga penjemuran dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Serbuk gergaji yang telah kering ditimbang dan

16 direndam dalam air tawar dengan perbandingan serbuk gergaji : air tawar = 1 : 1 (w/v). Selanjutnya, serbuk gergaji tersebut didiamkan selama 2 jam kemudian diaduk dan ditiriskan. Serbuk gergaji yang telah ditiriskan, dimasukkan di freezer selama ± 2 jam. Suhu serbuk gergaji dibiarkan meningkat pada suhu ruangan sampai mencapai suhu pembiusan udang. Setelah mencapai suhu pembiusan udang, serbuk gergaji siap digunakan sebagai media pengisi (Kumum 2006). b) Persiapan media jerami dingin Jerami sebelum digunakan dicuci dahulu kemudian direndam dalam air tawar selama 2 jam lalu ditiriskan dan dibekukan di dalam freezer selama ± 2 jam. Suhu jerami dibiarkan meningkat pada suhu ruangan sampai mencapai suhu pembiusan udang. Setelah mencapai suhu pembiusan udang, jerami siap digunakan sebagai media pengisi. 3) Persiapan udang galah uji Persiapan udang galah uji meliputi adaptasi, pemuasaan, seleksi kesehatan dan kebugaran udang. a) Adaptasi Udang galah yang baru dibeli dari kolam diadaptasi dahulu dengan cara diaklimatisasi pada akuarium yang berisi air laboratorium yang telah diendapkan selama dua hari. Setelah udang galah tenang, udang dipindahkan ke dalam akuarium berukuran 150 x 50 x 40 cm 3. Selama beberapa waktu udang tidak diberi makan dulu agar udang bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Setelah udang mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya, maka udang diadaptasi selama 2 hari. Pada saat diadaptasi, udang diberi pakan dan diberi suplai oksigen melalui aerator. Udang yang sedang diadaptasi diberi tempat berlindung (shelter) sesuai dengan jumlah udang galah yang ditempatkan. Gambar adaptasi udang galah dalam akuarium dapat dilihat pada Lampiran 3. b) Pemuasaan Udang galah yang telah beradaptasi dengan lingkungan barunya, dipuasakan dengan tidak diberi pakan selama 24 jam. Selama proses pemuasaan dalam akuarium, udang diberi suplai oksigen melalui aerator.

17 c) Penyeleksian kesehatan dan kebugaran udang Udang galah uji yang akan digunakan dalam penelitian diseleksi dahulu dengan persyaratan kondisi udang sehat, bugar, tidak sedang moulting, tidak cacat fisik, anggota tubuh udang galah lengkap dan masih utuh serta tidak sedang bertelur untuk udang betina. 3.3.2 Penelitian utama Penelitian utama meliputi pemingsanan udang, penyimpanan udang galah hidup, pembugaran udang setelah penyimpanan serta kelulusan hidup udang. 1) Pemingsanan udang Udang yang telah dipuasakan selanjutnya dipingsankan dalam akuarium pemingsanan ukuran 50 x 30 x 20 cm 3 yang dilengkapi dengan aerator. Proses pemingsanan dilakukan dengan memasukkan 10 ekor udang ke dalam akuarium pemingsanan yang berisi 1 liter air dan 1 kg es batu yang masih terbungkus dengan plastik dengan penurunan suhu secara bertahap hingga udang pingsan. Suhu pemingsanan udang galah tercapai pada suhu 15ºC (Handini 2008).Gambar pemingsanan udang dapat dilihat pada Lampiran 3. 2) Penyimpanan udang galah hidup Kotak styrofoam kosong selanjutnya diisi dengan es batu sebanyak ± 0,5 kg dengan dilapisi koran. Media pengisi masing-masing terdiri dari serbuk gergaji dan jerami yang telah didinginkan serta diatur suhunya ditaburkan di atas es batu sampai semua es tertutupi oleh media pengisi. Kemudian diatas media pengisi, dimasukkan 10 ekor udang galah. Selanjutnya diatas udang galah tersebut dilapisi lagi dengan media pengisi sampai kemasan penuh lalu kemasan ditutup dengan menggunakan lakban. Penyusunan udang dalam media pengisi jerami dan serbuk gergaji dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Gambar 2.

18 Gambar 2. Penyusunan udang galah dalam kemasan styrofoam Pada penyimpanan udang galah ini diamati beberapa parameter yang berpengaruh terhadap mortalitas udang galah seperti lama penyimpanan dan suhu media pengisi selama penyimpanan. Diagram alir penyimpanan udang tanpa media air dalam media pengisi jerami dan serbuk gergaji dapat dilihat pada Gambar 3. a) Lama penyimpanan Lama penyimpanan udang galah terdiri dari 5 selang waktu yaitu 3, 6, 9, 12 dan 15 jam dengan ulangan sebanyak 3 kali untuk setiap perlakuan waktu. b) Pengukuran suhu media pengisi selama penyimpanan Pengukuran suhu media pengisi dilakukan dengan cara menancapkan termometer pada sudut styrofoam hingga termometer menyentuh media pengisi. Pengukuran suhu dimulai dari suhu awal hingga interval-interval lama penyimpanan yang telah ditentukan. Pengamatan terhadap perubahan suhu media pengisi selama penyimpanan dilakukan setiap 30 menit.

19 3) Pembugaran udang Udang yang sudah disimpan sesuai dengan interval lama penyimpanan dibongkar dari kemasan kemudian udang ditempatkan pada tempat terbuka selama 3-5 menit untuk menguapkan amoniak yang terbentuk selama penyimpanan. Selanjunya, udang galah dibugarkan dengan cara memasukkannya ke dalam akuarium pembugaran yang diberi aerasi dengan ketinggian air sebesar setengah dari badan udang, hal ini sesuai dengan Suryaningrum et al. (2007) tentang prosedur pembugaran lobster. Gambar pembugaran udang galah setelah disimpan dalam media pengisi jerami dan serbuk gergaji dapat dilihat pada Lampiran 3. 4) Kelulusan hidup udang galah Udang yang telah bugar kemudian dihitung tingkat kelulusan hidupnya. Pengukuran kelulusan hidup udang galah ini dilakukan baik pada media pengisi serbuk gergaji maupun jerami. Berikut adalah rumus perhitungan tingkat kelulusan hidup udang galah adalah sebagai berikut: 100 Keterangan: M = tingkat kelulusan hidup udang galah Uo = jumlah udang galah yang dikemas Ut = jumlah udang galah yang hidup setelah penyimpanan

20 Udang galah uji Pemingsanan udang dengan penurunan suhu secara bertahap Pengemasan dalam media pengisi serbuk gergaji dengan suhu awal 15ºC Pengemasan dalam media pengisi jerami dengan suhu awal 15ºC Penyimpanan selama 3, 6, 9, 12, 15 jam Penyimpanan selama 3, 6, 9, 12, 15 jam Pembongkaran Pembongkaran Pembugaran Pembugaran Perhitungan kelulusan hidup udang Perhitungan kelulusan hidup udang Gambar 3 Diagram alir penyimpanan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) tanpa media air dalam media pengisi jerami dan serbuk gergaji 3.4 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor yaitu media pengisi dengan taraf serbuk gergaji dan jerami serta lama penyimpanan dengan taraf 3, 6, 9, 12, 15 jam dengan 3 kali ulangan. Adapun model matematika RAL faktorial adalah sebagai berikut:

21 Y ijk = µ+αi+βj+(αβ)ij+εijk Keterangan: Y ijk = nilai pengamatan pada suatu percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor α dan taraf ke-j dari faktor β) µ = nilai tengah populasi αi = pengaruh perlakuan α (media pengisi) taraf ke-i βj = pengaruh perlakuan β (lama penyimpanan) taraf ke-j (αβ)ij = pengaruh interaksi faktor α taraf ke-i dan faktor β taraf ke-j εijk = galat dari satuan perbedaan ke-k dengan kombinasi perlakuan ij Apabila hasil perhitungan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka akan dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Tuckey (Multiple comparisons). Pengolahan data statistik dengan menggunakan SPSS 13 for Windows.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengukuran Kualitas Air untuk Udang Galah Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup udang galah. Air yang digunakan untuk pemeliharaan udang selama penelitian berasal dari air laboratorium yang telah diendapkan dalam tandon selama 2 hari kemudian dilakukan pengukuran kualitas air tersebut dan dibandingkan dengan kualitas air kolam sebagai habitat awal udang galah. Berikut adalah hasil pengukuran kualitas air tercantum pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil Pengujian Kualitas Air Laboratorium dan Air Kolam Udang Galah Sumber Air Suhu ( C) ph DO (mg/l) CO 2 (mg/l) Alkalinitas (mg/l) Amoniak (mg/l) Air laboratorium 26,300 6,540 6,510 1,990 34,000 0,020 Air kolam 26,800 6,550 6,500 1,990 63,000 0,026 Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting di air. Berdasarkan Tabel 3, suhu air kolam dan air laboratorium memiliki kisaran yang hampir sama yaitu 26,300-26,800 C. Kisaran suhu ini masih memenuhi persyaratan suhu pemeliharaan udang galah yaitu 21-32 C (Hadie dan Hadie 2001). Begitu pula dengan ph. ph yang diperoleh dari pengujian kualitas air kolam dan air laboratorium memiliki kisaran yang sama yaitu 6,540-6,550. Kisaran ph ini masih layak untuk mendukung kelangsungan hidup udang galah seperti yang dinyatakan oleh Khairuman dan Amri (2004), bahwa kisaran ph yang baik untuk budidaya udang galah sebesar 6,5-8,5. Oksigen merupakan zat yang dibutuhkan oleh udang galah untuk bernapas. Oksigen yang dibutuhkan oleh udang adalah oksigen yang terlarut dalam air. Kadar oksigen terlarut air laboratorium dan air kolam memiliki kisaran yang hampir sama yaitu 6,500-6,510 mg/l. Kisaran ini masih memenuhi persyaratan kualitas air untuk pemeliharaan udang galah yaitu minimal 4 mg/l air (Khairuman dan Amri 2004).

23 Karbondioksida merupakan zat yang dikeluarkan oleh udang galah saat bernapas. Karbondioksida mudah larut dalam air dan mudah dinetralkan oleh atmosfer (Boyd 1982). Kandungan karbondioksida terlarut air kolam dan air laboratorium memiliki nilai yang sama yaitu 1,990 mg/l air. Kandungan karbondioksida terlarut air laboratorium dan air kolam masih memenuhi persyaratan kualitas air untuk pemeliharaan udang galah yaitu kurang dari 5 mg/l air (Khairuman dan Amri 2004). Amoniak merupakan salah satu senyawa beracun di dalam air yang berbahaya bagi kehidupan udang galah (Khairuman dan Amri 2004). Amoniak dalam air berasal dari buangan metabolit dan aktivitas bakteri pengurai (Boyd 1982). Kandungan amoniak yang diperoleh dari pengukuran kualitas air kolam dan air laboratorium berkisar antara 0,020-0,026 mg/l. Kisaran ini masih layak untuk menjamin kelangsungan hidup udang galah. Batas konsentrasi amoniak yang dapat membunuh udang galah adalah sebesar 0,1-0,3 ppm (Khairuman dan Amri 2003). Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air pada Tabel 3 menunjukkan bahwa air kolam dan air laboratorium memiliki alkalinitas sebesar 34-63 mg/l. Nilai alkalinitas ini masih layak untuk mendukung kelangsungan hidup udang galah. Perairan mempunyai daya penyangga yang cukup bila nilai alkalinitasnya berkisar antara 20-300 mg/l CaCO 3 (Boyd 1982). Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air yang telah dilakukan menunjukkan bahwa air laboratorium masih layak digunakan sebagai media adaptasi, pemuasaan serta pembiusan udang. 4.2 Penentuan Suhu Pemingsanan Udang Udang yang telah diadaptasi selama 2 hari dan dipuasakan selama 24 jam selanjutnya dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap kemudian diamati perubahan tingkah laku udang dengan tujuan untuk mengetahui kondisi udang selama pemingsanan serta menentukan suhu terbaik untuk memingsankan udang galah (Tabel 4).

24 Tabel 4 Perubahan tingkah laku udang akibat penurunan suhu secara bertahap Waktu Suhu Aktivitas udang galah (menit) ( C) 0 26 Kondisi normal, berdiri kokoh, kaki jalan dan kaki renang lincah, respon terhadap rangsangan cepat 3 22 Sebagian besar udang masih berdiri kokoh, namun gerakannya makin lambat dan tenang 12 20 Semua udang sudah tenang 13 19 Sebagian udang mulai terganggu keseimbangan 17 17 Sebagian udang panik dengan meloncat-loncat tak tentu arah 20 16 Sebagian udang masih meloncat tapi loncatannya semakin lemah 33 15 Sebagian besar udang roboh, gerakan kaki jalan dan kaki renang semakin lambat 43 15 Semua udang pingsan, tubuh roboh total, insang masih bergerak teratur, respon lambat 57 14 Udang pingsan, tubuh roboh total, gerakan kaki jalan mulai tidak tampak dan gerakan kaki renang lemah, gerakan insang lemah tetapi masih teratur. 73 13 Udang pingsan, tubuh roboh total, gerakan kaki renang sangat lemah dan gerakan kaki jalan tidak ada, gerakan insang sangat lemah dan tidak teratur Tabel 4 menunjukkan bahwa penurunan suhu secara bertahap menyebabkan perubahan tingkah laku udang. Udang galah berada pada kondisi normal, tubuh berdiri kokoh, kaki jalan dan kaki renang masih bergerak lincah pada saat suhu 26 C. Waktu yang semakin bertambah menyebabkan suhu semakin turun menjadi 22 C, sebagian besar udang masih berdiri kokoh namun gerakannya makin lambat dan tenang (hanya antena yang bergerak), hal ini menandakan sebagian udang telah merespon kondisi perubahan suhu lingkungan yang semakin rendah. Sebagian udang mulai terganggu keseimbangannya ditandai dengan udang mulai berenang miring pada saat suhu 19ºC. Selanjutnya kondisi sebagian udang mulai mengalami kepanikan ditandai dengan gerakan meloncat tak tentu arah pada saat suhu mencapai 17 C. Kondisi ini terus berlangsung sampai suhu mencapai 16 C namun pada suhu ini, loncatan udang semakin lemah. Pada saat suhu 15 C, sebagian udang telah roboh kemudian pingsan, gerakan kaki jalan dan kaki renang yang semakin lambat. Suhu 15 C dipertahankan selama 10 menit, seluruh udang telah pingsan semua, posisi tubuh telah roboh total dan bila diangkat dari air sebagian besar udang tidak memberi perlawanan. Menurut

25 Karnila et al. (1999), waktu pembiusan udang terbaik adalah 10 menit pada suhu kritisnya. Teknik pembiusan udang dengan penurunan suhu secara bertahap hingga suhu mencapai 15ºC dan dipertahankan selama 10 menit menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 91,7% selama 18 jam penyimpanan. Pada saat suhu 14ºC, udang telah pingsan semua, gerakan kaki jalan mulai tidak ada, gerakan kaki renang lemah dan insang bergerak lemah tetapi masih teratur. Saat suhu mencapai 13ºC, kondisi udang semakin melemah, udang tidak mampu merespon rangsangan yang diberikan dan gerakan insang lemah serta tidak teratur. Menurut Salin (2005), udang galah pingsan pada suhu 15±1ºC. Berdasarkan hasil penelitian, suhu 15ºC merupakan suhu terbaik untuk memingsankan udang galah dibandingkan suhu 14ºC maupun suhu 13ºC. Hal ini disebabkan pada suhu 15ºC, udang telah pingsan dan dalam keadaan tenang ketika diangkat dari air sehingga mudah ditangani untuk dikemas. Selain itu, kondisi udang tersebut masih cukup kuat untuk digunakan pada penyimpanan tanpa media air ditandai dengan masih kuatnya gerakan insang saat udang terbius sedangkan kondisi udang pada saat terbius di suhu 14ºC maupun suhu 13ºC lemah sehingga bila digunakan untuk penyimpanan hidup dapat beresiko pada tingginya mortalitas udang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa udang yang dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap akan mengalami gangguan keseimbangan. Terganggunya keseimbangan pada udang galah disebabkan kurangnya oksigen dalam darah. Menurut Philips et al. (1980) diacu dalam Suryaningrum et al. (1997) laju konsumsi oksigen pada hewan air akan menurun dengan menurunnya suhu media. Penurunan konsumsi oksigen pada lobster akan mengakibatkan jumlah oksigen yang terikat dalam darah semakin rendah. Kondisi ini akan mengakibatkan suplai oksigen ke jaringan syaraf juga berkurang sehingga menyebabkan berkurangnya aktivitas fisiologi dan lobster menjadi tenang (Suryaningrum et al. 1997). Hal ini juga terjadi pada udang galah yang dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap. Kekurangan oksigen yang lebih lanjut pada udang galah menyebabkan terganggunya sistem keseimbangan tubuh sehingga udang galah menjadi pingsan dan akhirnya roboh.

26 4.3 Penyimpanan Udang tanpa Media Air Udang yang telah pingsan selanjutnya dikemas dan disimpan dalam kotak styrofoam yang di dalamnya diberi media pengisi berupa serbuk gergaji atau jerami. Parameter yang diamati pada penyimpanan udang tanpa media air adalah perubahan suhu media pengisi baik jerami maupun serbuk gergaji selama penyimpanan dan kondisi udang setelah penyimpanan. 4.3.1 Perubahan suhu media pengisi selama penyimpanan Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam transportasi udang hidup sistem kering (Andasuryani 2003). Hasil pengamatan suhu selama penyimpanan menunjukkan bahwa suhu media pengisi serbuk gergaji maupun jerami terus meningkat selama penyimpanan (Tabel 5, Lampiran 7 dan Lampiran 8). Tabel 5 Perubahan suhu media pengisi Lama Media pengisi jerami Media pengisi serbuk gergaji penyimpanan Suhu awal Suhu akhir Suhu awal Suhu akhir ( o C) (jam) ( o C) ( o C) ( o C) 3 15 16 15 16 6 15 17 15 17 9 15 18 15 18 12 15 19,5 15 20 15 15 21 15 22 Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa suhu awal media pengisi jerami dan serbuk gergaji adalah 15ºC kemudian suhunya terus meningkat seiring bertambahnya waktu penyimpanan. Suhu jerami setelah penyimpanan selama 3, 6, 9, 12 dan 15 jam meningkat masing-masing menjadi 16ºC, 17ºC, 18ºC, 19,5ºC dan 21ºC, kelima suhu tersebut masih berada pada kisaran suhu transportasi untuk mengangkut udang hidup seperti yang dinyatakan Wibowo et al. (1994) diacu dalam Suryaningrum et al. (1999) bahwa suhu yang digunakan untuk transportasi udang hidup berkisar antara 12-21 o C. Sedangkan suhu serbuk gergaji setelah penyimpanan selama 3, 6, 9, 12 jam meningkat masing-masing menjadi 16ºC, 17ºC, 18ºC, 20ºC, keempat suhu tersebut masih berada pada kisaran suhu transportasi udang hidup yaitu kurang dari 21ºC. Kenaikan suhu serbuk gergaji yang melewati batas kritis suhu untuk transportasi udang hidup (>21ºC) terjadi pada menit ke 810 dan setelah penyimpanan selama 15 jam, suhu serbuk gergaji

27 meningkat menjadi 22ºC (Lampiran 8). Kenaikan suhu yang terjadi pada media serbuk gergaji maupun jerami disebabkan adanya penetrasi udara luar (ruang) yang lebih tinggi yang mengalir ke kemasan sehingga mengakibatkan meningkatnya suhu media pengisi. Es yang diletakkan di dasar kemasan tidak mampu lagi mempertahankan suhu media pengisi karena es yang digunakan telah mencair selama penyimpanan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa laju peningkatan suhu pada jerami relatif lebih lambat dibandingkan serbuk gergaji (Lampiran 7 dan Lampiran 8). Hal ini disebabkan jerami memiliki daya serap air yang lebih tinggi daripada serbuk gergaji (Suryaningrum et al. 2000). Media pengisi yang memiliki daya serap air yang tinggi maka akan mampu mempertahankan suhu dingin lebih lama (Prasetiyo 1993). Daya serap air pada jerami dipengaruhi oleh bentuk fisiknya. Jerami memiliki rongga dan bentuk berupa tabung yang dapat menyimpan air untuk sementara sehingga menyebabkan media ini memiliki daya serap air yang lebih tinggi dibandingkan dengan serbuk gergaji. Berdasarkan hasil penelitian, perendaman jerami pada air yang melimpah menyebabkan terikutnya air pada kemasan sebesar 35-40% dari bobot jerami yang digunakan. Air yang terikut ini menunjukkan bahwa jerami memiliki daya serap air yang tinggi. 4.3.2 Kondisi udang setelah penyimpanan Udang yang telah disimpan selama 3, 6, 9, 12 dan 15 jam selanjutnya dibongkar. Kondisi udang saat dibongkar, diamati untuk mengetahui kemampuan media pengisi dalam menahan udang agar tidak bergeser dari kemasan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi udang yang disimpan selama 3 jam dan 6 jam dalam media serbuk gergaji maupun jerami tidak ada yang bergeser dari media pengisi, udang masih belum sadar ketika kemasan dibongkar dan hanya insang yang bergerak. Kondisi udang yang masih belum sadar disebabkan suhu media pengisi jerami maupun serbuk gergaji yang masih rendah yaitu 16-17 ºC. Kondisi udang yang disimpan dalam jerami selama 9 jam, sebagian diam ketika dibongkar, sedangkan udang yang disimpan dalam media serbuk gergaji, kondisinya sebagian kecil mati saat kemasan dibongkar. Kematian udang yang disimpan dalam media serbuk gergaji diduga karena udang tersebut lemah atau

28 mungkin telah sadar selama penyimpanan. Udang yang telah sadar membutuhkan oksigen lebih banyak karena aktivitasnya mulai meningkat sementara cadangan oksigen dalam tubuh udang terbatas sehingga udang membutuhkan pasokan oksigen dari lingkungan sekitar (media pengisi). Namun pasokan oksigen dalam media pengisi serbuk gergaji terbatas sehingga menyebabkan udang tersebut akan kekurangan oksigen dan akhirnya mati saat penyimpanan. Bentuk serbuk gergaji yang memiliki rongga udara kecil menyebabkan kemampuan memasok oksigennya tidak sebaik jerami yang memiliki rongga udara lebih besar daripada serbuk gergaji. Jenis media pengisi yang memiliki rongga udara yang lebih besar maka akan memasok udara (O 2 ) bebas lebih besar (Sufianto 2008). Kondisi udang yang disimpan dalam media jerami selama 12 jam dan 15 jam telah sadar saat kemasan dibongkar, namun tidak ada udang yang berubah posisi dari media jerami. Hal ini menunjukkan bahwa jerami lebih kuat menahan udang agar tidak bergeser selama penyimpanan karena morfologi jerami yang berbentuk tabung sehingga tidak mudah turun ke dasar saat es mencair. Sedangkan udang yang disimpan selama 12 jam dan 15 jam dalam media pengisi serbuk gergaji, saat kemasan dibongkar, sebagian kecil berada di luar media serbuk gergaji dan tergeletak lemah dengan gerakan insang, kaki jalan dan kaki renang yang lambat sedangkan udang lainnya masih terselimuti media pengisi namun kondisinya juga lemah. Naiknya udang ke bagian atas kemasan diduga karena adanya ruang kosong yang terbetuk akibat mencairnya es selama penyimpanan. Es yang mencair membuat serbuk gergaji turun ke dasar kemasan sehingga membentuk ruang kosong di bagian atas kemasan yang kemudian ditempati oleh udang yang telah sadar sehingga udang menjadi tidak terselimuti lagi dengan serbuk gergaji. Berdasarkan hasil penelitian Suryaningrum et al. (1994), lobster yang disimpan pada serbuk gergaji selama 20 jam, sebagian besar lobster keluar dari serbuk gergaji saat kemasan dibongkar. Hal ini menunjukkan serbuk gergaji sebagai media pengisi tidak kuat untuk menahan udang maupun lobster selama dalam kemasan. Bentuk serbuk gergaji yang kecil menyebabkan media ini mudah turun ke dasar permukaan saat es telah mencair.

29 4.4 Pembugaran udang Udang yang telah selesai dibongkar kemudian dibugarkan. Berikut adalah kondisi udang saat dibugarkan dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7 sedangkan waktu pembugaran udang dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 6 Kondisi udang yang disimpan dalam media pengisi jerami saat dibugarkan Jenis media Lama penyimpanan Kondisi udang saat dibugarkan (jam) Jerami 3 Sebagian besar udang diam dan udang lainnya mulai menggerakkan kaki jalan dan kaki renangnya saat dimasukkan ke dalam air. Semua udang hidup dan bugar kembali setelah 25-30 menit dalam air. 6 Sebagian besar udang diam dan udang lainnya mulai menggerakkan kaki jalan dan kaki renangnya saat dimasukkan ke dalam air. Semua udang hidup dan bugar kembali setelah 20-25 menit dalam air. 9 Sebagian besar udang diam dan udang lainnya mulai menggerakkan kaki jalan dan kaki renangnya saat dimasukkan ke dalam air. Semua udang hidup dan bugar kembali setelah 20-25 menit dalam air. 12 Sebagian besar mulai menggerakkan kaki jalan dan kaki renangnya ketika dimasukkan ke dalam air. Udang yang mati sebanyak 4 ekor dari 30 ekor udang yang disimpan. Udang bugar kembali setelah menit ke 25-30. 15 Sebagian besar mulai menggerakkan kaki jalan dan kaki renangnya ketika dimasukkan ke dalam air. Udang yang mati sebanyak 8 ekor dari 30 ekor udang yang disimpan. Udang bugar kembali setelah menit ke 25-30.

30 Tabel 7 Kondisi udang yang disimpan dalam media serbuk gergaji saat dibugarkan Jenis media Lama penyimpanan Kondisi udang saat dibugarkan (jam) Serbuk gergaji 3 Sebagian besar udang diam dan udang lainnya mulai menggerakkan kaki jalan dan kaki renangnya saat dimasukkan ke dalam air. Semua udang bugar dan hidup kembali setelah 25-30 menit dalam air. 6 Sebagian besar udang diam dan udang lainnya mulai menggerakkan kaki jalan dan kaki renangnya saat dimasukkan ke dalam air. Semua udang bugar dan hidup kembali setelah 25-30 menit dalam air. 9 Saat dimasukkan ke dalam air sebagian tergeletak lemah. Udang yang mati sebanyak 4 ekor dari 30 ekor udang yang disimpan. Udang bugar kembali setelah 29-30 menit dalam air. 12 Kondisi udang setelah dibugarkan sebagian tergeletak lemah dan lainnya mati. Udang yang mati sebanyak 9 ekor dari 30 ekor udang yang disimpan. Udang baru bugar kembali setelah 40-42 menit dalam air. 15 Kondisi udang setelah dibugarkan sebagian tergeletak lemah dan lainnya mati. Udang yang mati sebanyak 15 ekor dari 30 ekor udang yang disimpan. Udang baru bugar kembali setelah 40-42 menit dalam air. Berdasarkan Tabel 6 dan Tabel 7 dapat diketahui bahwa secara umum kondisi udang yang disimpan dalam media jerami ketika dibugarkan dalam air lebih bugar dibandingkan dengan udang yang disimpan dalam media serbuk gergaji. Hal ini dapat dilihat dari waktu pembugaran yang lebih cepat dan gerakan udang yang lebih lincah saat dibugarkan. Kondisi udang yang disimpan dalam media serbuk gergaji terlihat lemah dengan gerakan yang masih lambat saat dibugarkan di dalam air.

31 4.4 Kelulusan Hidup Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) Udang galah yang telah bugar kemudian dihitung kelulusan hidupnya seperti tercantum pada Lampiran 5 sedangkan persentase rata-rata kelulusan hidup udang galah tercantum pada Tabel 8. Tabel 8 Persentase rata-rata kelulusan hidup udang galah (Macrobrachium rosenbergii) Jenis media pengisi Persentase rata-rata kelulusan hidup udang galah (%) 3 jam 6 jam 9 jam 12 jam 15 jam Jerami 100 100 100 86,67 73,33 Serbuk gergaji 100 100 86,67 70 50 Berdasarkan Tabel 8, lama penyimpanan 3 jam dan 6 jam dalam media pengisi jerami maupun serbuk gergaji menghasilkan persentase kelulusan hidup udang sebesar 100%. Udang yang disimpan dalam media pengisi jerami selama 9, 12 dan 15 jam memiliki kelulusan hidup masing-masing sebesar 100%, 86,67%, 73,33% lebih tinggi dibandingkan dengan udang yang disimpan dalam media pengisi serbuk gergaji selama 9, 12 dan 15 jam dengan kelulusan hidup masing-masing sebesar 86,67%, 70%, 50%. Berdasarkan Tabel 8 diperoleh hasil bahwa waktu penyimpanan yang semakin lama membuat kelulusan hidup udang dalam kemasan semakin menurun. Kelulusan hidup udang sebesar 100% tidak dapat dicapai pada lama penyimpanan lebih dari 9 jam. Kelulusan hidup udang terendah terjadi pada penyimpanan udang dalam media serbuk gergaji selama 15 jam dengan kelulusan hidup udang sebesar 50%. Hasil uji statistik dengan menggunakan rancangan acak lengkap dua faktor dengan 3 kali ulangan menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95% perlakuan media pengisi, lama penyimpanan serta interaksi keduanya memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap kelulusan hidup udang galah selama penyimpanan tanpa media air. Oleh karena itu, dilakukan uji lanjut yaitu Uji Tuckey untuk mengetahui perlakuan-perlakuan yang berbeda nyata (Lampiran 6A). Dari perlakuan jenis media pengisi terhadap kelulusan hidup udang galah diperoleh hasil seperti Gambar 4 sedangkan kelulusan hidup udang

32 setelah perlakuan lama penyimpanan diperoleh hasil seperti Gambar 5. Kelulusan hidup udang (%) 100 50 0 92 81,33 jerami serbuk gergaji Media pengisi Gambar 4. Diagram kelulusan hidup udang pada media pengisi jerami dan serbuk gergaji sampai penyimpanan 15 jam Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa penggunaan media pengisi jerami pada penyimpanan udang galah hidup menghasilkan udang hidup sebanyak 138 ekor dari 150 ekor udang yang diuji (92%) yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan udang yang disimpan dalam serbuk gergaji dengan kelulusan hidup sebesar 81,33% atau menghasilkan udang hidup kembali sebanyak 122 ekor dari 150 ekor udang yang diuji. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan jerami sebagai media pengisi untuk penyimpanan udang galah hidup lebih baik bila dibandingkan dengan serbuk gergaji. Kelulusan hidup udang (%) 120 100 80 60 40 20 0 100 100 93,33 78,33 61,67 3 jam 6 jam 9 jam 12 jam 15 jam Lama penyimpanan (jam) Gambar 5. Diagram kelulusan hidup udang setelah penyimpanan pada media pengisi jerami dan serbuk gergaji

33 Berdasarkan Gambar 5, diperoleh hasil bahwa lama penyimpanan yang berbeda akan menghasilkan persentase kelulusan hidup udang galah yang berbeda. Pada lama penyimpanan 3 jam dan 6 jam, dari udang yang dikemas sebanyak 60 ekor diperoleh udang yang hidup sebanyak 60 ekor atau 100% udang dapat hidup kembali. Lama penyimpanan 9 jam dan 12 jam, diperoleh udang yang hidup masing-masing sebanyak 56 ekor (93,33%) dan 47 ekor (78,33%). Kelulusan hidup udang galah terendah ada pada lama penyimpanan udang selama 15 jam yang menghasilkan udang hidup sebanyak 37 ekor dari 60 ekor udang yang diuji dengan tingkat kelulusan hidup sebesar 61,67%. Hasil uji statistik menunjukkan pada selang kepercayaan 95%, lama penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap kelulusan hidup udang galah. Lama penyimpanan selama 3 jam menghasilkan kelulusan hidup udang sebesar 100% berbeda nyata terhadap lama penyimpanan 12 jam dan 15 jam yang menghasilkan kelulusan hidup masing-masing sebesar 78,33% dan 61,67% sedangkan kelulusan hidup pada lama penyimpanan 3 jam tidak berbeda nyata dengan lama penyimpanan 6 jam dan 9 jam (Gambar 4 dan Lampiran 6B). Hasil uji statistik, interaksi antara faktor lama penyimpanan dan media pengisi menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada kelulusan hidup udang. Perlakuan media pengisi jerami dengan lama penyimpanan 3 jam menghasilkan kelulusan hidup udang sebesar 100% berbeda nyata dengan lama penyimpanan 15 jam dalam media jerami yang menghasilkan kelulusan hidup udang sebesar 73,33% dan juga berbeda nyata terhadap media pengisi serbuk gergaji pada lama penyimpanan 12 jam dan 15 jam yang menghasilkan kelulusan hidup udang masing-masing sebesar 70% dan 50%. Perlakuan media pengisi jerami dengan lama penyimpanan 3 jam tidak berbeda nyata dengan lama penyimpanan 6 jam, 9 jam, 12 jam dalam media jerami yang menghasilkan kelulusan hidup udang masing-masing sebesar 100%, 100%, 100%, 86,67% dan juga tidak berbeda nyata terhadap media pengisi serbuk gergaji pada lama penyimpanan 3 jam, 6 jam, 9 jam dengan kelulusan hidup masing-masing sebesar 100%, 100%, 86,67% sedangkan perlakuan lama penyimpanan 15 jam dalam media pengisi serbuk gergaji berbeda nyata dengan semua kombinasi

34 perlakuan (Lampiran 6C). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan jerami sebagai media pengisi menghasilkan kelulusan hidup udang lebih tinggi dibandingkan dengan serbuk gergaji. Hal ini disebabkan suhu jerami yang masih lebih rendah yaitu 21 C sampai penyimpanan 15 jam dibandingkan dengan serbuk gergaji yang telah mencapai 22 C (Lampiran 7 dan Lampiran 8). Suhu media kemasan yang tetap rendah berperan dalam mempertahankan tingkat terbiusnya udang selama pengangkutan sehingga ikut mempertahankan ketahanan hidup udang dalam media bukan air (Junianto 2003). Kelulusan hidup udang yang disimpan dalam jerami lebih tinggi daripada serbuk gergaji juga disebabkan masih tingginya kelembaban yang ada pada jerami selama penyimpanan, hal ini karena jerami memiliki bentuk berupa tabung sehingga dapat menyimpan air untuk sementara. Kelembaban yang terkandung dalam jerami cukup tinggi berkisar 75-80% (Jolly 2000). Kelembaban yang masih tinggi pada jerami memberikan suasana basah pada karapas maupun insang udang sehingga bila udang telah sadar dan konsumsi oksigen semakin meningkat maka udang dapat memperoleh oksigen melalui pertukaran gas secara difusi antara titik air yang menempel pada insang dengan lingkungan sekitar (media pengisi). Hal ini dikarenakan kemampuan udang untuk mengambil oksigen dari luar tidak sebaik penyerapan oksigen yang terlarut dalam air (Suryaningrum et al. 1999). Pada kondisi ini, udang membutuhkan air untuk memperoleh oksigen karena udang merupakan organisme dasar/bentik yang tidak bisa mengambil oksigen langsung dari udara (Nybakken 1988). Media pengisi yang digunakan untuk transportasi udang/lobster hidup sebaiknya memiliki kelembaban 70-100% untuk mencegah dehidrasi pada udang/lobster dan mengurangi mortalitas selama transportasi (Mohamed dan Devaraj 1997). Tingkat kematian udang yang dikemas dalam media pengisi serbuk gergaji lebih tinggi daripada jerami diduga juga disebabkan oleh adanya kandungan damar dan terpenten pada serbuk gergaji. Menurut Prasetiyo (1993), serbuk gergaji mengandung komponen toksik yaitu damar dan terpenten yang dapat meningkatkan mortalitas udang selama penyimpanan. Sedangkan jerami lebih aman digunakan sebagai media pengisi karena tidak mengandung zat-zat yang

35 dapat berbahaya bagi udang yang akan ditransportasikan. Berdasarkan hasil pengamatan bau pada media pengisi setelah dibongkar, jerami memiliki bau yang khas jerami sedangkan pada serbuk gergaji setelah kemasan dibongkar bau damar dan terpenten masih tercium. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelulusan hidup udang semakin menurun seiring bertambahnya lama penyimpanan. Hal ini disebabkan sebagian udang telah sadar saat disimpan sehingga aktivitas maupun metabolismenya semakin meningkat. Aktivitas udang baik fisik maupun metabolisme yang semakin tinggi, berarti menuntut ketersediaan oksigen yang tinggi namun ketersediaan oksigen dalam media kering terbatas sehingga udang kekurangan oksigen dan dapat berakibat pada kematian (Setiabudi et al. 1995). Udang yang telah sadar ini disebabkan suhu media pengisi yang tinggi. Tingkat keberhasilan transportasi maupun penyimpanan udang hidup juga dipengaruhi oleh kondisi udang sebelum disimpan. Udang yang ditransportasikan dalam keadaan tidak bugar, cacat fisik maupun moulting lebih cepat mati dalam kemasan karena kondisi udang yang lemah. Menurut Nitibaskara (1997) diacu dalam Suryaningrum et al. (1999), udang yang dikemas dan ditransportasikan dari tambak setelah dipanen dapat bertahan sampai 24 jam penyimpanan, sedangkan pada penelitian ini udang galah diambil dari kolam kemudian ditransportasikan selanjutnya dipuasakan di laboratorium sehingga tingkat kebugaran udang galah ini tidak sebaik jika udang tersebut langsung dikemas dari kolam. Menurut Fotedar dan Evans (2011), tingginya mortalitas pada krustasea selama penyimpanan pasca penangkapan dan transportasi krustasea hidup kebanyakan merupakan hasil dari respon stress yang disebabkan kondisi lingkungan yang tidak sesuai atau karena penanganan fisik. Stress yang dialami pada udang galah disebabkan penanganan pasca panen, hipoksia, penyimpanan maupun transportasi (Fotedar dan Evans 2011). Menurut Goodrick (1993), pada transportasi udang hidup untuk menghasilkan keuntungan dan harga yang tinggi maka tingkat kelulusan hidup udang harus lebih dari 95%.

36 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penggunaan media pengisi jerami pada penyimpanan udang galah hidup tanpa media air lebih baik bila dibandingkan dengan media pengisi serbuk gergaji. Udang galah yang disimpan dalam jerami selama 15 jam menghasilkan persentase kelulusan hidup udang sebesar 73,33% lebih tinggi bila dibandingkan dengan media pengisi serbuk gergaji yang hanya sebesar 50%. 5.2 Saran Perlu diaplikasikan pada transportasi yang sebenarnya dan perlu dilakukan penelitian pada jenis udang maupun komoditas perikanan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA Andasuryani. 2003. Pengendalian suhu dan pengukuran oksigen peti kemas transportasi sistem kering udang dan ikan dengan kendali fuzzy [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Boyd. 1982. Water Quality Mangement for Pond Fish Culture. USA: Departement of Fisheries and Apllied Aquaculture, Agricultural Experiment Station Auburn University, Alabama. Coyle SD, Dasgupta S, Tidwell J, Beavers T, Bright LA, Yaharian DK. 2005. Comparative efficacy of anesthetics for the freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii. Journal of The World Aquaculture Society 36 (3): 282. De Man, J.G. 1879. On some species of the genus Palaemon Fabr. with descriptions of two new forms. Notes Leden Museum, 1: 165-184. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2008. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia. Jakarta : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Fotedar S, Evans L. 2011. Health management during handling and live transport of crustaceans: a review. Journal of Invertebrate Pathology 6(1): 143-152. Goodrick GB, Paterson BD dan Grauf S. 1993. Air transport of live kuruma prawns (Penaeus japonicus) temperature control improves survival. Journal Food Australia 45 (8): 400. Hadie W dan Hadie LE. 2001. Tinjauan tingkah laku reproduski udang galah. Di dalam: Prosiding Workshop Hasil Penelitian Budidaya Udang Galah. Pusat Riset Perikanan Budidaya hlm 56-53. Handini W. 2008. Teknik pembiusan menggunakan suhu rendah pada sistem transportasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii) tanpa media air [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Herodian S, Hariyadi S, Yamin M. 2004. Perancangan Sistem Transportasi Udang dan Ikan Hidup Metoda Kering dengan Sistem Kendali Otomatik. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing X Tahun 2002-2004. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaaan Masyarakat. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Johari, Ismail M, Sharipah A. 2000. Transportation of dry packed live tiger prawn (Penaeus monodon). Food Technology Center of Malaysia. http:www.asean food.info/scripts/count_article.asp [5 Desember 2010].

38 Jolly R. 2000. Strawble Mouisture Monitoring Report. http: www.baubiologie.at/download [13 Mei 2011]. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Karnila R, Herodian S, Astawan M, Nitibaskara RR. 1999. Pengaruh suhu dan waktu pembiusan bertahap terhadap kelulusan hidup udang windu tambak (Penaeus monodon) selama transportasi sistem kering. Buletin Keteknikan Pertanian 13(1): 48-55. Khairuman dan Amri. 2004. Kiat mengatasi permasalahan budidaya udang galah secara intensif. Jakarta: Agro Media Pustaka. Kumum. 2006. Pemuasaan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dan kelulusan hidupnya selama penyimpanan dalam media serbuk gergaji dingin [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Makarim AK, Sunarnortanian, Suyamto. 2007. Jerami padi, pengelolaan dan pemanfaatannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. [artikel]. http: //pustakadepatan.go.id [11 Oktober 2010]. Mohamed MP, Devaraj M. 1997. Transportation of Live Finfishes and Shellfishes. Tatapuram: Indian Council of Agricultural Research, Central Marine Fisheries Research Institute. Muslih I. 1996. Rancangan media pengisi kemasan untuk transportasi udang windu tambak (Penaeus monodon) hidup dalam media bukan air [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nadlal S dan Pickering T. 2005. Freshwater Prawn Mavrobrachium rosenbergii Farming in Pasific Island Countries Volume I. Hatchery Operation Secretariat Pasific Community and The University of The South Pasific Ning S. 2009. Studies on the giant freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii live transportation without using water. Marine Sciences. Nitibaskara R, Wibowo S dan Uju. 2006. Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup untuk Konsumsi. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nybakken W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia. Patterson BD. 1993. Respiration rate of kuruma prawn, Penaeus japonicus Bate, is not increased by handling at low temperature 12ºC. Journal of Applied Aquaculture 114(3-4): 229.

39 Prasetiyo. 1993. Kajian kemasan dingin untuk transportasi udang hidup secara kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Purbani T. 2006. Peluang Ekspor Udang Galah. [artikel]. http:/www.agrina_online.com/show article.php. [11 Oktober 2010]. Rahman K Md dan Srikirishnadhas B. 1994. Packing of live lobster the Indian experience. Infofish Internasional. Indian. Edisi 6/94 Salin KR. 2005. Live Transportation of Macrobrachium rosenbergii (De man) in chilled sawdust. Journal Aquaculture Research. 36(3): 300. Samet M, Kaworu N, Nagayama T. 1996. Tolerance and respiration of the prawn (Penaeus japonicus) under cold air condition. Journal of Applied Aquaculture 143(2): 205. Setiabudi E, Y. Sudrajat, MD Erlina, S Wibowo. 1995. Studi penggunaan metode pembiusan langsung dengan suhu rendah dalam transportasi sistem kering udang windu (Penaeus monodon Fab.). Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan (84): 8-21. Subasinghe S. 1997. Live fish handling and transportation. Infofish International. Edisi 2/97. India Sufianto B. 2008. Uji transportasi ikan mas koki (Carassius auratus) hidup sistem kering dengan perlakuan suhu dan penurunan konsentrasi oksigen [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suryaningrum Th D, Setaiabudi E, Muljanah I, AM Anggawati. 1994. Kajian penggunaan metode pembiusan secara langsung pada suhu rendah dalam transportasi lobster hijau pasir (Panulirus homarus) dalam media kering. Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan 79: 57-72. Suryaningrum Th D, Setiabudi E, Erlina ME. 1997. Pengaruh penurunan suhu bertahap terhadap aktivitas dan sintasan lobster hitam (Panulirus penicullatus) selama transportasi sistem kering. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 3(2): 63-70. Suryaningrum Th D, Utomo BSB. 1999. Pengaruh suhu media serbuk gergaji dingin terhadap sintasan udang windu (Penaeus monodon) dalam kemasan kering. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional dan Diseminasi Teknologi Budidaya Laut dan Pantai. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan hlm 235-239.

40 Suryaningrum TD, Indriati N, Amini S. 2000. Penelitian model kemasan transportasi hidup ikan kerapu sistem kering. Di dalam: Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000, Sukamandi, 21-22 September 2000 hlm 278-284. Suryaningrum Th D, Utomo BSB, Wibowo S. 2005. Teknologi Penanganan dan Transportasi Krustasea Hidup. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Suryaningrum Th D, Syamidi dan Ikasari. 2007. Teknologi penanganan dan transportasi lobster air tawar. Squalen 2(2): 37-42. Suryaningrum Th D, Ikasari D, Syamidi. 2008. Pengaruh kepadatan dan durasi dalam kondisi transportasi sistem kering tehadap kelulusan hidup lobster air tawar (Cherax quandricarinatus). Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 3(2): 171-181. Tambunan LA. 2009. Gurihnya laba udang galah. [artikel]. http:www.lipi.go.id [5 Desember 2010]. White John. 2008. Macrobrachium rosenbergii. [artikel]. http:www.animalpicturesarchive.com. [28 Januari 2011]. Wibowo SS. 1986. Pemeliharaan Udang Galah di Kolam Air Tawar. Jakarta: PT Wacana Utama Pramesti.

42 42 Lampiran 1 Tabel Data Ukuran Udang Galah No Bobot (cm) Panjang Baku (gr) Panjang Total (gr) 1 20,83 8,40 12,80 2 20,84 8,40 12,60 3 20,21 8,90 12,30 4 20,43 8,90 12,40 5 19,11 8,30 11,70 6 18,77 8,50 11,70 7 18,46 7,90 12,20 8 18,46 8,00 11,80 9 20,14 9,30 12,60 10 18,83 8,00 11,90

43 Lampiran 2 Alat-alat penelitian Spektrofotometer ph meter dan DO meter Alat Titrasi

44 Lampiran 3 Dokumentasi penelitian Kolam habitat asal udang galah Akuarium pemeliharaan Pemingsanan Penyimpanan udang dengan media jerami Penyimpanan udang dengan media serbuk gergaji Pembugaran udang setelah disimpan