MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF

dokumen-dokumen yang mirip
PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

Penyandang Cacat dan Permasalahannya

ASESMEN PENGAJARAN PENJASKES BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN

PROFIL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH DASAR DI KOTA BANDUNG. Juang Sunanto, dkk

A. Perspektif Historis

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI

PROSPEK TENAGA KEPENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN INKLUSIF. Oleh Mohamad Sugiarmin

BAB V PENUTUP. semakin menjadi penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education

KOMITMEN KEPALA SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK ABK. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Jaringan Kerja untuk Inklusi. Didi Tarsidi Jurusan PLB, FIP, UPI, Bandung

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal

Implementasi Pendidikan Segregasi

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni PSG Bekasi

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai penanggung jawab dalam

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Daftar Pustaka. Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Bagaimana? Apa? Mengapa?

REVITALISASI PROGRAM STUDI PLB DALAM MENGHADAPI PROGRAM INKLUSI *) Oleh Edi Purwanta **)

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DISERTASI. diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia.

PENDIDIKAN INKLUSI ANAK USIA DINI

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

TINJAUAN MATA KULIAH...

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PEMBELAJARAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN KHUSUS Oleh: Drs. R. Zulkifli Sidiq, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

PAUD INKLUSI UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

SEMINAR TENTANG ABK DISAMPAIKAN DALAM RANGKA KAB. BANDUNG BARAT (10 MEI 2008) OLEH: NIA SUTISNA, DRS. M.Si

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Memasuki akhir milenium kedua, pertanyaan tentang

Hand Out TEP-PLB KAWASAN TEP DAN PENERAPNNYA DALAM BIDANG PLB (ISHARTIWI, PLB-FIP_ UNY)

Perkembangan Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa di Indonesia (Development of Special

PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL. Oleh Drs. Musjafak Assjari, M.Pd

ABSTRAK. Kata Kunci : Anak berkebutuhan khusus, TK, pelayanan

Assessment Kemampuan Merawat Diri

2015 PENGEMBANGAN PROGRAM PUSAT SUMBER (RESOURCE CENTER) SLBN DEPOK DALAM MENDUKUNG IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA DEPOK

Pendidikan Luar Biasa/ Pendidikan Khusus

Kegiatan Belajar 2 : Pembelajaran Individual bagi ABK

PERAN GPK DALAM PELAYANAN SISWA ABK DI SEKOLAH INKLUSI PASCA DEKLARASIKAN PROVINSI BALI SEBAGAI PENYELENGARA PENDIDIKAN INKLUSI

Pendidikan Inklusi di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak

KETENTUAN UNTUK ANAK-ANAK DENGAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN KHUSUS DI WILAYAH ASIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi

UNIT 2 HAKIKAT LAYANAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS. Suparno Edi Purwanto. Pendahuluan

PERSIAPAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF SISWA SDLB NEGERI 40 KABUPATEN SOLOK

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN LUAR BIASA DI INDONESIA

Menuju Inklusi dan Pengayaan

Pendidikan Berkebutuhan Khusus II. Materi: Segregasi Artinya: segregation (pemisahan)

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Penelitian ini dilakukan untuk memformulasikan kompetensi GPK dalam

MODEL DAN STRATEGI PEMBELAJARAN ABK DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSIF

Transkripsi:

MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF Juang Sunant,Ph.D. Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Abstrak Pendidikan inklusif sebagai paradigma baru telah mendapat perhatian serius di berbagai negara termasuk Indonesia. Makalah ini bermaksud membahas tentang kegiatan manajemen pendidikan yang dikaitkan dengan pelaksanaan pendidikan inklusif. Berdasarkan sudut pandang bahwa manajemen pendidikan sebagai suatu kerja sama, proses, dan kerangka sistem untuk mencapai tujuan pendidikan (pendidikan inklusif), maka sekurang-kurangnya ruang lingkup manajemen pendidkan seperti tatalaksana kurikulum, sistem evaluasi, dan program pengajaran akan dibahas lebih khusus. Melakukan perubahan-perubahan dalam semua aspek manajemen pendidikan berdasarkan prinsip fleksibilitas, kooperatif, tidak deskriminatif, pemenuhan hak merupakan salah satu upaya menuju pendidikan inklusif. Dalam masyarakat internasional, pendidikan bagi penyandang cacat atau anak berkelainan telah mengalami perubahan secara kuantitatif maupun kualitatif. Perubahan-perubahan itu terjadi dalam teknik mengajar, sistem penempatan, paradigma dan filosofis yang mendasarinya. Pendidikan inklusif atau pendidikan untuk semua (education for all) dipandang sebagai pendidikan yang paling manusiawi, oleh karenanya layak dan patut dikembangkan. Hingga sekarang banyak negara di Eropa dan Amerika telah berupaya menerapkan sistem pendidikan yang menuju inklusi. Untuk mencapai pendidikan yang inklusif masing-masing negara memiliki strategi dan cara yang berbeda sesuai dengan karakter negara dan bangsanya. Memang dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif tidak perlu seragam atau sama, suatu cara yang berhasil di suatu negara belum tentu sesuasi dengan negara lain, yang utama adalah persamaan pemahaman. Sejauh manakah bangsa Indonesia, sebagai anggota masyarakat dunia, memahami tentang pendidikan inklusif? Apa saja yang telah dan akan dilakukan dalam rangka mengimplemntasikan pendidikan inklusif? Makalah kecil ini akan membahasan tentang manajemen pendidikan inklusif dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif.

Pendidikan inklusif Kepedulian dan kesadaran masyarakat dunia untuk mewujudkan pendidikan yang humanis dan holistik serta dapat diakses oleh semua peserta didik ditandai dengan adanya: Deklarasi Hak asasi Manusia, 1948; Konvensi Hak Anak, 1989; Konverensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990; Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan, 1993; Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994. konvensi tersebut turut mempengaruhi kebijakan dan praktek pendidikan khususnya pebdidikan luar biasa di berbagai negara termasuk Indonesia. Perkembangan pelaksanaan pendidikan bagi penyandang cacat atau berkelainan di Indonesia secara formal sejak berdisrinya Sekolah Luar Biasa (SLB) yakni sekolah khusus yang melayani pendidikan bagi anak-anak berkelainan seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadkasa, dan tunalaras. SLB-SLB ini dikelola secara khusus dan terpisah dengan pendidikan pada umumnya. Pengelolaan semacam ini kita kenal dengan sistem segregasi atau terpisah. Dalam perkembangannya, pengelolaan pendidikan luar biasa selain dalam bentuk SLB juga diselenggarakan dalam bentuk sekolah terpadu dimana di sekolah umum (reguler) ada anak berkelainan yang belajar bersama-sama dengan anak pada umumnya. Pengelolaan semacam ini disebut sistem integrasi atau terpadu. Sekolah terpadu ini di Indonesia dirintis sekitar tahun 70-an dengan dukungan Hellen Keler International Incorparation dengan fokus pada anak tunanetra. Pendidikan inklusif merupakan suatu perkembangan paradigma pendidikan yang menghendaki layanan pendidikan untuk memenuhi semua kebutuhan akan pendidikan semua peserta didik tanpa membedakan kondsi fisik, mental, emosi, status sosial, ekonomi, ras, agama, dan lain-lain dalam seting yang sama. Dalam pendidikan inklusif ada beberapa istilah penting yang perlu dipahami yang menyangkut konsep special needs (kebutuhan khusus). Yang dimaksud kebutuhan khusus adalah kebutuhan akan pendidikan secara khusus yang timbul baik karena faktor dari diri sendiri maupuin dari lingkungan dan yang bersifat permanen maupun temporer yang menyebabkan anak mengalami hambatab dalam belajar dan atau perkembangan. Salah satu kebutuhan khusus yang berasal dari diri sendiri dan bersifat permanen karena akibat kecacatan/kelainan yaitu kebutuhan menulis dan membaca dengan huruf timbul braille bagi anak tunanetra. Berkaitan dengan munculnya konsep kebutuhan khusus tersebut kita dapat menyebut anak tunanetra dengan istilah anak berkebutuhan khusus.

Pendidikan Integrasi vs Inklusi Sejak diperkenalkannya pendidikan inkhusif/inklusi di berbagai negara termasuk di Indonesia terutama setelah pendidikan inklusif ini mendapat perhatian secara khusus dari berbagai pihak muncul berbagai istilah atau pemahaman yang cukup beragam. Pemahaman yang paling menonjol adalah adanya penyamaan antara pendidikan integrasi (terpadu) dengan pendidikan inklusif. Sebagian orang berpendapat pendidikan inklusif adalah istilah baru dari pendidikan integrasi. Sedangkan sebagian kelompok menganggap inklusi adalah integrasi penuh. Untuk membantu memahami kedua konsep tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam pendidikan inklusif maupun pendidikan integrsi kedua-duanya melibatkan semua anak baik yang berkelainan (berkebutuhan khusus) maupun yang tidak dalam seting pendidikan yang sama misalnya di suatu sekolah dasar tertentu. Yang membedakannya adalah, pada sistem integrasi anak berkelainan harus menyesuaikan dengan program dan sistem yang ada di SD tersebut. Oleh karena itu dalam sistem integrasi ini ada anak yang dianggap dapat diintegrasikan dan ada anak yang dianggap tidak dapat diintegrasikan. Sedangkan pada konsep pendidikan inklusif program dan sistem sekolah harus menyesuaikan pada kondisi dan kebutuhan anak tanpa kecuali. Dengan demikian karena sekolah yang harus menyesuaikan pada kondisi anak semua anak dapt diterima di SD tersebut. Dalam pendidikan inklusif atau pada sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusif dapat terlihat antara alain; organisasi sekolah, kurikulum dan sistem penilaian yang fleksibel, hubungan guru dan murid harmonis, ada kegiatan asesmen, penghargaan terhadap perbedaan. Dengan pemahaman terhadap pendidikan inklusif seperti itulah, untuk mengimplementasikan pendidikan inklusif di Indonesia tidak mudah dan memerlukan kemauan yanag tulus dan keras dari pihak pemerintah khususnya para pemegang kebijakan dan pelaku (stake holder) pendidikan dan dukungan masyarakat. Sebagai salah satu upaya untuk mengiplementasikan pendidikan inklusif ini, pembahasan tentang manajemen pendidikan yang berorientasi pada pendidikan inklusif diharapkan dapat menghasilkan ide-ide yang bermanfaat.

Manajemen Pendidikan Inklusif Secara sederhana manjemen pendidikan adalah merupakan kegiatan yang mengandung kerjasama, berjalan secara proses, memilki kerangka sistem untuk mencapai tujuan pendidikan dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada. Pendidikan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pendidikan yang difokuskan pada penyelenggaraan pendidika bagi peserta didik yang berkelainan. Sebagaimana telah dikatakan di atas bahwa pendidikan inklusif adalah layanan pendidikan yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan semua anak tanpa membedakan suku, ras, status sosial, ekonomi, kondisi fisik, mental, dan emosi dan laian-lain dalam seting yang sama. Pengertian ini membawa konsekuensi secara konseptual tidak ada dikotomi pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. Dalam prakteknya sudah berjalan berpuluh-puluh tahun justru dikotomi inilah yang berjalan, dengan demikian menimbulkan banyak kontroversi dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif. Berangkat dari sudut pandang bahwa dalam menejemen pendidikan mecakup sekurang-kurangnya meliputi aspek seperti tatalaksana kurikulum, sistem evaluasi, program pengajaran, personalia sekolah, sarana pendidikan dll, maka membahas aspekaspek tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan pendidikan inklusif sangatlah besar manfaatnya. Penyesuaian Kurikulum Dalam arti yang luas kurikulum merupakan rencana pembelajaran secara menyeluruh yang mencakup program pengajaran, materi pelajaran, metode dan evaluasi yang merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan pendidikan. Meskipun demikian, kurikulum sering dianggap hanya sebagai dokumen yang berisi sekumpulan bahan pengajaran dan tujuan pengajaran. Sehingga berbicara kurikulum identik dengan berbicara tentang bahan pengajaran. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, kurikulum disusun secara nasional dan berlaku untuk semua sekolah sesuai dengan tingkat dan jenis pendidikan. Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagai salah satu satuan pendidikan memiliki kurikulum khusus yang berbeda dengan kurikulum untuk sekolah pada umumnya. Kurikulum semacam ini tidak mendukung atau bahkan dapat menghambat pelaksanaan pendidikan inklusif yang sebenarnya. Karena dalam pendidikan inklusif satu sekolah untuk semua anak dan sekaligus satu kurikulum untuk semua anak. Oleh

karena itu dalam pelaksanaan pendidikan inklusif diperlukan penyesuaian-penyesuaian tertentu terhadap kurikulum yang telah ada. Penyesuaian kurikulum dalam rangka implementasi pendidikan inklusif di Indonesia pertama-tama yang harus diperhatikan adalah mengubah orientasi kurikulum dari subject center oriented ke child center oriented. Child center oriented lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan siswa darai pada materi yang harus dikuasai oleh siswa. Di samping itu, pendidikan inklusif menuntut juga penyesuaian kurikulum dalam hal waktu penguasaan terhadap sejumlah bahan pengajaran. Artinya kecepatan siswa untuk menguasai suatu materi pengajaran tidak harus sama dan disesuaikan dengan kemampuan siswa masing-masing secra individu. Dengan penyesuaian semacam ini dimungkinkan siswa ada yang lebih cepat dibandingkan kawannya untuk menyelesaikan materi tertentu dan sebaliknya ada anak yang lebih lambat dalam menguasai bahan pengajaran. Dalam pendidikan inklusif penambahan materi pembelajaran seperti materi pengajaran non-akademik atau keterampilan khusus seperti bahasa isyarat bagi tunarungu, tulisan braille dan keterampilan orientasi dan mobilitas (OM) bagi tunanetra, keterampilan merawat diri bagi anak tunagrahita dan lain-lain perlu mendapat perhatian. Pembelajaran Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang labih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari dalam individu, maupun faktor eksternal yang datang dari luar lingkungan. Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Mengingat pembelajaran dalam pendidikan inklusif atau seting inklusif harus berhadapan dengan peserta didik dengan keadaan dan kemampuan yang sangat beragam, maka pengajaran dengan pendekatan individu dianggap yang paling tepat. Dalam pengajaran dengan pendekatan individu diperlukan tiga langkah kegiatan utama yaitu, asesmen ( assesment), intervensi (intervention), dan evaluasi (evaluation).

Asesmen Asesmen adalah suatu penilaian yang komprehensif dan melibatkan anggota tim untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan anak. Hasil keputusan asesmen dapat digunakan untuk menentukan layanan pendidikan yang dibutuhkan anak dan sebagai dasar untuk menyusun suatu rancangan pembelajaran. Rancangan pembelajaran yang dimaksud adalah rancangan pembelajaran yang didesain untuk anak-anak secara individual yang disebut rancangan pendidikan individual atau IEP (Individualized Educational Program). IEP adalah suatu dokumen tertulis yang memadukan individualisasi metode asesmen dengan individualisasi metode pengajaran. IEP merupakan suatu alat pengelolaan yang dirancang untuk menjamin seorang anak yang memerlukan pendidikan khusus dan pendidikan khusus dirancang untuk anak itu dengan kebutuhan pembelajaran khusus yang tepat Pengertian asesmen dapat disarikan dari definisi susunan Loughlin dan Lewis sebagai proses mempertanyakan tindak ajar siswa guna ketepatan penempatan dan pengajaran siswa tersebut (systematic process of asking educationally relevant questions abaout a student s learning behavior for the purposes of placement and instruction). Istilah lain yang hampir mirip dengan asesment ialah evaluasi dan penilaian, tetapi istilah asesmen lebih banyak menekankan pada penilaian sebelum mengajar, sedangkan evaluasi mencakup kedua-duanya. Asesmen juga dapat disamakan dengan analisis, tetapi asesmen labih mengarah kepada analisis yang mempersiapkan tindakan. Seperti halnya evaluasi, asesmen juga seringkali perlu diulang. Asesmen ulangan bisa sama dengan asesmen yang sudah dilakukan dan bisa juga berbeda. Dalam banyak hal, asesmen juga bergantung pada intervensi. Hubungan antara keduanya demikian erat sehingga kadang-kadang sukar membicarakan asesmen tanpa menggambarkan terlebih dahulu intervensi yang akan digunakan. Dalam asesmen dapat menggunakan tes psikologi dan tes pendidikan yang sudah dibakukan maupun tes buatan guru. Intervensi Intervensi ada yang dikerjakan untuk membangun tingkah laku yang dikehendaki dan adapula untuk meniadakan tingkah laku yang tidak dikehendaki. Membangun tingkah laku yang dikehendaki dapat dilakukan dengan cara menceritakan

tingkah laku tersebut dan menganjurkan agar siswa melakukannya. Di samping itu dapat memberikan contoh bagaimana melakukannya. Jika kedua cara tersebut tidak dapat dilakukan, kita menggunakan cara intervensi.intervensi diberikan dalam waktu yang relatif lebih singkat tetapi harus berturut-turut sampai anak mengalami perubahan. Intervensi di sini dimaksudkan sebagai kegiatan inti dari pelaksanaan proses pembelajaran, yakni bagaimana tujuan-tujuan belajar direalisasikan melalui kegiatan intervensi. Proses pembelajaran perlu dilakukan dengan tenang dan menyenangkan, hal tersebut tentu saja menuntut aktivitas dan kreativitas guru dalam menciptan lingkungan yang konduksif. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya. Pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau setidaktidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, disamping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya diri pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positip pada diri peserta didik seluruhnya atau setidaktidaknya sebagian besar (75%). Lebih lanjut proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata, menghasilkan out put yang banyak dan bermutu tinggi. Kegiatan pembelajaran dalam arti intervensi meliputi mengembangkan atau membangun kemampuan, sikap, dan kebiasaan yang dikehendaki dan meniadakan yang tidak dikehendaki Membangun kemampuan yang dikehendaki Jika tingkah laku yang dikehendaki berupa kemampuan misalnya pengerjaan matematika,berbahasa, kegiatan fisika dan sebagainya, intervensi yang kita pilih ialah hasil asesmen yang dilakukan melalui analisis tugas. Adapun caranya adalah anak tersebut dilatih atau diajar mulai pada hal-hal yang dirasa sukar.kemudian sebagai pengajaran lanjutan mengkaitkan antara hal yang telah dilatihkan dengan kegiatan lain. Rangkaian tersebut dilatih secara berulang-ulang sampai anak menguasai secara keseluruhan. Prinsip ini adalah pengajaran yang didasarkan pada asesmen dengan analisis tugas.

Membangun sikap dan kebiasaan yang dikehendaki Anak yang dapat melakukan sesuatu belum tentu terbiasa melakukannya pada saat diperlukan. Dalam hal anak belum terbiasa melakukannya, kita perlu menanamkan kebiasaan yang baik supaya menjadi miliknya. Meniadakan yang tidak dikehendaki Perilaku anak yang tidak baik atau yang tidak dikehendaki dapat muncul karena beberapa sebab misalnya ingin mendapat perhatian, karena ada keinginan, untuk menyatakan sesuatu dan lain-lain. Evaluasi Kegiatan evaluasi atau penilaian pada sekolah pada umumnya dilakukan dalam ulangan harian, ulangan umum, dan ujian akhir. Evaluasi tersebut biasanya dilakukan secara serentak dan soalnya seragam untuk semua siswa. Hal ini dilakukan karena didasari asumsi bahwa siswa dalam satu kelas memiliki kemampuan yang sama atau hampir sama dengan demikian perbedaan individu nyaris tidak mendapat perhatian. Ditinjau dari sistem evaluasinya didasarkan pada acuan norma, sehingga nilai rata-rata dan rangking menjadi konsekuensi logis sistem ini. Seringkali pengumuman rangking dalam kelas secara terbuka memiliki menimbulkan dampak psikologis yang negatif. Secara teoretis yang berada rangking kecil sebagai motivator, namun kenyataannya terjadi sebaliknya yakni mereka merasa minder atau rendah diri. Dalam pendidikan inklusif yang melayani pendidikan pada peserta didik dimana perbedaan individu berada dalam rentang yang cukup besar, penilaian dengan sistem acuan kelompok kurang sesuai. Oleh karena itu sistem penilaian dengan acuan patokan dimana patokan untuk masing-masing siswa berbeda akan lebih cocok. Di samping sistem penilaian acuan patokan atau acuan kelompok, persoalan penilaian yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif keduanya perlu mendapat perhatian.

Hubungan SLB dan Sekolah Reguler Dikotomi pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan dan anak pada umumnya di Indonesia sangatlah jelas yakni pendidikan luar biasa dan pendidikan biasa (pada umumnya). Dalam hal pengelolaan dan pembinaannya secara administrasi juga dibedakan, dalam tingkat direktorat jenderal yakni direktorat jendral pendidikan dasar dan menengah masih satu payung akan tetapi pada tingkat direktorat sudah berbeda dimana pendidikan luar biasa dibina oleh direktur PLB. Berkenaan dengan pendidikan inklusif, struktur organisasi semacam ini secara teknik administrasi menimbulkan kesulitan. Pembinaan SLB dilakukan di tingkat propinsi sedangkan untuk SD umum di tingkat kabupaten atau kota. Jika ada anak berkebutuhan khusus sekolah di suatu SD dan anak tersebut memerlukan bantuan guru SLB seringkali mekanisme kerjasama antara SD dan SLB mengalami hambatan secara administrasi. Dan lagi, dengan pemahaman yang salah dan alasan administrasi pula keberadaan anak berkebutuhan khusus sering diklaim sebagai tugas dan kewajiban SLB jika ABK tersebut ingin sekolah di SD umum dianggap mengancam keberadaan SLB. Secara konseptual yang ideal, pelaksanaan pendidikan inklusif tidak perlu lagi ada SLB yang fungsinya seperti sekarang. Dengan kata lain pendidikan inklusif mememerlukan perubahan fungsi SLB sebagai sekolah menjadi suatu lembaga atau institusi pendukung sekolah reguler tentu saja dengan fungsi yang lebih luas dari pada sekedar sebagai sekolah. Dengan demikian dikotomi antara pendidikan luar biasa dan pendidikan biasa tidak ada lagi. Pendidikan adalah satu dalam arti satu institusi pendidikan untuk semua peserta, dalam perspektif internasional dikenal dengan Education for All Kesimpulan Kegiatan manajemen pendidikan dalam rangka implementasi pendidikan inklusif di Indonesia diperlukan perubahan-perubahan atau inovasi-inovasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip fleksibilitas, kooperatif, tidak deskriminatif, pemenuhan hak dan lain-lain yang merupakan unsur dasar pendidikan inklusif. Berdasarkan sudut pandang bahwa manajemen pendidikan sebagai suatu kerja sama, proses, dan kerangka sistem untuk mencapai tujuan pendidikan (pendidikan inklusif), maka sekurang-kurangnya ruang lingkup manajemen seperti tatalaksana kurikulum,

sistem evaluasi, program pengajaran, sarana pendidikan memerlukan penyesuaipenyesuai dengan pendekatan fleksibilitas. Daftar Pustaka Aefsky, F. (1995). Inclusion Confusion. A Guide to Educating Students with Exceptional Needs. California: Corwin Press. Armstrong, F., Armstrong, D., dan Barton, L. (eds). (2000). Inclusive Education. London: David Fulton Publishers. Johnsen, B. H. and Skjorten, M.D. (eds). (2001). Education-Special Needs education: An Introduction. Olso: Unipub forlag. Norwich, B. (1996). Special Needs Education or Education for all: connective specialization and ideological impurity. British Journal of Special Education, 23, 3, 100-104 Smith, J. D. (1998). Inclusion School for All Students, London: Wadworth Publishing Company. UNESCO. Open File on Inclusive Education. Support Materials for Managers and Administrators.

MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF Makalah Disampaikan pada Pelatihan Kompetensi Tenaga Pendidikan bagi Kepala / Guru SDLB, SLB, dan Sekolah Terpadu Se-Nusa Tenggara Timur tanggal 8 sd 14 Juli 2007 Oleh Juang Sunanto