4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 1. Lokasi pengambilan data

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Hasil dan Pembahasan

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

PENDAHULUAN Latar Belakang

2.2. Struktur Komunitas

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

STRUKTUR DAN SEBARAN KOMUNITAS BINTANG LAUT (ASTEROIDEA) DI PERAIRAN PULAU SAPUDI, KABUPATEN SUMENEP, MADURA IKHSAN ASHARI

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan

Hasil dan Pembahasan

2. TINJAUAN PUSTAKA. melimpah dan tersebar di seluruh perairan Indonesia. Menurut Radjab (2001)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

DISTRIBUSI SPASIAL IKAN BERONANG (Siganus canaliculatus) DI PADANG LAMUN SELAT LONTHOIR, KEPULAUAN BANDA, MALUKU

Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan

TELAAH EKOLOGI KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS) PERAIRAN PULAU OSI TELUK KOTANIA KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh

PERBEDAAN KELIMPAHAN BULU BABI (Echinoidea) PADA EKOSISTEM KARANG DAN LAMUN DI PANCURAN BELAKANG, KARIMUNJAWA JEPARA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman Echinodermata di Pantai Basaan Satu Kecamatan Ratatotok Sulawesi Utara

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI.

TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Lamun Morfologi dan Klasifikasi Lamun

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

E (Krebs 1989) 0.00 < E 0.50 = Dominansi rendah 0.50 < E 0.75 = Dominansi sedang 0.75 < E 1.00 = Dominansi tinggi

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN PERAIRAN PULAU LOS KOTA TANJUNGPINANG

KERAPATAN DAN DISTRIBUSI LAMUN (SEAGRASS) BERDASARKAN ZONA KEGIATAN YANG BERBEDA DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BIOMASSA DAUN Thalassia hemprichii PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PERAIRAN DESA SEBONG PEREH, BINTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ADI FEBRIADI. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji

HUBUNGAN KERAPATAN LAMUN DENGAN KEPADATAN BIVALVIA DI PESISIR PANTAI ORI KECAMATAN PULAU HARUKU

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

SKRIPSI. Oleh: U L I A T U N A P R I A N I NIM. E1A

Biomass Of Sea grass At Selat Mie Village Coastal Water, Moro District, Karimun Regency, Riau Archipelago ABSTRACT

KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

AKUATIK. Volume 6. Nomor. 1. Tahun PENANGGUNG JAWAB Eddy Nurtjahya. REDAKTUR Eva Utami

KEANEKARAGAMAN DAN DOMINANSI KOMUNITAS BULU BABI (ECHINOIDEA) DI PERAIRAN PULAU MENJANGAN KAWASAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

The Association of Gastropods and Seagrass in Coastal Waters of Beruk Island of North Rupat of Riau Province

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOFAUNA INTERSTISIAL DI SUBSTRAT PADANG LAMUN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU NOVI DWI INDRIYANI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik fisika kimiawi perairan di lokasi pengamatan (rata-rata dan simpangan baku) Parameter Fisik Kimia Nama Stasiun Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Suhu ( o C) 28,93 ± 0,80 30,67 ± 0,49 30,47 ± 0,52 30 ± 0,38 Salinitas ( ) 31,07 ± 1,62 29,27 ± 0,46 29 ± 0 30 ± 0 ph 8,73 ± 0,09 8,6 ± 0 8,6 ± 0 8,6 ± 0 Kecerahan (%) 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 Kedalaman (cm) 29,93 ± 16,97 31,53 ± 9,45 14 ± 5,07 20,27 ± 7,69 Suhu pada keempat stasiun pengamatan memperlihatkan nilai kisaran ratarata sebesar 28,93 ± 0,80 o C sampai dengan 30,67 ± 0,49 o C (Tabel 6). Stasiun 1 memiliki nilai rata-rata suhu terendah sebesar 28,93 ± 0,80 o C. Stasiun 2 memiliki nilai rata-rata suhu tertinggi sebesar 30,67 ± 0,49 o C. Organisme perairan memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Dari hasil suhu yang diperoleh di keempat stasiun tersebut masih berada pada kisaran normal yang mendukung kehidupan organisme perairan sebesar 30 35 o C (Effendi, 2003). Menurut Nybakken (1988) suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat. Effendi (2003) menjelaskan bahwa peningkatan suhu perairan akan meningkatkan

31 kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup didalamnya, sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih tinggi. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 o C, menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat (Effendi, 2003). Salinitas pada keempat stasiun pengamatan memperlihatkan kisaran nilai rata-rata sebesar 29 ± 0 sampai dengan 31,07 ± 1,62 (Tabel 6). Nilai ratarata salinitas tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 31,07 ± 1,62. Stasiun 3 memiliki rata-rata salinitas terendah yang sama ditiap plot pengambilan data yaitu sebesar 29 ± 0. Stasiun 2 memiliki nilai rata-rata salinitas sebesar 29,27 ± 0,46. Stasiun 4 memiliki rata-rata nila salinitas sama ditiap plot pengambilan data sebesar 30 ± 0. Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara horizontal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem (Odum, 1993). Gastropoda yang hidupnya berpindah-pindah seperti halnya bulu babi mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah sehingga dapat bertahan dari kematian (Effendi, 2003). Menurut Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos termasuk bulu babi adalah 15-35. Oleh karena itu kisaran salinitas yang terdapat pada ke empat stasiun pada penelitian ini masih tergolong normal. Nilai ph pada lokasi pengamatan memiliki kisaran nilai rata-rata sebesar 8,6 ± 0 sampai dengan 8,73 ± 0,09 (Tabel 6). Nilai ph pada tiga stasiun pengamatan memiliki nilai rata-rata sama sebesar 8,6 ± 0 yaitu pada stasiun 2,

32 stasiun 3, dan stasiun 4. Stasiun 1 memiliki nilai kisaran ph tertinggi sebesar 8,73 ± 0,09. Kisaran nilai rata-rata ph pada ke empat stasiun tersebut memiliki nilai yang tinggi untuk biota perairan. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai kisaran ph sekitar 7 8,5 (Effendi, 2003). ph merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan, perairan dengan ph yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Tingkat kecerahan perairan pada semua stasiun pengamatan adalah 100 % pada semua kedalaman (Tabel 6). Nilai rata-rata kedalaman pada semua stasiun pengamatan berkisar 14 ± 5,07 cm sampai dengan 31,53 ± 9,45 cm, hal ini berarti penetrasi cahaya dapat mencapai dasar perairan. Kondisi ini memungkinkan terjadinya fotosintesis yang baik untuk lamun sehingga akan mendukung kehidupan bulu babi sebagai salah satu avertebrata yang memakan daun lamun secara langsung (McRoy dan Helfferich, 1980). Stasiun 2 memiliki nilai rata-rata kedalaman tertinggi sebesar 31,53 ± 9,45 cm. Stasiun 3 memiliki nilai rata-rata kedalaman terendah sebesar 14 ± 5,07 cm. Kedalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1988). Menurut Aziz (1993) bulu babi dapat ditemukan mulai dari daerah intertidal sampai ke kedalaman 10 m, bahkan ditemukan juga bulu babi hingga kedalaman 5000 m (Suwignyo et al. 2005).

33 4.2 Karakteristik Fisika Kimiawi Substrat Dasar Karakteristik fisika dan kimiawi substrat dasar di setiap stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik fisika kimiawi substrat di lokasi pengamatan Walkley Bray HCl ph Nama & Black I 25 % Fraksi NO3 Stasiun C-org P Pasir Debu Liat HR2RO KCl (%) (ppm) (%) (ppm) Stasiun 1 7,5 6,8 0,4 3,3 31,8 92,29 2,31 5,4 310 Stasiun 2 7,5 6,8 0,48 3,5 33,4 93,77 2,11 4,12 616,9 Stasiun 3 7,6 6,9 0,32 3,5 35,1 94,94 1,7 3,36 620 Stasiun 4 7,6 6,9 0,08 3 30,1 95,99 1,14 2,87 616,9 Fraksi substrat yang dihasilkan ada 3 yaitu pasir, debu, dan liat. Fraksi pasir mendominasi ke empat stasiun pengamatan, diikuti oleh fraksi liat dan yang terkecil adalah nilai dari fraksi debu (Tabel 7). Fraksi pasir stasiun 4 memiliki nilai fraksi tertinggi sebesar 95,99 %, dan fraksi pasir terkecil terdapat pada stasiun 1 sebesar 92,29 %. Untuk stasiun 2 fraksi pasir sebesar 93,77 % dan stasiun 3 sebesar 95,99 %. Fraksi liat memiliki nilai semakin kecil dari stasiun 1 ke stasiun 4. Stasiun 1 memiliki nilai sebesar 5,40 %, stasiun 2 sebesar 4,12 %, stasiun 3 sebesar 3,36 %, dan stasiun 4 sebesar 2,87. Sedangkan untuk fraksi debu stasiun 1 memiliki nilai sebesar 2,31 %, stasiun 2 sebesar 2,11 %, stasiun 3 sebesar 1,70 %, dan stasiun 4 sebesar 1,14 %. Bulu babi merupakan biota yang menyukai substrat yang agak keras, dimana substrat padang lamun campuran terutama terdiri dari campuran pasir dan pecahan karang (Dobo, 2009). Pada umumnya masing-masing jenis dari bulu babi memiliki habitat yang spesifik, seperti Tripneustes gratilla sering ditemukan di daerah berpasir atau pasir berlumpur yang banyak ditumbuhi lamun dengan kedalaman antara 0,5 20 m (Radjab, 2001).

34 Hasil pengukuran nitrat pada setiap stasiun pengamatan (Tabel 7) nilai nitrat tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 620 ppm, dan terendah pada stasiun 1 sebesar 310 ppm. Untuk stasiun 2 dan stasiun 4 nilai kandungan nitratnya sama sebesar 616,9 ppm. Nilai fosfat tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 35,10 ppm, dan terendah pada stasiun 4 sebesar 30,10 ppm. Nilai nitrat pada substrat di lokasi penelitian tinggi, hal tersebut dikarenakan substratnya kaya akan bahan organik yang menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat. Semakin tinggi kandungan bahan organik dalam substrat maka nilai nitratnya akan semakin tinggi. Sampai saat ini belum ada standar baku yang pasti mengenai nitrat di substrat. Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga (Effendi, 2003). Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dan juga merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Effendi, 2003). Oleh karena itu nitrat dan fosfat dibutuhkan oleh organisme perairan termasuk lamun dan bulu babi untuk kelangsungan hidupnya. Hasil dari analisis data substrat juga menghasilkan kandungan C organik dan ph substrat. Hasil C organik pada keempat lokasi penelitian (Tabel 7) memiliki nilai tertinggi pada stasiun 2 sebesar 0,48 % dan terkecil pada stasiun 4 sebesar 0,08 %. Nilai ph substrat yang menggunakan H 2 O tertinggi terdapat pada stasiun 3 dan stasiun 4 dengan nilai yang sama sebesar 7,60 dan terkecil terdapat pada stasiun 1 dan stasiun 2 dengan nilai yang sama juga sebesar 7,50. Nilai ph

35 yang menggunakan KCl tertinggi terdapat pada stasiun 3 dan stasiun 4 dengan nilai sama sebesar 6,90 dan terkecil terdapat pada stasiun 1 dan stasiun 2 dengan nilai yang sama juga sebesar 6,80. C organik di perairan berasal dari tumbuhan atau biota akuatik, baik yang hidup atau mati dan menjadi detritus. Mikroba memanfaatkan bahan organik sebagai sumber makanan dari suatu rangkaian reaksi biokimia yang kompleks. Pada reaksi katabolisme, makrobenthos merombak bahan organik dan dipecah untuk menghasilkan energi berupa makanan yang digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pertumbuhannya (Effendi, 2003). Nilai ph substrat yang semakin tinggi akan menaikkan nilai alkalinitas (basa) dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas, sedangkan larutan yang bersifat asam (ph rendah) bersifat korosif (Effendi, 2003). Oleh karena itu C organik dan ph dalam substrat perairan diperlukan oleh organisme akuatik untuk kelangsungan hidupnya. 4.3. Kepadatan Bulu babi Bulu babi yang dijumpai di Pulau Sapudi terdiri dari 8 jenis, yaitu Echinothrix diadema, Diadema setosum, Diadema savignyi, dan Echinothrix calamaris dari famili Diadematidae, Mespilia globulus dan Temnopleurus alexandri dari famili Temnopleuridae, Tripneustes gratilla dari famili Toxopneustidae, dan Echinometra mathaei dari famili Echinometridae. Nama lokal bulu babi di Pulau Sapudi adalah ka sekka (Lampiran 3). Kepadatan bulu babi yang dijumpai pada tiap stasiun pengamatan didominasi oleh jenis bulu babi Diadema setosum dengan kepadatan rata-rata 14,51 ± 10,83 dan Echinometra mathaei dengan kepadatan rata-rata 7,56 ± 7,14 (Gambar 10).

36 Kepadatan Bulu Babi (ind/m²) 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 0,00 Ed Dse Dsa Ec Em Tg Mg Ta Jenis Bulu Babi Gambar 10. Kepadatan (rata-rata dan simpangan baku) bulu babi pada tiap stasiun pengamatan, Ed=Echinothrix diadema, Dse=Diadema setosum, Dsa=Diadema savignyi, Ec=Echinothrix calamaris, Em=Echinometra mathaei, Tg=Tripneustes gratilla, Mg=Mespilia globulus, dan Ta=Temnopleurus alexandri Kepadatan rata-rata bulu babi tertinggi pada stasiun 1 ditemukan pada jenis Echinometra mathaei sebesar 5,08 ± 3,26 ind/m 2 dan terendah pada jenis Tripneustes gratilla sebesar 2,25 ± 1,16 ind/m 2. Kepadatan rata-rata bulu babi tertinggi pada stasiun 2 ditemukan pada jenis Diadema setosum sebesar 12,70 ± 12,48 ind/m 2 dan terendah pada jenis Echinothrix calamaris sebesar 1,33 ± 0,58 ind/m 2. Kepadatan rata-rata bulu babi tertinggi pada stasiun 3 ditemukan pada jenis Echinometra mathaei sebesar 7,56 ± 7,14 ind/m 2 dan terendah pada jenis Echinothrix diadema sebesar 1,00 ± 0,00 ind/m 2. Kepadatan rata-rata bulu babi tertinggi pada stasiun 4 ditemukan pada jenis Diadema setosum sebesar 14,51 ± 10,83 ind/m 2 dan terendah pada jenis Echinothrix calamaris sebesar 1,50 ± 0,71 ind/m 2 (Lampiran 4).

37 Kepadatan rata-rata jenis bulu babi Echinothrix diadema di Pulau Sapudi berkisar antara 1,00 ± 0,00 ind/m 2 sampai dengan 3,00 ± 2,00 ind/m 2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 1 (Lampiran 5). Kepadatan jenis bulu babi Diadema setosum di Pulau Sapudi berkisar antara 2,67 ± 2,08 ind/m 2 sampai dengan 14,51 ± 10,83 ind/m 2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 4. Kepadatan jenis bulu babi Diadema savignyi di Pulau Sapudi berkisar antara 2,88 ± 1,13 ind/m 2 sampai dengan 4,50 ± 2,07 ind/m 2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 1. Kepadatan jenis bulu babi Echinothrix calamaris di Pulau Sapudi berkisar antara 1,50 ± 0,71 ind/m 2 sampai dengan 1,33 ± 0,58 ind/m 2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 2. Kepadatan jenis bulu babi Echinometra mathaei di Pulau Sapudi berkisar antara 2,50 ± 0,71 ind/m 2 sampai dengan 7,56 ± 7,14 ind/m 2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 3. Kepadatan jenis bulu babi Tripneustes gratilla di Pulau Sapudi berkisar antara 1,50 ± 0,58 ind/m 2 sampai dengan 2,44 ± 1,24 ind/m 2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 2. Kepadatan jenis bulu babi Mespilia globulus di Pulau Sapudi berkisar antara 1,80 ± 0,45 ind/m 2 sampai dengan 3,14 ± 1,57 ind/m 2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 1. Kepadatan jenis bulu babi Temnopleurus alexandri di Pulau Sapudi sebesar 2,00 ± 0,82 ind/m 2. Tingginya kepadatan Diadema setosum di Pulau Sapudi ini diduga berkaitan dengan habitatnya yang cocok yang didominasi oleh karang mati dan rubble dengan substratnya yang agak keras seperti pasir kasar. Begitupun makanan yang mendukung seperti alga bentik yang terdapat di karang mati dan rubble (Setiawan, 2010).

38 4.4 Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Bulu babi Dari hasil perhitungan, keanekaragaman bulu babi pada keempat lokasi penelitian umumnya memiliki nilai keanekaragaman rendah yaitu H < 1 (Lampiran 6), hal ini terjadi karena jumlah jenis dari bulu babi yang relatif sedikit dan proporsi jumlah kepadatan yang sedikit yang menyusun komunitas. Keanekaragaman bulu babi pada lokasi pengamatan berkisar antara 0,42 0,73 (Gambar 11). 0,90 0,80 0,70 Indeks H', E dan C 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 H' E C 0,00 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Gambar 11. Indeks keanekaragaman (H ), keseragaman (E), dan dominansi bulu babi (C) Nilai indeks keseragaman pada lokasi pengamatan berkisar antara 0,47 0,80. Stasiun 1 (0,80) memiliki komunitas stabil, stasiun 2 (0,54) dan stasiun 3 (0,56) memiliki komunitas labil, dan stasiun 4 (0,47) berada pada komunitas tertekan. Nilai indeks dominansi pada lokasi pengamatan berkisar antara 0,21

39 0,53. Stasiun 1 (0,21), stasiun 2 (0,44), dan stasiun 3 (0,46) memiliki dominansi rendah dengan kriteria 0,00 < C 0,50, sedangkan untuk stasiun 4 (0,53) memiliki dominansi sedang dengan kriteria 0,50 < C 0,75 (Magurran, 1988). Hal ini menandakan bahwa komunitas bulu babi di Pulau Sapudi berada dalam kondisi yang relatif stabil dengan dominansi yang rendah (Dobo, 2009). 4.5 Vegetasi Lamun Komunitas lamun biasanya terdapat dalam area yang luas dan rapat.vegetasi lamun di Pulau Sapudi termasuk vegetasi campuran (mixed seagrass beds), hal ini terlihat adanya asosiasi antara dua atau tiga jenis lamun pada beberapa transek kuadrat pengambilan data. Padang lamun di perairan Indonesia umumnya termasuk padang lamun vegetasi campuran (Nienhuis et al. 1989). Lamun yang ditemukan di Pulau Sapudi terdiri dari 5 jenis (Lampiran 7) yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis (Famili Hydrocharitaceae), Syringodium isoetifolium dan Cymodocea rotundata (Famili Potamogetonaceae). Hingga kini, tercatat ada kurang lebih 12 jenis lamun di perairan Indonesia, yang termasuk dalam 7 genus dan 2 famili (Azkab, 2006). Jenis lamun Thalassia hemprichii paling mendominasi kerapatan lamun di stasiun 1 dan stasiun 3 (Gambar 12). Kerapatan rata-rata lamun tertinggi pada stasiun 1 ditemukan pada jenis Thalassia hemprichii sebesar 142,82 ± 96,95 ind/m 2 dan terendah pada jenis Cymodocea rotundata sebesar 56,50 ± 0,71 ind/m 2.

40 180,00 160,00 Kerapatan Jenis Lamun (ind/m²) 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 Th Ea Si Cr Ho Jenis Lamun Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Gambar 12. Kerapatan (rata-rata dan simpangan baku) jenis lamun pada tiap stasiun pengamatan, Th=Thalassia hemprichii, Ea=Enhalus acoroides, Si=Syringodium isoetifolium, Cr=Cymodocea rotundata, Ho=Halophila ovalis. Kerapatan rata-rata lamun tertinggi pada stasiun 2 ditemukan pada jenis Enhalus acoroides sebesar 89,50 ± 60,10 ind/m 2. Kerapatan rata-rata lamun tertinggi pada stasiun 3 ditemukan pada jenis Thalassia hemprichii sebesar 99,85 ± 50,84 ind/m 2 dan terendah pada jenis Enhalus acoroides sebesar 24,13 ± 11,98 ind/m 2. Kerapatan rata-rata lamun tertinggi pada stasiun 4 ditemukan pada jenis Syringodium isoetifolium sebesar 132,67 ± 71,51 ind/m 2 dan terendah pada jenis Enhalus acoroides sebesar 35,93 ± 22,49 ind/m 2. Kerapatan rata-rata jenis lamun Thalassia hemprichii di Pulau Sapudi berkisar antara 87,14 ± 20,82 ind/m 2 sampai dengan 142,82 ± 96,95 ind/m 2, kerapatan tertinggi berada pada stasiun 1 (Lampiran 8). Kerapatan rata-rata jenis lamun Enhalus acoroides di Pulau Sapudi berkisar antara 24,13 ± 11,98 ind/m 2 sampai dengan 89,50 ± 60,10 ind/m 2, kerapatan tertinggi berada pada stasiun 2. Kerapatan rata-rata jenis lamun Syringodium isoetifolium di Pulau Sapudi berkisar

41 antara 67,00 ± 1,41 ind/m 2 sampai dengan 132,67 ± 71,51 ind/m 2, kerapatan tertinggi berada pada stasiun 4. Kerapatan rata-rata jenis lamun Cymodocea rotundata di Pulau Sapudi berkisar antara 56,50 ± 0,71 ind/m 2 sampai dengan 86,50 ± 14,85 ind/m 2, kerapatan tertinggi berada pada stasiun 3. Kerapatan ratarata jenis lamun Halophila ovalis di Pulau Sapudi berkisar antara 48,00 ± 16,97 ind/m 2 sampai dengan 53,00 ± 8,49 ind/m 2, kerapatan tertinggi berada pada stasiun 3. Kerapatan rata-rata lamun terendah ditemukan di stasiun 2, hal ini diduga karena sedikitnya jenis lamun yang terukur pada plot pengambilan data di stasiun tersebut. Pada stasiun 2 ditemukan satu jenis lamun saja yaitu jenis lamun Enhalus acoroides dengan kerapatan rata-rata sebesar 89,50 ± 60,10 ind/m. Sedikitnya jenis lamun yang ditemukan pada stasiun 2 juga disebabkan oleh jenis substratnya. Lokasi stasiun 2 didominasi oleh substrat hamparan karang mati, dan rubble yang memungkinkan lamun sulit tumbuh. Menurut Kiswara (1994) lamun dapat tumbuh pada dasar lumpur, pasir, dan kerikil karang diantara karang hidup, cekungan batu karang maupun pada dasar dan lumpur di bawah naungan bakau. Hal lain bisa juga disebabkan karena lamun tidak terlindung pada saat air surut (Dahuri et al, 1996). Persentase penutupan lamun di Pulau Sapudi berkisar antara 26,19 % sampai dengan 32,17 %. Persentase penutupan lamun tertinggi di setiap stasiun pengamatan ditemukan pada stasiun 1, sedangkan persentase penutupan lamun terendah ditemukan pada stasiun 2 (Gambar 13). 2

42 35 Persentase Penutupan Lamun (%) 30 25 20 15 10 5 0 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Nama Stasiun Gambar 13. Persentase penutupan lamun di Pulau Sapudi, Th=Thalassia hemprichii, Ea=Enhalus acoroides, Si=Syringodium isoetifolium, Cr=Cymodocea rotundata, Ho=Halophila ovalis. Persentase penutupan lamun pada stasiun 1 sebesar 32,17 % (Lampiran 9), dan jenis lamun yang mendominasi adalah jenis lamun Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata. Persentase penutupan lamun pada stasiun 2 sebesar 26,19 %, dan jenis lamun yang mendominasi adalah jenis lamun Enhalus acoroides. Persentase penutupan lamun pada stasiun 3 sebesar 29,29 %, dan jenis lamun yang mendominasi adalah jenis lamun Halophila ovalis dan Cymodocea rotundata. Persentase penutupan lamun pada stasiun 4 sebesar 30,25 %, dan jenis lamun yang mendominasi adalah jenis lamun Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium. Rata-rata kerapatan dan persentase penutupan lamun terendah ditemukan pada stasiun 2, hal ini dimungkinkan lamun kurang tumbuh subur pada lokasi tersebut.

43 Kerapatan lamun di Pulau Sapudi umumnya didominasi oleh jenis lamun Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata, sedangkan persentase penutupan lamun didominasi oleh jenis lamun Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium (Gambar 12 & 13). Kerapatan dan persentase penutupan Thalassia hemprichii, bernilai tinggi berkaitan dengan kemampuan adaptasinya terhadap tipe substrat yang ada di Pulau Sapudi. Menurut Hartog (1970) Thalassia hemprichii mampu hidup dalam semua jenis substrat, bervariasi dari pecahan karang hingga substrat lunak. Enhalus acoroides juga merupakan jenis lamun yang mampu beradaptasi terhadap semua jenis substrat di Pulau Sapudi, namun lamun jenis ini memiliki kerapatan dan penutupan yang lebih rendah dari pada Thalassia hemprichii, hal tersebut dimungkinkan karena kondisi perairan Pulau Sapudi yang relatif dangkal pada saat surut, akibatnya jenis ini hanya tersebar pada padang lamun yang pada saat surut masih terendam air. Secara umum jenis lamun Syringodium isoetifolium memiliki nilai kerapatan yang lebih rendah dibanding Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Namun jenis lamun ini memiliki kerapatan dan persen penutupan yang cukup tinggi pada stasiun 4. Pada stasiun 1 hanya sedikit ditemukan jenis lamun ini. Jenis lamun Syringodium isoetifolium pada stasiun 2 dan stasiun 3 tidak ditemukan. Kondisi ini terjadi karena jenis lamun Syringodium isoetifolium hanya mampu mentoleransi kekeringan dalam waktu singkat (Phillips dan Menez, 1998) dan biasanya ditemukan di antara lamun lain yang dominan (Hartog, 1970), hal tersebut bisa terlihat pada stasiun 4 yaitu Syringodium isoetifolium dapat

44 ditemukan dengan persen penutupan yang tinggi bersama Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis. Menurut Tomascik et al. ( 1997) jenis lamun Cymodocea rotundata mampu hidup pada daerah dangkal yang tertutup karang dan mempunyai toleransi yang tinggi pada daerah tidak terendam air (Tomascik et al., 1997). Oleh karena itu lamun jenis ini memiliki kerapatan dan penutupan yang cukup tinggi. Jenis lamun Halophila ovalis memiliki kerapatan yang rendah dan hanya ditemukan pada stasiun 3 dan 4, namun lamun jenis ini memiliki nilai persen penutupan yang cukup tinggi dibandingkan dengan jenis lamun Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Jenis lamun ini ditemukan secara bersama-sama dengan Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, dan Syringodium isoetifolium. Menurut Nienhuis et al (1989) jenis lamun Halophila ovalis sering terlihat sebagai jenis pembuka yang mendiami substrat pasir. 4.6 Pola Sebaran Jenis Bulu babi Kondisi lingkungan perairan pada saat pengamatan sangat mempengaruhi pola sebaran jenis di suatu perairan. Penentuan sebaran jenis dengan menggunakan Indeks Morisita dimaksudkan untuk mengetahui sebaran jenis bulu babi yang ada di Pulau Sapudi membentuk pola seragam, mengelompok, atau acak. Jenis dengan pola sebaran seragam sangat jarang ditemukan di alam meskipun bukan tidak mungkin hal tersebut dapat terjadi. Berdasarkan hasil pengukuran Indeks Sebaran Morisita diketahui bahwa pola sebaran jenis bulu babi di Pulau Sapudi Madura memiliki pola sebaran jenis yang bersifat mengelompok dimana I d > 1 seperti tercantum pada Tabel 8 (Lampiran 10).

45 Tabel 8. Pola sebaran bulu babi di Pulau Sapudi Madura Jenis Echinoidea N x 2 x Id Pola Sebaran Echinothrix diadema 60 20 76 8,84 Mengelompok Diadema setosum 60 249 5109 4,72 Mengelompok Diadema savignyi 60 50 218 4,11 Mengelompok Echinothrix calamaris 60 7 11 5,71 Mengelompok Echinometra mathaei 60 134 1362 4,13 Mengelompok Tripneustes gratilla 60 55 145 1,82 Mengelompok Mespilia globulus 60 67 215 2,01 Mengelompok Temnopleurus alexandri 60 8 18 10,71 Mengelompok Pola sebaran jenis ini sama di semua stasiun pengamatan dengan nilai Id berkisar antara 1,82 10,71. Menurut Aziz (1994) bulu babi di padang lamun dapat hidup soliter atau hidup mengelompok tergantung pada jenis dan habitatnya. Menurut Aziz (1987) bulu babi baik yang menyendiri ataupun mengelompok, hidup bebas mencari makan secara aktif, berpindah dari satu rumpun ke rumpun alga lainnya. Aktifitas makan ini terutama dilakukan pada malam hari. Kebiasaan bulu babi jenis tertentu untuk hidup mengelompok seperti pada marga Diadema dan Strongylocentrotus ternyata mempunyai pengaruh negatif terhadap komunitas algae dan lamun (Aziz, 1987). Ketersedian makanan dan faktor habitat sangat mempengaruhi penyebaran lokal bulu babi (Beer, 1990). Pada umumnya setiap jenis bulu babi memiliki habitat yang spesifik, seperti Tripneustes gratilla sering ditemukan di daerah berpasir atau berlumpur yang banyak ditumbuhi lamun sebagai makanannya. Jenis ini merupakan grazer penting di padang lamun (Aziz, 1994). Pola sebaran jenis mengelompok ini berarti suatu individu jenis hanya dapat ditemukan di tempat tertentu sesuai dengan preferensi habitatnya (Aziz, 1994).

46 4.7 Hubungan Antara Bulu babi dengan Lamun di Pulau Sapudi Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara bulu babi dan lamun terlihat pada Gambar 14. 0,8 0,6 Sumbu 2: 0,03479 (27,86% of Inertia) 0,4 0,2 0,0-0,2-0,4 Ed Dsa Dse Th Ta Tg Ea Em Mg Si Cr Ec -0,6 Ho -0,8-1,4-1,2-1,0-0,8-0,6-0,4-0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 Sumbu 1: 0,07442 (59,59% of Inertia) Jenis Bulu Babi Jenis Lamun Gambar 14. Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara bulu babi dan lamun pada sumbu 1 dan 2, Ed=Echinothrix diadema, Dse=Diadema setosum, Dsa=Diadema savignyi, Ec=Echinothrix calamaris, Em=Echinometra mathaei, Tg=Tripneustes gratilla, Mg=Mespilia globulus, dan Ta=Temnopleurus alexandri. Th=Thalassia hemprichii, Ea=Enhalus acoroides, Si=Syringodium isoetifolium, Cr=Cymodocea rotundata, Ho=Halophila ovalis Hasil Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence analysis) sebaran 8 jenis bulu babi pada 5 jenis lamun di lokasi penelitian (Gambar 14), menunjukkan bahwa sebarannya terpusat pada sumbu 1 (F1) dan sumbu 2 (F2). Informasi maksimum sebaran spasial bulu babi terhadap lamun yang dihasilkan

47 dari analisis faktorial koresponden sebesar 87,45 % dari hasil penjumlahan ragam. Sumbu 1 (F1) memiliki akar ciri dan ragam berturut-turut sebesar 0,07 (59,59 %), sedangkan sumbu 2 (F2) memiliki akar ciri dan ragam berturut-turut sebesar 0,03 (27,86 %). Karena sumbu 1 memiliki nilai ragam dan akar ciri yang lebih besar, maka informasi difokuskan pada sumbu 1 tersebut (Lampiran 11). Dari Gambar 14 terlihat bahwa bulu babi jenis Mespilia globulus (cos 2 0,77) dan Echinothrix calamaris (cos 2 0,80) memiliki hubungan atau asosiasi dengan lamun jenis Enhalus acoroides (cos 2 0,64) dan Syringodium isoetifolium (cos 2 0,71). Bulu babi dan lamun tersebut berasosiasi pada kuadran 1 (+,+). Pada kuadran 2 (,+) terlihat bahwa bulu babi jenis Echinothrix diadema (cos 2 0,50), Diadema setosum (cos 2 0,88), dan Diadema savignyi (cos 2 0,87) memiliki hubungan atau asosiasi dengan lamun jenis Thalassia hemprichii (cos 2 0,94). 2 Nilai cos yang mendekati nilai 1 terlihat lebih memiliki hubungan keterkaitan, dan yang jauh dari nilai 1 tidak memiliki keterkaitan seperti terlihat pada nilai cos 2 dari Temnopleurus alexandri sebesar 0,23. Keterkaitan antara ketiga jenis bulu babi tersebut terhadap lamun Thalassia hemprichii yang memiliki kerapatan dan penutupan yang tertinggi di Pulau Sapudi dimungkinkan karena bulu babi tersebut memperoleh makanan (sebagai grazer di padang lamun) yang cukup, kondisi substratnya yang cocok serta kondisi perairan yang baik untuk kelangsungan hidupnya.