BAB I PENDAHULUAN. makro ekonomi. Tinggi rendah angka pembangunan dilihat dari trend

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN. mengurus daerahnya sendiri, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach)

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Nomor No.12 tahun 2008 (revisi UU no.32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

Kata Kunci: PAD, Belanja Modal, DAU, IPM

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

HALAMAN PENGESAHAN...

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

E-Jurnal EP Unud, 4[11]: ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

Abstrak. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Belanja Modal.

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB I PENDAHULUAN. kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu daerah dalam jangka panjang

BAB I PENDAHULUAN. dan kemandirian. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 5 memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

: Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Badung Bali. : Tyasani Taras NIM :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Wilayah negara Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam menciptakan good governance sebagai prasyarat dengan

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah untuk pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang situasi manajemen tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia demi mencapai masyarakat yang sejahtera. Namun, mengingat Negara

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional adalah tolak ukur kesejahteraan dan kemakmuran rakyat suatu Negara. Semakin besar tingkat pembangunan suatu Negara mengindikasikan Negara tersebut semakin maju dan berkembang. Konteks pembangunan nasional merupakan salah satu aspek yang masuk dalam teori makro ekonomi. Tinggi rendah angka pembangunan dilihat dari trend pertumbuhan ekonomi tiap tahun. Pertumbuhan ekonomi meliputi segenap aktivitas produksi barang dan jasa dalam periode tertentu dan menentukan angka pendapatan nasional suatu Negara serta kesejahteraan masyarakatnya (Putro, 2010). Indonesia dalam lingkup yang lebih spesifik merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari banyak daerah. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang baik adalah Provinsi Bali. Provinsi Bali adalah salah satu daerah dengan sektor pariwisata sebagai tulang punggung utama dalam memaksimalkan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan menggunakan produk domestik regional bruto (PDRB). Produk domestik regional bruto merupakan totalitas keseluruhan nilai barang dan jasa yang diperoleh dari seluruh kegiatan perekonomian yang dilakukan di daerah (Kartika dan Dwirandra, 2014). Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dihitung dengan PDRB atas dasar harga konstan. Pertumbuhan ekonomi memacu pemerintah daerah memaksimalkan 1

pemberdayaan segenap sumber daya potensial yang ada, serta membuka peluang kerja sama pada masyarakat (sebagai investor dan/atau pekerja) guna menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan memengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut. Pembangunan asset tetap di bidang infrastruktur, jalan raya, airport, transit, sistem saluran air, dan lainnya sarana publik lainnya sangat berkontribusi besar terhadap tingkat produktivitas (Aschauer, 1989). Tingkat pertumbuhan PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Bali periode 2007-2013 dapat dilihat pada Tabel 1.1 sebagai berikut. Tabel 1.1 PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Periode 2007-2013 (Dalam Jutaan Rupiah) Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jembrana 1510513 1586806 1663345 1739284 1836900 1945292 2049927 Tabanan 2111463 2221760 2342711 2475716 2619688 2774394 2941821 Badung 4860132 5196125 5528320 5886369 6280211 6738308 7170966 Gianyar 2841726 3009320 3187823 3380513 3609056 3854011 4101807 Klungkung 1125344 1182357 1240543 1307889 1383890 1467352 1551109 Bangli 946113.4 984129.5 1040363 1092116 1155899 1225104 1293885 Karangasem 1583404 1663749 1747169 1836132 1931439 2042135 2160734 Buleleng 2908761 3076504 3266343 3457476 3668884 3907936 4170207 Denpasar 4708518 5029895 5358246 5710412 6097167 6535171 6962611 Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014 Tabel 1.1 memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Bali meningkat selama tujuh tahun terakhir. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Badung memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2013 sebesar 7.170.966 juta dan pertumbuhan terendah dicapai oleh Kabupaten Bangli sebesar 1.293.885 juta. Pemerintah pusat melalui realisasi otonomi daerah berusaha memaksimalkan pembangunan daerah dan laju pertumbuhan ekonomi, 2

mengurangi kesenjangan antar daerah, dan meningkatkan pelayanan publik (Andirfa, 2009). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terkait otonomi daerah memberikan otoritas kekuasaan kepada daerah untuk mengatur serta mengurus rumah tangga masing-masing, yang meliputi pembangungan daerah secara optimal, memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya dibidang sosial dan ekonomi. Kebijakan otonomi daerah membutuhkan modal yang besar guna merealisasikan pembangunan dan laju pertumbuhan ekonomi. Belanja daerah dalam konteks pertumbuhan ekonomi berfokus pada anggaran belanja modal. Kartika dan Dwirandra (2014) menyatakan salah satu belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah belanja modal. Anggaran belanja modal merupakan satu kesatuan elemen belanja yang terkandung di dalam belanja langsung. Belanja langsung adalah salah satu dari dua bagian utama belanja daerah selain belanja tidak langsung. Perbedaan belanja langsung dan belanja modal terletak pada luas lingkupnya, di mana belanja langsung mencakup aspek yang lebih luas, sedangkan belanja modal lebih sempit. Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanjamodal. Belanja modal adalah bagian belanja langsung yang berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi, karena secara spesifik berfokus pada pembangunan aset tetap. Aset tetap merupakan kekayaan pemerintah daerah yang akan memiliki umur ekonomis jangka panjang dengan asumsi akan memberikan pendapatan di masa yang akan datang. Kitchen (2004), menyatakan bahwa belanja modal meliputi dua elemen belanja utama yaitu, belanja perawatan lingkungan 3

dan belanja operasi. Penelitian Yovita (2011) memperoleh hasil bahwa PDRB berpengaruh positif dan signifikan pada belanja modal. Selanjutnya Sumarthini dan Murjana Yasa (2015) menyatakan pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui belanja modal. Pembangunan aset tetap ditujukan pada pelayanan publik, sehingga dapat memaksimalkan produktivitas perekonomian. Apabila suatu daerah memiliki sarana prasarana yang memadai dapat menarik gairah investor berinvestasi dan masyarakat dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari dengan maksimal,maka tingkat produktivitas akan semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Abimanyu (dalam Kartika dan Dwirandra, 2014) yang mengemukakan, jika belanja modal meningkat, maka produktivitas masyarakat semakin meningkat yang diiringi dengan meningkatnya angka investasi, sehingga secara langsung dapat meningkatkan pendapatan asli daerah. Pembangunan fasilitas publik melalui realisasi belanja langsung dapat memaksimalkan potensi Kabupaten/Kota di Bali. Sesuai dengan asumsi tersebut maka tingginya belanja langsung berkontribusi pada tingkat pertumbuhan ekonomi, yang nantinya akan memberikan dampak positif bagi peningkatan pendapatan asli daerah, baik yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain-lain. Hal ini sesuai dengan penelitian Babatunde and Christopher (2013), dimana belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Perrnyataan tersebut juga didukung oleh Chinweoke et al (2014), dan Sumarthini dan Murjana Yasa (2015). Selanjutnya Akonji et al (2013) yang menyatakan belanja publik sebagian besar dikendalikan oleh tingkat pertumbuhan 4

ekonomi. Dari perspektif berbeda, ukuran pemerintah sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi, dimana ukuran pemerintah dalam penelitian diproksikan dengan belanja pemerintah (Cooray, 2009). Nurudeen and Usman (2010), menyimpulkan bahwa meningkatnya belanja pemerintah, khususnya pada bidang transportasi, komunikasi dan kesehatan berbanding lurus dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Nworji et al (2012), menyimpulkan bahwa pengalokasian belanja modal berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi, di sisi lain belanja modal pada bidang pelayanan masyarakat dan sosial berpengaruh positif signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Tingkat konsumsi Kabupaten/Kota di Provinsi Bali melalui realisasi belanja langsung periode 2007-2013 dapat dilihat pada Tabel 1.2 sebagai berikut. Tabel 1.2 Belanja Langsung Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Periode 2007-2013 (Dalam Jutaan Rupiah) Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jembrana 187233 176486 182067 149065 188704 269885 302503 Tabanan 171344 187102 194020 217696 243299 337372 389419 Badung 426145 690257 666080 415849 513018 1065550 1267236 Gianyar 221969 236310 261843 218283 287856 308588 421903 Klungkung 186005 148534 176743 117639 133814 192162 195411 Bangli 199050 186394 139564 135969 208680 196495 176604 Karangasem 206606 264065 252998 153669 262479 343564 390377 Buleleng 265445 254297 248751 196524 322226 292690 469075 Denpasar 279517 270886 319213 332997 419554 609115 736905 Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014 Tabel 1.2 memaparkan bahwa tingkat belanja langsung Kabupaten/Kota Provinsi Bali berfluktuasi cenderung meningkat selama tujuh tahun terakhir. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Badung memiliki 5

tingkat belanja langsung tertinggi pada tahun 2013 sebesar 1.267.236 juta dan tingkat belanja langsung terendah diperoleh Kabupaten Bangli sebesar 176.604 juta. Gugus (2013) menyatakan dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah). DBH yang berasal dari pemerintah terdiri dari dua jenis, yaitu DBH pajak dan DBH bukan pajak (Sumber Daya Alam). DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari PAD selain DAU dan DAK. Secara teoritis pemerintah daerah menetapkan belanja modal yang semakin tinggi jika anggaran DBH semakin tinggi, begitupun sebaliknya.dbh berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. Sedangkan dari sudut pandang yang berbeda, Pujiati (2008), menyatakan bahwa DBH berpengaruh positif terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi. Pernyataan ini juga didukung oleh Santosa (2013), Riska, dkk.(2014), dan Hendriwiyanto (2015). Berdasarkan uraian tersebut, dapat diisimpulkan bahwa DBH juga berbanding lurus dengan tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi. Muryawan dan Sukarsa (2014), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa variabel desentralisasi fiskal secara langsung berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Sehingga dalam era desentralisasi fiskal pemerintah daerah dituntut untuk dapat 6

meningkatkan kapasitas fiskalnya, dengan cara pengembangan aktivitas ekonomi di berbagai bidang dan berbasis komoditi unggulan daerah, melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pendapatan asli daerah dan disertai dengan kinerja keuangan yang efesien. Gugus (2013) menyatakan pendapatan asli daerah sebagai sumber pembiayaan bagi pemerintahan daerah dalam menciptakan infrastruktur daerah. PAD didapatkan dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Untuk itu, dalam masa desentralisasi seperti ini, pemerintah daerah dituntut untuk bisa mengembangkan dan meningkatkan penerimaan daerahnya masing-masing dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki supaya bisa membiayai segala kegiatan penciptaan infrastruktur atau sarana prasarana daerah melalui alokasi belanja modal pada APBD. Darwanto dan Yulia (2007) menyatakan bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal.temuan ini dapat mengindikasikan bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor yang menentukan belanja modal. Selain berperan terhadap alokasi belanja modal, dari perspektif berbeda PAD juga berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Mawarni dkk., 2013). Baghestani and McNown (1994), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat terkait eksistensi antara pendapatan dan belanja pemerintah federal U.S, dimana berdasarkan estimasi error correction model pendapatan maupun belanja berpengaruh terhadap tidak seimbangnya anggaran pemerintah. 7

Kartika dan Dwirandra (2014) menyatakan penerimaan PAD yang semakin bertambah diharapkan mampu meningkatkan alokasi belanja modal pemerintah daerah sehingga berdampak pada kualitas pelayanan publik yang semakin baik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007) serta Tuasikal (2008) memperoleh hasil bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Tetapi PAD yang meningkat tidak selalu diiringi dengan meningkatnya anggaran belanja modal, karena PAD lebih terealisasi untuk membiayai belanja lainnya. Blackley (1986), menyatakan bahwa peningkatan pendapatan secara umum mendahului peningkatan belanja pemerintah, hal ini menegaskan bahwa pertumbuhan pendapatan menstimulasi peningkatan anggaran pemerintah. Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Rizanda (2013) dan Paujiah (2012) memperoleh hasil bahwa pendapatan asli daerah tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Alasannya karena PAD yang diperoleh lebih dikonsentrasikan untuk membiayai belanja pegawai dan operasional harian pemerintah daerah. Perbedaan hasil penelitian terdahulu yang tidak konsisten menarik perhatian penulis untuk kembali menguji pengaruh pendapatan asli daerah terhadap belanja modal guna mengkonfirmasi hasil riset terdahulu. Perbedaannya terletak pada penggunan belanja langsung sebagai variabel intervening yang dapat memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung pada pengaruh pendapatan asli daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan dengan menambahkan dana bagi hasil sebagai variabel independen. 8

1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah: 1) Bagaimana pengaruh langsung pendapatan asli daerah dan dana bagi hasil terhadap belanja langsung di Kabupaten/Kota Provinsi Bali tahun 2007-2013? 2) Bagaimana pengaruh langsung pendapatan asli daerah, dana bagi hasil dan belanja langsung terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Bali tahun 2007-2013? 3) Bagaimana pengaruh tidak langsung pendapatan asli daerah dan dana bagi hasil terhadap pertumbuhan ekonomi melalui belanja langsung di Kabupaten/Kota Provinsi Bali tahun 2007-2013? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai sebagai bukti empiris, antara lain: 1) Untuk menganalisis pengaruh langsung pendapatan asli daerah dan dana bagi hasil terhadap belanja langsung di Kabupaten/Kota Provinsi Bali tahun 2007-2013. 2) Untuk menganalisis pengaruh langsung pendapatan asli daerah, dana bagi hasil dan belanja langsung terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Bali tahun 2007-2013. 3) Untuk menganalisis pengaruh tidak langsung pendapatan asli daerah dan dana bagi hasil terhadap pertumbuhan ekonomi melalui belanja langsung di Kabupaten/Kota Provinsi Bali tahun 2007-2013. 9

1.4 Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 1) Kegunaan Teoritis a. Melalui penelitian ini, peneliti mencoba memberikan bukti empiris mengenai pengaruh pendapatan asli daerah dan dana bagi hasil pada pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota di Bali dengan belanja langsung sebagai variabel intervening. b. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi dan memberikan sumbangan konseptual bagi penelitian sejenis maupun civitas akademika lainnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan. 2) Kegunaan Praktis a. Digunakan sebagai pertimbangan dan masukan bagi pimpinan Pemerintah Daerah dalam rangka memaksimalkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui penggunaan pendapatan asli daerah dan dana bagi hasil yang efektif dan efisien. b. Sebagai bahan evaluasi dan membantu memecahkan masalah bagi pemerintah daerah dalam pengalokasian pendapatan asli daerah dan dana bagi hasil. 1.5 Sistematika Penelitian Skripsi ini terdiri dari lima bab yang saling berhubungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya dan disusun secara sistematis serta terperinci untuk 10

memberikan gambaran dan mempermudah pembahasan. Sistematika dari masingmasing bab dapat diperinci sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah dari penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penelitiannya. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai landasan teori yang mendukung dan berhubungan dengan masalah yang akan dibahas yang digunakan sebagai pedoman dalam pemecahan masalah dalam laporan ini penelitian, hasil penelitian sebelumnya yang terkait yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini serta disajikan hipotesis atau dugaan sementara atas pokok permasalahan yang diangkat sesuai dengan landasan teori yang ada. BAB III METODE PENELITIAN Dalam bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi desain penelitian, lokasi penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, sampel, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data. BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Bab ini akan menyajikan gambaran umum wilayah, perkembangan, dan data serta menguraikan pembahasan yang berkaitan dengan pengujian 11

pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung variabel pendapatan asli daerah, dana bagi hasil, belanja langsung danpertumbuhan ekonomi. BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan mengemukakan simpulan berdasarkan hasil uraian pembahasan pada bab sebelumnya, keterbatasan dalam penelitian yang telah dilakukan dan saran atas penelitian yang dilakukan agar nantinya diharapkan dapat berguna bagi penelitian selanjutnya. 12