BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN KETERANGAN AHLI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

BAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan

2015, No Mengingat : 1. Pasal 24B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum, sehingga perlu diganti; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huru

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang d

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

Transkripsi:

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Sumber gambar http://timbul-lawfirm.com/yang-bisa-jadi-saksi-ahli-di-pengadilan/ I. PENDAHULUAN Kehadiran seorang ahli dalam memberikan keterangan suatu penyidikan terjadinya tindak pidana menjadi sangat penting dalam semua tahap-tahap penyidikan, baik dalam tahap penyelidikan, penindakan, pemeriksaan maupun penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Tanpa kehadiran seorang ahli dalam memberikan atau menjelaskan suatu masalah akan dapat dibayangkan bahwa penyidik akan mengalami kesulitan dalam usaha mengungkap suatu tindak pidana, terutama tindak pidana berdimensi tinggi seperti tindak pidana teror dengan bom, pembakaran/kebakaran, pencemaran lingkungan, komputer, uang palsu, mutilasi 1. Sebagai suatu rangkaian sistem peradilan pidana, setelah melalui proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, proses akan masuk pada inti dari tujuan hukum acara pidana yaitu pemeriksaan persidangan. Di dalam pemeriksaan persidangan ini hasil penyidikan yang dikonkritkan dalam bentuk surat dakwaan disusun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), di tingkat penuntutan akan diuji untuk memperoleh kebenaran materiil. Inti proses pemeriksaan persidangan adalah pembuktian, dimana dalam pembuktian tersebut 1 Andy Sofyan, Hukum Acara Pidana (suatu pengantar), Rangkang Education, Yogyakarta, 2012, Hlm. 256. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 1

alat bukti akan dinilai oleh majelis hakim untuk memperoleh kesimpulan, keyakinan terkait terdakwa bersalah atau tidak bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh JPU 2. Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang caracara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap SH) 3. Pemeriksaan persidangan dipimpin oleh majelis hakim yang terdiri dari minimal tiga orang hakim yang ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai majelis hakim yang memeriksa suatu perkara. Majelis hakim memerintahkan JPU untuk dapat membuktikan seluruh dakwaan yang telah dibacakan dalam sidang pembuktian dengan mengajukan alat bukti 4. Secara teoritis terdapat empat teori mengenai sistem pembuktian, yaitu 5 : 1. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positive wettelijke bewijs theorie) Pada teori ini, sistem pembuktian bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang. Apabila suatu perbuatan terdakwa telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan terdakwa terbukti bersalah tanpa mempertimbangkan keyakinannya sendiri. 2. Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim belaka (conviction intime) Pada teori ini, hakim dapat menjatuhkan putusan hakim berdasarkan keyakinan hakim dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Terbukti tidaknya kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan atas penilaian keyakinan atau perasaan hakim. Dasar hakim membentuk keyakinannya tidak perlu didasarkan pada alat bukti yang ada. Melalui 2 Tolib Effendi, Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia), Setara Press, Malang, 2014, hal 150. 3 Arif Zein, Pembuktian dalam Hukum Pidana, diakses dari http://minsatu.blogspot.co.id/2011/02/pembuktian-dalam-hukum-pidana.html, diunduh pada Jumat, 29 April 2016. 4 Erwin Ubwarin, Keabsahan Keterangan Ahli dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Sasi Vol.20 No.1, Bulan Januari-Juni 2014, hal.1. 5 Lawmetha, Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana, diakses dari http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalam-hukum-acara-pidana/, diunduh pada Jumat, 29 April 2016. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 2

sistem Conviction Intime, kesalahan terdakwa bergantung kepada keyakinan hakim saja sehingga putusan hakim bernilai subyektif. 3. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconvinction raisonnee) Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya yang didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa, tetapi penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan dengan selektif dengan pertimbangan dan didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan. 4. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negative wettelijke bewijs theorie) Pada teori ini, hakim menyatakan salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem inilah yang dianut oleh Indonesia. Alat bukti Keterangan Ahli dibedakan dengan Keterangan Saksi. Penempatan Keterangan Ahli pada urutan kedua setelah Keterangan Saksi adalah representasi penilaian pembuat undang-undang yang memandang penting fungsi Keterangan Ahli. Hal tersebut juga dapat dicatat sebagai salah satu kemajuan dalam pembaharuan hukum, karena pembuat undang-undang menyadari bahwa peran Ahli sangat penting dalam penyelesaian perkara pidana. Perkembangan ilmu dan teknologi juga berdampak pada kualitas metode kejahatan, sehingga harus diimbangi dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan Keahlian 6. Terkait proses pembuktian di pengadilan, salah satu kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut BPK) yang diatur dalam undang-undang adalah memberikan Keterangan Ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah 7. Dalam memberikan Keterangan Ahli dalam proses peradilan tindak pidana, BPK harus berpedoman pada ketentuan umum hukum acara pidana yaitu Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 6 M. Yahya Harahap. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjaua Kembali. Jakarta : Sinar Grafika. Hal. 275 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 11 huruf c. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 3

(KUHAP) serta peraturan internal BPK yaitu Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli. Permasalahan kualifikasi Keterangan Ahli dari BPK terkait dengan seseorang yang dapat memberikan Keterangan Ahli di persidangan, topik dan materi keterangannya, serta bentuk keterangan yang disampaikan di dalam persidangan. Keterangan Ahli dari BPK diharapkan dapat menjelaskan unsur dan nilai kerugian negara dan Hakim berhak memiliki pertimbangan yang diyakininya, termasuk dalam mengukur relevansi Keterangan Ahli dengan perkara serta menilai kapasitas Ahli tersebut 8. II. PERMASALAHAN Berdasarkan hal-hal tersebut, maka beberapa permasalahan yang akan di bahas dalam tulisan hukum ini, yaitu: 1. Apakah perbedaan alat bukti Keterangan Ahli dan Keterangan Saksi dalam Sistem Peradilan pidana di Indonesia? 2. Bagaimana kewenangan BPK sebagai pemberi Keterangan Ahli dan BPK bertindak sebagai Saksi dalam proses peradilan? III. PEMBAHASAN 1. Perbedaan Alat Bukti Keterangan Ahli dan Keterangan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Alat bukti adalah adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003:11) 9. Menurut R. Atang Ranomiharjo 10, bahwa alat-alat bukti (yang sah) adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, di mana alat-alat tersebut dapat 8 Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan istilah kualifikasi sebagai berikut: (a) Pendidikan khusus untuk memperoleh suatu Keahlian; (b) Keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu (menduduki jabatan dsb); (c) Tingkatan; (d) Pembatasan. hlm. 476 9 Hari Sasangka dan Lily Rosita.2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, di akses dari http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-alat-bukti-yang-sah-dalam.html, diunduh pada rabu 18 November, 2016. 10 Darwan Prints, Hukum Acara Pidana (suatu Pengantar), Pen. Djambatan kerjasama dengan Yayasan LBH, Jakarta, 1989, hal 107. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 4

dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Dalam Hukum Acara Pidana disebutkan alat bukti yang sah adalah sebagai berikut 11 : a. Keterangan Saksi Keterangan Saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan dalam persidangan 12. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya 13. b. Keterangan Ahli Keterangan Ahli ialah apa yang seorang Ahli nyatakan di sidang pengadilan 14. c. Surat Yang dimaksud Surat sebagai alat bukti yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah 15 : 1) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; 2) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; 3) surat keterangan dari seorang Ahli yang memuat pendapat berdasarkan Keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; 4) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 184 ayat (1). 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 185 ayat (1). 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 185 ayat (2). 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 186. 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 187. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 5

d. Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya 16. e. Keterangan terdakwa Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri 17. Aturan tersebut berlaku juga untuk perkara tindak pidana korupsi, hanya saja untuk alat bukti petunjuk pada perkara tindak pidana korupsi dapat diperoleh dari 18 : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Dari alat-alat bukti tersebut, Keterangan Ahli dibedakan dengan Keterangan Saksi. Keterangan yang disampaikan oleh saksi adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu 19. Dalam Keterangan Saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu 20. Sedangkan Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki Keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan 21. Keterangan Ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 188 ayat (1). 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 189 ayat (1). 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 26A. 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 27. 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 185 ayat (1). 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 28. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 6

sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim 22. Penempatan Keterangan Ahli pada urutan kedua setelah Keterangan Saksi adalah representasi penilaian pembuat undang-undang yang memandang penting fungsi Keterangan Ahli. Hal tersebut juga dapat dicatat sebagai salah satu kemajuan dalam pembaharuan hukum, karena pembuat undang-undang menyadari bahwa peran Ahli sangat penting dalam penyelesaian perkara pidana. Perkembangan ilmu dan teknologi juga berdampak pada kualitas metode kejahatan, sehingga harus diimbangi dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan Keahlian 23. 2. Kewenangan BPK sebagai Pemberi Keterangan Ahli dan BPK Bertindak sebagai Saksi dalam Proses Peradilan Tata cara pemberian Keterangan Ahli oleh BPK diatur dalam Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli. Ahli adalah orang yang ditunjuk oleh BPK karena kompetensinya untuk memberikan keterangan mengenai kerugian negara/daerah yang dimuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atau Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Negara/Daerah, dalam proses peradilan 24. BPK dapat memberikan Keterangan Ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Dalam memberikan Keterangan Ahli BPK dapat menugaskan anggota BPK, Pejabat pelaksana BPK, pemeriksa atau tenaga Ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK 25. Keterangan Ahli diberikan berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK. Dalam hal permintaan Keterangan Ahli tidak didasarkan pada laporan hasil pemeriksaan BPK, Keterangan Ahli dapat diberikan setelah BPK melakukan penilaian dan penghitungan kerugian negara/daerah. Penilaian dan penghitungan kerugian negara/daerah dilakukan dengan mempergunakan data/dokumen yang diperoleh dari Pemohon berdasarkan 22 Penjelasan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 186. 23 M. Yahya Harahap. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjaua Kembali. Jakarta : Sinar Grafika. Hal. 275 24 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 1 angka 2. 25 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 2. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 7

permintaan BPK 26. Pemohon atas pemeberian Keterangan Ahli oleh BPK adalah instansi berwenang, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Badan Peradilan/Peradilan lain (Arbitrase) di dalam/luar negeri 27. Pemohon mengajukan permintaan Keterangan Ahli secara tertulis kepada Ketua BPK atau Kepala Perwakilan BPK 28. Ketua BPK meneruskan permintaan Keterangan Ahli kepada anggota BPK terkait. Anggota BPK meminta Tortama terkait untuk mengkaji dan memberikan pendapat mengenai jawaban permintaan Pemohon. Jika permintaan Keterangan Ahli didasarkan pada Laporan Hasil Pemeriksaan BPK, Tortama dapat meminta Pemohon untuk melakukan pemaparan perkara sebagai dasar pemberian jawaban permintaan Pemohon. Jika permintaan Keterangan Ahli didasarkan kepada penilaian dan penghitungan kerugian negara/daerah, Tortama dapat meminta Pemohon untuk melakukan pemaparan kasus sebagai dasar pemeberian jawaban permintaan Pemohon. Pemberian Keterangan Ahli yang dilakukan berdasarkan penilaian penghitungan negara/daerah dilakukan dengan mempergunakan data/dokumen yang diperoleh dari Pemohon. Dalam hal Tortama terkait berpendapat bahwa permintaan Keterangan Ahli dari Pemohon dapat dipenuhi, pendapat disampaikan kepada Anggota BPK terkait untuk dimintakan persetujuan disertai usulan nama dan jabatan orang yang akan ditunjuk sebagai Ahli 29. Kepala Perwakilan BPK meneruskan permintaan Keterangan Ahli secara berjenjang kepada Kepala Subauditorat terkait. Kepala Perwakilan BPK meminta Kepala Subauditorat terkait untuk mengkaji dan memberikan pendapat mengenai jawaban permintaan Pemohon. Jika permintaan Keterangan Ahli didasarkan pada Laporan Hasil Pemeriksaan BPK, Kepala Perwakilan BPK dapat meminta Pemohon untuk melakukan pemaparan perkara sebagai dasar pemberian jawaban permintaan Pemohon. Jika permintaan Keterangan Ahli didasarkan kepada penilaian dan penghitungan kerugian negara/daerah, maka Kepala Perwakilan BPK dapat meminta Pemohon untuk melakukan pemaparan kasus sebagai dasar pemberian jawaban permintaan Pemohon. Pemberian Keterangan Ahli yang dilakukan berdasarkan penilaian penghitungan negara/daerah dilakukan dengan mempergunakan data/dokumen yang diperoleh dari Pemohon. Dalam hal Kepala Subauditorat terkait berpendapat bahwa permintaan Keterangan Ahli dari 26 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 3. 27 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 1 angka 4. 28 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 4. 29 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 5. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 8

Pemohon dapat dipenuhi, pendapat disampaikan kepada Kepala Perwakilan BPK untuk dimintakan persetujuan disertai usulan nama dan jabatan orang yang akan ditunjuk sebagai Ahli. Pendapat, persetujuan serta usulan nama yang akan ditunjuk sebagai Ahli dilaporkan secara berjenjang kepada Anggota BPK terkait melalui Tortama terkait 30. Dalam hal Tortama terkait atau Kepala Perwakilan BPK tidak dapat memberikan pendapat mengenai permohonan Keterangan Ahli kepada Pemohon, Tortama terkait atau Kepala Perwakilan BPK dapat menyampaikan hal tersebut secara berjenjang kepada Anggota BPK untuk memberikan pendapat 31. AKN dan Perwakilan BPK dapat berkordinasi dengan unit kerja bidang hukum untuk memberikan pendapat mengenai jawaban Keterangan Ahli 32. BPK memberikan jawaban permintaan pemberian Keterangan Ahli kepada Pemohon paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permintaan Keterangan Ahli diterima dari Pemohon. Dalam hal permintaan Keterangan Ahli dipenuhi, Tortama terkait atau kepala Perwakilan BPK menyampaikan jawaban kepada Pemohon disertai nama Ahli. Dalam hal permintaan Keterangan Ahli tidak dipenuhi, Tortama terkait atau Kepala Perwakilan BPK menyampaikan jawaban kepada Pemohon disertai alasan 33. Penunjukan Anggota BPK sebagai Ahli berdasarkan Surat Tugas Ketua BPK. Dalam hal Anggota BPK tidak dapat memberikan Keterangan Ahli, Anggota BPK dapat menunjuk dan menugaskan Tortama terkait atau Kepala Perwakilan BPK sebagai Ahli. Tortama atau Kepala Perwakilan BPK dapat menunjuk dan menugaskan Pejabat Pelaksana BPK dan/atau Pemeriksa dan/atau Tenaga Ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK sebagi Ahli. Penugasan Ahli yang ditunjuk dilaksanakan berdasarkan Surat Tugas Anggota BPK terkait atau Kepala Perwakilan BPK 34. Penunjukan dan penugasan Ahli dilakukan dengan mempertimbangkan kompetensi Ahli yang memiliki pemahaman mengenai 35 : a. Pemeriksaan atas pengelolaan tanggung jawab keuangan negara; dan b. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK terkait kerugian negara/daerah yang akan dimintakan Keterangan Ahli. 30 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 6. 31 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 7 32 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 8 33 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 9. 34 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 10. 35 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 11. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 9

AKN terkait atau Perwakilan BPK dan Ahli mempersiapkan materi dan teknis pemberian Keterangan Ahli. AKN terkait atau Perwakilan BPK dan Ahli dapat mengkoordinasikan persiapan dengan unit kerja bidang hukum 36. AKN atau Perwakilan BPK, Ahli dan unit kerja bidang hukum dapat berkoordinasi dengan Pemohon sebelum pemberian Keterangan Ahli 37. Ahli memberikan keterangan setelah menerima Surat Panggilan dari Pemohon berdasarkan jawaban BPK dan Laporan Hasil Pemeriksaan atau Hasil Penghitugan Kerugian Negara/Daearah. Ahli wajib memenuhi panggilan Pemohon untuk memberikan Keterangan Ahli. Apabila Ahli tidak dapat memenuhi pemanggilan Pemohon dikarekan alasan yang patut/sah, Tortama terkait atau Kepala Perwakilan BPK memberitahukan ketidakhadiran Ahli dimaksud secara tertulis kepada Pemohon. Kelanjutan pemberian Keterangan Ahli dikoordinasikan oleh unit kerja bidang hukum dengan Pemohon 38. Untuk keperluan pembuktian kebenaran identitas diri Ahli yang akan memberikan keterangan, Ahli mempersiapkan dan menunjukan Surat Panggilan, Surat Tugas, dan identitas diri 39. Dalam memberikan keterangan, seorang Ahli harus 40 : a. Bersikap objektif; b. Mematuhi seluruh tata tertib yang berlaku dalam proses peradilan; dan c. Memberikan keterangan berdasarkan pengetahuan dan keahliaannya. Ahli dapat menolak memberikan keterangan apabila 41 : a. Pertanyaan diajukan di luar Keahlian atau kompetensi; b. Terdapat pertanyaan yang menjerat dan/atau pertanyaan dengan jawaban pilihan; c. Pertanyaan yang diajukan di luar pokok perkara yang ditangani; dan/atau d. Pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada pemberiaan keterangan fakta atas peristiwa tindak pidana yang dialami, dilihat, dan didengar sendiri dan/atau dari orang lain. Tortama terkait melaporkan pelaksanaan pemberian Keterangan Ahli kepada Anggota BPK terkait. Kepala Perwakilan melaporkan pelaksaan pemberian Keterangan Ahli kepada Tortama dan Anggota BPK terkait. Ahli wajib melaporkan secara tertulis 36 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 12. 37 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 13. 38 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 14 39 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 15. 40 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 16 41 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 17. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 10

pelaksanaan pemberian Keterangan Ahli kepada pemberi tugas paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan setelah pemberian Keterangan Ahli dengan format laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara pemberian Keterangan Ahli 42. Semua biaya yang diperlukan dalam pemberian Keterangan Ahli oleh BPK dibiayai dengan anggaran BPK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan 43. Dalam pemberian keterangan, Ahli dapat memperoleh 44 : a. Penjelasan mengenai penunjukan/penugasan sebagi Ahli dari pejabat yang berwenang; dan/atau b. Bantuan hukum berupa pendampingan hukum dan fasilitas perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa tanggal 22 September 2015 yang dalam pertimbangan hukum [3.10] dinyatakan bahwa, Pemeriksa BPK yang bertindak untuk dan atas nama BPK yang dalam melaksanakan tugasnya menggunakan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) dapat dikategorikan sebagai Ahli karena memiliki pengetahuan dalam bidangnya sepanjang Pemeriksa tersebut bukan yang menemukan adanya tindak pidana dimaksud. Meskipun Pemeriksa BPK dapat berperan berperan sebagai Ahli dalam proses persidangan, bukan berarti harus secara serta merta memberikan atau membenarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Pemeriksa yang telah menemukan adanya tindak pidana dimaksud. Pemeriksa BPK yang bertindak sebagai Ahli tetap terikat dengan sumpah dan kebenaran keahliaan yang dimiliki dalam memberikan keterangannya sehingga pemeriksa tersebut tetap memberikan keterangan Keahliannya secara profesional dan independen. Digunakannya Laporan Hasil Pemeriksaan BPK yang kemudian dengan itu pemeriksa yang memeriksa menjadi ahlinya adalah kekeliruan dalam penunjukan ahli yang diminta memberikan keterangan dalam persidangan dan hal tersebut menjadi kewenagan Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut untuk mempertimbangkannya, sedangkan pemeriksa yang menemukan adanya 42 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 18. 43 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 19. 44 Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli, Pasal 20 ayat (1). Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 11

tindak pidana tersebut dapat diminta keterangan dalam kapasitas sebagai Saksi, bukan sebagai Ahli. IV. PENUTUP Keterangan Ahli dibedakan dengan Keterangan Saksi. Keterangan yang disampaikan oleh saksi adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki Keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Tata cara pemberian Keterangan Ahli oleh BPK diatur dalam Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli. Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa tanggal 22 September 2015 yang dalam pertimbangan hukum [3.10] dinyatakan bahwa, Pemeriksa BPK yang bertindak untuk dan atas nama BPK yang dalam melaksanakan tugasnya menggunakan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) dapat dikategorikan sebagai Ahli karena memiliki pengetahuan dalam bidangnya sepanjang Pemeriksa tersebut bukan yang menemukan adanya tindak pidana dimaksud. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 12

DAFTAR PUSTAKA Buku: Andy Sofyan. 2012. Hukum Acara Pidana (suatu pengantar), Yogyakarta : Rangkang Education. Darwan Prints. 1989. Hukum Acara Pidana (suatu Pengantar), Jakarta : Pen.Djambatan kerjasama dengan Yayasan LBH. Erwin Ubwarin. 2014. Keabsahan Keterangan Ahli dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Sasi Vol.20 No.1, Bulan Januari-Juni 2014. M. Yahya Harahap. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjaua Kembali. Jakarta : Sinar Grafika. Tolib Effendi. 2014. Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia). Malang : Setara Press. Peraturan perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015. Disclaimer: Seluruh informasi yang disediakan dalam Tulisan Hukum adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi. Penulis : Novan Waidi (Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat) Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 13