BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama dunia dan menempati peringkat kedua sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit menular di seluruh dunia setelah HIV. Jika dilihat dari jumlah insidens TB, Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban TB tertinggi di dunia yang menempati urutan keempat setelah India, China, dan Afrika Selatan. Situasi TB di dunia diperparah dengan peningkatan HIV. Sebanyak 13% penderita HIV (+) berkembang menjadi TB, sehingga dapat dikatakan bahwa orang yang terinfeksi HIV akan berpeluang untuk menderita TB (WHO, 2013a). Lembaga pemasyarakatan (lapas)/rumah tahanan (rutan) merupakan salah satu tempat yang berisiko tinggi untuk terjadi transmisi TB (Dara et al., 2009). Hal ini dapat dilihat dari angka kesakitan TB yang lebih tinggi pada populasi di lapas/rutan dibanding populasi umum, antara lain di Turki (ÖNGEN et al., 2013), Ethiopia Timur (Abebe et al., 2011), dan Bangladesh (Banu et al., 2010). Berbagai faktor risiko berpengaruh terhadap kejadian TB di lapas/rutan. Sebuah penelitian di Afrika menunjukkan bahwa ada dua kelompok faktor risiko yang ditemukan, yaitu: 1) faktor lingkungan (buruknya ventilasi; kedekatan kontak antar tahanan, antar tahanan dengan staf rutan, maupun antar tahanan dan staf rutan dengan pengunjung; kelebihan kapasitas; buruknya pelayanan kesehatan di lapas); dan 2) faktor host (gizi; stress dan kegelisahan; infeksi HIV, perilaku merokok); penggunaan alkohol; penyakit kronik obstruktif; kecanduan narkoba; kekurangan cahaya matahari; dan defisiensi vitamin D) (O Grady et al., 2011). Pengendalian TB terhadap populasi di lapas/rutan difokuskan kepada diagnosis dini dan pengobatan (O Grady et al., 2011). Diagnosis dini harus didahului dengan penemuan dan pengobatan penderita, serta follow-up terhadap kontak penderita, sehingga akan dapat mencegah penyebaran TB di lapas dan masyarakat (Assefzadeh, 2009). Penemuan kasus di lapas dilakukan secara pasif, 1
2 yang dilengkapi dengan penemuan kasus secara aktif yang dikenal dengan skrining (Dara et al., 2009). Peningkatan penemuan kasus TB, khususnya skrining segera di lapas/rutan, berkontribusi terhadap penurunan transmisi TB secara drastis di Mongolia (Yanjindulam et al., 2012). Implementasi strategi penemuan ini juga terbukti mampu menurunkan angka TB pada lapas di Georgia (Aerts et al., 2006). Secara fungsi, program TB pada banyak negara umumnya masih terlaksana secara vertikal sebagai bagian dari sistem pengendalian penyakit menular, yang terlaksana di luar struktur sistem kesehatan yang ada. Ini menjadi landasan bagi WHO dan International Union against TB and Lung Disease (IUATLD) untuk merekomendasikan pentingnya integrasi antara program TB dengan sistem kesehatan (Atun et al., 2004). Integrasi program pengendalian penyakit di India dapat memperkuat sistem kesehatan, antara lain peningkatan pelayanan melalui peningkatan infrastruktur, obat dan persediaan (Rao et al., 2013). Berbagai faktor dapat mempengaruhi integrasi program TB, baik yang bersifat sebagai pendukung maupun penghambat. Penelitian di Uganda menunjukkan bahwa faktor penghambat integrasi pelayanan TB/HIV adalah kekurangan jumlah tenaga, rendahnya kapasitas petugas (pengetahuan dan keahlian), serta kekurangan pedoman. Sekalipun ada faktor penghambat, namun ada faktor pendukung, yaitu: willingness untuk belajar serta tidak menganggap banyaknya pasien sebagai beban (Nansera et al., 2010). Integrasi program TB dengan rumah sakit sebagai penyedia layanan klinis juga dipengaruhi oleh: konteks historikal, kapasitas klinis, motivasi, dana, insentif dan pengelolaan staf, manajemen koodinasi, dan technical exchange (Zou et al., 2012). Selain rumah sakit, integrasi program TB juga terbentuk antara lapas/rutan dengan sektor kesehatan masyarakat. Efektivitas integrasi dengan lapas/rutan dipengaruhi oleh mekanisme organisasi formal (keberadaan liaison, pertemuan rutin, penempatan staf, dan kesepakatan formal). Pada sisi lain, ada penghambat integrasi, yaitu: keterbatasan dana, keterbatasan staf, perbedaan prioritas, keterbatasan pelatihan
3 staf, kekurangan komunikasi, struktur organisasi (hubungan kerja, formalitas legal), serta kekurangan data TB (Lobato et al., 2004). Situasi TB di lapas/rutan di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi TB pada penghuni lapas/rutan di wilayah Jabotabek 7,5 kali lebih tinggi dibanding populasi umum ( Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan laporan data kesehatan tahun 2011, TB menempati urutan ke-4 dari 10 penyakit terbanyak pada narapidana dan tahanan, sekaligus penyebab kematian terbanyak kedua setelah HIV-AIDS. Dari 7.972 suspek TB, ditemukan 911 kasus TB (757 merupaka n kasus baru BTA positif), dengan 66 kematian (Kemenkumham RI, 2012). Kondisi lapas dan rutan di Indonesia masih menjadi faktor risiko TB di lapas/rutan. Daya tampung lapas dan rutan yang melebihi kapasitas, terutama di kota-kota besar, menjadi salah satu faktor yang memperberat risiko terjadinya transmisi TB di lapas/rutan. Dari 431 lapas dan rutan dengan kapasitas 99.748 orang, hingga bulan Juli 2012 dihuni oleh 151.723 orang, atau terdapat kelebihan daya tampung sebanyak 51.975 orang (52%). Kelebihan kapasitas ini tidak merata di semua lapas dan rutan, yaitu ada yang mencapai lebih dari 100%, bahkan ada yang sampai melebihi 400%. Selain kelebihan kapasitas, kekurangan SDM kesehatan serta sarana prasarana yang belum memadai, juga menyebabkan pemberian pelayanan kesehatan di lapas dan rutan menjadi kurang maksimal (Kemenkumham RI, 2012). Pemerintah RI telah menetapkan skrining sebagai salah satu strategi yang dalam upaya penemuan kasus di lapas/rutan di Indonesia. Pelaksanaan strategi ini masih menghadapi kendala karena sampai akhir tahun 2006 belum semua lapas memiliki fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai. Hal ini pula yang menyebabkan penemuan kasus TB di lapas, termasuk skrining, tidak bisa dilaksanakan sendiri oleh lapas. Untuk itu, maka harus dibangun kerjasama antara lapas dengan Program TB setempat (Depkumham RI, 2008; Kemenkes RI, 2011). DIY merupakan salah satu provinsi dengan angka prevalens TB 76,88 per 100.000 penduduk pada tahun 2012. Angka ini di bawah angka nasional tahun 2009 (224 per 100.000 penduduk), namun CDR masih <70%, dan SR <85% atau di bawah target program (Kemenkes RI, 2011). Jika dilihat lebih rinci lagi, angka
4 prevalens TB di Kota Yogyakarta pada tahun 2012 berada di bawah angka prevalens DIY, yaitu 63 per 100.000 penduduk, dengan CDR 86,8% (di atas target 70%), namun SR baru tercapai 83,1% (di bawah target 85%) (Dinkes Kota Yogyakarta, 2013). Pada tahun 2012, ada dua kasus lama dan kasus baru TB di Lapas Wirogunan dari antara 472 WBP, sehingga angka prevalens TB adalah 423/100.000, atau 6,7 kali lebih tinggi dibanding angka prevalens TB pada populasi umum di Kota Yogyakarta (63/100.000 populasi). Pelayanan program TB di Kota Yogyakarta dilaksanakan oleh berbagai UPK yang masuk dalam jejaring Public Private Mix (PPM), antara lain: puskesmas, rumah sakit pemerintah/swasta, BP4, klinik/balai pengobatan, Dokter Praktek Swasta (DPS), dan lapas/rutan. UPK ini sangat diharapkan kontribusinya dalam pelayanan program TB, terutama dalam penemuan kasus. Berdasarkan data Dinkes Provinsi DIY (2013), CDR Provinsi DIY pada tahun 2012 baru mencapai 40,38%. Kontribusi penemuan kasus ini hanya berasal dari tiga unit pelayanan kesehatan (UPK) saja, yai tu Pukesmas (56%), Rumah Sakit (24%), dan BP4 (20%). Hal ini dapat menunjukkan bahwa pencapaian CDR yang tinggi di Kota Yogyakarta nampaknya belum mampu mengungkit penemuan TB di DIY. Lapas Wirogunan Yogyakarta merupakan salah satu lapas di Kota Yogyakarta. Lapas sudah melaksanakan skrining masuk terhadap seluruh WBP sejak tahun 2003, namun belum terdokumentasi. Dokumentasi baru mulai dilakukan sejak tahun 2012. Selain skrining masuk, skrining massal pernah terlaksana pada tahun 2005 dan Mei 2014. Sejak tahun 2003, hampir setiap tahun lapas menemukan kasus TB melalui skrining. Sebagai contoh, pada tahun 2012 dan 2013 ditemukan masing-masing dua kasus baru dan lama TB. Lapas tidak dapat melakukan skrining tanpa bantuan dari luar institusi, sehingga harus berintegrasi dengan stakeholder lain. Penemuan dan tindak lanjut kasus TB melibatkan beberapa stakeholder dengan peran sebagai berikut: a. Lapas Wirogunan: skrining gejala klinis TB, diagnosa suspek, pengambilan dan pengiriman spesimen dahak, isolasi, pengobatan, serta pencatatan dan pelaporan
5 b. Puskesmas Pakualaman: pemeriksaan spesimen dahak, penyediaan obat dan logistik (pot dahak), serta pencatatan dan pelaporan c. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta: pengadaan obat dan logistik, pencatatan dan pelaporan d. Kanwil Kemenkumham Provinsi DIY: supervisi/bimbingan teknis serta pencatatan dan pelaporan Dengan demikian, perlu digali B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah: Bagaimana praktek skrining TB di Lapas Wirogunan Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui praktek skrining TB di Lapas Wirogunan Yogyakarta 2. Tujuan Khusus a. Menganalisis keberadaan dan kualitas skrining TB di Lapas Wirogunan Yogyakarta b. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi integrasi dalam pelaksanaan praktek skrining TB di Lapas Wirogunan Yogyakarta D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Lapas Wirogunan Yogyakarta; sebagai masukan dalam pelaksanaan skrining TB sebagai upaya penemuan suspek dan/atau penderita, sehingga dapat dilakukan berbagai upaya dalam rangka mencegah transmisi TB di Lapas Wirogunan Yogyakarta 2. Bagi Dinas Kesehatan; sebagai masukan dalam perumusan kebijakan dan strategi program pengendalian TB di Kota Yogyakarta, khususnya dalam meningkatkan kerjasama program TB dengan Lapas Wirogunan Yogyakarta 3. Bagi peneliti; menambah pengalaman dan pengetahuan
6 E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan penelitian mengenai praktek skrining TB di Lapas Wirogunan Yogyakarta. Sekalipun demikian beberapa penelitian yang memiliki kemiripan, antara lain: Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti (tahun) Zou et al. (2012) Lobato et al. (2004) Judul/ Tujuan Factors influencing integration of TB service in general hospitals in two regions of China:a qualitative study Tujuan: mengeksplorasi faktor yang mempengaruhi integrasi pelayanan TB di rumah sakit umur Public health and correctional collaboration in tuberculosis control Tujuan: menilai eksistensi sistem lapas dan kepeduliannya terhadap kolaborasi dengan depkes dalam mencegah dan mengendalikan TB Metodologi Persamaan Perbedaan Pendekatan: kualitatif Desain: deskriptif Lokasi: China Unit analisis: rumah sakit umum Variabel: konteks historikal; kapasitas klinis; motivasi untuk berintegrasi; alokasi sumber daya; insentif dan pengelolaan staf; manajemen koordinasi; technical exchange Pendekatan: kuantitatif Desain: deskriptif Unit analisis: lapas Lokasi: Amerika Serikat Variabel: faktor efektivitas kolaborasi; faktor penghambat kolaborasi tujuan; pendekatan; desain; variabel unit analisis; variabel: mekanisme organisasi formal (penunjukan penghubung, peremuan rutin, kesepakatan tertulis) unit analisis; lokasi tujuan; pendekatan; desain; lokasi