BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dinding kapiler glomerulus mempunyai struktur yang khas untuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia

I. PENDAHULUAN. cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular dan penyebab utama end stage renal disease (ESRD). Kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. diperkirakan meningkat mencapai 380 juta jiwa pada tahun Di Amerika

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

I. PENDAHULUAN. metabolisme tubuh yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan. Laju Filtrasi

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Penelitian. Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3%

BAB.I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

ABSTRAK. Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1: Penny Setyawati M, Dr, SpPK, MKes Pembimbing 2: Yenni Limyati, Dr, SSn,SpKFR,MKes

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PATOFISIOLOGI SINDROM NEFROTIK

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

Struktur Ginjal: nefron. kapsul cortex. medula. arteri renalis vena renalis pelvis renalis. ureter

BAB 1 PENDAHULUAN. Singapura dan 9,1% di Thailand (Susalit, 2009). Di Indonesia sendiri belum ada

BAB I PENDAHULUAN UKDW. masyarakat. Menurut hasil laporan dari International Diabetes Federation (IDF),

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI

M.Nuralamsyah,S.Kep.Ns

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah kronik (Asdi, 2000).

BAB I.PENDAHULUAN. dengan penurunan glomerular filtrate rate (GFR) serta peningkatan kadar

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang albuminuria, yakni: mikroalbuminuria (>30 dan <300 mg/hari) sampai

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

JUMLAH LEKOSIT DENGAN KADAR MIKROALBUMIN URIN PENDERITA DIABETES MELITUS

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan salah satu kondisi kronis yang sering terjadi di

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. meningkat menjadi 300 juta. Jumlah tertinggi penderita diabetes mellitus terdapat

ABSTRAK HUBUNGAN STATUS NUTRISI DENGAN DERAJAT PROTEINURIA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI RSUP SANGLAH

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2).

BAB I PENDAHULUAN. sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

Diabetes Mellitus (DM) Oleh Dr. Sri Utami, B.R. MS

SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kematian ibu akibat preeklampsia di Indonesia adalah 9,8-25% (Schobel et al.,

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

BAB I PENDAHULUAN. darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa Gejala Pada Penyakit Ginjal Anak. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a IKA FK UWK

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia banyak sekali masyarakat yang mengkonsumsi produk

Universitas Lampung ABSTRAK

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I

FAKTOR RISIKO GAGAL GINJAL PADA DIABETES MELITUS. Enny Probosari ABSTRAK

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Clinical Practice Guidelines on Chronic Kidney Disease(CKD)

Efek Diabetes Pada Sistem Ekskresi (Pembuangan)

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi. Disusun Oleh: Seno Astoko Putro J

Jumlah nefron yang terbentuk setelah lahir tidak dapat dibentuk lagi sehingga bila ada yang rusak jumlahnya akan menurun. Setelah usia 40 tahun,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Selama proses pencernaan, karbohidrat akan dipecah dan diserap di dinding

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

biologi SET 15 SISTEM EKSKRESI DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL A. ORGAN EKSKRESI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan energi ke semua sel di dalam tubuh. 8 Kebanyakan glukosa berasal

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Adanya kelainan struktural atau fungsional pada. ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB VII SISTEM UROGENITALIA

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia dengan

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG. Diabetes adalah penyakit kronis yang ditandai dengan

PEMERIKSAAN URIN DENGAN METODE ESBACH. III. PRINSIP Asam pikrat dapat mengendapkan protein. Endapan ini dapat diukur secara kuantitatif

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan pemeriksaan kadar Cystatin C pada penderita Diabetes

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lebih dari 6,0 mg/dl terdapat pada wanita (Ferri, 2017).

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 11. SISTEM EKSKRESI MANUSIALatihan Soal 11.1

glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu)

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLatihan Soal 1.3. Air. Asam amino. Urea. Protein

Reabsorpsi dan eksresi cairan, elektrolit dan non-elektrolit (Biokimia) Prof.dr.H.Fadil Oenzil,PhD.,SpGK Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Protein Urin Normal Dinding kapiler glomerulus mempunyai struktur yang khas untuk mendukung proses ultrafiltrasi dan menahan hampir semua protein dalam plasma. Dinding kapiler terdiri dari lapisan dalam yaitu lapisan endotel dengan lubang-lubang (fenestra), pada permukaan dilapisi hydrated gel yang mengandung glikoprotein polianionik, diameter 60-79 nm, lapisan tengah adalah membrana basalis terdiri dari jaring-jaring fibril sub-endotel (lamina rara interna), lamina densa dan jaring-jaring fibril sub-epitel (lamina rara eksterna), dan lapisan luar adalah lapisan epitel yang menghadap kapsula Bowman yang menempel pada membrana basalis dan mempunyai tonjolan-tonjolan plasmatik membentuk celah. (16,17,27) Hampir seluruh hasil akhir metabolisme difiltrasi melalui glomerulus sedangkan kreatinin akan diekskresi melalui tubulus. Protein, asam-asam amino dan sebagian besar air beserta ion-ion direabsorpsi di tubulus proksimal. Sisa air dan ion-ion direabsorpsi di tubulus distal. Gangguan fungsi ginjal sangat tergantung luasnya kerusakan fungsi glomerulus. Hosteter dan kawan-kawan menyatakan bahwa filtrasi berdasarkan ukuran molekul bukan merupakan penentu karena makromolekul bermuatan negatif lebih sulit melewati membrana basalis dibanding makromolekul bermuatan positif atau netral dengan ukuran yang sama.

Membrana basalis merupakan glikoprotein bermuatan listrik yang menghalangi molekul bermuatan negatif seperti albumin melalui dinding kapiler glomerulus. (16,17) Oleh karena dinding kapiler glomerulus bersifat selektif terhadap muatan dan ukuran maka hanya sebagian kecil albumin, globulin dan protein plasma lainnya yang dapat melintas. Protein yang ada dalam urin pada penyakit ginjal merupakan campuran albumin dengan globulin. Bila ada kerusakan pada glomerulus akan dijumpai albumin sebagai protein utama. (11,16,17,27,28,29) 2.2 Proteinuria Proteinuria merupakan suatu petanda adanya kerusakan ginjal, pada banyak penelitian terbukti bahwa proteinuria mempunyai peran sebagai petanda resiko mortalitas kardiovaskular dan prediktor progresivitas penyakit ginjal dan jumlah protein yang dikeluarkan melalui urine berkorelasi dengan besarnya penurunan laju filtrasi glomerulus. (20,30) Protein yang difiltrasi glomerulus bersifat nefrotoksik, dapat menstimulasi proses inflamasi, fibrosis jaringan tubulus-interstisialis. Proses ini semakin berat dengan semakin banyaknya jumlah protein yang difiltrasi. Penurunan fungsi ginjal semakin besar sesuai dengan semakin banyaknya proteinuria. Proteinuria tidak hanya sekedar merupakan petanda adanya proses kerusakan di ginjal, akan tetapi juga faktor resiko dari PGK, penurunan laju filtrasi glomerulus atau progresivitas penyakit.

Proteinuria dapat dipakai untuk mengukur hasil pengobatan dan dapat dipakai sebagai target penatalaksanaannya. (20) Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius. Adanya protein di dalam urin sangatlah penting, dan memerlukan pemikiran lebih lanjut untuk menentukan penyebab/penyakit dasarnya. Adapun prevalensi proteinuria yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 3,5%. Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan ginjal. (31) Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya di atas 150 mg/hari pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit di atas nilai normal. Dikatakan proteinuria masif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mg/hari dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin. (31) Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein plasma yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama yang berperan yaitu : 1. Filtrasi glomerulus 2. Reabsorbsi protein tubulus (31)

2.2.1 Definisi Proteinuria Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin orang dewasa yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anakanak lebih dari 140 mg/m 2. Dalam keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional. Urin normal mengandung hanya sedikit protein, kurang dari 10 mg / dl atau 150 mg/24 jam. Ada juga kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap fisiologis jika jumlahnya kurang dari 200 mg/hari pada dewasa (pada anak-anak 140 mg/m 2 ). (21,31,32,33,34,35) 2.2.2 Patofisiologi Proteinuria Pada keadaan normal selektifitas muatan listrik dan ukuran dari dinding kapiler glomerulus akan mencegah protein ( albumin, globulin dan molekul protein plasma yang besar ) melewatinya. Membran glomerulus mengandung komponen muatan negatif, yang dapat menyebabkan penurunan filtrasi dari substansi anionik seperti albumin. Protein adalah bermuatan negatif dan hampir seluruhnya dihambat oleh dinding sel glomeruli. Protein mengalami filtrasi di membran glomerulus melalui seleksi perbedaan berat molekul dan muatan listrik. (18,36) Proteinuria terjadi karena molekul protein dapat melewati membran glomerulus. Hal ini dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomeruli, peningkatan tekanan intra glomerular atau keduanya.

Hiperglikemia merupakan faktor resiko utama terjadinya proteinuria karena dapat meningkatkan tekanan intraglomerular. (37) Hiperglikemia dapat merubah selektifitas perbedaan muatan listrik pada dinding kapiler glomeruli dan menyebabkan peningkatan permeabilitas. Pada ginjal yang sehat 99% albumin yang difiltrasi akan direabsorbsi kembali di tubulus. Heparan sulfat merupakan molekul utama di membran glomerulus yang bermuatan negatif dan disintesis didalam endotel sel mesangial dan sel myomedial. Setelah mengalami sulfasi di dalam alat Golgi, Heparan Sulfat Proteoglikan ini akan masuk ke dalam matriks ekstraselular dari glomerulus dan arteri besar. Pada glukosa darah tidak terkontrol terjadi inhibisi enzim N-deacetylase yang berperan pada sintesa heparan sulfat akibat penurunan sintesa heparan sulfat, maka muatan negatif glomerulus berkurang sehingga protein yang bermuatan negatif lolos ke urin. (37,38) 2.3 Protein Urin 24 jam Melakukan pemeriksaan terhadap kadar yang tepat dari kandungan urin, itu lebih penting dari pada hanya sekedar mengetahui unsur yang terdapat di dalamnya. Perlu kewaspadaan terhadap masalah waktu guna untuk mendapatkan hasil kwantitatif yang akurat. Banyak substansi yang dihasilkan pada variasi diurnal seperti katekolamin, 17- hydroxysteroid dan elektrolit yang mana konsentrasinya menurun pada pagi hari dan terjadi peningkatan konsentrasi pada siang hari. Selain

perubahan konsentrasi yang terjadi oleh karena variasi diurnal, ada juga perubahan akibat aktifitas sehari-hari seperti exercise, makanan (proteins intake) dan metabolisme tubuh, oleh karena itulah pemeriksaan urin 24 jam merupakan gold standard. (18,21) Untuk mendapatkan hasil spesimen yang akurat, pasien harus memulai dan mengakhiri periode pengumpulan urin dengan kandung kemih yang kosong. Sebelumnya pasien harus diberitahu untuk memulai mengumpulkan urin pada waktu atau jam yang telah ditetapkan dengan membuang urin pertamanya lebih dulu ke toilet dan kemudian menampung semua urin yang dikemihkan untuk dikumpulkan sampai 24 jam kemudian, sampai tepat pada jam yang sama sejak dikumpulkan. (21) Perlu mempersiapkan pasien dengan instruksi tertulis dan menjelaskan prosedur pengumpulan urin, dengan menyiapkan wadah yang tepat. (21) Semua spesimen harus didinginkan pada suhu 2-8 C selama periode pengumpulan. (39) Dan juga memerlukan penambahan bahan pengawet kimia. Pengawet dipilih harus tidak beracun kepada pasien dan tidak boleh mengganggu pengujian yang akan dilakukan. Setibanya di laboratorium, spesimen 24 jam dicampur secara menyeluruh dan volume diukur dan dicatat. (21)

2.4 Kreatinin Kreatinin adalah produk katabolisme dari keratin fosfat yang ada di dalam otot. Hasil katabolisme tersebut memiliki nilai yang konstan dalam tiap individu setiap harinya. Kreatinin sangat bergantung dari massa otot. Secara kimiawi, kreatinin merupakan derivat dari kreatin. Biosintesis kreatin sendiri juga berasal dari glisin, arginin, dan metionin. Pemindahan gugus guanidino dari arginin kepada glisin, yang membentuk senyawa guanidoasetat (glikosiamina), berlangsung di dalam ginjal dan tidak terjadi di hati atau otot jantung. Sintesis kreatin diselesaikan lewat reaksi metilasi guanidoasetat oleh senyawa S-adenosilmetionin di hati. Kreatinin dikeluarkan peredarannya dari darah oleh ginjal. Hampir tidak ada sama sekali reabsorpsi kreatinin yang dilakukan ginjal. Jika filtrasi yang dilakukan glomerulus berkurang maka kadarnya di darah akan tinggi. Sehingga kadar kreatinin di darah dan urin dapat dipakai untuk menghitung creatinine clearance, sekaligus GFR (Glomerulus Filtration Rate). (40) Kreatinin dalam urin berasal dari filtrasi glomerulus dan sekresi oleh tubulus proksimal ginjal. Berat molekulnya kecil sehingga dapat secara bebas masuk dalam filtrat glomerulus. Kreatinin yang diekskresi dalam urin terutama berasal dari metabolisme kreatinin dalam otot sehingga jumlah kreatinin dalam urin mencerminkan massa otot tubuh dan relatif stabil pada individu sehat (Levey,2003; Remer et al. 2002; Henry, 2001). Kreatin terutama ditemukan di jaringan otot (sampai dengan 94%). Kreatin dari otot diambil dari darah karena otot sendiri tidak mampu mensintesis

kreatin. Kreatin darah berasal dari makanan dan biosintesis yang melibatkan berbagai organ terutama hati. Proses awal biosintesis kreatin berlangsung di ginjal yang melibatkan asam amino arginin dan glisin. Menurut salah satu penelitian in vitro kreatin secara hampir konstan akan diubah menjadi kreatinin dalam jumlah 1,1% per hari. Kreatinin yang terbentuk ini kemudian akan berdifusi keluar sel otot untuk kemudian diekskresi dalam urin. Pembentukan kreatinin dari kreatin berlangsung secara konstan dan tidak ada mekanisme reuptake oleh tubuh, sehingga sebagian besar kreatinin yang terbentuk dari otot diekskresi lewat ginjal sehingga ekskresi kreatinin dapat digunakan untuk menggambarkan filtrasi glomerulus walaupun tidak 100% sama dengan ekskresi inulin yang merupakan baku emas pemeriksaan laju filtrasi glomerulus. Meskipun demikian, sebagian(16%) dari kreatinin yang terbentuk dalam otot akan mengalami degradasi dan diubah kembali menjadi kreatin. Sebagian kreatinin juga dibuang lewat jalur intestinal dan mengalami degradasi lebih lanjut oleh kreatininase bakteri usus. Kreatininase bakteri akan mengubah kreatinin menjadi kreatin yang kemudian akan masuk kembali ke darah (enteric cycling ). Produk degradasi kreatinin lainnya ialah 1- metilhidantoin, sarkosin, urea, metilamin, glioksilat, glikolat, dan metilguanidin.. (41,42,43) Metabolisme kreatinin dalam tubuh ini menyebabkan ekskresi kreatinin tidak benar-benar konstan dan mencerminkan filtrasi glomerulus, walaupun pada orang sehat tanpa gangguan fungsi ginjal, besarnya degradasi dan ekskresi ekstrarenal kreatinin ini minimal dan dapat diabaikan. (44)

Metode pemeriksaan kreatinin urin adalah Enzimatic colorimetric. Referens interval : ekskresi kreatinin urin normal adalah 14-26 mg / kg / hari atau ( 124-230 umol / kg / hari ) pada laki-laki, dan 11-20 mg / kg / hari atau ( 97-177 umol / kg / hari ) pada wanita. (27) 2.5 Protein Creatinine Ratio (PCR) Urin Belakangan ini beberapa laporan penelitian telah menulis tentang pemeriksaan ekskresi protein urin dengan memakai sampel urin sewaktu dengan melakukan pengukuran antara protein dengan konsentrasi kreatinin dan membandingkan sampel urin 24 jam sebagai gold standard. Adapun alasan digunakan format PCR untuk memperbaiki masalah variabilitas volume dan konsentrasi urin. National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF-K/DOQI) merekomendasikan pemeriksaan penunjang ratio protein terhadap kreatinin dengan urin pertama pada pagi hari atau urin sewaktu pada semua pasien PGK. (19,23,45) Format PCR merupakan hasil bagi antara protein urin dengan kreatinin urin dengan satuan mg/gr kreatinin. Protein dirasiokan dengan kreatinin adalah selain untuk mengurangi masalah variabilitas volume dan konsentrasi urin, protein dan kreatinin mencerminkan fungsi ekskresi ginjal dan kadar kreatinin relatif stabil diekskresikan walaupun jumlah urin sedikit atau banyak. (2,46)

Roger A. Rodby,MD dkk dari George Washington University, Washington, DC tahun 1995 melakukan penelitian, bahwa pengukuran PCR dapat digunakan untuk memprediksi proteinuria pada pasien ND. (24) Ayman M. Wahbeh dkk dari University of Jordan tahun 2009 telah membuktikan adanya korelasi yang baik antara PCR dan ekskresi protein urin 24 jam pada pasien ND. (25) Derhaschnig dkk tahun 2002 melakukan penelitian terhadap pasien hipertensi, ditemukan PCR dengan sensitivitas 87.8%, spesifisitas 89.3%, positif prediktif value (PPV) 29.3% dan negatif prediktif value (NPV) 96.2%. (26) Nahid Shahbazian dkk dari Imam Khomeini Hospital, University of Medical Sciences, Ahwaz, Iran tahun 2008 melaporkan bahwa adanya korelasi yang significant antara spot urin PCR dan protein urin 24 jam pada wanita dengan preeclampsia (P< 0.001). (47) Leanos-Miranda dkk tahun 2007 menyatakan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara spot urin PCR dan protein urin 24 jam pada pasien wanita hamil dengan hipertensi. (P < 0.001). (48) BK Yadav dkk dari Purbanchal University, Kathmandu, Nepal tahun 2010 melaporkan bahwa terdapat korelasi yang sangat baik antara spot PCR dengan protein urin 24 jam pada pasien Nefropati Diabetik dengan sensitivitas 96.65% dan spesifisitas 74,4%. (49)

2.6 Nefropati Diabetik Penyakit ginjal diabetik atau yang lebih dikenal sebagai Nefropati Diabetik adalah merupakan sindroma klinis yang ditandai dengan adanya mikroalbuminuria persisten, proteinuria, peningkatan tekanan darah dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Keadaan ini dialami hampir sepertiga pasien diabetes dan terjadinya secara kronik tapi progresif. Hal ini akan berhubungan dengan meningkatnya resiko kardiovaskular, retinopati dan neuropati. Kejadian ini berlangsung bertahun sesudah seseorang menderita diabetes dan gagal ginjal akan terjadi sesudah 20-30 tahun. (6) Kecenderungan menjadi Nefropati Diabetik dipengaruhi oleh faktor genetik, etnik, gender dan usia pada onset diabetes. (6,50) 2.6.1 Definisi Nefropati Diabetik Pada umumnya Nefropati Diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien Diabetes Mellitus yang ditandai dengan albuminuria menetap ( >300 mg/24 jam ) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. (50) Nefropati Diabetik adalah salah satu komplikasi mikroangiopati (retinopati dan neuropati) pada Diabetes Melitus tipe1 dan tipe 2. (51,52) Dengan demikian perjalanan alamiah (natural history) ND didahului oleh satu fase yang disebut mikroalbuminuria yang merupakan gambaran dari perubahan fisiologi dan patogeni ginjal sebelum ND bermanifestasi.

2.6.2 Proteinuria pada Nefropati Diabetik Walaupun proteinuria mempunyai peranan sebagai petanda adanya kerusakan akibat penyakit ginjal, akan tetapi sebenarnya lebih dari itu, akibat peran proteinuria yang nefrotoksik. Pada banyak penelitian terbukti bahwa proteinuria mempunyai peran sebagai petanda dan prediktor progresivitas gagal ginjal pada DM. Banyaknya proteinuria berkorelasi dengan besarnya penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Pada penelitian Modified Diet in Renal Disease (MDRD) didapatkan bahwa ekskresi protein yang semakin meningkat sesuai dengan meningkatnya penurunan LFG. (20) Proteinuria asimtomatis merupakan tanda permulaan dari Nefropati Diabetik, timbulnya intermiten selama beberapa tahun dan akhirnya menetap disertai proteinuria massif. Pada stadium permulaan, proteinuria ringan dari Nefropati Diabetik ini sulit dibedakan dengan proteinuria karena glomerulonefritis membranous karena sebab lain. Bila terjadi proteinuria massif dan berlangsung lama selalu diikuti oleh gambaran klinik lainnya seperti sembab dan hipertensi. Proteinuria pada Nefropati Diabetik mempunyai karakteristik tersendiri, bersifat non selektif (bukan albumin). Proteinuria ini masih merupakan tanda yang dapat dipercaya sebagai indikator untuk Nefropati Diabetik asal dapat dikesampingkan penyebab lainnya seperti gagal jantung kongestif, ketoasidosis, pielonefritis termasuk keadaan fisiologis dan ortostatik. Pada Nefropati Diabetik, gejala proteinuria ini selalu disertai kelainan mikroangiopati dari

organ lain misalnya mikroaneurismata dari pembuluh darah retina, neuropati dan lain-lain. (51) Kapan kelainan ginjal (nefropati) ini muncul pada seorang pasien diabetes mellitus? Penelitian epidemiologi klinik menunjukkan, nefropati baru terjadi setelah 20 tahun menderita intoleransi glukosa pada diabetes mellitus tipe dewasa dan 14 tahun pada tipe yuvenil. (51) 2.6.3 Patogenesis Nefropati Diabetik Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner dkk pada hewan menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut. (50) Patogenesis terjadinya Nefropati Diabetik ditentukan oleh faktor genetik, metabolik dan hemodinamik yang berkaitan satu sama lainnya. Patogenesis Nefropati Diabetik lebih mudah dipahami dengan meninjau perubahan struktural dan hemodinamik yang terjadi. Walaupun patogenesis DM tipe 1 dan 2 berbeda, namun patofisiologi komplikasi mikrovaskular yang bertanggungjawab terhadap tingginya angka mortalitas dan morbiditas adalah sama. (6)

Patogenesis terjadinya Nefropati Diabetik sebenarnya sangat kompleks, akan tetapi dapat dikelompokkan dalam 3 faktor utama yang memegang peranan penting dan saling interaksi satu sama lainnya, yaitu faktor genetik, metabolik dan hemodinamik. (6) Metabolik Genetik Hemodinamik Glukosa Protein Kinase C b 2 Hormon-hormon vasoaktif (mis. Angiotensin II, endotelin) Aliran/ tekanan Advanced glycation Transformin Growth Factor β Sitokin Vascular Endothelial Growth Factor Extracellular matrix (ECM) cross-linking ECM Permeabilitas pembuluh darah Penimbunan ECM Proteinuria Gambar 1. Patogenesis Nefropati Diabetik. (Disadur dari Cooper ME, Gilbert RE : Pathogenesis, Prevention and Treatment of Diabetic Nephropathy, 2003) 2.6.4 Tahapan Nefropati Diabetik Sequen perjalanan klinik alamiah ND oleh Mogensen meliputi 5 tahapan gangguan fungsi ginjal dimulai dengan hiperfiltrasi dan hipertropi, mikroalbuminuria (nefropati insipien). proteinuria (overt nefropati) dan gagal ginjal. Perjalanan klinik dan keterlibatan ginjal pada DM, lebih jelas diterangkan pada tipe 1 dari pada tipe 2.

Tahap 1 : Fase awal terjadi hiperfiltrasi dan hipertrofi ginjal. LFG dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat. Tahap 2 : Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, berlangsung 5-15 tahun. LFG tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Mulai terjadi perubahan histologi awal berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik dan peningkatan matriks mesangial. Tahap 3 : Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. LFG meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin (Urine Albumin Excretion Rate = UAER) 30-300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus. Tahap 4 : Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut (overt nephropathy). Perubahan histologis makin jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Proteinuria meningkat. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini LFG menurun sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berkorelasi dengan tingginya tekanan darah. Tahap 5 : Tahap ini disebut juga End Stage Renal Disease (ESRD) atau tahap terjadinya gagal ginjal terminal, rata-rata 7 tahun sesudah proteinuria persisten. (6,53,54)