BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Persiapan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PEMBANGUNAN MODEL DISTRIBUSI POPULASI PENDUDUK PADA SISTEM GRID SKALA RAGAM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB II DASAR TEORI 2.1 Populasi Penduduk 2.2 Basis Data

PEMBANGUNAN MODEL DISTRIBUSI POPULASI PENDUDUK PADA SISTEM GRID SKALA RAGAM

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Tujuan Proyek I.3. Manfaat Proyek I.4. Cakupan Proyek...

BAB I PENDAHULUAN. atau instansi atas jalan yang meliputi kuantitas, kondisi, dan nilai yang

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM

Materi : Bab IV. PROYEKSI PETA Pengajar : Ira Mutiara A, ST

MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA

BAHAN AJAR ON THE JOB TRAINING

Pengertian Sistem Informasi Geografis

ANALISA PETA LINGKUNGAN PANTAI INDONESIA (LPI) DITINJAU DARI ASPEK KARTOGRAFIS DAN KETENTUAN INTERNATIONAL HYDROGRAPHIC ORGANIZATION (IHO)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PROYEKSI PETA DAN SKALA PETA

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

By. Y. Morsa Said RAMBE

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN PETA RENCANA TATA RUANG

K NSEP E P D A D SA S R

BIG. Peta. Rencana Tata Ruang. Pengelolaan. Tata Cara.

BAB IV PENGOLAHAN DATA

Bab 7 Sistem Koordinat

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Perkembangan jumlah penduduk dan industri pada CAT Karanganyar-Boyolali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TATA KELOLA BASIS DATA GEOSPASIAL KELAUTAN BERBASISKAN SISTEM GRID SKALA RAGAM (WILAYAH STUDI : SELAT SUNDA)

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI DAN DATA CHECKING

BAB V ANALISIS SPASIAL

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014

PENENTUAN LOKASI DENGAN NATURAL AREA CODING SYSTEM (NAC)

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Modul Pelatihan. Konsolidasi dan Kontrol Kualitas Data Pembangunan Sumberdaya Lahan Tingkat SKPD dan Kabupaten/Provinsi

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Interpretasi dan Klasifikasi Citra. Tabel 4.1 Titik kontrol GCP dan nilai RMS

III. BAHAN DAN METODE

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB IV BASIS DATA SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI DAERAH PENELITIAN

Geographic Information and Spatial Information

Materi Bahasan. Materi 2 Informasi Geografis & Representasinya dalam SIG. Data & Informasi Data Spasial & Non Spasial Representasi Data Spasial

BAB IV ANALISIS

Gambar 1. prinsip proyeksi dari bidang lengkung muka bumi ke bidang datar kertas

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MODUL 2 REGISTER DAN DIGITASI PETA

IV.1. Analisis Karakteristik Peta Blok

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB IV ANALISIS. 4.1 Analisis Terhadap Penentuan Datum, Titik Dasar dan Garis Pangkal

PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN WILAYAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

III. METODE PENELITIAN

MODUL 3 REGISTER DAN DIGITASI PETA

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

REKONSTRUKSI/RESTORASI REKONSTRUKSI/RESTORASI. Minggu 9: TAHAPAN ANALISIS CITRA. 1. Rekonstruksi (Destripe) SLC (Scan Line Corrector) off

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

PURWARUPA SISTEM INFORMASI KADASTER 3D BERBASIS WEB (STUDI KASUS : RUMAH SUSUN PENJARINGAN SARI, KOTA SURABAYA)

BAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PREDIKSI PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS MULTISPEKTRAL

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB I PENDAHULUAN. 35 Bujur Timur dan 70` 36 70` 56 Lintang Selatan. Batas. Timur adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar,

ANALISIS DAERAH MILIK JALAN (DAMIJA) MENGGUNAKAN ArcGis 9.3

PEMANFAATAN GLOBAL NAVIGATION SATELLITE SYSTEM (GNSS) UNTUK PEMETAAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN SUKOLILO SURABAYA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

METODE PENELITIAN. deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Membuat Layer dan Digitasi Peta

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembuatan Tampilan 3D DEM SRTM

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

3 MEMBUAT DATA SPASIAL

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/KEPMEN-KP/2018 TENTANG

MAP VISION citrasatelit.wordpress.com MEI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini memperkenalkan mengenai proyeksi silinder secara umum dan macam proyeksi silinder yang dipakai di Indonesia.

LAPORAN PRAKTIKUM SIG ACARA II TRANSFORMASI PROYEKSI DAN DIGITASI ON SCREEN


adalah jenis-jenis tombol-tombol (buttons) yang dipakai di dalam system ini : Gambar 4.63 : Tombol ruler

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

SIFAT DAN FORMAT DATA TITIK GEOARKINDO 2016

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Persiapan Dalam tahapan persiapan, terdapat proses pengumpulan data. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tutupan dan penggunaan lahan (landuse/landcover), data batas administasi tingkat kecamatan dan kelurahan wilayah Bandung, dan data jumlah penduduk wilayah Bandung. Data batas administrasi tingkat kecamatan dan kelurahan wilayah Bandung merupakan data dengan format shapefile (*.shp) yang memiliki sistem koordinat geodetik dengan datum WGS 1984. Sedangkan data jumlah penduduk wilayah bandung merupakan data statistik tingkat kecamatan dan kelurahan di wilayah Bandung yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat. Dan data landuse/landcover merupakan data dengan format shapefile (*.shp) yang memiliki sistem proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) dengan datum WGS (World Geographic System) 1984. Selanjutnya sistem koordinat dari data landuse/landcover ini ditransformasi kedalam sistem koordinat geodetik. Hal ini dilakukan agar sistem koordinat data landuse/landcover sama dengan sistem koordinat yang digunakan dalam pembangunan sistem grid skala ragam adalah sistem koordinat geodetik dengan datum WGS 1984. Penyeragaman sistem koordinat dan proyeksi yang digunakan dilakukan agar proses penggabungan (overlay) data dan pengolahan data selanjutnya dapat dilakukan. Ukuran grid yang digunakan dalam penelitian ini adalah grid dengan ukuran 5 x 5. Sehingga dalam proses pembuatan grid skala ragam ukuran 5 x 5 untuk wilayah Bandung dilakukan secara bertahap dari grid dengan ukuran 1 x 1 30 hingga didapatkan ukuran 5 x 5. Dalam penelitian ini digunakan ukuran grid dengan ukuran terkecil agar informasi yang diperoleh lebih teliti dan jika diperlukan informasi distribusi populasi penduduk untuk ukuran grid yang lebih besar, dapat dilakukan agregasi. 37

Penomoran grid dalam penelitian ini dimaksudkan agar masing-masing grid memiliki identitas yang berbeda antar grid. Nomor grid digunakan sebagai indentifier (ID). Dengan adanya nomor grid, data dari hasi proses penggabungan data antara data grid skala ragam dan data tutupan dan penggunaan lahan (landuse/landcover) dapat terlihat jika ada data yang duplikasi yang nantinya dapat direduksi. Sehingga proses pemanggilan dan pembaruan data dapat dilakukan dengan mudah dan efisien. 4.2 Analisis Pemodelan Untuk mengetahui distribusi populasi penduduk wilayah Bandung dibuat model matematis yang merupakan fungsi dari jumlah penduduk dan luas dari masingmasing kelas lahan. Pada tiap kelas lahan memiliki tingkat bobot yang berbeda. Sehingga untuk masing-masing kelas lahan diberikan bobot yang sesuai dengan kemungkinan kelas lahan tersebut ditinggali (terdapat penduduk yang menetap disana). Semakin tinggi bobot yang diberikan maka kelas lahan tersebut memiliki jumlah populasi penduduk yang tinggi pula. Dan sebaliknya, semakin kecil bobot maka jumlah populasi penduduknya rendah. Pembobotan nilai fungsi lahan untuk setiap kelas lahan, akan berpengaruh pada nilai dari kepadatan (densitas) populasi penduduk untuk setiap kelas lahan pada suatu wilayah. Sehingga dengan adanya pembobotan dengan nilai fungsi lahan untuk setiap kelas lahan ini, mempermudah dan membantu dalam hal mendistribusikan jumlah penduduk di suatu wilayah. Dengan menggunakan persamaan dari model matematis yang telah dibuat, dapat diperoleh nilai dari kepadatan (densitas) populasi penduduk untuk masingmasing kelas lahan pada setiap kecamatan. Dan dari nilai densitas populasi penduduk tersebut, dapat diketahui jumlah populasi penduduk untuk setiap luasan. Sehingga dapat ditentukan sebaran distribusi penduduk pada setiap kecamatan di wilayah Bandung. 38

Nilai dari densitas populasi penduduk untuk setiap kelas lahan pada masingmasing kecamatan di wilayah Bandung dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Gambar 4.1 Grafik Distribusi Densitas Penduduk Pada Kecamatan di Wilayah Bandung (per Grid Kelas Lahan) Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa nilai dari densitas populasi penduduk per kelas lahan setiap kecamatan berbeda-beda. Dan perbedaan ini lebih jelas terlihat jika membandingkan kecamatan yang berada di Kota Bandung dengan kecamatan yang berada di Kabupaten Bandung. Pada kecamatan yang berada di Kota Bandung rata-rata memiliki nilai kepadatan penduduk yang tinggi jika dibandingkan dengan kecamatan yang berada di Kabupaten Bandung pada jenis tutupan dan penggunaan lahan (landuse/landcover) yang sama. Hal tersebut dapat terlihat pada kelas lahan permukiman (bobot terbesar) dimana nilai densitas penduduk di kecamatan di Kota Bandung lebih tinggi daripada yang berada di Kabupaten Bandung. Densitas populasi penduduk per-kelas lahan, yang merupakan fungsi dari jumlah penduduk, pada setiap kecamatan dapat berbeda antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya. Hal ini dikarenakan variasi kelas lahan dan luas tiap kelas lahan pada tiap kecamatan berbeda-beda. 39

Perbedaan nilai dari densitas populasi penduduk per kelas lahan pada setiap kecamatan ini berpengaruh pada nilai dari jumlah populasi penduduk untuk setiap kelas lahan. Maka, hal ini juga berpengaruh pada distribusi sebaran populasi penduduk pada setiap kecamatan. Nilai densitas populasi penduduk per kelas lahan yang diperoleh dari model matematis yang dibuat berlaku untuk masing-masing luas administrasi di suatu wilayah. Untuk penelitian ini wilayah administrasi yang digunakan adalah unit tingkat kecamatan. Nilai densitas populasi penduduk pada satu kecamatan tidak dapat dipakai pada kecamatan lain yang memiliki variasi lahan yang berbeda, karena nilai dari jumlah populasi yang didapatkan nantinya akan berbeda dengan data statistik dari BPS. Sehingga untuk memperoleh nilai densitas populasi penduduk per grid untuk tiap kecamatan dilakukan perhitungan pada masingmasing kecamatan yang akan dimodelkan. 4.3 Analisis Visualisasi dan Validasi Dari hasi visualisasi dapat terlihat sebaran dari distribusi populasi penduduk untuk wilayah Bandung secara spasial. Visualisasi distribusi ditampilkan dengan perbedaan gradasi warna yang menunjukan jumlah penduduk pada masingmasing tingkatan warna. Semakin gelap warna, jumlah penduduk semakin banyak. Jika hasil visualisasi dibandingkan dengan data landuse/landcover, dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkatan jumlah penduduk sesuai dengan masing-masing kelas lahannya. Kelas lahan permukiman memiliki jumlah populasi penduduk yang tinggi jika dibandingkan dengan kelas lahan lainnya. 40

Gambar 4.2 Pola Distribusi Populasi Penduduk antar dua kecamatan di Kabupaten Bandung Dari gambar 4.2 diatas dapat dilihat bahwa antar dua kecamatan, yaitu kecamatan Ibun dan Kecamatan Paseh di Kabupaten Bandung memiliki pola distribusi populasi penduduk yang menyatu walaupun berada pada lintas kecamatan. Hal ini menunjukan bahwa visualisasi distribusi populasi penduduk, yang nilainya diperoleh dari model matematis yang dibuat, dapat memberikan informasi yang baik untuk memeproleh informasi distribusi populasi penduduk yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Validasi model distribusi populasi penduduk yang dilakukan adalah dengan mengimplementasikan nilai densitas populasi penduduk per kecamatan (yang diperoleh dari model matematis) untuk menghitung jumlah populasi penduduk pada wilayah administrasi yang lebih kecil (kelurahan). Dari hasil validasi diperoleh persentase selisih antara jumlah penduduk yang diperoleh dari model dengan data BPS pada tingkat kelurahan lebih besar jika dibandingkan dengan persentase selisih jumlah penduduk dari model dengan BPS pada tingkat kecamatan (tabel 3.5). Hal menunjukan bahwa nilai densitas populasi penduduk yang didapatkan dari model distribusi populasi penduduk lebih baik digunakan 41

untuk menghitung jumlah populasi penduduk pada tingkat kecamatan dibandingkan pada tingkat kelurahan. Dengan menggunakan sistem grid skala ragam, distribusi populasi penduduk dapat terlihat dengan jelas sebarannya secara gradual. Sehingga memudahkan pengguna (user) untuk mendapatkan informasi secara spasial mengenai distribusi populasi penduduk untuk wilayah Bandung yang dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan. Selain itu, jika terdapat pembaruan data, misalkan terdapat peningkatan jumlah penduduk, dengan sistem basis data yang telah dibuat proses pengubahan/pembaruan data dan visualisasi pun dapat dilakukan secara mudah dan efisien. Dan selain itu juga dalam sistem basis data yang telah dibangun, sistem pemanggilan data juga dapat dilakukan. Sehingga pengguna dapat memperoleh informasi secara efisien dan lebih up to date. 42