mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah" atau susah nya lokas tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proses mengangkut dan mengalihkan dengan menggunakan alat pendukung untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

APLIKASI SEDERHANA: INTERAKSI TATA GUNA LAHAN DAN TRANSPORTASI

TUGAS AKHIR. Oleh : BENI ANGGID LAKSONO L2D

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Perjalanan merupakan suatu kegiatan rutin yang selalu dilakukan setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peraturan Perundangan di Bidang LLAJ. Pasal 3 yang berisi menyataan transportasi jalan diselenggarakan

BAB. I PENDAHULUAN. membuat kota ini terdiri dari lima wilayah kecamatan (Distric), yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

ANALISIS BANGKITAN DAN TARIKAN PERGERAKAN PENDUDUK BERDASARKAN DATA MATRIKS ASAL TUJUAN KOTA MANADO ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Pendapatan yang rendah, terbatasnya sumber daya, khususnya dana, kualitas dan


BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukannya. Pergerakan dikatakan juga sebagai kebutuhan turunan, sebab

ANALISIS KEBUTUHAN ANGKUTAN KOTA MANADO (STUDI KASUS: TRAYEK PUSAT KOTA MALALAYANG DAN TRAYEK PUSAT KOTA KAROMBASAN)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu tempat ke tempat lain untuk berbagai aktivitasnya, dan semua manusia

I. PENDAHULUAN. Perkotaan yang mengalami perkembangan selalu menghadapi permasalahan

1.1 Latar Belakang Masalah

PENGARUH AKTIVITAS PERDAGANGAN DAN JASA TERHADAP VOLUME LALU LINTAS DI RUAS JALAN HERTASNING KOTA MAKASSAR

BAB III METODE PENELITIAN

KAJIAN KINERJA JALAN ARTERI PRIMER DI SIMPUL JALAN TOL JATINGALEH KOTA SEMARANG (Studi Kasus : Penggal Ruas Jalan Setia Budi)

MODEL RUTE ANGKUTAN UMUM PENUMPANG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR

KAJIAN PERPINDAHAN MODA (MODE SHIFTING) DARI PENGGUNA KENDARAAN PRIBADI KE KENDARAAN UMUM (STUDI KASUS: KOTA BANDUNG)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perencanaan merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KINERJA RUAS JALAN KORIDOR JALAN TJILIK RIWUT AKIBAT TATA GUNA LAHAN DI SEKITAR KORIDOR BERDASARKAN KONTRIBUSI VOLUME LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. Dalam wilayah suatu negara akan ada kota yang sangat besar, ada kota

BAB I PENDAHULUAN. lemahnya perencanaan dan kontrol membuat permasalahan transportasi menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Tamin, 1997). Bangkitan Pergerakan (Trip Generation) adalah jumlah perjalanan

BAB I PENDAHULUAN. Kota Semarang yang merupakan Ibukota Jawa Tengah adalah salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian

KAJIAN TARIKAN PERGERAKAN TOSERBA DI KOTA JOMBANG

BAB I PENDAHULUAN. Jalan merupakan prasarana transportasi yang sangat penting untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMODELAN TARIKAN PERJALANAN MAHASISWA DENGAN SEPEDA MOTOR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia sebagai negara berkembang saat ini sedang giat melaksanakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang

TUGAS AKHIR. Oleh: RICO CANDRA L2D

PERBANDINGAN BEBERAPA METODE TRIP ASSIGMENT (PEMBEBANAN PERJALANAN) DALAM PEMODELAN TRANSPORTASI FOUR STEP MODEL

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. mengangkut dari suatu tempat ke tempat lain. Sementara menurut Papacostas

BAB II STUDI PUSTAKA. masing-masing harus dilakukan secara terpisah dan berurutan. Sub-sub model. Bangkitan dan tarikan pergerakan

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan yang terjadi antara dua tempat yaitu tempat di mana

BAB I PENDAHULUAN. oleh Negara Negara yang telah maju maupun oleh Negara yang sedang

REKAYASA TRANSPORTASI LANJUT UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA

OPTIMASI INTERAKSI TATA GUNA LAHAN DAN TRANSPORTASI STUDI KASUS: KOTA BANDUNG. Oleh :

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Konsep Pemodelan. Model adalah alat bantu atau media yang dapat digunakan untuk

PERBANDINGAN PENILAIAN TINGKAT PELAYANAN JALAN MENURUT PM 96/2015 DAN KM 14/2006

JADWAL PERENCANAAN TAHUN 2017 UNTUK PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN KOTA DEPOK TAHUN 2018

3.1. METODOLOGI PENDEKATAN MASALAH

BAB III LANDASAN TEORI. memenuhi kriteria-kriteria yang distandardkan. Salah satu acuan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Jalan merupakan prasarana transportasi yang sangat penting karena

PEMETAAN TINGKAT KEPADATAN VOLUME KENDARAAN PADA RUAS JALAN JETIS KARAH DENGAN METODE LINEAR TUGAS AKHIR

KARAKTERISTIK TRANSPORTASI KABUPATEN BANYUASIN SEBAGAI DAERAH PENYANGGA KOTA PALEMBANG

METODOLOGI PENELITIAN. Suatu analisis dalam penelitian membutuhkan suatu tahapan perencanaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Jalan raya merupakan salah satu sarana transportasi darat, di samping sarana

Nindyo Cahyo Kresnanto FT Universitas Janabadra YK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. (Tamin, 2000). Dalam penelitian Analisis Model Bangkitan Pergerakan

ANALISIS POLA PERJALANAN MASYARAKAT KOTA YOGYAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pergerakan ini merupakan pergerakan yang umum terjadi pada suatu kota. memberikan suatu transportasi yang aman, cepat, dan mudah.

PENGGUNAAN INDEKS PELAYANAN JALAN DALAM MENENTUKAN TINGKAT PELAYANAN JALAN

NINDYO CAHYO KRESNANTO. .:

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

ANALISIS GARIS KEINGINAN PERGERAKAN MASYARAKAT PENGGUNA TRANSPORTASI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TIMUR PROVINSI SULAWESI UTARA

BAB. I. Pendahuluan I - 1 BAB I PENDAHULUAN

Kebijakan Perencanaan Tata Ruang dan Transportasi

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar belakang

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA

1.1 Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN Perkembangan kota yang semakin pesat membuat banyak bangunan didirikan dimana-mana dan tentunya akan merubah tata ruang yang telah ada.

ANALISIS PREDIKSI SEBARAN PERJALANAN PENUMPANG KAPAL LAUT MELALUI PELABUHAN LAUT PENGUMPAN DI KEPULAUAN HALMAHERA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL GRAVITY

BAB I PENDAHULUAN. dengan mengidentifikasi beberapa pertanyaan yang terdiri dari segi keamanan,

PENGEMBANGAN MODEL PERILAKU HUBUNGAN ANTARA SISTEM TATA RUANG DAN SISTEM TRANSPORTASI DI WILAYAH PERKOTAAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SYSTEM DYNAMIC

11 Analisis sebaran pergerakan (metode analogi)

BAB III LANDASAN TEORI. International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk

Penentuan Koefisien Hambatan β Asal Tujuan Transportasi di Provinsi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta

ANALISIS KAPASITAS DAN KARAKTERISTIK PARKIR KENDARAAN DI PUSAT PERBELANJAAN (Studi Kasus Solo Grand mall Surakarta)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK PARKIR PADA SISI JALAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KAPASITAS JALAN (STUDI KASUS: DI JALAN MATARAM YOGYAKARTA) TUGAS AKHIR

Arahan Transport Demand Management dalam Pergerakan Transportasi Regional Kabupaten Gresik

ANALISIS WAKTU TEMPUH ANGKUTAN PERKOTAAN TERMINAL AMPLAS TERMINAL SAMBU DI KOTA MEDAN

PENILAIAN KEPUASAN TERHADAP FASILITAS NON FISIK PERKOTAAN

IDENTIFIKASI KINERJA JARINGAN JALAN ARTERI PRIMER DI KOTA SRAGEN TUGAS AKHIR. Oleh : S u y a d i L2D

ANALISIS DAERAH MILIK JALAN (DAMIJA) MENGGUNAKAN ArcGis 9.3

TINGKAT AKSESIBILITAS SEKOLAH MENENGAH ATAS TERKAIT PENERAPAN RAYONISASI SEKOLAH DI KOTA BANDUNG

PENENTUAN RUTE ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DI SURABAYA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kota tersibuk yang ada di Indonesia adalah Jakarta (Toppa, 2015), ibu

PENGARUH PROPORSI ANGKUTAN UMUM TERHADAP KINERJA RUAS JALAN DI KOTA MALANG

PERMODELAN BANGKITAN PERGERAKAN UNTUK BEBERAPA TIPE PERUMAHAN DI PEKANBARU

KENAPA TRANSPORTASI PERLU DIRENCANAKAN?

ANALISA MODEL SEBARAN PERJALANAN INTERNAL MASYARAKAT KOTA BATU DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAVITASI

KAJIAN PENGARUH JEMBATAN KAPUAS TERHADAP LALU LINTAS AIR MAUPUN DARAT DI KOTA SINTANG

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum. Indonesia, telah banyak mengalami perkembangan yang pesat dalam

Transkripsi:

PENGUKURAN INDEKS AKSESIBILITAS DI KOTA DEPOK DENGAN GRAVITY MODEL 1 Hasan Basri M, ST., MT. Email: hasan.stin@gmail.com 1 ABSTRAK Aksesibilitas merupakan suatu konsep yang menggabungkan sistem tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indeks aksesibilitas pada jaringan jalan kota Depok menggunakan parameter jarak, running time, dan travel time, kemudian penggambaran indeks aksesibiltas dengan sistem informasi geografis. Untuk mengetahui berapa besar indeks aksesibilitas di suatu wilayah harus adanya pengukuran aksesibilitas. Salah satunya adalah dengan model gravity yang menggunakan parameter jarak dan waktu tempuh (running time dan travel time). Metode perhitungan aksesibilitas ini berdasarkan wilayah, yang terdiri dari 11 zona (wilayah) yaitu zona pancoranmas, zona Beji, zona Sukmajaya, zona Cipayung, zona sawangan, zona Limo, zona Cilodong, zona Bojongsari, zona Cimanggis zona Tapos, zona cinere. kecamatan Pancoranmas memiliki indeks aksesibilitas yang tinggi yaitu sebesar 1,00 dan kecamatan cilodong mempunyai indeks aksesibilitas yang paling rendah yaitu sebesar 0,00. Metode yang dikgunakan adalah pengukuran langsung ke lapangan dengan alat stopwatch dan sepeda motor. Pengukuran dilakukan dalam kondisi lalu lintas yang padat dan lalu lintas yang kosong kemudian di ambil rata-rata. Kata kunci: Aksesibilitas, Model Gravity, Zona Pengukuran, Metode Pengukuran 1. PENDAHULUAN Konsep aksesibilitas pada umumnya di artikan sebagai ukuran suatu usaha (atau kemudahan) dalam mengatasi permasalahan spasial. Menurut para ahli Pengertian aksesibilitas berbeda-beda, seperti yang dijelaskn geurs (2004) dalam tulisannya adalah Potensi atau kesempatan untuk berinteraksi (Hansen, 1959), kemudahan tata guna lahan yang dapat dicapai menggunakan sistem transportasi tertentu. (Dalvi dan Martin, 1976) Komponen aksesibilitas dapat diidentifikasi dari beberapa definisi yang berbeda dan pengukuran praktis aksesibilitas berdasarkan teori penting dalam mengukur aksesibilitas. Pengukuran aksesibilitas perlu dilakukan untuk menetukan mudah atau tidaknya wilayah tersebut dicapai (tingkat aksesibilitas). Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas merupakan suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan 1

mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah" atau susah nya lokas tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi (Black, 1981). Salah satu variabel yang dapat dinyatakan apakah tingkat aksesibilitas itu tinggi atau rendah dapat dilihat dari banyaknya sistem jaringan yang tersedia pada daerah tersebut. Semakin banyak sistem jaringan yang tersedia pada daerah tersebut maka semakin mudah aksesbilitas yang didapat begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat aksesbilitas yang didapat maka semakin sulit daerah itu dijangkau dari daerah lainnya (Bintarto, 1982:91). Matriks Asal Tujuan (MAT) atau Matriks Origin Destination (OD) adalah matriks berdimensi dua yang paling sering dipergunakan untuk menggambarkan pola pergerakan yang memuat informasi jumlah pergerakan antarzona. Baris dalam MAT menyatakan zona asal dan kolom dalam MAT menyatakan zona tujuan, sehingga setiap sel dalam MAT menyatakan besarnya arus pergerakan yang bergerak dari zona asal i menuju ke zona tujuan j selama selang waktu tertentu. Matriks Asal-Tujuan (MAT) yang dikelompokkan menjadi dua bagian utama, yaitu metode konvensional dan metode tidak konvensional. Sumber : Tamin (2000) Gambar 1.1 Metode Untuk Mendapatkan Matriks Asal-Tujuan (MAT) Penelitian ini menggunakan model Gravity yang menggunakan beberapa parameter, yaitu waktu tempuh (running time dan travel time) dengan jarak. Sehingga model gravity mampu menunjukan pengaruh ketiga parameter tersebut, dan dikorelasikan satu sama lainnya sehingga diperoleh seberapa besar hubungan kedua parameter tersebut. Model gravity dipengaruhi juga oleh populasi yaitu seberapa besar aktivitas penduduk pada daerah tersebut, sehingga dapat diketahui bangkitan dan tarikan yang terjadi pada suatu wilayah (zona) ke wilayah yang lainnya. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Model Gravity Model sintesis (interaksi spasial) yang paling terkenal dan yang sering digunakan adalah model gravity (GR) karena sangat sederhana dan mudah dimengerti dan digunakan. 2

Model ini memperkenalkan konsep gravity yang diperkenalkan oleh Newton pada tahun 1986 yang dikembangkan oleh analogi hukum gravitasi. Model ini berasumsi bahwa ciri bangkitan dan tarikan pergerakan berkaitan dengan beberapa parameter zona asal, misalnya populasi dan nilai sel MAT yang berkaitan juga dengan aksesibilitas (kemudahan) sebagai fungsi jarak, waktu dan biaya. Model gravitasi atau Pendekatan Peluang berdasarkan Indikator berbasis kepada peluang spasial yang tersedia bagi pejalan merupakan salah satu pilihan pertama untuk mengatasi aspek-aspek perilaku perjalanan. Terdapat beberapa indikator aksesibilitas yang digunakan pada model ini. Hansen (1959) menyatakan bahwa aksesibilitas adalah "potensi atau kesempatan untuk berinteraksi" atau secara harfiah "generalisasi dari hubungan populasi-melalui-jarak". Konsep potensi untuk peluang sangat erat kaitannya dengan model gravitasi berdasarkan pada interaksi massa dan telah dilakukan penelitian oleh Rich (1978). Persamaan 1 menunjukkan rumus sederhana untuk indikator aksesibilitas ini. Wj Ai j L f (cij. ) (1) Di mana : Wj mewakili peluang massa yang tersedia bagi konsumen, terlepas dari apakah mereka f (cij. ) dipilih atau tidak, adalah fungsi impedansi, cij adalah sebuah variabel yang mewakili biaya perjalanan antara simpul i dan j, dan adalah koefisien biaya perjalanan, biasanya dihitung dari model pilihan tujuan. Dalam tulisannya, Baradaran (2001) menurunkan persamaan model gravity menjadi persamaan linier. p p Q i j, i j tii j L tij (2) Dengan parameter t yang akan dipilih adalah jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya perjalanan, sedangkan parameter p yang akan dipilih adalah jumlah penduduk dan potensi wilayah yang diwakili oleh pendapatan daerah dari potensi wilayah yang paling dominan. Keuntungan dari model aksesibilitas ini adalah : a. mudah dipahami, b. mudah dalam perhitungan, c. lebih sedikit data yang masukan dibandingkan indikator-indikator lain yang mencerminkan aspek-aspek perilaku, dan d. kemampuan membedakan antar lokasi. Beberapa kelemahan dari indikator adalah: a. sensitif terhadap pilihan daerah demarkasi, b. kekurangan perawatan tersebar pejalan dengan preferensi, dan ketidak pastian apa yang digambarkankan dalam tingkatan indikator (masalah dimensi). 2.2 Sistem Informasi Geografis (GIS) Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki 3

kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database 3. METODE PENELITIAN Dalam suatu perencanaan atau penelitan dibutuhkan suatu metode yang baik agar memperoleh hasil secara cepat dan optimal. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menghitung nilai aksesibilitas dan mengetahui pengaruh popusai terhadap kemacetan di kota Depok. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian ini menggunakan alat bantu GIS (Geografic Information System) untuk lebih mempermudah penggambaran indeks aksesibilitas di setiap zona pada jaringan jalan kota Depok. Metode perhitungan aksesibilitas terdiri dari beberapa tahapan, mulai dari proses yang panjang sampai proses yang lebih singkat. 3.1 Jarak Untuk mengetahui besarnya jarak dari zona A ke zona B yaitu menggunakan data ruas jalan yang di dapat dari BIMASDA kota depok. Data yang disajikan yaitu berupa ruas jalan sehingga tinggal bagaimana menganalisis ruas mana saja yang dilalui untuk dari zona A untuk mencpai zona B. 3.2 Waktu Tempuh Analisis waktu tempuh dibagi menjadi dua yaitu running time dan travel time. Travel time terdiri dari waktu berjalan (Running time) atau waktu di mana modus transportasi yang bergerak, dan berhenti waktu tunda (delay), atau waktu di mana mode transportasi dihentikan (atau bergerak cukup lambat untuk dihentikan). Metode yang digunakan adalah pengukuran langsung dengan menggunakan stopwatch dan kendaraan pribadi. Pengukuran dilakukan pada jam sibuk dan jam kosong, kemudian di rata-ratakan. 4. 4.1 ANALISIS Jaringan jalan kota depok Letak Kota Depok sangat strategis, diapit oleh Kota Jakarta dan Kota Bogor. Hal ini menyebabkan Kota Depok semakin tumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya perkembangan jaringan transportasi yang tersinkronisasi secara regional dengan kota-kota lainnya. 4

Gambar 4.1 Pembagian Zona Matriks Asal Tujuan Matriks asal tujuan adalah matriks berdimensi dua yang berisi informasi mengenai mengenai besarnya pergerakan antar lokasi (zona) di dalam daerah tertentu. Baris menyatakan zona asal dan kolom menyatakan zona tujuan, sehingga sel matriksnya menyatakan besarnya arus dari zona asal ke zona tujuan. 4.2 INDEKS AKSESIBILITAS Indeks aksesibilitas adalah angka yang menyatakan kemudahan untuk melakukan perjalanan dari suatu daerah menuju daerah-daerah lain disekitarnya dengan memasukan parameter hambatan perjalanan (waktu dan jarak) dan parameter tarikan perjalanan menuju zona-zona tujuan. Dalam penelitian ini hambatan perjalanan dinyatakan dengan nilai total waktu perjalanan dengan nilai total jarak yang melalui rute pada jaringan jalan. Sedangkan parameter tarikan perjalanan adalah distribusi sebaran perjalanan dengan matriks asal tujuan. Setelah melakukan analisis Jarak dan waktu tempuh, selanjutnya menghitung indeks aksesibilitas dengan membagi populasi dengan jarak dan waktu tempuh berdasarkan persamaan Gravity Model. (persamaan linier) Q pj pi, i j tii j L tij Dengan parameter t yang akan dipilih adalah jarak tempuh dan waktu tempuh sedangkan parameter p yang akan dipilih adalah sebaran pergerakan dari matriks asal tujuan. 5

4.3 Parameter Jarak Tempuh Indeks aksesibilitas menggunakan paremeter Jarak tempuh di dapat berasarkan persamaan 2 dimana nilai t yang dipilih adalah jarak tempuh yang di dapat dari data ruas jalan kota depok (2010). indeks aksesibilitas menggunakan parameter jarak tempuh bisa dilihat gambar 4.2 Gambar 4.2 Indeks Aksesibilitas Parameter Jarak Tempuh 4.4 Parameter Waktu Tempuh Indeks aksesibilitas menggunakan paremeter Jarak tempuh di dapat berasarkan persamaan 2 dimana nilai t yang dipilih adalah jarak tempuh (running time atau travel time) yang di dapat dari pengukuran langsung ke lapangan. indeks aksesibilitas menggunakan parameter jarak tempuh dapat dilihat pada gambar 4.3 dan 4.4 6

Gambar 4.3 Indeks Aksesibilitas Parameter Travel Time Setelah diperoleh rute terpendek, maka selanjutnya dari total Running Time di masukan ke dalam matrika asal tujuan paramaeter Running Time 7

Gambar 4.4 Indeks Aksesibilitas Parameter Running Time Apabila dikategorikan dari nilai yang paling rendah yaitu 0 sampai dengan dilai paling tinggi yaitu 1.00 maka indeks aksesibilitas untuk disetiap kecamatan adalah sebagai berikut : Tabel 4.1 Kategori Indeks Aksesibilitas (dari 0.00 sampai dengan 1.00) No 1 2 3 4 5 Nilai Aksesibilitas 0.000-0.200 0.2001-0.400 0.4001-0.600 0.6001-0.800 0.8001-1.00 Kategori Kurang Sedang Menengah Tinggi Sangat tinggi Tabel 4.2 Indeks Aksesibilitas 8

No Zona 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 pancoranma s Beji Sukmajaya Cipayung Sawangan Limo Cilodong Bojongsari Cimanggis Tapos Cinere Indeks Aksesibilitas Running Travel Jarak Time Time 1.00 0.19 0.33 0.06 0.14 0.12 0.00 0.05 0.14 0.07 0.08 1.00 0.19 0.23 0.04 0.13 0.10 0.00 0.06 0.14 0.02 0.07 1.00 0.19 0.24 0.06 0.15 0.13 0.00 0.09 0.17 0.02 0.09 Secara teoritis dapat dirtikan bahwa semakin tinggi indeks aksesibilitas maka perjalanan dapat dikatakan akan semakin mudah demikian pula sebaliknya semakin rendah indeks aksesibilitas akan berarti perjalanan akan semakin sukar. Indeks paling tinggi terdapat di Zona Pancoranmas, itu berarti kawasan tersebut sangat aksesible, jarak yang menghubungkan lokasi pancoranmas ke lokasi yang lainnya sangat sangat dekat, Jaringan jalan pada wilayah tersebut lebih besar kondisi prasarana di wilayah pancoranmas sangat mendukung, terdapat pusat perbelanjaan, pusat pemerintahan, pusat perkantoran, dan lain-lain. Sedangkan Indeks yang paling rendah terdapat pada wilayah cilodong, karena akses ke wilayah tersebut susah dijangkau dengan jaringan jalan yang kurang mendukung, jarak tempuh dan waktu tempuh yang sangat panjang dan sarana prasarana yang kurang mendukung. 4.5 Analisis Indeks Aksesibilitas Di Setiap Kecamatan Setelah melakukan perhitungan indeks aksesibilitas di kota depok kemudian melakukan analisis dari grafik dibawah ini : 9

1.20 1.00 Indeks Aksesibilitas 0.80 0.60 Jarak Running Time Travel Time 0.40 0.20 0.00 Kecamatan Gambar 4.5 Grafik Indeks Aksesibilitas dengan Kecamatan Indeks aksesibilitas paling tinggi yaitu dimiliki oleh Kecamatan Pancoranmas sedangkan indeks aksesibilitas paling rendah yaitu Kecamatan Cilodong. Dilihat dari bentuk grafik pada gambar 4.3. Pancoranmas memiliki memiliki pungsi impedasi yang rendah, seperti jarak yang relatif lebih dekat, waktu tempuh yang digunakan lebih sedikit tetapi dalam hambatan (populasi) yang besar. Sedangkan kecamatan yang mempunyai indeks aksesibilitas terendah yaitu kecamatan Cilodong karena kecamatan Cilodong memiliki fungsi impedasi yang tinggi, seperti jarak yang relatif lebih jauh, waktu tempuh yang digunakan lebih lama tetapi dalam hambatan (populasi) yang kecil. Parameter Jarak, Running time dan Travel time polanya hampir sama sehingga ketiga parameter tersebut sudah sesuai untuk penelitian menggunakan model gravity. 4.6 Penggambaran Indeks Aksesibilitas Dengan Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya. 10

Gambar 4.6 Indeks Aksesibilitas Parameter jarak Gambar 4.7 Indeks Aksesibilitas Parameter Travel Time 11

Gambar 4.8 Indeks Aksesibilitas Parameter Running Time 5. KESIMPULAN 1. Perhitungan indeks aksesibilitas berdasarkan parameter jarak anatara lain di daerah pancoranmas mempunyai nilai 1, Beji mempunyai nilai 0.19, Sukmajaya mempunyai nilai 0.33, Cipayung mempunyai nilai 0.06, Sawangan mempunyai nilai 0.14, Limo mempunyai nilai 0.12, Cilodong mempunyai nilai 0, Bojongsari mempunyai nilai 0.05, Cimanggis mempunyai nilai 0.14, Tapos mempunyai nilai 0.07, Cinere mempunyai nilai 0.08. Indeks paling tinggi terdapat di Zona Pancoranmas, karena Pancoranmas mempunyai fungsi impedasi yang rendah seperti jarak yang relatif dekat berarti kawasan tersebut sangat mudah dijangkau dari wilayah manapun karena wilayah pancoranmas mempunyai jarak paling dekat untuk dijangkau dari wilayah-wilayah (kecamatan) disekitarnya. Aktifitas penduduk (populasi) yang terjadi di wilayah Pancoranmas sangat tinggi sehingga apabila menggunakan model gravity menghasilkan indeks yang besar. Sedangkan indeks yang paling kecil terdapat pada 12

wilayah Cilodong, karena wilayah Cilodong mempunyai fungsi impedasi (jarak) yang lebih besar/jauh untuk dijangkau dari wilayah-wilayah kecamatan disekitarnya. Aktifitas penduduk (populasi) yang terjadi di wilayah tersebut sangat rendah sehingga menghasilkan indeks yg yang kecil. 2. Perhitungan indeks aksesibilitas berdasarkan parameter waktu tempuh (running time) antara lain di daerah pancoranmas mempunyai nilai 1, Beji mempunyai nilai 0.19, Sukmajaya mempunyai nilai 0.23, Cipayung mempunyai nilai 0.04, Sawangan mempunyai nilai 0.13, Limo mempunyai nilai 0.10, Cilodong mempunyai nilai 0, Bojongsari mempunyai nilai 0.06, Cimanggis mempunyai nilai 0.14, Tapos mempunyai nilai 0.02, Cinere mempunyai nilai 0.07. Sedangakan indeks aksesibilitas travel time antara lain di daerah pancoranmas mempunyai nilai 1, Beji mempunyai nilai 0.19, Sukmajaya mempunyai nilai 0.24, Cipayung mempunyai nilai 0.06, Sawangan mempunyai nilai 0.15, Limo mempunyai nilai 0.13, Cilodong mempunyai nilai 0, Bojongsari mempunyai nilai 0.09, Cimanggis mempunyai nilai 0.17, Tapos mempunyai nilai 0.02, Cinere mempunyai nilai 0.09. Indeks paling tinggi terdapat di Zona Pancoranmas, karena Pancoranmas memiliki fungsi impedasi (waktu tempuh) yang rendah, itu berarti kawasan tersebut sangat mudah dijangkau dari wilayah manapun karena wilayah pancoranmas mempunyai waktu tempuh yang lebih sedikit artinya lebih cepat untuk dijangkau dari wilayahwilayah (kecamatan) disekitarnya. Aktifitas penduduk (populasi) yang terjadi di wilayah tersebut sangat tinggi sehingga apabila menggunakan model gravity menghasilkan indeks yang besar. Sedangkan Indeks yang paling kecil terdapat pada wilayah Cilodong karena akses ke wilayah tersebut susah dijangkau hal tersebut diakibatkan Cilodong mempunyai waktu tempuh yang lebih besar (lama) untuk dijangkau dari wilayah-wilayah (kecamatan) disekitarnya. Aktifitas penduduk (populasi) yang terjadi di wilayah tersebut sangat rendah sehingga menghasilkan indeks yg yang kecil. 6. SARAN 1. Dari perbandingan grafik jarak dengan waktu tempuh (running time dan travel time) bentuk grafik dari ketiga parameter tersebut hampir sama sehingga parameter tersebut relevan dengan kondisi aktual, dan bisa di gunakan untuk penelitianpenelitian berikutnya. 2. Matriks asal tujuan yang digunakan harus lebih spesifik, seperti halnya berdasarkan aktifitas/kegiatan, seperti berbelanja, bekerja, sekolah, dan lain-lain. 3. Untuk penelitian berikutnya hendaknya menambahkan parameter biaya perjalanan yang di cari berdasarkan perhitungan BOK, untuk bisa membandingkan parameter mana yang lebih sesuai. 13

DAFTAR PUSTAKA Baradaran Siamak, Ramjerdi Farideh, 2001, Performance of Accessibility Measures in Europe, Sweden : Royal Institute of Technology Bayuaji Ardian, 2004, Konsep Analisis Tingkat Aksesibilitas dengan Angkutan Umum Reguler di Kota Semarang, Semarang : Universitas Diponegoro Geurs Kart T, Bert Van Wee, 2004, Accessibility evaluation of land-use and transport strategies : review and research directions, Netherland : Elsevier. Husein Rahmad, 2006, Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis (Geographics Information System), Ilmu Komputer.com Prahasta Eddy, 2011, Tutorial ArcGis Desktop Untuk Bidang Geodesi & Geomatika, Bandung : Informatika Bandung Program Engineer, 2005, Land Effect : Transportation and Land Use Linkage A Literature Review, Columbia : British Columbia Tamin, Ofyar Z, 2000, Perencanaan & Pemodelan Transportasi edisi ke 2, Bandung : Penerbit ITB Utama, Eriko, 2004, Modul Pelatihan ARCGIS/MAPINFO, Bandung : Comlabs ITB. http://p3m.amikom.ac.id/p3m/dasi/juni07/02%20-%20stmik%20amikom %20Yogyakarta%20Sistem%20Informasi%20Geografi,%20Pengertian%20dan %20Pemanfaatannya.pdf [diakses pada : 19 Mei 2012] http://www.fhwa.dot.gov/ohim/tvtw/natmec/00020.pdf pukul 15.00] [diakses pada 31 Oktober 2012 14