PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS HASIL PENELITIAN

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGELUARAN PEMERINTAH DAN KETIMPANGAN GENDER DI PASAR TENAGA KERJA INDONESIA BETRIXIA BARBARA

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan berlangsungnya proses demografis. Pada tahun 2004, di Jawa. 1,07 persen bila dibanding tahun 2003 (BPS, 2004).

I. PENDAHULUAN. mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemiskinan merupakan masalah yang dialami secara global dan telah

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. iii KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

suatu negara. Pada dasarnya keberadaan penduduk di suatu negara akan mempercepat pembangun negara semakin besar. Tetapi jika pertumbuhan

Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Pada Usia Produktif Untuk Menghadapi Peluang Dan Tantangan Dari Bonus Demografi Di Kabupaten Gunung Mas

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SAMBUTAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

BPS PROVINSI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dihasilkan dan paling banyak menyerap tenaga kerja. Devisa yang dihasilkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

I. PENDAHULUAN. Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini secara konsisten. menetapkan pembangunan ekonomi Indonesia dengan prinsip triple track

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki

IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses multidimensional yang mencakup berbagai

BAB I PENDAHULUAN. akses, bersifat privat dan tergantung kepada pihak lain (laki-laki). Perempuan

II. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoretis

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian pada umumnya mengalami fluktuasi. Pertumbuhan ekonomi nasional yang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hal ini dapat tercapai bila jumlah supply tenaga kerja yang besar

DATA TERPILAH DALAM PEMBANGUNAN PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis yang penting dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan dalam

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Berdasarkan hasil dan pembahasan Bab V sampai dengan Bab VII,

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan yang harus dihadapi. Melalui pendidikanlah seseorang dapat memperoleh

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN NGADA AGUSTUS 2011 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 0,74 PERSEN

I. PENDAHULUAN. berkembang tidak terkecuali di Indonesia. Pengangguran di Indonesia. merupakan pengangguran dalam skala yang wajar. Dalam negara maju,

BAB I PENDAHULUAN. perhatian perencanaan pembangunan, terutama di negara sedang berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2009

BAB I PENDAHULUAN. terhadap barang dan jasa, kesehatan, geografis, gender, dan kondisi lingkungan.

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang terus

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017

PENDAHULUAN Latar belakang Dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun drastis.

II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

Perluasan Lapangan Kerja

BAB 1 PENDAHULUAN. populasi dan pendapatan per kapita negara-negara anggota ASEAN. Dimana, Indonesia

PENGAKUAN DAN PENGUATAN PERAN PEREMPUAN DALAM IMPLEMENTASI UU DESA NO 6 TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan dalam bidang ketenagakerjaan merupakan bagian dari usaha

- 1 - BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DI INDONESIA. Oleh: Iwan Setiawan*)

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN TAHUN 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap

TERM of REFERENCE JUMLAH DESA MANDIRI PANGAN YANG DIBERDAYAKAN TAHUN Kementerian Negara/Lembaga : Kementerian Pertanian

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. saat ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan. Jumlah penganggur

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan bahwa

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2016

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

Analisis Kondisi Ketenagakerjaan di Provinsi Jambi

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator berjalannya roda perekonomian suatu negara. Ketika ekonomi tumbuh, maka ada peningkatan produksi barang dan jasa yang memerlukan sejumlah tambahan tenaga kerja untuk memproduksinya. Oleh karena itu, pencapaian pertumbuhan ekonomi menjadi instrumen penting untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Pentingnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan banyak negara yang secara rutin menargetkan pertumbuhan ekonominya, kemudian berusaha untuk mencapainya. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi tidak menjamin peningkatan kualitas hidup perempuan. World Bank (2011a) melaporkan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi dunia antara tahun 1980 dan 2008 berdampak terhadap mengecilnya gap partisipasi kerja antara perempuan dan laki-laki dari 32 persen menjadi 26 persen, tetapi perempuan lebih banyak terwakili sebagai pekerja informal dan pekerja dengan produktivitas rendah. Hal senada diungkapkan Seguino (2000) yang menyatakan bahwa di negara semi industri yang berorientasi ekspor, perempuan merupakan sumber tenaga kerja murah yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Argumen ini didukung oleh penelitian Busse dan Spielmann (2006), yang menunjukkan bahwa negara-negara dengan upah perempuan yang lebih rendah dari laki-laki memiliki ekspor lebih tinggi pada industri padat karya. Selanjutnya, Wanjala dan Were (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh investasi di Kenya menyebabkan perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja informal jika dibandingkan dengan laki-laki. Terkait dengan pekerja informal, Chen (2007) menyatakan bahwa pekerja informal umumnya menerima upah yang rendah tanpa fasilitas tunjangan kerja dan asuransi kesehatan seperti yang diperoleh pekerja formal, sehingga rawan terhadap kemiskinan (Lindenthal, 2005). Keterwakilan perempuan secara berlebih sebagai pekerja informal tersebut merupakan salah satu bentuk dari ketimpangan gender di pasar tenaga kerja.

2 Menurut Nazara (2009), keberadaan pekerjaan informal tidak bisa terhindarkan dan tidak selalu berarti buruk. Penyebabnya adalah karena pekerjaan informal merupakan alternatif pekerjaan terbaik ketika pertumbuhan ekonomi belum mampu menyediakan cukup banyak pekerjaan formal. Akan tetapi, karena sifat pekerjaan informal yang sering tidak menguntungkan pekerja, menyebabkan keberadaannya diharapkan sangat kecil. Oleh karena itu, ketersediaan lapangan pekerjaan formal senantiasa menjadi tujuan utama pembangunan suatu negara. Pilihan sebagai pekerja informal menjadi keputusan terbaik bagi sebagian perempuan, alasannya adalah fleksibilitas waktu kerja. Fleksibilitas waktu tersebut perlu karena sebagian besar tenaga kerja perempuan masih harus menanggung pekerjaan domestik seperti mengurus rumah dan anak-anak. Selain itu, pekerja informal tidak mensyaratkan pendidikan tinggi dan dapat dimulai atau diakhiri kapan saja (Hubeis, 2010). Keterwakilan perempuan secara berlebih sebagai pekerja informal menyebabkan rata-rata upah perempuan menjadi lebih rendah dari laki-laki. Kerugian ekonomi bagi negara akibat rendahnya rata-rata upah perempuan tersebut dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian sebelumnya. Kerugian ekonomi tersebut antara lain berupa hilangnya kesempatan untuk memaksimalkan akumulasi tabungan agregat. Floro dan Seguino (2003) berkesimpulan bahwa peningkatan pendapatan perempuan relatif terhadap laki-laki berdampak pada peningkatan tabungan agregat di 20 negara semi industri. Tingkat tabungan agregat yang tinggi merupakan sumber pembiayaan investasi yang mampu mendorong perekonomian. Berikutnya adalah kehilangan kesempatan untuk meningkatkan sumberdaya manusia yang lebih tinggi. Qian (2008) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan perempuan di China berdampak terhadap peningkatan lama sekolah anak laki-laki dan perempuan. Lebih jauh, generasi terdidik itu nantinya akan menjadi sumberdaya manusia yang mampu mendorong petumbuhan ekonomi. Selanjutnya adalah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki gizi masyarakat. Todaro dan Smith (2003) menyatakan bahwa kesempatan istri untuk memperoleh penghasilan akan mendukung program perbaikan gizi pada

3 masyarakat miskin. Pendapatan istri pada keluarga miskin umumnya akan dihabiskan untuk memenuhi pangan dan kebutuhan gizi keluarga terutama anakanak. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan, dapat menggunakan kebijakan pengeluaran pemerintah untuk memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga kerja. Pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan barang dan jasa, dan selanjutnya meningkatkan sejumlah tenaga kerja untuk memproduksi tambahan permintaan barang dan jasa tersebut. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah yang sensitif gender diharapkan mampu memperbaiki ketimpangan di pasar tenaga kerja. Anggaran negara yang sensitif gender mengakui ketidaksetaraan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan dan memperbaikinya melalui alokasi sumberdaya publik. Anggaran responsif gender akan mempertimbangkan penganggaran pemerintah dan manfaat pembangunan yang dicapai baik bagi laki-laki ataupun perempuan sehingga mampu memperkecil ketimpangan gender dalam segala bidang (Balmori, 2003). 1.2. Perumusan Masalah Pemerintah Indonesia menetapkan target pertumbuhan ekonomi di dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) nasional, kemudian dijabarkan secara terinci dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional dan rencana kerja pemerintah (RKP). RPJP nasional merupakan rencana pembangunan periode dua puluh (20) tahunan, RPJM nasional merupakan rencana pembangunan periode lima (5) tahunan, sedangkan RKP merupakan rencana pembangunan periode satu (1) tahunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara berkembang sangat penting, karena terkait dengan kesejahteraan masyarakat seperti ketersediaan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, perlu adanya target pertumbuhan ekonomi sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja perekonomian. Ketika target pertumbuhan ekonomi ditetapkan, pemerintah akan mengaplikasikan berbagai kebijakan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut. Penetapan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tampaknya cukup efektif mengarahkan ekonomi ke arah pertumbuhan yang positif.

4 Pertumbuhan ekonomi (%) 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 5.69 6.35 6.01 6.22 6.49 5.50 4.63 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Sumber: BPS, 2012 Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 2005-2010 Ekonomi Indonesia memiliki pertumbuhan yang cukup baik di dunia. Ekonomi Indonesia menunjukkan peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan di atas 4.5 persen tiap tahunnya (Gambar 1). Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia belum meningkat secara konsisten, tetapi hal ini lebih disebabkan karena pengaruh perekonomian dunia yang tidak stabil. Ketika pertumbuhan ekonomi di banyak negara lain negatif akibat krisis ekonomi global yang di awali dari krisis finansial di Amerika Serikat pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 masih mampu mencapai pertumbuhan 4.63 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup baik juga diungkap dalam studi World Bank (2011b). Studi tersebut menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pendorong perekonomian global dan diprediksi akan memberikan kontribusi untuk separuh pertumbuhan ekonomi dunia bersama lima negara lain, yakni Rusia, Korea Selatan, India, China, dan Brasil. Pertumbuhan Ekonomi yang dicapai Indonesia tersebut telah mampu menciptakan lapangan kerja baru. BPS (2011) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 mampu menyediakan lapangan kerja baru kepada sekitar 1.5 juta orang. Oleh karena itu, pengejaran target pertumbuhan ekonomi masih cukup efektif untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja Indonesia. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut perlu dikaji lebih lanjut bagaimana dampaknya terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia.

5 Tabel 1. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas berdasarkan Jenis Kegiatan Seminggu yang lalu dan Jenis Kelamin di Indonesia, Tahun 2010 Kegiatan Seminggu yang Lalu Jumlah (Orang) Laki-laki Persentase (%) Jumlah (Orang) Perempuan Persentase (%) 1. Angkatan Kerja Bekerja 67 462 223 78.61 40 745 544 47.24 Menganggur 4 419 540 5.15 3 900 239 4.52 2. Bukan Angkatan Kerja Sekolah 7 092 205 8.26 6 919 573 8.02 Mengurus rumahtangga 1 550 879 1.81 31 420 577 36.43 Lainnya 5 296 092 6.17 3 263 467 3.78 85 820 939 100 86 249 400 100 Sumber: BPS, 2010 Ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia akan terlihat ketika data dipilah berdasarkan jenis kelamin seperti pada Tabel 1. Tampak bahwa partisipasi perempuan dalam dunia kerja lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan yang bekerja hanya sebesar 47.24 persen dari total perempuan umur produktif, sedangkan laki-laki sebesar 78.61 persen. Ketimpangan gender dalam hal kesempatan bekerja seringkali dianggap wajar bagi sebagian besar masyarakat karena umumnya perempuan lebih banyak mengurus keluarga sehingga harus menarik diri dari dunia kerja. Hal ini tampak jelas dari data yang menunjukkan bahwa perempuan yang mengurus rumahtangga memiliki persentase yang tinggi, yaitu sebesar 36.43 persen. Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan dan Jenis Kelamin di Indonesia, Tahun 2010 Jenis Pekerja Laki-laki Persentase Perempuan Persentase (orang) (%) (orang) (%) Formal 28 841 706 42.75 15 563 626 38.20 Informal 38 620 517 57.25 25 181 918 61.80 Jumlah 67 462 223 100 40 745 544 100 Total Tenaga Kerja = 108.207.776 Sumber: BPS, 2010 Ketimpangan ternyata tidak hanya terjadi pada partisipasi bekerja, tetapi juga terjadi ketika para perempuan tersebut telah masuk pasar tenaga kerja. Mayoritas perempuan pekerja terserap sebagai pekerja informal, yaitu sebesar 61.0 persen (Tabel 2). Perempuan sebagai pekerja formal hanya sebesar 38.20 persen. Pekerja laki-laki lebih beruntung karena memiliki peluang yang lebih besar sebagai pekerja formal, yaitu sebesar 42.75 persen. Artinya, perempuan

6 tidak hanya memiliki kesempatan yang kecil dalam hal kesempatan bekerja, tetapi juga dalam hal mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak sebagai pekerja formal. KPPA (2011) mengungkapkan bahwa upah pekerja informal di Indonesia lebih rendah sekitar 30 persen dari yang diterima pekerja formal. Kondisi pekerja informal tidak hanya lebih buruk dalam hal upah, tetapi umumnya juga kurang memperoleh asuransi, pelatihan dan hak pensiun. Oleh karena itu tingginya persentase perempuan di sektor informal menggambarkan tingginya persentase perempuan yang memperoleh upah rendah dengan kondisi pekerjaan yang kurang menguntungkan. Sebagai pengambil kebijakan, pemerintah Indonesia melalui kebijakan pengeluarannya memiliki peran besar untuk memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga. Teori Keynesian menjelaskan bahwa pengeluaran pemerintah akan meningkatkan output nasional. Selanjutnya, peningkatan output membutuhkan sejumlah tambahan tenaga kerja seperti yang ditunjukkan pada fungsi produksi. Oleh karena itu, dengan kebijakan pengeluaran yang sensitif gender akan mampu memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga kerja. Pengeluaran pemerintah yang sensitif gender mengakui ketidaksetaraan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan dan memperbaikinya melalui alokasi sumberdaya publik. Pengeluaran sensitif gender akan mempertimbangkan penganggaran pemerintah dan manfaat pembangunan yang dicapai baik bagi lakilaki ataupun perempuan sehingga mampu memperkecil ketimpangan gender dalam segala bidang (Balmori, 2003). Upaya pemerintah Indonesia untuk memperbaiki ketimpangan gender melalui kebijakan pengeluarannya dilakukan dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan. Inpres ini mengamanatkan semua kementerian dan lembaga untuk mengintegrasikan gender pada setiap tahapan proses pembangunan yaitu mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi pada semua bidang pembangunan. Inpres ini seharusnya berimplikasi pada pengeluaran pemerintah yang lebih responsif gender.

7 Berdasarkan uraian sebelumnya diketahui bahwa penetapan target pertumbuhan ekonomi cukup efektif mendorong ekonomi Indonesia ke arah pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan ekonomi tersebut mampu menyediakan lapangan kerja baru tetapi belum diketahui apakah pertumbuhan ekonomi tersebut berdampak terhadap perbaikan ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Selanjutnya diketahui juga pengeluaran pemerintah berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan kebijakan kesetaraan gender melalui PUG di Indonesia telah menjadi kebijakan nasional. PUG memiliki konsekuensi terhadap anggaran pemerintah yang lebih sensitif gender. Akan tetapi masih belum diketahui bagaimana dampaknya terhadap perbaikan ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan informasi tersebut, maka dikemukakan perumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia? 2. Bagaimana dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia? 3. Bagaimana dampak pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia? 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan uraian sebelumnya maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Menganalisis dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia. 2. Menganalisis dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia. 3. Menganalisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan perbaikan ketimpangan gender dalam pengejaran pertumbuhan ekonomi. Selain itu sebagai masukan dalam mempertimbangkan pengalokasian anggaran yang sensitif gender.

8 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan ketimpangan gender adalah ketika proporsi perempuan pekerja formal lebih kecil dibandingkan laki-laki sehingga menyebabkan proporsi perempuan pekerja informal lebih besar dibandingkan laki-laki. Pekerja formal mewakili pekerja dengan upah dan kondisi pekerjaan yang layak (mendapatkan fasilitas tunjangan kerja dan asuransi). Sedangkan pekerja informal mewakili pekerja dengan upah rendah dan kondisi pekerjaan yang kurang menguntungkan (tidak mendapatkan fasilitas tunjangan kerja dan asuransi). Kriteria pekerja formal dan informal menggunakan kriteria yang digunakan BPS. Sektor ekonomi dalam penelitian ini meliputi 21 sektor. Faktor produksi dibagi menjadi dua bagian besar yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Faktor produksi tenaga kerja didisagregasi menjadi 12 berdasarkan jenis kelamin (lakilaki/perempuan), formalitas pekerjaan (formal/informal), dan tingkat pendidikan (tinggi/rendah/sedang). Selanjutnya, tenaga kerja dikatakan berpendidikan tinggi jika minimal lulus D1. Tenaga kerja dikatakan berpendidikan sedang jika lulus SMA/sederajat, dan dikatakan berpendidikan rendah jika maksimal lulus SMP. Penggunaan alat analisis SNSE ini memiliki kelebihan antara lain: 1) mampu merangkum seluruh kegiatan transaksi ekonomi yang terjadi di suatu wilayah untuk suatu kurun waktu tertentu, sehingga dapat dengan memudah memberikan gambaran umum mengenai perekonomian suatu wilayah; 2) memotret struktur sosial ekonomi di suatu wilayah, sehingga dapat mempermudah dalam memberikan gambaran distribusi pendapataan; 3) dapat menunjukkan dengan baik dampak suatu kebijakan ekonomi terhadap pendapatan masyarakat maupun distribusi pendapatan (Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju, 2009 dalam Daryanto dan Hafizrianda, 2010).