HUBUNGAN DUKUNGAN PMO DAN KETERATURAN MINUM OBAT DENGAN KEGAGALAN KONVERSI TB PARU

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan. masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

Identifikasi Faktor Resiko 1

Artikel Penelitian. Abstrak. Abstract PENDAHULUAN. Nitari Rahmi 1, Irvan Medison 2, Ifdelia Suryadi 3

BAB I PENDAHULUAN. batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. komplikasi berbahaya hingga kematian (Depkes, 2015). milyar orang di dunia telah terinfeksi bakteri M. tuberculosis.

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB I PENDAHULUAN. bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. tanah lembab dan tidak adanya sinar matahari (Corwin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

PENDAHULUAN. Herdianti STIKES Harapan Ibu Jambi Korespondensi penulis :

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

BAB I PENDAHULUAN. di negara berkembang. Badan kesehatan dunia, World Health Organitation

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly

HUBUNGAN DUKUNGAN PASANGAN PENDERITA TB DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat secara global. TB Paru menduduki peringkat ke 2 sebagai

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dan termasuk salah satu sasaran Millennium Development Goals (MDGs) dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

I. PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Menurut World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) paru yaitu salah satu penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis dan dapat disembuhkan. Tuberkulosis

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau sering disebut dengan istilah TBC merupakan penyakit

ANALISA DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Melalui pembangunan kesehatan diharapkan akan tercapai

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World. Health Organization (WHO) dalam Annual report on global TB

Kata Kunci : Peran PMO, Kepatuhan minum obat, Pasien tuberkulosis paru. Pengaruh Peran Pengawas... 90

BAB I PENDAHULUAN. utama. The World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

Hubungan Pengetahuan dan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis di Puskesmas Andalas Kota Padang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

S T O P T U B E R K U L O S I S

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN KESEMBUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU BTA POSITIF DI PUSKESMAS DELANGGU KABUPATEN KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan terutama di Negara berkembang seperti di Indonesia. Penyebaran

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor risiko..., Helda Suarni, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. bertambah, sedangkan insiden penyakit menular masih tinggi. Salah satu penyakit


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya kuman penyebab tuberkulosis oleh Robert Koch tahun 1882

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sudah ada sejak zaman purbakala. Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kuno seperti sisa-sisa tulang belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB 1 PENDAHULUAN. menular yang muncul dilingkungan masyarakat. Menanggapi hal itu, maka perawat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang terbaru (2010), masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan

SKRIPSI. Penelitian Keperawatan Komunitas

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Oleh banyak

J. Teguh Widjaja 1, Hartini Tiono 2, Nadia Dara Ayundha 3 1 Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS (TBC) PADA KELOMPOK USIA PRODUKTIF DI KECAMATAN KARANGANYAR, DEMAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh basil TBC. Penyakit paru paru ini sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. TB sudah dilakukan dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti karena menular. Menurut Robins (Misnadiarly, 2006), tuberkulosis adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA KONDISI RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KISMANTORO KABUPATEN WONOGIRI PUBLIKASI ILMIAH

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terdapat di negara-negara berkembang dan 75% penderita TB Paru adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. berhasil disembuhkan. Apalagi diakibatkan munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia

Transkripsi:

HUBUNGAN DUKUNGAN PMO DAN KETERATURAN MINUM OBAT DENGAN KEGAGALAN KONVERSI TB PARU Siti Shofiya 1 Novita Sari 2 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga 1, 2 Shofiya, S., & Sari, N. (2016). Hubungan Dukungan Pmo Dan Keteraturan Minum Obat Dengan Kegagalan Konversi Tb Paru. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah, 1(1). INFORMASI Korespodensi: sitishofiya93@gmail.com Keywords: Tuberculosis, conversion failure, PMO support, medication adherence A B S T R A C T Objective: to analyze PMO support and medication adherence that associated with pulmonary TB conversion failure in the intensive phase of treatment in Surabaya. Methods: The type of this research is case-control design. The object of this study is pulmonary TB patients who experienced conversion failure in the intensive phase of category 1 in Surabaya on 2015. Samples were taken by simple random sampling method. Total sample of the research used a ratio of 1: 2 that was 27 case samples and 54 control samples. Simple random sampling method was used. The independent variables included PMO support and medication adherence. Data analysis were using chi-square test. Results: The results showed that independent variables have no relationship with conversion failure (p value < 0,05). PMO support has p-value < 0,05 (0,59) and medication adherence has p-value < 0,05 (0,46). Conclusion: The Only comorbiditeis that have relationship with conversion failure. PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil TB (Kemenkes, 2014). Menurut World Health Organization (WHO) (2013), kasus TB sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia. Pada tahun 2013 diestimasikan 9 juta orang di dunia menderita TB, dan lebih dari 56% tersebar di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Tahun 2013 prevalensi kejadian TB di Indonesia sebesar 272 per 100.000 penduduk, sedangkan jumlah kasus TB baru pada tahun 2013 sebanyak 183 per 100.000 penduduk, dan jumlah kematian akibat TB sebesar 25 per 100.000 penduduk (WHO, 2014). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia produktif secara ekonomis. Seorang pasien TB diperkirakan akan kehilangan rata rata waktu kerjanya 3 sampai dengan 4 bulan (Kemenkes RI, 2014). Kuman TB berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan Ziehl Neelsen, sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Dalam jaringan tubuh kuman ini mengalami dormant, sehingga dapat tidur lama selama beberapa tahun. Kuman TB dapat bertahan hidup dalam suhu yang sangat rendah yaitu antara 2 o C sampai dengan -70 o C, namun kuman tersebut sangat peka terhadap panas dari sinar matahari 1

dan ultraviolet. Sumber penularan TB adalah pasien TB paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet nuclei (percikkan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran napas (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2014). Penularan dari seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat kepositifan dari hasil pemeriksaan dahak, maka pasien tersebut semakin berisiko menularkan kepada orang lain (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2014). Di Indonesia, penyakit TB cenderung bertambah. Indonesia saat ini menduduki posisi kedua di dunia setelah India. Kasus TB di Indonesia diperkirakan sebesar 450.000 kasus baru per tahun dari total 8,8 juta kasus TB di dunia. Provinsi Jawa Timur menempati urutan kedua di Indonesia dengan kasus TB terbanyak setelah Provinsi Jawa Barat. Sementara itu Kota Surabaya menempati urutan pertama dengan kasus TB terbanyak di Jawa Timur sehingga membutuhkan upaya penanggulangan yang mengikutsertakan partisipasi masyarakat dan pemegang kebijakan. Kesadaran masyarakat yang kurang akan pentingnya higiene sanitasi serta kesadaran pasien yang kurang untuk mengikuti program pengobatan sampai tuntas menyebabkan penyakit ini menyebar dengan cepat dan mudah. Selain itu, wilayah dengan penduduk yang padat disertai dengan ventilasi yang terbatas juga dapat menyebabkan sulitnya pemberantasan TB secara menyeluruh (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2014). Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat. Upaya pencegahan penularan TB yang terbaik adalah dengan menemukan dan menyembuhkan pasien (Kemenkes RI, 2014). Perubahan BTA positif pada awal pengobatan menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan fase intensif disebut konversi (Kemenkes RI, 2009). Salah satu indikator yang digunakan dalam penilaian keberhasilan pelaksanaan pogram Pengendalian dan Pemberantasan TB di Kota Surabaya adalah indikator angka konversi (Convertion Rate CR) pasien TB. Angka konversi merupakan persentase pasien TB Paru baru BTA positif yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan dilakukan secara intensif dibandingkan jumlah pasien TB Paru BTA positif yang diobati. Angka konversi bermanfaat untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan mengetahui pengawasan langsung menelan obat sudah dilakukan secara benar atau tidak. Angka konversi pasien TB secara nasional minimal adalah 80%, apabila kurang dari angka tersebut maka angka konversi pasien TB belum memenuhi target nasional (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2014). Angka konversi yang masih rendah berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program pengendalian dan pemberantasan TB, hal ini disebabkan pasien TB Paru BTA positif yang mengalami kegagalan konversi menjadi BTA negatif, berisiko untuk 2

menularkan kuman TB Paru BTA positif kepada orang lain (Amaliah, 2012). Kegagalan konversi BTA pada fase intensif juga dapat menimbulkan terjadinya resistensi kuman TB terhadap OAT (Kurniati, 2010). Apabila pasien menjadi kebal terhadap obat, maka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sembuh dan berisiko tinggi pula untuk menularkan kuman TB yang kebal obat kepada orang lain. Resistensi OAT terjadi akibat pengobatan yang tidak sempurna dan kombinasi OAT yang tidak adekuat atau disebabkan putus berobat (Mukhsin et al., 2006). Kegagalan konversi TB Paru BTA positif pada fase intensif disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Suprijono (2005) kegagalan konversi TB Paru dipengaruhi oleh keteraturan minum obat. Apabila keteraturan dalam minum obat kurang dari 90% maka akan mempengaruhi penyembuhan. Selain itu hasil dari penelitian Tahitu & Amiruddin (2007) di Kota Ambon peran Pengawas Menelan Obat (PMO) juga mempengaruhi terhadap kegagalan konversi (Amaliah). Pengobatan TB Paru terdiri dari fase intensif selama 2-3 bulan dan fase lanjutan selama 4 bulan. Obat TB seharusnya diminum secara teratur selama 6-8 bulan sesuai dengan jadwal. Keteraturan pengobatan yang kurang dari 90% akan mempengaruhi penyembuhan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus ditelan secara teratur sesuai dengan jadwal terutama pada dua fase pengobatan untuk menghindari terjadinya kegagalan pengobatan dan kekambuhan. Pengobatan TB pada fase intensif perlu diperhatikan dan dilakukan sesuai prosedur dan jadwal karena ketidaktepatan pelaksanaan pengobatan fase intensif yaitu apabila penderita TB tidak teratur minum obat maka akan berdampak pada kegagalan konversi di akhir pengobatan fase intensif serta timbulnya masalah TB- MDR (Farmani, 2015). PMO bertugas untuk menjaga agar pasien minum obat secara teratur atau tidak putus berobat. Dukungan sosial oleh PMO berupa dukungan emosional dapat meningkatkan motivasi kepada penderita TB Paru untuk sembuh (Paramani, 2013). Keberadaan PMO berperan penting dalam menunjang kepatuhan minum obat. Sebagian besar pasien yang patuh dalam menjalani pengobatan memiliki PMO yang mendukungnya (Riza, 2015). Berdasarkan latar belakang diatas, penulis bermaksud untuk menganalisis hubungan antara dukungan PMO dan keteraturan minum obat dengan kegagalan konversi pasien TB Paru BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain studi kasus kontrol. Penelitian ini dilakukan di Kota Surabaya yaitu tepatnya di wilayah Surabaya Utara. Kasus tertinggi gagal konversi pada fase intensif di wilayah Surabaya Utara sebanyak 57 kasus dari total keseluruhan kasus gagal konversi fase intensif sebanyak 134 kasus di Kota Surabaya tahun 2015. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Perak Timur, Puskesmas Sidotopo dan Puskesmas Tanah Kali kedinding. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2016. Populasi kasus adalah seluruh pasien TB Paru BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 yang gagal konversi dahaknya setelah dievaluasi berdasarkan formulir TB 01 di Kota Surabaya tahun 2015, 3

sedangkan populasi kontrol adalah seluruh pasien TB Paru BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 yang konversi dahaknya setelah dievaluasi berdasarkan formulir TB 01 di Kota Surabaya tahun 2015. Besar sampel pada kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah 1:2 yaitu kasus sebanyak 27 orang dan kontrol sebanyak 54 orang. Sampel dipilih dari populasi dengan metode pencuplikan acak sederhana. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan mengunjungi rumah responden (home visit) dan melakukan wawancara langsung pada responden penelitian. Responden penelitian adalah pasien yang gagal konversi dahaknya pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 di Kota Surabaya tahun 2015. Wawancara dilakukan dengan bantuan instrumen berupa kuesioner. Kuesioner berisi pertanyaan tentang variabel yang diteliti. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah persepsi responden terhadap penyakit TB Paru, keteraturan minum obat dan penyakit penyerta yang diderita selain TB Paru sedangkan variabel bebas dalam penelitian ini adalah kegagalan konversi BTA pada akhir pengobatan fase intensif. Variabel dukungan PMO dikategorikan menjadi mendukung dan tidak mendukung. Dukungan PMO dikategorikan mendukung apabila responden memiliki PMO dan PMO selalu mendukung pengobatan pasien seperti mengawasi, mengingatkan, mengetahui jadwal periksa dan ambil obat di Puskesmas. Sedangkan dukungan PMO dikategorikan tidak mendukung apabila responden tidak memiliki PMO atau memiliki PMO namun tidak mendukung seperti tidak mengawasi, tidak mengingatkan saat minum obat dan tidak mengetahui jadwal periksa dan ambil obat di Puskesmas. Variabel keteraturan minum obat dikategorikan menjadi teratur dan tidak teratur. Keteraturan minum obat dikategorikan teratur apabila responden minum obat setiap hari, mematuhi jadwal pemeriksaan dahak dan ambil obat serta tidak ada obat yang sisa selama pengobatan intensif. Sedangkan keteraturan minum obat dikategorikan tidak teratur apabila responden pernah lupauntuk minum obat, tidak mematuhi jadwal pemeriksaan dahak dan ambil obat serta ada obat yang sisa selama pengobatan intensif. Variabel penyakit penyerta dikategorikan menjadi ada atau tidak ada penyakit penyerta selain TB Paru. Penyakit penyerta dikategorikan ada apabila responden memiliki penyakit penyerta lain yang diderita selain TB Paru yaitu Diabetes Mellitus, ISPA, Gagal Ginjal dan penyakit lainnya. Sedangkan penyakit penyerta dikategorikan tidak ada apabila responden tidak memiliki penyakit penyerta lain yang diderita selain TB Paru yaitu Diabetes Mellitus, ISPA, Gagal Ginjal dan penyakit lainnya. Variabel penyakit penyerta mereview dari formulir TB 01 di Puskesmas dan peneliti juga melakukan wawancara pada responden. Penelitian ini menghasilkan data dari uji statistik menggunakan Uji Chi- Square dengan tabel tabulasi silang untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas (dukungan PMO, keteraturan minum obat dan penyakit penyerta) terhadap variabel tergantung (kegagalan konversi fase intensif) dengan mempertimbangkan nilai signifikansi α= 0,05 dan OR (Odds Ratio) pada tabel tabulasi silang analisis Chi-Square. Confident Interval (CI) 95% digunakan untuk melihat signifikansi OR pada masing-masing variabel bebas agar OR dapat disimpulkan. 4

HASIL Karakteristik Kasus Gagal Konversi Karakteristik kasus gagal konversi fase intensif kategori 1 dalam penelitian ini yaitu dilihat berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Karakteristik kasus kegagalan konversi pasien TB Paru BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 di Kota Surabaya tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 1 : Tabel 1. Karakteristik Pasien Gagal Konversi Fase Intensif Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di Kota Surabaya tahun 2015. Karakteristik Kasus n % Kelompok Usia 15-55 tahun 19 70,4 >55 tahun 8 29,6 Jumlah 27 100 Jenis Kelamin Perempuan 11 40,7 Laki-laki 16 59,3 Tingkat Pendidikan Jumlah 27 100 Dasar 14 51,9 Menengah 13 48,1 Tinggi 0 0 Jumlah 27 100 Tabel 2. Hubungan Dukungan PMO dengan Kegagalan Konversi Fase Intensif di Kota Surabaya tahun 2015 Persepsi Status Konversi Kasus Kontrol n (%) n (%) Tidak Mendukung 10 (37,0%) 14 (25,9%) Mendukung 17 (63,0%) 40 (74,1%) Total 27 (100%) 54 (100%) p = 0,59 Berdasarkan karakteristik kasus, pasien yang gagal konversi tersebar pada usia produktif (15-55 tahun). Mayoritas kasus gagal konversi banyak terjadi pada pasien yang berusia 40-49 tahun. Distribusi kasus gagal konversi berdasarkan jenis kelamin sebagian besar terjadi pada pasien berjenis kelamin laki-laki sebesar 59,3% atau 16 orang. Distribusi kasus gagal konversi berdasarkan tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga kategori yaitu tingkat pendidikan Dasar (tidak tamat SD atau tamat SD), Menengah (tamat SMP atau tamat SMA) dan Tinggi (tamat Perguruan Tinggi). Hubungan Dukungan PMO dengan Kegagalan Konversi Fase Intensif di Kota Surabaya tahun 2015 Hubungan dukungan PMO dengan kegagalan konversi pasien TB Paru BTA positif pada akhir pengobatan fase 5

intensif kategori 1 di Kota Surabaya tahun 2015 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus sebagian besar pasien ada kelompok kontrol sebagian besar pasien didukung oleh PMO yaitu sebesar 74,1%. Hasil uji statistik pada Tabel 2 memberikan informasi bahwa dukungan PMO terhadap responden tidak memenuhi syarat menjadi variabel kandidat faktor risiko yang berhubungan dengan kegagalan konversi TB paru BTA postif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 di Kota Surabaya. Hal ini dibuktikan dari hasil uji statistik dengan p-value sebesar 0,59 (p<0,25). memiliki PMO yang mendukung yaitu sebesar 63,0%. P Hubungan Keteraturan Minum Obat dengan Kegagalan Konversi Fase Intensif di Kota Surabaya tahun 2015 Hubungan keteraturan minum obat dengan kegagalan konversi pasien TB Paru BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 di Kota Surabaya tahun 2015 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus sebagian besar pasien teratur minum obat yaitu sebesar 70,4% atau 19 orang. Tabel 3. Hubungan Keteraturan Minum Obat dengan Kegagalan Konversi Fase Intensif di Kota Surabaya tahun 2015 Keteraturan Minum Obat Status Konversi Kasus Kontrol n (%) n (%) Tidak teratur 8 (29,6%) 12 (22,2%) Teratur 19 (70,4%) 42 (77,8%) Total 27 (100%) 54 (100%) p = 0,46 Hasil uji statistik pada Tabel 3 menunjukkan bahwa keteraturan minum obat tidak berhubungan dengan kegagalan konversi pasien TB Paru BTA positif kategori 1 di Kota Surabaya. Hasil tersebut dibuktikan berdasarkan hasil uji statistik dengan p- value sebesar 0,46 (p > 0,05). PEMBAHASAN Karakteristik Kasus Gagal Konversi Distribusi kasus gagal konversi pasien TB Paru BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 berdasarkan usia di Kota Surabaya menunjukkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada kelompok usia produktif yaitu pasien yang berusia 15-55 tahun. Pasien dengan usia tertua yaitu 77 tahun, sedangkan pasien dengan usia termuda adalah 30 tahun. Rata-rata kasus gagal konversi terjadi pada rentang usia 40-49 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian Amaliah (2012) bahwa sebagian besar pasien dalam kelompok usia produktif mengalami kegagalan konversi. Hal tersebut juga didukung oleh datadari Dinas Kesehatan Kota Surabaya bahwa jumlah kasus TB Paru baru BTA positif menurut usia tahun 2015 di Kota Surabaya dimana lebih banyak diderita pada kelompok usia produktif (15-55 tahun). Distribusi kasus gagal konversi pasien TB Paru BTA positif pada akhir 6

pengobatan fase intensif kategori 1 berdasarkan jenis kelamin di Kota Surabaya sebagian besar terjadi pada pasien yang berjenis kelamin laki-laki. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Amaliah (2012) bahwa pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih besar yang mengalami kegagalan konversi. Usia berhubungan dengan kejadian TB paru, dimana usia dapat mempengaruhi kerja dan efek dari obat yang disebabkan oleh metabolisme obat pada orang yang berusia muda berbeda dengan orang tua. Insidensi tertinggi TB paru biasanya pada usia muda atau produktif, yaitu usia 15-45 tahun (Crofton, 2002). Hal ini disebabkan pada penderita yang berusia produktif cenderung melakukan aktivitas diluar yang menyebabkan terpapar sehingga berisiko untuk terkena TB. Penderita penyakit TB Paru cenderung lebih tinggi diderita pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol pada laki-laki dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar agen penyebab TB paru. Hasil penelitian Amaliah (2012) menyebutkan bahwa jenis kelamin laki-laki memiliki risiko terjadinya kegagalan konversi sebesar 1,345 kali dibanding yang berjenis kelamin perempuan. Distribusi kasus gagal konversi pasien TB Paru BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 berdasarkan tingkat pendidikan di Kota Surabaya sebagian besar memiliki tingkat pendidikan dasar (tidak tamat SD atau tamat SD). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Amaliah (2012) yang dilakukan di Kabupaten Bekasi menunjukkan bahwa pasien dengan tingkat pendidikan dasar lebih sedikit yang mengalami kegagalan konversi dibandingkan yang konversi. Penelitian ini berbeda karena pada penelitian Amaliah (2012) dilakukan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat dimana karakteristik penduduk berbeda dengan Kota Surabaya. Hubungan Dukungan PMO dengan Kegagalan Konversi Fase Intensif di Kota Surabaya tahun 2015 Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 1.2, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara dukungan PMO dengan kegagalan konversi pasien TB Paru dewasa BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 di Kota Surabaya sehingga dukungan PMO bukan merupakan faktor risiko terjadinya kegagalan konversi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Amaliah (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengawas minum obat dengan kejadian gagal konversi. Hal ini juga dikarenakan dalam penelitian ini, jumlah pasien yang yang didukung oleh PMO lebih tinggi (70,4%) dibandingkan dengan pasien yang tidak tidak didukung oleh PMO (29,6%). Penelitian yang dilakukan oleh Suprijono (2005) menyatakan hal yang berbeda, bahwa dukungan PMO memiliki hubungan dengan kejadian konversi. Keberadaan PMO berperan penting dalam menunjang kepatuhan minum obat. Sebagian besar pasien yang patuh dalam menjalani pengobatan memiliki PMO yang mendukungnya (Riza, 2015). Hubungan Keteraturan Minum Obat dengan Kegagalan Konversi Fase Intensif di Kota Surabaya tahun 2015 Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 1.3, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara keteraturan minum obat dengan kegagalan konversi pasien TB Paru dewasa BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 di Kota Surabaya sehingga keteraturan minum obat bukan merupakan faktor risiko terjadinya kegagalan konversi. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Amaliah 7

(2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara keteraturan minum obat dengan kejadian gagal konversi. Pasien yang tidak teratur minum obat memiliki risiko terjadinya kegagalan konversi 3,297 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien yang teratur minum obat TB. Penelitian ini berbeda dikarenakan karakteristik responden dan lingkungan saat dilakukan penelitian berbeda. Pada penelitian ini, sebagian besar pasien yang gagal konversi pada fase intensif teratur minum obat. Hal yang perlu diperhatikan adalah meskipun pasien teratur minum obat namun BTA nya tidak konversi. Menurut Penelitian Riyanto (2006) apabila BTA tetap positif setelah menjalani pengobatan selama 3 bulan atau kultur kuman kembali positif setelah dinyatakan negatif, maka hal tersebut dicurigai mengalami resistensi obat (Alfin, 2012). Penyebab resistensi obat diantaranya adalah virulensi kuman yang resisten, obat tidak dapat diserap dengan baik, dosis obat yang tidak tepat, keterlambatan menegakkan diagnosis dan pertahanan tubuh pasien yang menurun (Soepandi, 2008). Pasien yang teratur minum obat namun BTA nya tidak konversi dapat disebabkan karena pertahanan tubuh pasien yang menurun akibat menderita penyakit lain selain TB, sehingga OAT yang diminum tidak dapat diserap oleh tubuh (Green, 2006). Selain itu penggunaan obat kombinasi atau KDT yang tidak dilakukan dengan baik dapat pula mengganggu penyerapan obat dalam tubuh (Aditama, 2006). Pada penelitian ini, sebagian besar pasien tidak menyadari bahwa dirinya mengalami gejala TB Paru terutama batuk selama 2-3 minggu, sehingga pasien terlambat memeriksakan diri akibatnya terjadi keterlambatan diagnosis. Oleh karena itu, kesadaran pada masyarakat perlu ditingkatkan apabila masyarakat menyadari bahwa dirinya mengalami gejala TB terutama batuk selama 2-3 minggu untuk segera periksa ke Puskesmas. Selain itu, kesadaran bisa diwujudkan dengan meningkatkan promosi dan penyuluhan terkait penyakit TB oleh Dinas kesehatan maupun Puskesmas kepada masyarakat. KESIMPULAN Distribusi kasus gagal konversi fase intensif kategori 1 di Kota Surabaya tahun 2015 banyak terjadi pada kelompok usia produktif (15-55 tahun), berjenis kelamin laki-laki dan memiliki tingkat pendidikan dasar (tidak tamat SD atau tamat SD). Dukungan PMO tidak berhubungan dengan kegagalan konversi pasien TB Paru BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 di Kota Surabaya tahun 2015. Keteraturan minum obat tidak berhubungan dengan kegagalan konversi pasien TB Paru BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 di Kota Surabaya tahun 2015. Penyakit penyerta berhubungan dengan kegagalan konversi pasien TB Paru BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 di Kota Surabaya tahun 2015. SARAN Kegagalan konversi pada fase intensif perlu diperhatikan karena nantinya akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan TB Paru. Pelayanan kesehatan hendaknya melakukan peningkatan promosi dan penyuluhan kesehatan terkait TB Paru dan menghimbau masayarakat untuk segera memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan apabila muncul gejala TB Paru. Pasien TB Paru disarankan agar jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter terutama pada pasien TB Paru yang mengidap penyakit lain yang menyertai seperti DM selama menjalani pengobatan. Selain itu, masyarakat hendaknya memiliki kesadaran untuk 8

memeriksakan diri ke Puskesmas apabila mengalami gejala TB terutama batuk 2-3 minggu untuk segera diberi tindakan. DAFTAR PUSTAKA Aditama, Y,T. 2006. Tuberkulosis, Rokok dan Perempuan. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Alfin, S.K. 2012. Multi Drug Resistant (MDR-TB); Sebuah Tinjauan Kepustakaan. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. 1-7. Amaliah, R. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kegagalan Konversi Penderita TB Paru BTA Positif Pengobatan Fase Intensif Di Kabupaten Bekasi Tahun 2010. Tesis. Program Studi Magister Epidemiologi Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta. Crofton J, Horne N, Miller F. 2002. Tuberkulosis Klinis. Edisi 2. Widya Medika. Jakarta. Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2014. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2014. Surabaya: Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Farmani, P.I. 2015. Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis (TB) Pada Pasien Dengan Pengobatan Kategori 1 Di Puskesmas Kota Denpasar Pada Tahun 2011-2012. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Denpasar. Green, C.W. 2006. HIV & TB. Yogyakarta: Yayasan Spiritia. Kemenkes RI, 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta : Kemenkes RI Kurniati, Iis, 2010. Angka Konversi Penderita Tuberkulosis Paru yang Diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Paket Kategori satu di BP4 Garut. MKB 14(2). 32-36. Mukhsin, K., Mahendradhata, Y., Ahmad, R.A., 2006. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Keteraturan Menelan Obat pada Penderita TB Paru yang Mengalami Konversi di Kota Jambi, Tesis. Program Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM. Yogyakarta. Paramani, Putri N. 2013. Hubungan Dukungan Pengawas Minum Obat (PMO) dengan Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Limboto Kabupaten Gorontalo Tahun 2013. Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo. Riza, L.L. 2015. Hubungan Perilaku Merokok dengan Kejadian Gagal Konversi Pasien Tuberkulosis Paru Di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Wilayah Semarang. Skripsi. Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Semarang. Soepandi P.Z. 2008. Diagnosis dan Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya TB MDR. Jakarta: Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan. Sari, S.S.N. 2016. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kegagalan Konversi Pasien TB Paru BTA Positif Pada Akhir Pengobatan Fase Intensif Kategori 1 Di Kota Surabaya Tahun 2015. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Surabaya. 9

Suprijono, D, 2005. Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Konversi Dahak Setelah Pengobatan Fase Awal Pada Penderita Baru Tuberkulosis Paru Bakteri Tahan Asam (BTA) Positif (Studi Kasus Di Kabupaten Purworejo dan Sekitarnya). Tesis. Program Studi Magister Epidemiologi Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang. ACKNOWLEDGEMENT Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada seluruh sample penelitian yang telah bersedia bergabung dalam penelitian ini yaitu pasien TB Paru BTA positif yang berada di kota Surabaya. Selain itu, ucapak terimakasih kami sampaikan kepada pihak dinas kesehatan Kota Surabaya dan pemerintah Kota Surabaya atas segala dukungannya sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan lancar. 10