BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus di kalangan masyarakat. Menurut World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly

BAB I PENDAHULUAN. penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini

BAB 1 PENDAHULUAN. infeksi di seluruh dunia setelah HIV. Pada tahun 2014, WHO melaporkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. di kenal oleh masyarakat. Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN MOTIVASI PETUGAS TBC DENGAN ANGKA PENEMUAN KASUS TBC DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUPATEN BOYOLALI

BAB 1 PENDAHULUAN. TB.Paru merupakan penyakit yang mudah menular dan bersifat menahun, disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Asam) positif yang sangat berpotensi menularkan penyakit ini (Depkes RI, Laporan tahunan WHO (World Health Organitation) tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. bertambah, sedangkan insiden penyakit menular masih tinggi. Salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Kegiatan penanggulangan Tuberkulosis (TB), khususnya TB Paru di

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia.

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

EVALUASI PROGRAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS DAN

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium Tuberculosis dan paling sering menginfeksi bagian paru-paru.

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

JEJARING PROGRAM NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sudah ada sejak zaman purbakala. Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kuno seperti sisa-sisa tulang belakang

I. PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Menurut World Health Organization (WHO)

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

I. PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. penyakit di seluruh dunia, setelah Human Immunodeficiency Virus (HIV). negatif dan 0,3 juta TB-HIV Positif) (WHO, 2013)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau sering disebut dengan istilah TBC merupakan penyakit

Strategi Penanganan TB di dunia kerja

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

HASIL DISKUSI KELOMPOK RKD TBC PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor risiko..., Helda Suarni, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di seluruh dunia. Sampai tahun 2011 tercatat 9 juta kasus baru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Tuberkulosis Paru (TB Paru) suatu penyakit kronis yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. karena penularannya mudah dan cepat, juga membutuhkan waktu yang lama

BAB I PENDAHULUAN. batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dikategorikan high burden countries. Kasus baru Tuberkulosis di dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit menular merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah

ANALISA FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU Dhilah Harfadhilah* Nur Nasry Noor** I Nyoman Sunarka***

BAB I. Treatment, Short-course chemotherapy)

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menjadi masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

BAB 1 : PENDAHULUAN. tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemik

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh Mycobacterium tuberculosis dan bagaimana infeksi tuberkulosis (TB)

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh basil TBC. Penyakit paru paru ini sangat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan sinar matahari, tetapi dapat hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

SKRIPSI. Penelitian Keperawatan Komunitas

BAB I PENDAHULUAN. Menurut laporan World Health Organitation tahun 2014, kasus penularan

BAB V PEMBAHASAN. 1. Analisis Konteks dalam Program Skrining IMS dengan VCT di LP

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. mengganti aktor pusat menjadi daerah dalam hal pengambilan kebijakan. dengan masyarakat. Dengan begitu, informasi tentang proses

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat saat ini dan termasuk ke dalam global emergency. TB adalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan terutama di Negara berkembang seperti di Indonesia. Penyebaran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. setelah melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan. kepada orang lain (Adnani & Mahastuti, 2006).

BAB 1 : PENDAHULUAN. satu di dunia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2014 menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh (Mycobacterium tuberculosis). Penyakit ini juga dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti karena menular. Menurut Robins (Misnadiarly, 2006), tuberkulosis adalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama. kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi paling. umum di dunia dengan perkiraan sepertiga populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dan termasuk salah satu sasaran Millennium Development Goals (MDGs) dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WHO (World Health Organisation) pada tahun 2014,

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. menular yang muncul dilingkungan masyarakat. Menanggapi hal itu, maka perawat

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan yang baik dan berkeadilan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang

BAB I PANDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Mycobacterium Tuberculosis (MTB) telah. menginfeksi sepertiga pendududk dunia (Depkes RI,

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. tanah lembab dan tidak adanya sinar matahari (Corwin, 2009).

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang terbaru (2010), masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh sejenis mikroba atau jasad renik. Mikroba ini

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang. disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium Tuberculosis yang pada

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun. Begitu pula menurut Smith (1994) yang menyatakan bahwa di Nepal dan secara umum di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PENERAPAN STRATEGI DOTS DI RUMAH SAKIT HBS MODUL F HDL 1

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama dunia dan menempati peringkat kedua sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit menular di seluruh dunia setelah HIV. Jika dilihat dari jumlah insidens TB, Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban TB tertinggi di dunia yang menempati urutan keempat setelah India, China, dan Afrika Selatan. Situasi TB di dunia diperparah dengan peningkatan HIV. Sebanyak 13% penderita HIV (+) berkembang menjadi TB, sehingga dapat dikatakan bahwa orang yang terinfeksi HIV akan berpeluang untuk menderita TB (WHO, 2013a). Lembaga pemasyarakatan (lapas)/rumah tahanan (rutan) merupakan salah satu tempat yang berisiko tinggi untuk terjadi transmisi TB (Dara et al., 2009). Hal ini dapat dilihat dari angka kesakitan TB yang lebih tinggi pada populasi di lapas/rutan dibanding populasi umum, antara lain di Turki (ÖNGEN et al., 2013), Ethiopia Timur (Abebe et al., 2011), dan Bangladesh (Banu et al., 2010). Berbagai faktor risiko berpengaruh terhadap kejadian TB di lapas/rutan. Sebuah penelitian di Afrika menunjukkan bahwa ada dua kelompok faktor risiko yang ditemukan, yaitu: 1) faktor lingkungan (buruknya ventilasi; kedekatan kontak antar tahanan, antar tahanan dengan staf rutan, maupun antar tahanan dan staf rutan dengan pengunjung; kelebihan kapasitas; buruknya pelayanan kesehatan di lapas); dan 2) faktor host (gizi; stress dan kegelisahan; infeksi HIV, perilaku merokok); penggunaan alkohol; penyakit kronik obstruktif; kecanduan narkoba; kekurangan cahaya matahari; dan defisiensi vitamin D) (O Grady et al., 2011). Pengendalian TB terhadap populasi di lapas/rutan difokuskan kepada diagnosis dini dan pengobatan (O Grady et al., 2011). Diagnosis dini harus didahului dengan penemuan dan pengobatan penderita, serta follow-up terhadap kontak penderita, sehingga akan dapat mencegah penyebaran TB di lapas dan masyarakat (Assefzadeh, 2009). Penemuan kasus di lapas dilakukan secara pasif, 1

2 yang dilengkapi dengan penemuan kasus secara aktif yang dikenal dengan skrining (Dara et al., 2009). Peningkatan penemuan kasus TB, khususnya skrining segera di lapas/rutan, berkontribusi terhadap penurunan transmisi TB secara drastis di Mongolia (Yanjindulam et al., 2012). Implementasi strategi penemuan ini juga terbukti mampu menurunkan angka TB pada lapas di Georgia (Aerts et al., 2006). Secara fungsi, program TB pada banyak negara umumnya masih terlaksana secara vertikal sebagai bagian dari sistem pengendalian penyakit menular, yang terlaksana di luar struktur sistem kesehatan yang ada. Ini menjadi landasan bagi WHO dan International Union against TB and Lung Disease (IUATLD) untuk merekomendasikan pentingnya integrasi antara program TB dengan sistem kesehatan (Atun et al., 2004). Integrasi program pengendalian penyakit di India dapat memperkuat sistem kesehatan, antara lain peningkatan pelayanan melalui peningkatan infrastruktur, obat dan persediaan (Rao et al., 2013). Berbagai faktor dapat mempengaruhi integrasi program TB, baik yang bersifat sebagai pendukung maupun penghambat. Penelitian di Uganda menunjukkan bahwa faktor penghambat integrasi pelayanan TB/HIV adalah kekurangan jumlah tenaga, rendahnya kapasitas petugas (pengetahuan dan keahlian), serta kekurangan pedoman. Sekalipun ada faktor penghambat, namun ada faktor pendukung, yaitu: willingness untuk belajar serta tidak menganggap banyaknya pasien sebagai beban (Nansera et al., 2010). Integrasi program TB dengan rumah sakit sebagai penyedia layanan klinis juga dipengaruhi oleh: konteks historikal, kapasitas klinis, motivasi, dana, insentif dan pengelolaan staf, manajemen koodinasi, dan technical exchange (Zou et al., 2012). Selain rumah sakit, integrasi program TB juga terbentuk antara lapas/rutan dengan sektor kesehatan masyarakat. Efektivitas integrasi dengan lapas/rutan dipengaruhi oleh mekanisme organisasi formal (keberadaan liaison, pertemuan rutin, penempatan staf, dan kesepakatan formal). Pada sisi lain, ada penghambat integrasi, yaitu: keterbatasan dana, keterbatasan staf, perbedaan prioritas, keterbatasan pelatihan

3 staf, kekurangan komunikasi, struktur organisasi (hubungan kerja, formalitas legal), serta kekurangan data TB (Lobato et al., 2004). Situasi TB di lapas/rutan di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi TB pada penghuni lapas/rutan di wilayah Jabotabek 7,5 kali lebih tinggi dibanding populasi umum ( Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan laporan data kesehatan tahun 2011, TB menempati urutan ke-4 dari 10 penyakit terbanyak pada narapidana dan tahanan, sekaligus penyebab kematian terbanyak kedua setelah HIV-AIDS. Dari 7.972 suspek TB, ditemukan 911 kasus TB (757 merupaka n kasus baru BTA positif), dengan 66 kematian (Kemenkumham RI, 2012). Kondisi lapas dan rutan di Indonesia masih menjadi faktor risiko TB di lapas/rutan. Daya tampung lapas dan rutan yang melebihi kapasitas, terutama di kota-kota besar, menjadi salah satu faktor yang memperberat risiko terjadinya transmisi TB di lapas/rutan. Dari 431 lapas dan rutan dengan kapasitas 99.748 orang, hingga bulan Juli 2012 dihuni oleh 151.723 orang, atau terdapat kelebihan daya tampung sebanyak 51.975 orang (52%). Kelebihan kapasitas ini tidak merata di semua lapas dan rutan, yaitu ada yang mencapai lebih dari 100%, bahkan ada yang sampai melebihi 400%. Selain kelebihan kapasitas, kekurangan SDM kesehatan serta sarana prasarana yang belum memadai, juga menyebabkan pemberian pelayanan kesehatan di lapas dan rutan menjadi kurang maksimal (Kemenkumham RI, 2012). Pemerintah RI telah menetapkan skrining sebagai salah satu strategi yang dalam upaya penemuan kasus di lapas/rutan di Indonesia. Pelaksanaan strategi ini masih menghadapi kendala karena sampai akhir tahun 2006 belum semua lapas memiliki fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai. Hal ini pula yang menyebabkan penemuan kasus TB di lapas, termasuk skrining, tidak bisa dilaksanakan sendiri oleh lapas. Untuk itu, maka harus dibangun kerjasama antara lapas dengan Program TB setempat (Depkumham RI, 2008; Kemenkes RI, 2011). DIY merupakan salah satu provinsi dengan angka prevalens TB 76,88 per 100.000 penduduk pada tahun 2012. Angka ini di bawah angka nasional tahun 2009 (224 per 100.000 penduduk), namun CDR masih <70%, dan SR <85% atau di bawah target program (Kemenkes RI, 2011). Jika dilihat lebih rinci lagi, angka

4 prevalens TB di Kota Yogyakarta pada tahun 2012 berada di bawah angka prevalens DIY, yaitu 63 per 100.000 penduduk, dengan CDR 86,8% (di atas target 70%), namun SR baru tercapai 83,1% (di bawah target 85%) (Dinkes Kota Yogyakarta, 2013). Pada tahun 2012, ada dua kasus lama dan kasus baru TB di Lapas Wirogunan dari antara 472 WBP, sehingga angka prevalens TB adalah 423/100.000, atau 6,7 kali lebih tinggi dibanding angka prevalens TB pada populasi umum di Kota Yogyakarta (63/100.000 populasi). Pelayanan program TB di Kota Yogyakarta dilaksanakan oleh berbagai UPK yang masuk dalam jejaring Public Private Mix (PPM), antara lain: puskesmas, rumah sakit pemerintah/swasta, BP4, klinik/balai pengobatan, Dokter Praktek Swasta (DPS), dan lapas/rutan. UPK ini sangat diharapkan kontribusinya dalam pelayanan program TB, terutama dalam penemuan kasus. Berdasarkan data Dinkes Provinsi DIY (2013), CDR Provinsi DIY pada tahun 2012 baru mencapai 40,38%. Kontribusi penemuan kasus ini hanya berasal dari tiga unit pelayanan kesehatan (UPK) saja, yai tu Pukesmas (56%), Rumah Sakit (24%), dan BP4 (20%). Hal ini dapat menunjukkan bahwa pencapaian CDR yang tinggi di Kota Yogyakarta nampaknya belum mampu mengungkit penemuan TB di DIY. Lapas Wirogunan Yogyakarta merupakan salah satu lapas di Kota Yogyakarta. Lapas sudah melaksanakan skrining masuk terhadap seluruh WBP sejak tahun 2003, namun belum terdokumentasi. Dokumentasi baru mulai dilakukan sejak tahun 2012. Selain skrining masuk, skrining massal pernah terlaksana pada tahun 2005 dan Mei 2014. Sejak tahun 2003, hampir setiap tahun lapas menemukan kasus TB melalui skrining. Sebagai contoh, pada tahun 2012 dan 2013 ditemukan masing-masing dua kasus baru dan lama TB. Lapas tidak dapat melakukan skrining tanpa bantuan dari luar institusi, sehingga harus berintegrasi dengan stakeholder lain. Penemuan dan tindak lanjut kasus TB melibatkan beberapa stakeholder dengan peran sebagai berikut: a. Lapas Wirogunan: skrining gejala klinis TB, diagnosa suspek, pengambilan dan pengiriman spesimen dahak, isolasi, pengobatan, serta pencatatan dan pelaporan

5 b. Puskesmas Pakualaman: pemeriksaan spesimen dahak, penyediaan obat dan logistik (pot dahak), serta pencatatan dan pelaporan c. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta: pengadaan obat dan logistik, pencatatan dan pelaporan d. Kanwil Kemenkumham Provinsi DIY: supervisi/bimbingan teknis serta pencatatan dan pelaporan Dengan demikian, perlu digali B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah: Bagaimana praktek skrining TB di Lapas Wirogunan Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui praktek skrining TB di Lapas Wirogunan Yogyakarta 2. Tujuan Khusus a. Menganalisis keberadaan dan kualitas skrining TB di Lapas Wirogunan Yogyakarta b. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi integrasi dalam pelaksanaan praktek skrining TB di Lapas Wirogunan Yogyakarta D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Lapas Wirogunan Yogyakarta; sebagai masukan dalam pelaksanaan skrining TB sebagai upaya penemuan suspek dan/atau penderita, sehingga dapat dilakukan berbagai upaya dalam rangka mencegah transmisi TB di Lapas Wirogunan Yogyakarta 2. Bagi Dinas Kesehatan; sebagai masukan dalam perumusan kebijakan dan strategi program pengendalian TB di Kota Yogyakarta, khususnya dalam meningkatkan kerjasama program TB dengan Lapas Wirogunan Yogyakarta 3. Bagi peneliti; menambah pengalaman dan pengetahuan

6 E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan penelitian mengenai praktek skrining TB di Lapas Wirogunan Yogyakarta. Sekalipun demikian beberapa penelitian yang memiliki kemiripan, antara lain: Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti (tahun) Zou et al. (2012) Lobato et al. (2004) Judul/ Tujuan Factors influencing integration of TB service in general hospitals in two regions of China:a qualitative study Tujuan: mengeksplorasi faktor yang mempengaruhi integrasi pelayanan TB di rumah sakit umur Public health and correctional collaboration in tuberculosis control Tujuan: menilai eksistensi sistem lapas dan kepeduliannya terhadap kolaborasi dengan depkes dalam mencegah dan mengendalikan TB Metodologi Persamaan Perbedaan Pendekatan: kualitatif Desain: deskriptif Lokasi: China Unit analisis: rumah sakit umum Variabel: konteks historikal; kapasitas klinis; motivasi untuk berintegrasi; alokasi sumber daya; insentif dan pengelolaan staf; manajemen koordinasi; technical exchange Pendekatan: kuantitatif Desain: deskriptif Unit analisis: lapas Lokasi: Amerika Serikat Variabel: faktor efektivitas kolaborasi; faktor penghambat kolaborasi tujuan; pendekatan; desain; variabel unit analisis; variabel: mekanisme organisasi formal (penunjukan penghubung, peremuan rutin, kesepakatan tertulis) unit analisis; lokasi tujuan; pendekatan; desain; lokasi