PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

dokumen-dokumen yang mirip
PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagaimana tersirat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

Bagian Kedua Penyidikan

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hidup manusia dalam bermasyarakat. Didalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

TINJAUAN YURIDIS PROSES PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS MOHAMMAD RIFKI / D

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

PENDAHULUAN ABSTRAK. Pengadilan Negeri Gorontalo. Hasil penelitian yang diperoleh adalah terhadap penerapan Pasal 56 KUHAP tentang

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG 2014

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian dalam perkara pidana (hukum acara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBUKTIKAN TERJADINYA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN HUBUNGAN KELUARGA. Oleh: Marwan Busyro * Abstrak

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA KASUS PEMBUNUHAN OLEH IBU TERHADAP ANAK (BAYI)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

Transkripsi:

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, karena tidak semua persoalanpersoalan yang menyangkut teknis dikuasai oleh hakim maupun jaksa penuntut umum seperti keterangan ahli di bidang perbankan, ahli di bidang Administrasi Negara, keterangan ahli dibidang audit keuangan, kebijakan publik, ahli balistik dan lain-lain. Karena sebagai hakim, maupun jaksa penuntut umum, mereka tentunya memiliki pengetahuan yang terbatas. Kata Kunci: Peranan Keterangan Ahli, Proses Perkara Pidana A. Pendahuluan Sebagaimana diketahui bahwa negara kita adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan. Dalam Negara hukum menghendaki agar hukum ditegakkan, artinya baik oleh warga masyarakat, maupun oleh penguasa negara seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan sebagainya. Pengajar Program Magister Ilmu Hukum Unbari. 27

Sebagai negara hukum yang bertujuan menciptakan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan, maka setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dan wajib menjunjung tinggi hukum dan keadilan tanpa pandang status sosial seseorang apakah orang kaya, miskin maupun sebagai pejabat. Kitapun menyadari dimana dalam kehidupan seharihari tidak terlepas dari perbuatan hukum baik kita sadari atau tanpa kita sadari. Perbuatan yang kita lakukan tersebut kadang kala sering menjadi pokok pertengkaran atau perselisihan yang kalau tidak hati-hati dapat menimbulkan perbuatan pidana. Perbuatan pidana disebut pula dengan tindak pidana, pristiwa pidana dan sebagainya atau dalam bahasa asingnya disebut dengan istilah Straaf baar feet. 1 Seseorang itu baru dapat di katakan telah melakukan tindak pidana jika ada vonis hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan terlebih dahulu ia harus memperhatikan alat-alat bukti yang ada, sebagaimana yang telah ditentukan oleh Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia telah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 1 Bambang Poernomo, S.H., Azas-azas Hukum Pidana, Yogyakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1999. hlm. 91. 28

Dari bunyi Pasal 183 KUHAP tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa alat bukti memegang peranan yang sangat penting bagi hakim dalam memutuskan perkara terhadap terdakwa di sidang pengadilan. Satu alat bukti saja tanpa di perkuat dengan keterangan lain/saksi-saksi lain, tidak cukup untuk menyatakan seseorang itu bersalah. Mengenai alat-alat bukti ini di dalam KUHAP telah di atur, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP antara lain sebagai berikut : (1) Alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi b. keterangan ahli c. surat d. petunjuk e. keterangan terdakwa (2) Hal yang secara umum sudah di ketahui tidak perlu dibuktikan. Terhadap alat-alat bukti tersebut di atas, dimana hakim tidak sepenuhnya mengakui kebenarannya. Hal ini tergantung kepada keyakinan hakim dalam mengadakan penilaian terhadap alat-alat bukti tersebut. Hakim dalam menilai kebenaran terhadap kesaksian / pembuktian, di dalam RIB di kenal dengan 3 sistim pembuktian antara lain : 1. sistim bebas (Vrij Bewijk) 2. sistim positif wettellijk 29

3. sistin negatif wettellijk Dari ketiga sistim pembuktian tersebut, ternyata di dalam Hukum Acara Pidana kita menganut sistim yang ketiga yaitu Sistim Negatif Wettellijk yaitu hakim untuk menyatakan seseorang itu bersalah dan di hukum harus ada keyakinan pada hakim, dan keyakinan itu harus didasarkan atas alat-alat bukti yang sah. 2 Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat Pasal 294 RIB yang berbunyi : 1. Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah bahwa telah terjadi perbuatan yang dapat di hukum dan bahwa orang yang telah di tuduh itulah yang salah tentang perbuatan itu. 2. Atas sangka saja atau keterangan yang tidak cukup, tidak seorangpun boleh di hukum. Dari uraian yang di atas, jelaslah bahwa keterangan ahli merupakan salah satu di antara alat bukti memegang peranan cukup penting sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Keterangan ahli tersebut dapat berupa keterangan Saksi ahli Identifikasi, keterangan ahli Autopsy (pemeriksaan mayat), keterangan Dokter ahli ( foriensik) dan 2 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika, 1990, hlm. 229. 30

termasuklah keterangan Visum et Refertum Dokter dan sebagainya. Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan di atas, sehingga penulis tertarik untuk menulis jurnal ilmiah ini dengan judul: Peranan Keterangan Ahli Dalam Perkara Pidana di Pengadilan Negeri. B. Permasalahan Keterangan Ahli, merupakan keahlian yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Karena tidak sembarangan orang untuk dapat dijadikan sebagai seorang saksi Ahli. 3 Keterangan Ahli tersebut bermacam bidangnya ada yang dapat berupa keterangan Dokter Ahli atau lazim disebut dengan Visum Et Revertum, Keterangan Ahli Laboratorium Kriminal, keterangan Ahli Ilmu Senjata Api ( Balistik) Keterangan ahli dibidang Kibijakan Moneter, di bidang Kebijakan Publik dan sebaliknya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana Peranan Keterangan Saksi Ahli Dalam Proses Perkara pidana di Pengadilan Negeri? 3 Sherodji Hari, Pokok-Pokok Kkriminalogi. Jakarta, Aksara baru, 2010. hlm. 14. 31

2. Hambatan Apa Saja yang di Temui Dalam Pemeriksaan Saksi Ahli di Pengadilan Negeri? C. Pembahasan 1. Keterangan Ahli Dalam Proses Perkara Pidana di Pengadilan Negeri Merujuk pada ketentuan Pasal 1 butir 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah: Keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Seseorang dikatakan memiliki atau mempunyai keahlian khusus, dalam hal ini merupakan sebuah konsep yang sifatnya masih abstrak. Walau pun memiliki konsep yang abstrak, namun dalam hal ini keterangan ahli sangat dipentingkan dalam rangka membantu aparat penegak hukum terutama hakim di sidang pengadilan guna mencegah terjadinya suatu peradilan yang error, baik kesalahan dalam subjek, objek maupun penerapan hukumnya dalam proses pemeriksaan dan peradilan pidana. Keahlian khusus yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP tersebut, dalam hal ini dapat ditafsirkan berkaitan dengan kemampuan untuk menjelaskan atau 32

mendeskripsikan terhadap suatu objek tertentu dalam rangka membantu proses peradilan pidana. Kemampuan di sini menurut hemat penulis seperti berdasarkan pengalaman, keahlian atau ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh saksi. Istilah Pengalaman lazimnya dilekatkan pada dunia empiris, dan sebaliknya istilah pengalaman lazimnya diletakkan pada ranah teoritis, namun tidak menutup kemungkinan seseorang dapat saja dikatakan sebagai mempunyai keahlian khusus karena memang menyandang dua profesi sekaligus, yaitu sebagai teoritis sekaligus juga sebagai praktisi. Pasal 133 ayat (1) KUHAP dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Pasal 179 ayat (1) KUHAP Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Terkait dengan Pasal 179 ayat (1) KUHAP ini, bahwa biasanya yang dimaksud ahli kedokteran kehakiman ialah ahli forensik atau ahli bedah mayat. Akan tetapi pasal itu 33

sendiri tidak membatasinya hanya ahli kedokteran kehakiman saja, tetapi meliputi ahli lainnya. Melihat dari aturan dalam KUHAP di atas, bila diteliti dan dicermati dimana KUHAP tidak mengatur khusus mengenai apa syarat didengarkannya sebagai keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan. Adapun yang disebut dalam KUHAP adalah selama ia memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu, maka keterangannya bisa didengar untuk kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang diketahui menurut pengalamnnya dan pengetahuannya. 4 Kehadiran seorang ahli di persidangan dapat diminta oleh Terdakwa, maupun Jaksa Penuntut Umum. Selain itu hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya. Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang 4 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta, liberty, 1998, hlm. 165. 34

perbankan, ahli di bidang Administrasi Negara, ahli balistik dan lain-lain. Proses pemeriksaan terhadap saksi ahli di depan pengadilan pada prinsipnya tidak ada perbedaan dengan saksi lainnya, dimana sebelum memberikan keterangan di depan pengadilan, terhadap saksi ahli terlebih dahulu disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang sanksi anut. Di dalam Pasal 265 ayat 3 HIR pernah pernah diberlakukan menjelaskan: Bahwa setiap kesaksian harus diberikan atas sumpah, dan Hakim tidak berwenang untuk mendengar seorang saksi di luar sumpah kecuali dalam hal yang nyata-nyata ditentukan undang-undang. Adapun bunyi sumpah saksi yang beragama Islam bunyi: Bismillah hirrohman Nirrohim, Demi Allah Saya Bersumpah akan memberikan keteragan yang benar dan tidak lain dari yang sebenarnya sesuai dengan keahlian yang saya miliki. Tujuan saksi ahli tersebut disumpah sama halnya dengan keterangan saksi pada umumnya yakni, agar saksi memberikan keterang yang benar sesuai dengan keahlian yang ia miliki, dan apabila keterangan yang diberikannya tersebut ternyata tidak benar, maka saksi yang bersangkutan dapat dikenakan dengan sumpah palsu. Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa sebelum keterangan ahli (saksi Ahli) memberikan 35

keterangannya di sidang pengadilan maka kepada saksi yang bersangkutan terlebih dahulu diambil sumpahnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing. Tujuannya adalah agar keterangan yang saksi berikan dapat dipertanggung jawabkan. Apabila ternyata dikemudian hari keterangan tersebut tidak benar,maka saksi yang bersangkutan dapat dikenakan pidana dengan sumpah/keterangan palsu. Bila dilihat dari keterangan ahli dengan saksi biasa hal ini dapat kita lihat antara lain: Keterangan saksi a. Seorang (beberapa) saksi di panggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, di dengar, atau dialami sendiri b. Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis c. Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama melihat, mendengar dan menyaksikan peritiwa itu Sedangkan Keterangan Ahli a. Seorang (beberapa) saksi ahli dipanggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa b. Keterangan ahli bisa secara lisan ataupun tertulis 36

c. Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain yang sesuai dengan keahliannya. C. Hambatan yang di Temui Dalam Pemeriksaan Saksi Ahli di Pengadilan Negeri Keterangan ahli sangat dibutuhkan sekali dalam penangan suatu perkara secara umum dan khususnya dalam pemeriksaan perkara pidana. Tidak semua penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan mereka menguasai semua persoalan/peristiwa pidana yang terjadi di tengah masyarakat, seperti dalam kasus pemalsuan, masalah kasus penganiayaan yang menggunakan sajam, pemalsuaan uang atau pemalsuan surat dan sebagainya. Untuk menutupi keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum tersebut, tentunya mereka dapat menggunakan orang-orang yang memiliki keahlian khusus sesuai dengan profesi/keahlian yang dimilikinya. Hal ini gunanya untuk membantu dalam memecahkan persoalan atau persoalan hukum yang terjadi. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara tegas dikatakan Hakim dalam memutus suatu perkara yang dihadapi minimal harus bedasarkan dua alat bukti sebagaimana di atur dalam Pasal 184 KUHAP. Bila kita lihat bukti bukti yang terdapat di dalam Pasal 184 KUHAP tersebut meliputi: 37

a. Keterangan saksi. b. Keterangan ahli. c. Surat. d. Petunjuk. e. Keterangan Terdakwa Dalam Pasal 224 KUHAP menjelaskan bahwa: Barang siapa yang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam 1. dalam perkara pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. 2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 224 KUHP tersebut di atas, dapat dipahami dimana seseorang yang telah dipanggil sebagai saksi oleh aparat penegak hukum merupakan suatu kewajiban hukum bagi orang yang telah dipanggil. Karena sebelum aparat penegak hukum melakukan pemanggilan terhadap seseorang, secara yuridis normatif sudah tersedia format pemanggilan saksi. Apakah saksi biasa atau sebagai saksi ahli yang diperlukan dan dibutuhkan atau tidak. Konsekuensi dari seseorang yang tidak datang memenuhi panggilan merupakan suatu perbuatan pidana dan dapat dipidana. Karena itu dalam pemanggilan terhadap seseorang menurut hemat penulis 38

dalam surat panggilan tersebut harus jelas dan tegas dalam kapasitas apa seseorang dipanggil, sehingga tidak menjadikan orang yang dipanggil menjadi tersangka mana kala yang bersangkutan tidak memenuhi surat panggilan tersebut. Sehingga tidak menjadikan seseorang itu sebagai tersangka manakala yang bersangkutan tidak memenuhi surat panggilan, sekaligus menghindari kemungkinan terjaninya erro in persona. Permasalahan lain yang terdapat di dalam Pasal 224 KUHP adalah, dimana aturan tersebut hanya mementingkan kepentingan hukum sebelah pihak saja, di sisi lain kepentingan hukum pihak yang dipanggil tidak diperhatikan. Artinya dalam pemanggilan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang tanpa diimbangi dengan hak bagi seseorang yang dipanggil baik sebagai saksi maupun sebagai ahli. Secara empiris bagaimanapun juga seseorang yang dipanggil untuk menghadap, maka seseorang itu pasti akan mengorbankan waktu dalam hal ini yang bersangkutan meninggalkan pekerjaannya dan biaya untuk datang memenuhi panggilan tersebut. Memang kalau di perhatikan ketentuan dalam Pasal 229 KUHAP diatur tentang hak bagi orang yang dipanggil, yang selengkapnya berbunyi: (1) Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, 39

berhak mendapatkan pengantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Ketentuan tersebut di atas, menurut hemat penulis tentunya sangat wajar, karena setiap orang yang memenuhi pemanggilan tentu telah mengorbankan waktu, maupun biaya, namun dalam kenyataannya setiap orang yang dipanggil sebagai saksi tidak pernah mendapatkan pengantian terhadap biaya yang telah mereka keluarkan baik biaya perjalanan, biaya meninggalkan pekerjaan yang seharusnya dalam sehari tersebut bila yang bersangkutan bekerja mendapatkan upah harian, makan selama selama dalam perjalanan atau sewaktu menunggu proses persidangan, namun hak tersebut tidak pernah mereka dapatkan. Belum lagi keselamatan jiwa, keluarga setelah saksi memberikan kesaksian juga tidak pernah mendapat perhatian aparat aparat yang berwenang. Begitu juga saksi ahli yang dipanggil juga tidak mendapat jaminan pengantian biaya dari negara. Seharusnya Pasal 229 KUHAP tersebut hendaknya dibarengi dengan peraturan pelaksana. Di satu pihak tuntutan yang dikehendaki oleh negara terhadap saksi terutama saksi ahli agar 40

memberikan keterangan yang berkualitas dan mampu membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus yang dihadapi, namun sangat disayangkan keinginan dari aparat penegak hukum tersebut tidak diimbangi dengan bantuan biaya yang telah telah dikeluarkan oleh saksi. Jadi dengan tidak dibarengi dengan bantuan biaya bagi seorang saksi mana mungkin mendapatkan saksi ahli yang berkualitas. Kalau memang negara tidak punya dana untuk membayar biaya yang telah dikeluarkan oleh saksi/ahli pada umumnya, seharusnya ketentuan Pasal 224 KUHP hendaknya dikaji ulang artinya kata-kata wajib datang menghadap... dihilangkan dan diganti dengan setiap orang yang ditunjuk sebagai saksi/ahli dapat memberikan keterangan bila aparat penegak hukum mendatanginya. Jadi aparat penegak hukum sebaiknya mendapatangi saksi/ahli untuk meminta keterangan. D. Penutup 1. Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, karena tidak semua persoalan-persoalan yang menyangkut teknis dikuasai 41

oleh hakim maupun jaksa penuntut umum seperti keterangan ahli di bidang perbankan, ahli di bidang Administrasi Negara, keterangan ahli dibidang audit keuangan, kebijakan publik, ahli balistik dan lain-lain. Karena sebagai hakim, maupun jaksa penuntut umum, mereka tentunya memiliki pengetahuan yang terbatas. 2. Hambatan yang di temui dalam pemeriksaan saksi Ahli di Pengadilan Negeri, sulitnya mendatangkan saksi ahli dikarenakan uang untuk akomodasi cukup besar, sedangkan dana untuk pemanggilan sanksi belum dianggarkan oleh pihak pemerintah. E. Rekomendasi 1. Diharapkan pemerintah menganggarkan dana untuk keperluan akomodasi bagi saksi maupun ahli, sehingga dapat membantu bagi hakim dalam proses pembuktian di persidangan. 2. Kepada Pemerintah hendaknya mencabut kalimat wajib datang menghadap sebagai mana tercantum dalam Pasal 224 KUHP bila tidak dibarengi dengan kontribusi kepada saksi selama saksi taat memenuhi pemanggilan. 3. Kepada saksi maupun ahli, yang ditunjuk oleh aparat penegak hukum hendaknya bila tidak berhalangan tetap, hendaknya dapat hadir guna memberikan 42

keterangan yang sangat diperlukan guna mengungkap pakta yang sebenarnya. F. Daftar Pustaka Bambang Poernomo, Azas-azas Hukum Pidana, Yogyakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1999. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Jakarta, 1996. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika, 1990. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Penjelasannya Pasal Demi Pasal, Jakarta, Politeia Bogor, 2000. Sherodji Hari, Pokok-Pokok Kkriminalogi. Jakarta, Aksara baru, 2010. Sherodji Hari, Pokok-Pokok Kkriminalogi. Jakarta, Aksara baru, 2010. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta, liberty, 1998. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana No.8 Tahun 1981. 43